5 Pembatal Wudhu, Dalil dan Penjelasannya

Pembatal Wudhu, Dalil dan Penjelasannya

Fatwapedia.com – Diantara amal ibadah yang memiliki pahala besar adalah wudu. Selain itu wudu juga berfungsi untuk membersikan badan dari hadas kecil dan kotoran yang menempel pada anggota wudhu seseorang. Wudhu juga salah satu syarat sahnya shalat. Tanpanya shalat seseorang tidak sah dan wajib diulangi.
Pada kesempatan ini admin fatwapedia.com akan membagikan artikel yang memuat penjelasan tentang perkara-perkara yang dapat membatalkan wudhu beserta dalil dan penjelasannya. Berikut ini uraian selengkapnya. Selamat membaca!

Beberapa Perkara yang Membatalkan Wudhu

1. Keluarnya Air Kencing, Tinja Atau Keluar Anggin Dari Dua Jalan

Dalil dari ketentuan ini adalah Firman Allah Subhanahu wata’ala :

أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ

“Atau ketika kembali dari buang air” (Al-Qur`an Surat: al Maidah: 6)

Adapun kata غائطmerupakan kinayah dari buang hajat kencing maupun berak. Ulama telah sepakat bahwa perkara yang membatalkan wudhu adalah keluarnya sesuatu dari dua jalan; dari kelamin dan dubur. (Al ijma’ (17), al Awsat Ibnu al-Mundzir (1/147))

Adapun keluarnya sesuatu selain dari dua jalan diatas, seperti kandung kemih maupun perut menjadi perdebatan para ulama. Diantara ulama yang berpendapat bahwa segala sesuatu yang keluar dari dua jalan adalah najis; seperti Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Ahmad dan Ibn Hazm. Mereka berkata: “Batalnya wudhu karena najis yang mengalir keluar dari tubuh manusia meskipun najis itu keluar dari bagian manapun.”

Diantara ulama yang berpendapat seperti Imam Syafi’i mengatakan: “Wudhu menjadi batal jika keluar sesuatu dari dua jalan, meskipun yang keluar tidak najis seperti batu atau lainnya.”

Adapun angin yang keluar dari dubur dengan maupun tanpa suara dapat membatalkan wudhu sesuai ijma’.

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

“Allah tidak akan menerima shalat orang yang berhadas sampai berwudhu”.

Seorang lelaki dari Hadramaut berkata: “Apakah yang dimaksud dengan hadas wahai Abu Hurairah? Ia menjawab “yang dimaksud dengan hadas adalah kentut”. (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (135), Muslim (225)

Jika keluar angin dari jalan depan, menurut jumhur ulama, -lihat Bidayatul Mujtahid (1/40)- wudhu menjadi batal, menurut Abu Hanifah dan disepakati oleh Ibn Hazm “Wudhu tidak akan batal karena kentut merupakan sebutan untuk keluarnya angin dari dubur. (Al-Muhalla (1/232)

Penulis berkata: Apabila diketahui terdapat bau kentut maka wudhu menjadi batal, meskipun keluar dari jalan depan maupun belakang, jika tidak maka hanya angin yang keluar dari dubur saja.

Catatan penting: Wanita terkadang merasakan angin keluar melalui jalan depan yaitu gerakan bukan angina yang keluar. Apabila ia tidak benar-benar merasakan mengeluarkan angin maka tidak membatalkan wudhu. Tetapi jika wanita itu bercampur antara tempat buang air kecil dan tempat buang air besarnya maka ia harus berwudhu sebagai kehati-hatian karena dikhawatirkan angin keluar dari dubur.Wallahu a’lam.

2. Keluar Mani, Wadi Dan Madzi

Keluarnya air mani dapat membatalkan wudhu sebagaimana ijma’ ulama dan mewajibkan mandi. Setiap perkara yang mewajibkan mandi dapat membatalkan wudhu menurut ijma’ ulama.[1]

Adapun keluarnya air madzi dapat membatalkan wudhu.

Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata:

كُنْتُ رَجُلًا مَذَّاءً فَأَمَرْتُ رَجُلًا أَنْ يَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لِمَكَانِ ابْنَتِهِ، فَسَأَلَ فَقَالَ: «تَوَضَّأْ وَاغْسِلْ ذَكَرَكَ

“Saat aku dalam keadaan keluar madzi, aku menyuruh seseorang bertanya kepada nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau menjawab “berwudhulah dan cucilah kemaluanmu” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (269), Muslim (303)

Selain madzi, juga termasuk wadi yang diwajibkan keduanya untuk mencuci kelaminnya dan berwudhu. Ibnu Abbas berkata: “Mani, wadi dan madzi: adapun mani kita harus mandi setelah keluarnya. Adapun wadi dan madzi ia berkata: cucilah kemaluanmu dan berwudhulah ketika hendak shalat. (Hadits Riwayat: Al-Baihaqi (1/115). sanad shahih)

Catatan Tambahan:

Saat seseorang dalam keadaan basah karena air kencing maupun madi atau ketika air masih berulang keluar sehingga menyusahkannya maka dapat mencuci pakaian dan badan yang terkena najis kemudian berwudhu pada setiap akan melaksanakan shalat. Sebagaimana dilakukan wanita yang sedang istihadhah. Selama tidak menimbulkan kekhawatiran saat najis keluar sewaktu shalat atau antara wudhu dan shalatnya.

