Fatwapedia.com – Pada tulisan ini akan mengupas Sunnah-Sunnah Thawaf secara lengkap. Sebagai panduan dalam pelaksanaan ibadah haji maupun umroh. Mengetahui sunnah-sunnah thowaf sangat penting untuk mencapai kesempurnaan dalam ibadah. Apa saja yang termasuk sunnah thawaf? Berikut penjelasannya.
1. Berwudhu’ Sebelum Thawaf
Hadits `A’isyah -radhiyallahu ‘anha-:
أَوَّلُ شَيْءٍ بَدَأَ بِهِ حِينَ قَدِمَ مَكَّةَ أَنَّهُ تَوَضَّأَ، ثُمَّ طَافَ بِالْبَيْتِ
“Hal pertama yang dimulai oleh nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- ketika mendatangi Makkah beliau berwudhu’ kemudian berthawaf di ka’bah”[2] ini adalah sekedar perbuatan yang menunjukkan kepada keutamaan dan tidak untuk kewajiban, dan wudhu’ tidak termasuk di dalam umumnya manasik hingga diucapkan bahwa beliau adalah penjelas dalam sabdanya:
خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ
“Contohlah aku untuk ibadah umrah dan haji kalian”.
Kemudian adanya kemungkinan bahwa beliau berwudhu’ karena sesuatu yang menghitung thawaf bagian dari shalat.
Dengan demikian maka thawaf adalah dzikir dan diutamakan untuknya bersuci karena adanya hadits dari seorang lelaki yang memberi salam kepada nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-
فَلَمْ يَرُدَّ حَتَّى أَقْبَلَ فَمَسَحَ بِوَجْهِهِ وَيَدَيْهِ ثُمَّ رَدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ
“Dan beliau tidak menjawab hingga mendekatinya dan membasuh wajah dan tangannya kemudian menjawab salamnya”[3].
2. Idhthibaa’ (bagi laki-laki saja)
Yaitu menjadikan pertengahan kain pinggangnya di bawah ketiak sebelah kanan dan mengembalikan kedua ujungnya keatas pundaknya yang kiri, maka pundaknya yang sebelah kanan terbuka. Hadits Ya’laa bin Umayyah:
(أن النبي طاف مضطبعا)
“Bahwa nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- berthawaf dengan beridhthibaa”[4]. Idhthibaa’ adalah sunnah -menurut mayoritas- bagi para lelaki selain perempuan, diseluruh putaran, dan disunnahkan ber-idhthibaa’ di dalam setiap thawaf yang diikuti setelahnya oleh sa`i, seperti thawaf qudum bagi yang hendak melakukan sa`i setelahnya, thawaf umrah, dan thawaf ziarah, bagi yang mengakhirkan sa`i kepadanya, di dalam mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah, dan mazhab Hanabilah bahwa tidak beridhthibaa’ di selain thawaf qudum[1].
Catatan:
Adapun beridhthibaa’ disyariatkan di dalam thawaf tanpa manasik yang lain, tidak seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang, sebagian dari mereka yang beridhthibaa’ sejak dari berihram dan terus seperti itu hingga tahallul, itu bagian dari kebodohan terhadap sunnah, bahkan hingga shalat dengan bahu terbuka, dan itu dilarang, seperti yang disebutkan dalam makruh-makruhnya shalat.
Dengan itu maka seharusnya menyamakan pakaiannya dan menutupi pundak kanannya dan begitu juga setelah menyelesaikan thawafnya, karena idhthibaa’tempatnya di dalam thawaf saja.