3. Tidur lelap hingga tak sadarkan diri

Terdapat bermacam keterangan yang terkandung dalam hadits mengenai wajibnya berwudhu setelah tertidur dan terkadang bertentangan antara satu dengan yang lain. Terdapat hadits yang menerangkan tidak wajibnya berwudhu setelah tidur dan keterangan yang lain menerangkan bahwa tidur dapat membatalkan wudhu. Terdapat dua mazhab ulama; mazhab jama’ dan tarjih. Adapun mazhab tarjih adalah mazhab yang berpendapat barangkali batalnya wudhu setelah tertidur secara mutlak. Dan sebagaian mereka berpendapat bahwa tidur bukan merupakan hadas. Adapun ulama yang mewajibkan adalah berpendapat bahwa tidur merupakan hadas. Dan mazhab jama’ adalah mazhab yang berpendapat bahwa tidur tidak menimbulkanhadas, akan tetapi menjadi tempat yang cocok untuk berhadas. Mereka berbeda pendapat dalam menentukan keadaan saat tidur yang mewajibkan wudhu. Terdapat tiga cara ulama dalam menentukan hukum sehingga menjadi delapan, yaitu:

Pertama: Tidur tidak membatalkan wudhu secara mutlak: sebagaimana telah diceritakan oleh para sahabat diantaranya Ibn Umar dan Abu Musa al-Asy’ariradhiallahu ‘anhuma. Ini merupakan pendapat Said bin Jabir, Makhul dan Ubaidah as-Salmani dan al-Awza’I radhiallahu ‘anhum dan lainnya. Atas dasar riwayat:

Hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhuma ia berkata:

أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُنَاجِي رَجُلًا فَلَمْ يَزَلْ يُنَاجِيهِ حَتَّى نَامَ أَصْحَابُهُ ثُمَّ جَاءَ فَصَلَّى بِهِمْ

“Iqamah shalat telah berlangsung dan rasulullah berbisik dengan seseorang, dan terus berbisik hingga para sahabat tertidur. Kemudian beliau datang dan mengimami mereka. (Hadits Riwayat: Muslim (376) dan lafaz ini darinya)

Hadits Qatadah radhiallahu ‘anhu ia berkata, aku mendengar Anas radhiallahu ‘anhu berkata:

كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنَامُونَ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّئُونَ قَالَ قُلْتُ سَمِعْتَهُ مِنْ أَنَسٍ قَالَ إِي وَاللَّهِ و فى لفظ ينتظرون الصلاة فينعسون حتى تخفق رؤوسهم, ثم يقومون الى الصل

“Dahulu para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertidur, kemudian mereka shalat tanpa berwudhu.” Dia berkata, “Aku berkata, ‘apakah engkau mendengarnya dari Anas. Dia berkata, ‘Ya, demi Allah’.” (Hadits Riwayat: Muslim (376) dan at-Tirmidzi (78)

Dalam lafaz lain “Mereka menunggu shalat hingga mengantuk dan kepala mereka tertunduk, lalu mereka banggun mengerjakan shalat.

Riwayat ibnu abbas radhiallahu ‘anhu ia berkata:

“Aku tidur dirumah bibiku maimunah, lalu nabi berdiri dan akupun ikut berdiri disebelah kirinya. Beliau memegang tanganku dan memindahkanku disebelah kanannya, jika aku tertidur beliau memegang telingaku. Ibnu abbas melanjutkan, “saat itu beliau shalat 11 rekaat”. (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (117), Muslim (763) dan lafaz darinya)

Hadits Ibnu Abbas tentang tidurnya di rumah Maimunah, disebutkan,

ثم نام صلى الله عليه وسلم حتى سمعت غطيطه او خطيطه ثم خرج الى الصلاة) و فى لفظ (ثم قام فصلى و لم يتوضأ

“Kemudian beliau tidur hingga aku mendengar dengkurannya,lalu beliau bangkit mengerjakan shalat tanpa berwudhu” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (117), Muslim (184), Ahmad (1/341)

Kedua: Tidur dapat membatalkan wudhu secara mutlak.

Tidak ada bedanya antara tidur sekejap maupun lama menurut pendapat Abu Hurairah, Abu Rafi’, Urwah bin Zubair, Atha’, Hasan al-Basri, Ibn Musayyab, Zuhri, al-Mazini, Ibn Mundzir dan Ibn Hazm, pendapat ini merupakan pilihan al-Albani: dalil mereka adalah:

Hadits Shafwan bin Assal radhiallahu ‘anhu, ia berkata:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يأمرنا إذا كنا مسافرين أن نمسح على خفافنا ولا ننزعها ثلاثة أيام من غائط و بول و نوم إلا من جنابة قالوا فعم صلى الله عليه وسلم كل نوم و لم يخص قليله من كثيره ولا حالا من حال و سوى بينه و بين الغائط و البول.

“Rasulullah memerintahkan kepada kami untuk mengusap sepatu apabila bepergian jauh, dan tidak perlu melepasnya selama tiga hari karena buang air besar, kecil dan tidur, kecuali karena junub, menurut mereka, Rasulullah menyamakan semua tidur, tidak mengkhususkan yang sebentar dari yang lama dan satu kondisi dengan kondisi lainnya, serta beliau menyamakannya dengan buang air besar dan kecil.” (Hadits Riwayat: an-Nasa’i (1/32), at-Tirmidzi (3535), Ibnu Majah (478), lihat juga Irwa (104). Hasan)

Hadits Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu ia berkata, bahwa Rasulullah bersabda:

الْعَيْنَانِ وِكَاءُ السَّهِ فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ

“Kedua mata adalah pengikat dubur, maka siapa yang tidur, hendaklah dia berwudhu.” (dhaif). (Hadits Riwayat: Abu Daud (203), Ibnu Majah (477), dan selainnya. Dhaif menurut pendapat yang kuat, namun Syaikh Al-Albani menghasankannya)

Hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلَّى وَهُوَ نَاعِسٌ لَا يَدْرِي لَعَلَّهُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَهُ

“Jika salah seorang dari kalian mengantuk saat shalat hendaklah ia tidur hingga hilang kantuknya, karena apabila shalat dalam keadaan mengantuk ia tidak menyadari, mungkin ia bermaksud beristighfar padahal bisa jadi ia mencaci dirinya.” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (212) dan Muslim (222)

Imam Al-Bukhari dalam shahihnya menggunakan hadits ini dalam mewajibkan berwudhu setelah tidur. Yang terlihat jelas oleh penulis bahwa pengambilan dalil dari hadits tersebut perlu ditinjau kembali. Karena illat dari meninggalkan shalat karena tidur adalah dikhawatirkan dia mendoakan kejelekan bagi dirinya atau dia berkata dengan sesuatu yang tidak dia mengerti sehingga hatinya tidak bisa fokus dan hilanglah kekhusu’an. Hal ini tidaklah berkaitan dengan wudhu’ setelah bangun tidur. Namun mungkin mereka menjadikan dalil bahwa tidur tidak membatalkan wudhu’. Perhatikanlah!.

Mereka mengatakan: Para ulama telah sepakat wajibnya berwudhu bagi orang yang hilang akalnya disebabkan gila, pingsan, atau kondisi lainnya yang menyebabkan hilangnya akal dan termasuk tidur.

Ketiga: Kebanyakan tidur dapat menghilangkan kesadaran, baik tidur sekejap maupun lama. Pendapat ini menurut Imam Malik riwayat Ahmad dan disepakati oleh Az Zuhri, Rabi’ah dan al-Awza’i. Mereka berlandaskan hadits Anas ketika seorang sahabat sedang tidur terjaga.

من استحق النوم فقد وجب عليه الوضء

“Siapa yang tertidur maka wajib baginya berwudhu”

Hadits Riwayat: Ibnu Abi Syaibah (1/158), Abdurrazzaq (481), hadits mauquf dengan sanad shahih. Riwayat lain menyebutkan bahwa riwayat hadits ini marfu’ dan tidak sahih seperti dikutip dari ad-Daruqutni dalam kitabnya al-Ilal (8/328), dan kitab ad-Dhaifah (954). Hadits Shahih Mauquf.

Menurut pendapat yang benar riwayat hadits diatas mauquf pada riwayat Abu Hurairah. Dan hadits Ibnu Abbas:

وجب الوضء على كل نائم إلا من خفق رأسه خفقة أو خفقتين

“Diwajibkan berwudhu’ kepada setiap orang yang tidur, kecuali orang yang tertunduk-tunduk kepalanya, sekali ataupun dua kali” (dhaif) (Hadits Riwayat: Abdurrazzaq (479), al-Baihaqi (1/119), lihat Ilal ad-Daruqutni (8/310). Hadits Dhaif Mauquf Marfu’)

Keempat: Tidur tidak batal jika seseorang tidur dalam keadaan berbaring maupun terlentang. Adapun seseorang yang tidur dalam keadaan seperti salah satu gerakan dalam shalat; ruku’, sujud, berdiri maupun duduk maka wudhu tidak batal, meskipun dalam keadaan shalat maupun tidak. Pendapat diatas merupakan pendapat Hamad, as-Tsauri, Abu Hanifah dan sejumlah pengikutnya, dan Dauddan Imam Syafi’i. adapun dalil mereka adalah:

Diriwayatkan oleh Amru Bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah bersabda:

ليس على من نام جالسا وضوء حتى يضع جنبه.

“Tidaklah diwajibkan berwudhu’ bagi orang yang tertidur dalam keadaan duduk, hingga dia merebahkan badannya.” (dhaif). Hadits Riwayat: Ibnu ‘Adi dalam al-Kamil 6/2459, Daruquthni 1/160 dan Thabrani dalam al-Ausath. Hadits Munkar)

Hadits Anas dari Nabi:

إذا نام العبد فى سجوده باهى الله تعالى به الملائكة يقول: انظروا إلى عبدى روحه عندى و جسده فى طاعتى

“Apabila seorang hamba tertidur dalam sujudnya, maka Allah membanggakannya di hadapan para malaikat, lihatlah hambaKu itu! ruhnya dalam genggamanKu sedangkan jasadnya berada dalam ketaatan padaKu.” (Dhaif, lihat Silsilah Adh-Dhaifah 953)

Ulama mengkiyaskan gerakan seseorang yang shalat dengan bersujud.