3. Berjalan Cepat Di Dalam Tiga Putaran Pertama (bagi laki-laki)
Maksudnya mempercepat jalan dengan saling mendekatkan langkah dan menggerakkan kedua pundak dengan tanpa meloncat dalam tiga putaran pertama saja, lalu berjalan pada keempat putaran yang lain. Berjalan cepat adalah sunnah di dalam setiap thawaf setelah sa`I. Dari Ibnu `Abbas -radhiyallahu `anhu- berkata:
قَدِمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ مَكَّةَ، وَقَدْ وَهَنَتْهُمْ حُمَّى يَثْرِبَ، قَالَ الْمُشْرِكُونَ: إِنَّهُ يَقْدَمُ عَلَيْكُمْ غَدًا قَوْمٌ قَدْ وَهَنَتْهُمُ الْحُمَّى، وَلَقُوا مِنْهَا شِدَّةً، فَجَلَسُوا مِمَّا يَلِي الْحِجْرَ، وَأَمَرَهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَرْمُلُوا ثَلَاثَةَ أَشْوَاطٍ، وَيَمْشُوا مَا بَيْنَ الرُّكْنَيْنِ، لِيَرَى الْمُشْرِكُونَ جَلَدَهُمْ، فَقَالَ الْمُشْرِكُونَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ زَعَمْتُمْ أَنَّ الْحُمَّى قَدْ وَهَنَتْهُمْ، هَؤُلَاءِ أَجْلَدُ مِنْ كَذَا وَكَذَا
“Rasulullah dan para sahabatnya mendatangi Makkah dan demam yatsrib melemahkan mereka, lalu orang-orang musyrik berkata: besok akan datang kepada kalian suatu kaum yang menjadi lemah karena demam, dan mereka menemui kesulitan, lalu mereka duduk disamping hijr, dan nabi menyuruh mereka untuk berjalan dengan cepat sebanyak tiga kali, lalu merekapun berjalan di antara dua rukun”[2] untuk memperlihatkan kepada orang-orang musyrik kulit mereka, lalu orang-orang musyrik berkata: merekalah yang kalian anggap bahwa demam telah menjadikan mereka lemah? Mereka itu lebih kuat dari ini dan ini”[3]
Itu pada waktu umrah qadha pada tahun ketujuh, akan tetapi berjalan dengan cepat tetap menjadi sunnah di dalam tiga putaran pertama dengan sempurna, dan telah dilakukan oleh nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- di dalam hajinya -setelah penaklukan Makkah dan orang-orang berbondong-bondong masuk islam- seperti di dalam hadits Jabir
فَرَمَلَ ثَلاَثًا وَمَشَى أَرْبَعًا
“Dan berjalan cepat tiga kali dan berjalan empat kali”[1]
Di dalam hadits Ibnu `Umar
سَعَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةَ أَشْوَاطٍ وَمَشَى أَرْبَعَةً فِي الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ -مِنَ الْحَجَرِ إِلَى الْحَجَرِ-
“Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- berlari kecil sebanyak tiga kali dan berjalan empat kali di dalam haji dan umrah (dari hijr ke hijr)”[2] berlari kecil-di sini-berarti: bergegas.
Menguatkan bahwa berjalan cepat merupakan sunnah yang tersisa -setelah menghilangkan cacat dari kemarahan kaum musyrik- bahwa `Umar bin Khattab bermaksud meninggalkannya
قَالَ: مَا لَنَا وَلِلرَّمَلِ إِنَّمَا كُنَّا رَاءَيْنَا بِهِ المُشْرِكِينَ وَقَدْ أَهْلَكَهُمُ اللَّهُ»، ثُمَّ قَالَ: «شَيْءٌ صَنَعَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلاَ نُحِبُّ أَنْ نَتْرُكَهُ
“Berkata: untuk apa kita berjalan cepat? Adapun kita telah memperlihatkannya kepada orang-orang musyrik, dan Allah telah menghancurkan mereka, kemudian dia berkata: sesuatu yang dibuat oleh nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, maka kita tidak ingin meninggalkannya”[3].
Tidak Disyariatkan Mengganti Berjalan Cepat
Jika meninggalkannya di dalam tiga putaran pertama maka tidak diganti pada putaran keempat, karena keadaannya adalah tenang maka jangan diganti[4].
Tidak Disyariatkan Berjalan Cepat Bagi Perempuan[5]
Ini adalah pendapat kebanyakan ulama, hingga sebagian mereka meriwayatkan ijma’ atasnya. `A’isyah -radhiyallahu ‘anha- berkata:
(يا معشر النساء ليس عليكن رمل بالبيت, لكن فينا أسوة)
“Wahai para perempuan, kalian tidak harus berjalan cepat di ka’bah, tetapi kalian mencontoh kami”[6]
Shahih dari Ibnu `Umar -radhiyallahu ‘anhu-[1] , diriwayatkan dari Ibnu abbas radhiallahu ‘anhu[2] dan yang selain keduanya dari orang terdahulu.
4-5. Menyentuh Hajar Aswad Dan Menciumnya Di Dalam Setiap Putaran Jika Memungkinkan
Menyentuh hajar aswad adalah mengusapnya dengan tangan, ini adalah sunnah karena adanya hadits Ibnu `Umar berkata:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ يَقْدَمُ مَكَّةَ ” إِذَا اسْتَلَمَ الرُّكْنَ الأَسْوَدَ، أَوَّلَ مَا يَطُوفُ: يَخُبُّ ثَلاَثَةَ أَطْوَافٍ مِنَ السَّبْعِ
“Aku melihat Rasulullah ketika mendatangi Makkah beliau menyentuh hajar aswad pertama berthawaf pada tiga putaran thawaf dari tujuh putaran yang dilakukan”[3].
Dari Nafi’ berkata:
رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ اسْتَلَمَ الْحَجَرَ ثُمَّ قَبَّلَ يَدَهُ، وَقَالَ: مَا تَرَكْتُهُ مُنْذُ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ
“Aku melihat Ibnu `Umar menyentuh hajar aswad dengan tangannya kemudian mencium tangannya, dan berkata: tidak pernah kutinggalkan sejak aku melihat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- melakukannya”[4].
`Umar bin Khattab telah mencium hajar dan berkata:
لَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ
“Kalaupun bukan karena aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menciummu maka aku tidak akan menciummu”[5].
Jika Mampu Menyentuh Atau Menciumnya
Yang diutamakan adalah menyentuh hajar aswad dengan tangannya dan menciumnya jika memungkinkan, dan jika telah menyentuhnya dan susah baginya untuk menciumnya maka ciumlah tangannya, jika kesusahan menyentuhnya dengan tangannya, maka dibolehkan menyentuhnya dengan tongkat dan sejenisnya lalu menciumnya. Berdasarkan hadits Ibnu `Abbas -radhiyallahu `anhu- berkata:
طَافَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الوَدَاعِ عَلَى بَعِيرٍ، يَسْتَلِمُ الرُّكْنَ بِمِحْجَنٍ
“Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- berthawaf di ka’bah di atas unta menyentuh hajar aswad dengan tongkat”[1]
Muslim menambahkan dalam riwayatnya dari hadits Abi Thufail:
وَيُقَبِّلُ الْمِحْجَنَ
“Dan mencium tongkat itu”[2].
Jika tidak mampu untuk menyentuhnya maka mengisyaratkan kepadanya dengan tangan dan bertakbir. Hadits Ibnu `Abbas -radhiyallahu `anhu- berkata:
طَافَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْبَيْتِ عَلَى بَعِيرٍ، كُلَّمَا أَتَى الرُّكْنَ أَشَارَ إِلَيْهِ بِشَيْءٍ كَانَ عِنْدَهُ وَكَبَّرَ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berthawaf di ka’bah di atas unta, setiap kali sampai pada rukun beliau berisyarat kepadanya dengan sesuatu yang ada padanya dan bertakbir”[3].
Shahih dari Ibnu `Umar -radhiyallahu ‘anhu-:
أَنَّهُ إِذَا اسْتَلَمَ الرُّكْنَ قَالَ: بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُ أَكْبَرُ
“Bahwa ketika dia menyentuh rukun berkata: Bismillahi, Allahu Akbar”[4].
6. Bersujud Menghadap Hajar Aswad
Dari Ibnu `Umar -radhiyallahu ‘anhu- berkata:
رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَبَّلَ الْحَجَرَ وَسَجَدَ عَلَيْهِ ثُمَّ عَادَ فَقَبَّلَهُ وَسَجَدَ عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ: هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“aku melihat `Umar bin Khattab mencium hajar aswad dan bersujud atasnya, kemudian kembali lalu menciumnya dan bersujud atasnya, kemudian berkata: seperti itu aku melihat Rasulullah”[5],
Telah ditetapkan juga oleh Ibnu Abbas dari praktiknya, al-Albani -rahimahullah- berkata di dalam al Irwaa (4/312): Maka tampaklah dari kumpulan yang telah disebutkan bahwa bersujud atas hajar aswad sesuatu yang telah tetap, baik secara riwayat marfu’ dan mauquf. Allah Maha Tahu.