Penulis berkata: Hadits ini sanadnya dhaif. Al-Baihaqi mengomentari: yang dimaksud dengan keterangan diatas bukan batal dari shalatnya –tidak sah. Maksud dari keterangan tersebut adalah –jika haditsnya shahih- Allah akan memuji hamba-Nya yang rajin mengerjakan shalat sehingga ia tertidur.

Kelima: Tidur dalam keadaan ruku atau sujud tidak membatalkan wudu. Pendapat ini dinisbatkan oleh Imam An-Nawawi kepada Imam Ahmad. Hal ini dikarenakan ruku dan sujud termasuk tempat-tempat yang memungkinkan batalnya wudu.

Keenam: Tidur dalam keadaan sujud tidak membatalkan wudu. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hambal.

Ketujuh: Tidur dalam keadaan apapun ketika shalat tidak membatalkan wudu kecuali tidur bukan dalam keadaan shalat. Hal ini diriwayatkan dari Abu Hanifah dalam hadits yang telah kita bahas pada pendapat keempat.

Kedelapan: Tidur dalam keadaan duduk yang posisinya tegap di atas tanah tidak membatalkan wudu baik dalam keadaan shalat atau tidak, baik Sebentar ataupun lama.

Dan pendapat ini merupakan mazhab imam Syafi’I, karena menurutnya tidur bukanlah hadas namun penyebab terbesar keluarnya hadas. Imam Syafi’I berkata: ”Karena seseorang yang tidur sambil duduk bertumpu pada lantai, maka hampir dipastikan yang keluar dari dirinya pasti disadarinya.”Pendapat ini dipilih Imam asy-Syaukani.

Penulis berkata : Mereka yang berpendapat semacam ini membawakan hadits Anas radhiallahu ‘anhu tentang tidurnya para sahabat dalam posisi duduk. Al-Hafidz menyanggahnya dalam Al-Fath (1/251), ia berpendapat: “Akan tetapi hadits ini dalam Musnad Al-bazzar dengan sanad yang shahih : Para sahabat tidur menyamping dan dari mereka ada yang tidur lalu mengerjakan shalat.” (Hadits Riwayat: Al-Bazzar dan lainnya. Daud dalam Masail Ahmad (Hal 318), sanadnya sahih berdasarkan syarat al-Bukhari dan Muslim. Lihat Tamam Al-Minnah (Hal 100). Sanadnya shahih)

Pendapat Yang Rajih: Tidurnya seseorang yang lelap sehingga hilang kesadaran dan tidak bisa mendengar suara atau tidak terasa sesuatu jatuh dari tangannya atau berkucurnya keringat, maka tidur dalam keadaan ini membatalkan wudu. Karena hal ini sangat memungkinkan terjadinya hadas baik dalam keadaan berdiri, duduk, tidur menyamping, rukuk maupun sujud. Tidak ada perbedaan dalam hal ini. Jika mereka yang berpegang teguh pada pendapat pertama mengartikan tidur semacam ini, maka kita sepakat dengan mereka. Jika tidak, maka tidur ringan yang dimaksud yaitu mengantuk dan masih bisa merasakan sesuatu tidak membatalkan wudu dalam hal apapun, berdasarkan dengan hadits tidurnya para sahabat hingga tertunduk dan juga hadits Ibnu Abbas tentang shalatnya bersama Nabi. Dengan ini maka semua dalil dapat disatukan. Alhamdulillah.

Catatan Tambahan:

Karena tidur sebagai penyebab timbulnya hadast yang mewajibkan wudu, maka batal atau tidaknya wudu dikembalikan kepada seseorang sesuai keadaan tidur dan kecendrungan dugaannya. Dan apabila ia ragu apakah tidurnya membatalkan wudu atau tidak, maka secara zahir adalah tidak membatalkan wudu. Karena keadaan suci sebelum tidur ditetapkan dengan keyakinan dan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan. Dan pendapat ini yang dipilih oleh Ibnu Thaimiyah dalam Al-Fatawa(21/230).

4. Hilangnya Kesadaran Disebabkan Mabuk, Pingsan Atau Gila

Ulama sepakat hal ini membatalkan wudu. Dan ketidaksadaran dalam tiga hal tersebut lebih jelas daripada tidur. (Al-Awsath Ibnu Al-Mundzir (1/155)

5. Menyentuh Kelamin Tanpa Penghalang Baik Dengan Syahwat Atau Tidak.

Ada empat pendapat Ulama fikih dalam hal ini. Dua diantaranya di tarjih dan dua lainnya digabungkan.

Pertama: Menyentuh alat kelamin tidak membatalkan wudu secara mutlak. Ini pendapat Imam Hanafi dan salah satu riwayat dari imam malik yang diriwayatkan dari sebagian sahabat. (Al-Badai’ (1/30), Syarah Fathul Qadir (1/37), Al-Mudawwanah (1/8-9), Al-Istidzkar (1/308 dan seterusnya))

Mereka berpendapat dengan dalil berikut ini:

Hadits riwayat Thalaq bin Ali, sesungguhnya seseorang bertanya kepada Rasulullah tentang seorang lelaki yang menyentuh kemaluannya setelah berwudu. Rasulullah pun bersabda:

هَلْ هُوَ إِلَّابِضْعَةٌ مِنْكَ

“Bukankah kemaluan itu bagian dari tubuhmu?” (Hadits Riwayat: Abu Daud (182), At-Tirmidzi (85), Nasai (1/101) kesahihannya masih diperdebatkan dan pendapat yang utama hadits tersebut dhaif karena Qais bin Thalq, namun Al-alBani menganggapnya shahih dan kita tidak mempersempit hal yang luas. Wallahu A’lam)

Dalam redaksi lain menyebutkan bahwa seorang laki-laki yang bertanya itu berkata:

بَيْنَا أَنَا فِي الصَّلاَةِ إِذْ ذَهَبْتُ أَحُكُّ فَخِذِى, فَأَصَابَتْ يَدِى ذَكَرِى

”Ketika aku shalat tiba-tiba aku ingin menggaruk pahaku dan tanganku mengenai alat kelaminku.”

Rasulullah menjawab:

إِنَّمَا هُوَ بِضْعَةٌ مِنْكَ

Sesungguhnya itu adalah bagian dari tubuhmu. (Hadits Riwayat: Abu Daud (183), Ahmad (4/23), Al-Baihaqi (1/135). Sanadnya lemah)

Para Ulama sepakat bahwa ketika kemaluan (laki-laki) menyentuh paha tidak membatalkan wudu dan tidak ada perbedaan antara tangan dan paha. Dan mereka mengomentari Hadits riwayat Basrah –yang akan disebutkan berikut ini- yang mengatakan bahwa menyentuh kemaluan dapat membatalkan wudu. (Al-Awsath (1/203), lihat Syarah Ma’anil Atsar (1/71-79)

Kedua: Menyentuh alat kelamin membatalkan wudu secara mutlak. Ini pendapat Imam malik -yang masyhur- Imam Syafi’I, Ahmad, Ibnu Hazm dengan dalil yang diriwayatkan dari mayoritas sahabat radhiallahu ‘anhum, lihat Al-Istidzkar (1/308), Al-Mudawwanah (1/8-9), Al-Umm (1/19), Al-Majmu’ (1/24), Al-Mughni (1/178), Al-Inshaf (1/202), Al-Muhalla (1/235). 

Mereka berdalil sebagai berikut:
Hadits riwayat Basrah binti Shafwan radhiallahu ‘anhu sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

”Siapa yang menyentuh alat kelaminnya, maka hendaknya ia berwudu.” (Hadits Riwayat: Abu Daud (181), Nasai (1/100), Ibnu Hibban (1112). Shahih)

Hadits riwayat Ummu Habibah radhiallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

”Siapa menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudu.” (Hadits Riwayat: Ibnu Majah (481), Abu Ya’la (7144), Al-Baihaqi (1/130), lihat Al-Irwa’ (117). Shahih dengan hadits lainnya)

Diriwayatkan juga hadits dengan makna yang sama dengan keduanya dari Abu hurairah, Urwah binti Unais, Aisyah, Jabir, Zaid bin Khalid, dan Abdulloh bin Amr.

Mereka berpendapat bahwa Hadits riwayat Basrah lebih kuat daripada Hadits riwayat Thalaq berdasarkan beberapa hal:

Hadits riwayat Thalaq berillat. Abu Zar’ah dan Abu hatim telah menemukan illatpada hadits tersebut sampai Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ (2/42) menyebutkan ijma’ ahli hadits bahwa hadits tersebut dhaif.

Jika hadits riwayat Thalaq ini shahih, maka hadits riwayat Abu Hurairah –yang semakna dengan hadits riwayat Basrah- lebih didahulukan daripada hadits riwayat Thalaq karena Thalaq tiba di madinah tatkala penduduk madinah membangun masjid. Sedangkan Abu Hurairah memeluk islam pada peristiwaKhaibar, enam tahun setelah Thalaq tiba di Madinah. Maka hadits riwayat Abu Hurairah menasakh hadits riwayat Thalaq. Ini telah dinasakh menurut At-Thabrani dalam Al-Kabir (8/402), Ibnu Hibban (3/405-Ihsan), Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (1/239), Al-Hazimi dalam Al-I’tibar (77), Ibnu Al-Arabi dalam Al-Aridhah (1/117), Al-Baihaqi dalam Al-khilafiyyat (2/289).

Hadits thalaq sesuai dengan hukum asalnya, hadits basrah berpindah hukum asalnya. Hadits yang memindahkan dari hukum asal harus didahulukan, karena hukum syariat sifatnya memindahkan dari bentuk asalnya.

Para perawi yang neriwayatkan batalnya wudhu’ karena menyentuh kemaluan lebih banyak dan haditsnya lebih masyhur.

Mayoritas sahabat sepakat dengan hadits riwayat Basrah.

Hadits riwayat Thalaq menunjukan bahwa ia menggaruk pahanya lalu mengenai kemaluannya dengan pembatas kain. Riwayat hadits ini terjadi dalam keadaan shalat.

Ketiga: Menyentuh kemaluan dengan syahwat dapat membatalkan wudu dan bila tanpa disertai dengan syahwat, maka tidak membatalkan wudu.

Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Malik dan dipilih oleh Syekh Al-AlBani. Lihat referensi dari mazhab Al-Malikiyah yang telah disebutkan, Tamamul Minnah (Hal 103) dalam kitab tersebut pendapat ini dikuatkan karena telah dipilih oleh Ibnu Thaimiyah, ia berkata : “sebagaimana yang aku katakana, Seperti yang anda ketahui mazhab Ibnu Thaimiyah adalah pendapat yang keempat. Maha Agung Allah yang tidak pernah lupa.

Ulama yang condong pada pendapat ini membawakan Hadits riwayat Basrah pada pendapat yang mengatakan batalnya wudu karena menyentuh kemaluan dengan syahwat dan hadits riwayat Thalaq pada pendapat yang mengatakan bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudu secara mutlak baik menyentuhnya dengan syahwat atau tidak. Hal ini ditujukan oleh sabda Rasulullah :

إِنَّمَا هُوَ بِضْعَةٌ مِنْكَ

“Sesungguhnya kemaluan itu adalah bagian dari tubuhmu.”.

Maka apabila seseorang menyentuh kemaluannya tanpa syahwat seakan-akan ia menyentuh bagian dari anggota tubuhnya.

Keempat: Berwudu karena menyentuh kemaluan hukumnya sunnah secara mutlak bukanlah suatu kewajiban.

Pendapat ini adalah mazhab Imam Ahmad bin Hambal dan Ibnu Thaimiyyah dalam salah satu dua riwayat. Dan Syekh Ibnu Utsaimin lebih condong ke pendapat ini bahkan ia berpendapat wudu setelah menyentuh kemaluan hukumnya sunnah jika dengan syahwat dan wajib hukumnya jika dengan syahwat untuk lebih berhati-hati. (Majmu’ Al-Fatawa (21/241), As-Syarhu Al-Mumti’ (1/233) Mereka membawakan hadits riwayat basrah pada sunnahnya berwudu dan pertanyaan pada hadits riwayat Thalaq tersebut yaitu tentang wajib tidaknya berwudhu.

Dua pendapat terakhir yang diambil dengan cara menggabungkan kedua hadits tersebut dapat dijadikan dalil karena beberapa hal di bawah ini :

Bahwa klaim nasakh dengan dalih lebih dahulunya keislaman Thalaq dan terlambatnya keislaman Basrah terdapat pertimbangan. Karena ini tidak bisa dijadikan suatu dalil untuk menasakh menurut Ahli tahqiq dari kalangan ahli Ushul.

Bahwa hadits riwayat Thalaq terdapat illat yang tidak mungkin dihilangkan yaitu adanya penyebutan bahwa “kemaluan adalah bagian dari tubuh manusia” Dan jika hukum tersebut terikat dengan illat yang tak mungkin dihilangkan maka hukum tersebut juga tidak bisa dihilangkan dan tidak mungkin nasakh.

Dan nasakh tidak bisa dilakukan kecuali setelah tidak memungkinkannya menggabungkan antara kedua hadits yang bertentangan tersebut bahkan nasakh tidak layak dijadikan sebuah dalil karena hal-hal yang telah disebutkan di atas.

Penulis berkata: Pendapat yang terakhir adalah pendapat yang kuat jika hadits riwayat Thalq ini dinilai shahih tapi hal ini tidak bisa diterima sebab hadits riwayat Thalaq lebih condong pada kedlaifan. Maka pendapat yang paling layak diterima adalah yang mengatakan bahwa menyentuh kemaluan dapat membatalkan wudu secara mutlak baik disertai dengan syahwat atau tidak. Karena Syahwat tidak mempunyai batasan tertentu dan tidak ada ukurannya.

Catatan Tambahan:

Seorang wanita jika menyentuh kemaluannya, maka ia wajib berwudu: sesuai hadits riwayat Amar bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya berkata : Rasulullah bersabda :

مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ وَأَيُّمَا إِمْرَأَةٌ مَسَّتْ فَرْجَهَا فَلْتَتَوَضَّأْ

“Siapa yang menyentuh kemaluannya, hendaknya ia berwudu dan wanita mana pun yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudu”. (Hadits Riwayat: Ahmad (2/223), Al-Baihaqi (1/123). Sahih li ghairi)

Dan perkataan Aisyah radhiallahu ‘anha menguatkan hadits tersebut :

إِذَا مَسَّتْ الْمَرْأَةُ فَرْجَهَا تَوَضَّأَتْ

“Jika seorang wanita menyentuh kemaluannya, maka hendaklah ia berwudu. (Hadits Riwayat: Imam Syafi’I dalam Musnadnya (90), Al-Baihaqi (1/133) dan disahihkan oleh Al-Hakim (1/138)

Menurut Imam Syafi’I dan Hambali tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita dalam hukum-hukum tersebut berbeda dengan pendapat Imam Hanafi dan Malik. Dan pendapat yang rajih adalah sebaliknya yang akan dibahas pada pembahasan berikutnya.