7. Menyalami Rukun Yamani (tiang Yaman)
Hadits Ibnu `Umar -radhiyallahu ‘anhu- berkata:
لَمْ أَرَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَلِمُ مِنَ الْبَيْتِ، إِلَّا الرُّكْنَيْنِ الْيَمَانِيَيْنِ
“Tidak pernah aku melihat nabi menyentuh ka’bah kecuali kedua tiang Yaman”[1].
Perempuan Tidak Boleh Berdesakan Dengan Laki-Laki
Tidak seharusnya bagi perempuan berdesak-desakan dengan para lelaki saat thawaf untuk menyentuh kedua rukun atau mencium hajar aswad. Dari `Athaa’ berkata:
كَانَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَطُوفُ حَجْرَةً مِنَ الرِّجَالِ، لاَ تُخَالِطُهُمْ، فَقَالَتْ امْرَأَةٌ: انْطَلِقِي نَسْتَلِمْ يَا أُمَّ المُؤْمِنِينَ، قَالَتْ: «انْطَلِقِي عَنْكِ»، وَأَبَتْ، يَخْرُجْنَ مُتَنَكِّرَاتٍ بِاللَّيْلِ، فَيَطُفْنَ مَعَ الرِّجَالِ، وَلَكِنَّهُنَّ كُنَّ إِذَا دَخَلْنَ البَيْتَ، قُمْنَ حَتَّى يَدْخُلْنَ، وَأُخْرِجَ الرِّجَالُ
“`A’isyah berthawaf di Hajrah[2] dari para lelaki ia tidak bercampur dengannya, lalu seorang perempuan berkata: keluarlah, kita akan menyentuhnya wahai Ummul Mukminin, dia menjawab: bergeraklah dariku, dan mengabaikannya (`Athaa’ berkata) mereka keluar menyamar pada malam hari dan berthawaf dengan para lelaki, tetapi mereka jika memasuki suatu rumah, mereka berdiri hingga mereka masuk dan mengeluarkan para lelaki”[3].
Ketika Ummu Salamah mengadu, nabi berkata kepadanya:
طُوفِي مِنْ وَرَاءِ النَّاسِ وَأَنْتِ رَاكِبَةٌ
“Berthawaflah di belakang para manusia dan engkau di atas tunggangan”[4].
Tidak Menyentuh Kedua Rukun Syaami
Hadits Ibnu `Umar yang telah disebutkan di atas, karena rukun syimali dangharbi (sisi ka’bah) bukan atas dasar pondasi Ibrahim -‘alaihissalam- seperti yang telah disebutkan.
8. Berdoa Di Antara Kedua Rukun Yamani
Dari Abdullah bin Saaib berkata:
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْحَجَرِ: رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ)
“Aku mendengar nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- berkata di antara rukun dan hajar aswad: ya tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”[1].
Syaikhul Islam berkata di dalam al Fataawa (26/122): Diutamakan kepadanya pada waktu berthawaf berdzikir kepada Allah, berdoa kepada-Nya dengan apa yang telah disyariatkan, jika membaca al-Qur`an di dalam hatipun tidak apa-apa, tidak ada di dalamnya zikir tertentu dari nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak dengan perintahnya dan tidak juga dengan ucapannya, tidak dengan ajarannya, tetapi berdoa di dalamnya dengan semua doa yang disyariatkan. Sedangkan yang diucapkan oleh manusia dengan doa tertentu di bawah saluran air dan yang sejenis itu, maka hal itu tidak ada asalnya, dan nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- menutup thawafnya di antara dua rukun dengan mengucapkan:
(رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ)[2]
“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”.
Seperti halnya beliau juga menutup seluruh doanya dengan kalimat itu.
9. Terakhir Ke Maqam Ibrahim -Setelah Thawaf- Dan Membaca:
(وَاتَّخِذُوا مِن مَّقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى)
“Dan jadikanlah pondasi Ibrahim sebagai tempat shalat”.[3]
10. Shalat Dua Rakaat Di Belakang Maqam Ibrahim Jika Tidak Kesulitan
Syaikh Bin Baz berkata: Tidak mengapa thawaf dibelakang maqam Ibrahim. Bahkan walaupun seseorang thawaf di serambi masjid, maka demikian itu cukup baginya. Tapi thawaf pada tempat yang semakin dekat kepada Ka’bah adalah yang utama, dan jika di sana ada keleluasaan dan tidak berdesak-desakan lalu orang mendekat Ka’bah maka demikian itu adalah utama. Tapi jika mendekat Ka’bah terasa berat bagi seseorang lalu dia thawaf jauh dari Ka’bah maka tiada dosa dalam demikian itu.