Menyentuh kemaluan orang lain: Jika seorang lelaki menyentuh alat kelamin istrinya atau seorang istri menyentuh kemaluan suaminya maka tidak ada dalil yang menyebutkan batalnya wudu disebabkan oleh salah satu dari dua hal tersebut kecuali jika kemaluan tersebut mengeluarkan madzi atau mani, dan keluarnya madzi atau mani ini bisa menyebabkan batalnya wudu yang tidak hanya disebabkan menyentuh alat kelamin saja. Imam Malik dan Syafi’I mewajibkan wudu dengan landasan pada kedua mazhabnya yaitu menyentuh wanita bisa membatalkan wudu, sedangkan pendapat yang rajih adalah yang sebaliknya dan aka nada pembahasan tentang perihal ini. (Mawahib Al-Jalil (1/296), Al-Umm (1/20)

Sedangkan menyentuh kemaluan bayi tidak membatalkan wudu ini pendapat Az-Zuhri dan Al-Auza’I dan telah disepakati oleh Imam malik. (Al-Kafi Ibnu Abdil Barr (1/149), Al-Awsath (1/210)

Menyamaratakan antara menyentuh kemaluan dengan sengaja atau tidak sengaja: ini pendapat Al-Auza’I, Syafi’I, Ishaq dan Ahmad bin Hambal. (Al-Muhalla (1/241), Al-Awsath (1/205-207)

Sebagian golongan beranggapan bahwa yang membatalkan wudu adalah menyengaja menyentuh kemaluan dan Makhul, Jabir bin Zaid, Sa’id bin Jubair mengamininya. Pendapat ini merupakan mazhab Ibnu Hazm, ia berdalih dengan ayat Al-Qur’an :

وَ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُناحٌ فيما أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَ لكِنْ ما تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ

“Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya” (Al-Qur`an Surat: Al-Ahzab: 5)

Yang lebih utama, Ibnul Mundzir berkata: “Seyogyanya, mereka yang menjadikan menyentuh kemaluan sebagai hadas yang mewajibkan wudu, mereka juga menyamakan antara disengaja ataupun tidak seperti halnya hadas-hadas yang lain.

Penulis berkata: Sengaja ataupun tidak –yang berkenaan dengan Syarat dan rukun- dapat membebaskan dari dosa tidak dari hukum. Wallahu A’lam.

Menyentuh kemaluan dari luar pakaian tidak membatalkan wudu: karena hal ini tidak dikategorikan dalam hal menyentuh. Pendapat ini dikuatkan dengan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad:

إِذَا أَفْضَى أَحَدُكُمْ بِيَدِهِ إِلَى ذّكَرَهُ لَيْسَ بَيْنَهُمَا شَيْئٌ فَلْيَتَوَضَّأ

“Jikalau tangan salah satu dari kalian menyentuh alat kelamin tanpa penghalang, hendaklah ia berwudu” (Hadits Riwayat: Daruquthni (1/147), Al-Baihaqi (1/133), Lihat Ash-Shahihah (1235). Hasan)

Menyentuh dubur tidak membatalkan wudu: Karena dubur bukan alat kelamin. Dubur dan kemaluan tidak bisa disamakan, karena tidak ada illat yang bisa menggabungkannya menjadi satu. (Al-Muhalla (1/238), Al-Awsath (1/212) Jika dikatakan: bahwa keduanya merupakan tempat keluarnya najis, maka untuk menjawabnya: “menyentuh tempat keluarnya najis bukanlah alasan pembatalan wudu, karena menyentuh barang yang najis pun tidak membatalkan wudu, lantas bagaimana menyentuh tempat keluarnya najis tersebut? Ini adalah pendapat Imam malik, As-Tsauri, dan ahli Ra’yi dan bertentangan dengan pendapat Imam Syafi’i.

Makan daging onta termasuk hal yang membatalkan wudu

Bagi seseorang yang makan daging onta baik itu mentah, masak atau dipanggang maka wajib baginya berwudu. Dasarnya adalah hadits Jabir bin Samrah, seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah:

أَنَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ؟ قَالَ: إِنْ شِئْتَ تَوَضَّأْ، وَإِنْ شِئْتَ فَلَا تَوَضَّأْ، قَالَ: أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ ؟ قَالَ: نَعَمْ، تَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ

“Apakah aku harus berwudu setelah makan daging kambing? Rasullullah menjawab,”Jika engkau ingin maka berwudulah, jika tidak maka tidak masalah”. Ia (sahabat tersebut) bertanya: apakah aku wajib berwudu setelah makan daging onta? Rasulullah menjawa”, ya, Berwudulah setelah makan daging onta.” (Hadits Riwayat: Muslim (360), Ibnu Majah (495)

Dan riwayat dari Barra’ bin ‘Azib bahwa Rasulullah bersabda:

تَوَضَّأُوا مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ وَلَا تَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ

“Berwudulah kalian dari daging onta dan tak perlu berwudu dari daging kambing”. (Hadits Riwayat: Abu Daud (184), At-Tirmidzi (81), Ibnu Majah (494). Shahih)

Pendapat diatas merupakan mazhab Imam Hambali, Ishaq, Abu Khaitsamah, Ibnu Mundzir, dan Ibnu Hazm, juga merupakan salah satu dari dua qoul Imam Syafi’I, dan Syekh Islam lebih memilihnya. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Umar, Jabir bin Samrah.