11. Pada kedua rakaat itu hendaknya membaca:
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ dan قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
Ketiga sunnah terakhir tersebut telah ditetapkan di dalam hadits Jabir yang panjang di dalam sifat haji nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- dan dua rakaat setelah thawaf di belakang maqam adalah sunnah menurut mayoritas ulama, berbeda dengan Hanafiyah menurut mereka wajib, merupakan riwayat dari Ahmad dan suatu pendapat dari Syafi`iy dan sepakat dengan Malikiyah di dalam thawaf pada rukun tanpa selainnya[4].
Sedangkan Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa jika mendirikan shalat wajib setelah thawaf maka telah dicukupkan baginya dari shalat dua rakaat setelah thawaf.
Mendirikan shalat dua rakaat thawaf kapanpun tidaklah makruh walaupun pada waktu-waktu yang dimakruhkan. Hadits Jabir bin Muth’im bahwa nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ، لَا تَمْنَعُوا أَحَدًا طَافَ بِهَذَا البَيْتِ، وَصَلَّى أَيَّةَ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ
“Wahai bani Abdi Manaf, janganlah kalian melarang siapapun yang berthawaf di masjid ini, dan shalatlah pada waktu kapanpun dia mau baik dimalam hari ataupun siang hari”[1].
Tidak Boleh Berjalan Di Depan Orang Yang Sedang Shalat Di Dalam Masjidil Haram Dan Selainnya
Adapun perkataan Syaikhul islam rahimahullah: Jika seseorang sedang shalat dan orang-orang berthawaf di depannya tidak makruh, walaupun yang lewat adalah laki-laki atau perempuan, ini adalah bagian dari pengecualian Makkah[2]. Belum pernah aku ketahui satu dalilpun atas keistimewaan ini, dan sebenarnya adalah tidak dibolehkan lewat di depan orang yang sedang shalat seperti yang telah disebutkan pada bab-bab shalat. Allah Maha Tahu.
12. Meminum Air Zam-Zam Dan Menuangkannya ke Atas Kepala Setelah Thawaf serta Shalat Dua Rakaat
Hadist Jabir -radhiyallahu `anhu-:
(أن النبي رمل ثلاثة أشواط من الحجر الى الحجر, و صلى ركعتين ثم عاد الى الحجر, ثم ذهب الى زمزم فشرب منها, و صب على رأسه ثم رجع فاستلم الركن . . .)
“Bahwa nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- berjalan dengan cepat sebanyak tiga putaran dari hajar aswad ke hajar aswad, dan shalat dua rakaat kemudian kembali ke hajar aswad, kemudian pergi ke air zam-zam dan meminumnya, menuangkannya di atas kepalanya kemudian kembali dan melaksanakan rukun“[3].
13. Apakah Yang Dimaksud Dengan Beriltizam[4] Di Antara Hajar Aswad Dan Pintu Ka’bah (Multazam)?
Diriwayatkan bahwa nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- melakukannya pada hari penaklukan kota makkah. Dari Abdurrahman bin Abi Shafwan berkata:
لَمَّا فَتَحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ انْطَلَقْتُ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، «قَدْ خَرَجَ مِنَ الْكَعْبَةِ هُوَ وَأَصْحَابُهُ وَقَدْ اسْتَلَمُوا الركن مِنَ الْبَابِ إِلَى الْحَطِيمِ وَقَدْ وَضَعُوا خُدُودَهُمْ عَلَى الْبَيْتِ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسْطَهُمْ
“Ketika rasulullah menaklukan kota Makkah, aku keluar, aku melihat Rasulullah telah keluar dari ka’bah bersama para sahabatnya dan mereka telah melaksanakan rukun dari pintu ke hatthim dan meletakkan pipi mereka di dinding ka’bah, dan Rasulullah ditengah-tengah mereka”[1].
Diriwayatkan dari `Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata:
طُفْتُ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ فَلَمَّا جِئْنَا دُبُرَ الْكَعْبَةِ قُلْتُ: أَلَا تَتَعَوَّذُ؟ قَالَ: «نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ النَّارِ»، ثُمَّ مَضَى حَتَّى اسْتَلَمَ الْحَجَرَ وَأَقَامَ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْبَابِ، فَوَضَعَ صَدْرَهُ وَوَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ وَكَفَّيْهِ هَكَذَا وَبَسَطَهُمَا بَسْطًا، ثُمَّ قَالَ: «هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ
“Aku berthawaf bersama `Abdullah bin `Amr, ketika sejajar dengan bagian belakang ka’bah aku bertanya: tidakkah kamu meminta perlindungan? Dia menjawab: kami berlindung kepada Allah dari siksa neraka, kemudian melewati hingga menyalami hajar aswad lalu berdiri di antara rukun dan pintu ka’bah, dan meletakkan dadanya dan wajahnya juga kedua tangannya seperti ini -meluruskannya selurus-lurusnya- lalu dia berkata: seperti inilah aku melihat Rasulullah melakukannya”[2].
Penulis berkata: Di dalam kedua hadits tersebut ada kelemahan, tetapi apakah salah satunya menguatkan yang lain? Inilah tempat kita meneliti, kemudian iltizam ini mengandung pada waktu perpisahan, dan hendaknya pada waktu selainnya, akan tetapi mayoritas ulama berkata: diutamakan untuk berdiri di multazam setelah thawaf wada’ dan berdoa, karena multazam merupakan salah satu dari tempat-tempat yang di kabulkan jika berdoa di dalamnya seperti yang telah disebutkan di dalam hadits Ibnu `Abbas -radhiyallahu `anhu-[3]. Allah Maha Tahu.
Berbicara, Mengajar Dan Berfatwa Pada Saat Thawaf[4]
Boleh berbicara saat thawaf, tidak membatalkannya dan tidak makruh, akan tetapi yang lebih diutamakan adalah meninggalkannya kecuali berbicara di dalam kebaikan, seperti menyuruh kepada kebaikan atau melarang dari keburukan, mengajarkan orang yang tidak tahu atau menjawab fatwa dan yang sejenisnya. Dari Ibnu `Abbas bahwa nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- melewati -dan dia berthawaf- seorang manusia yang mengikat tangannya kepada orang lain dengan tali atau benang atau sejenisnya, lalu nabi memotongnya dengan tangannya kemudian berkata: pegang dia dengan tangan[5].
Berthawaf Dengan Kendaraan
Boleh berthawaf dengan mengendarai -walaupun ada kemampuan untuk berjalan- karena kebutuhan yang mengharuskannya. Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- berthawaf dengan keadaan di atas unta menyalami tiang dengan tongkat[1], agar manusia melihatnya.
Hadits Jabir -radhiyallahu `anhu- berkata:
طَافَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِالْبَيْتِ، وَبِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، لِيَرَاهُ النَّاسُ، وَلِيُشْرِفَ وَلِيَسْأَلُوهُ، فَإِنَّ النَّاسَ غَشُوهُ (طاف رسول الله في حجة الوداع على راحلته بالبيت, بين الصفا و المروة ليراه الناس و ليشرف, و ليسألوه, فان الناس قد غشوه)
“Rasul -shallallahu ‘alaihi wasallam- berthawaf pada haji wadha’ di atas untanya di ka’bah, di antara shafa dan marwa agar orang-orang melihatnya, memuliakannya, dan menanyakannya, dan orang-orang telah mengerumuninya[2] yakni berkumpul kepadanya.
Dengan ini Syafi`iy berpendapat, merupakan riwayat dari Ahmad, tidak masalah bagi yang berkendaraan -walaupun tanpa alasan- menurut mereka, sedangkan Hanafiyah dan Hanabilah mewajibkannya berjalan secara mutlak begitu juga Malikiyah –tetapi di dalam thawaf yang wajib saja- maka jika berthawaf dengan berkendaraan sedangkan ada kemampuan berjalan maka diharuskan baginya dam menurut mereka[3]. Yang paling jelas adalah tidak dikenakan apa-apa. Wallaahu a’lam.
Demikian penjelasan lengkap tentang sunnah-sunnah thawaf semoga bermanfaat.