Mayoritas ulama yang terdiri dari Abu Hanifah, Imam Malik, Syafi’I, At-Tsauri dan kelompok Ulama Salaf cenderung tidak mewajibkan wudu setelah mengkonsumsi daging onta akan tetapi menetapkannya sebagai amalan sunnah. (Al-Mabsuth (1/80), Mawahib Al-Jalil (1/302), Al-Majmu’ (1/57), Al-Mughni (1/138), Al-Muhalla (1/241), Al-Awsath (1/138)

Dengan dalil Hadits yang diriwayatkan dari Jabir ia berkata:

كَانَ آخِرَ الْأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَرْكُ الْوُضُوءِ مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ

”Akhir dari dua perkara yang diajarkan oleh Rasulullah tidak diwajibkannya wudu setelah mengonsumsi makanan yang dimasak dengan api”. (Hadits Riwayat: Abu Daud (192), At-Tirmidzi (8), Nasai (1/108). Shahih)

Mayoritas ulama berpendapat: bahwa Hadits مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ Makanan yang dimasak dengan api) termasuk daging onta dan penasakhan ini telah ditetapkan.

Pendapat ini dijawab dengan dua hal:

Pertama: Hadits riwayat Jabir bersifat umum sedangkan hadits yang menjelaskan mengkonsumsi daging onta dapat membatalkan wudu bersifat khusus. Maka hadits yang bersifat umum dibawa kepada hadits yang bersifat khusus kecuali terdapat dalil yang mengkhususkannya secara tersendiri. Dan hal ini tidak bisa dijadikan nasakh sebab memungkinkan menggabungkan antara keduanya. (Al-Muhalla (1/244), Al-Mumti’ (1/249)

Kedua: Perintah berwudu setelah memakan daging onta dalam hadits di atas adalah sesuatu yang khusus baik itu daging yang dimasak dengan api atau tidak. Dan bukan disebabkan daging onta tersebut dimasak menggunakan api hilang kewajiban berwudhu’. Karena hal tersebut keluar dari riwayat yang menyebutkan wajibnya berwudhu’ karena memakan daging yang dimasak dengan api kemudian kewajiban wudhu’ tersebut dihapuskan.

Sebagian berpendapat bahwa wudhu’ yang dimaksudkan dalam hadits adalah mencuci tangan dan ini adalah pendapat yang salah. Karena wudhu dalam -sabda nabi adalah wudhu’ untuk shalat. Kemudian pada riwayat muslim hadits jabir bin samrah dihubungkan perintah berwudhu’ setelah memakan daging unta shalat di kandangnya, dengan membedakan antara shalat di kandang unta dengan di kandang kambing. Dan secara pasti yang dapat dipahami dari hadits itu adalah wudhu’ untuk shalat. (Majmu’ Al-Fatawa (21/260 dan seterusnya).

Pendapat Yang Rajih

Wajib berwudhu’ karena memakan daging unta dalam keadaan apapun, oleh karena itu Imam an-Nawawi dalam Kitab Syarh Shahih Muslim (1/328, cet. Qol’aji) menegaskan bahwa pendapat ini dalilnya lebih kuat sekalipun bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama.

Catatan Penting:

Pertama: Imam an-Nawawi dalam kitab Syarh Shahih Muslim (1/328 ) menisbatkan pendapat kepada khulafaur rasyidin yang mengatakan tidak wajib berwudhu’ karena mamakan daging unta, dugaan ini tidak berdasar dan tidak diketahui asal usulnya, Ibnu taimiyah – rahimahullah- telah menegaskan kekeliruan dugaan ini dengan mengatakan: “Adapun mereka yang menukil dari Khulafa’ ar-Rasyidin dan mayoritas sahabat bahwa mereka tidak berwudhu’ setelah makan daging unta maka sebenarnya telah melakukan kekeliruan terhadap Khulafa’ ar-Rasyidin, mereka menduga seperti itu karena para sahabat tidak berwudhu’ setelah makan makanan yang dimasak dengan api. (Al Qawaa’id An Nuraniyyah (hal. 9), dinukil dari Tamam al Minnah (hal. 105)

Kedua: Cerita masyhur yang tidak ada sumbernya. Lihat adh Dha’ifah karangan Albani (hal. 1132) dan Qishash Laa Tatsbut-Masyhur Hasan hal.59 (adh-dhaifah)

Telah tersebar dikalangan orang awam suatu cerita yang selalu mereka ulang ketika mendengar sebagian penuntut ilmu menyebutkan wajibnya berwudhu’ setelah makan daging unta, yaitu: Bahwa Rasulullah pada suatu ketika berada di tengah para sahabat yang kemudian mencium bau kentut, beliau pun merasa malu berdiri di antara para sahabat yang ketika itu beliau sedang memakan daging unta, Rasulullah pun bersabda:

مَنْ أَكَلَ لَحْمَ جَزُوْرٍ فَلْيَتَوَضَّأ” فَقَامَ جَمَاعَةٌ كَانُوْ أَكَلُوا مِنْ لَحْمِهِ فَتَوَضَّأَ

“Siapa yang telah makan daging unta hendaklah ia berwudhu’”. Maka berdirilah para sahabat yang telah memakan daging unta dan mereka semua berwudhu’!!!

Cerita ini dhaif dari sisi periwayatannya dan munkar dari sisi redaksinya!.

Penutup
Demikian pembahasan tentang pembatal-pembatal wudhu beserta dalil dan penjelasan mendetail para fuqaha yang bisa kami sampaikan. Semoga dengan mengetahui apa saja yang membatalkan wudhu kita bisa bertindak hati-hati dan menjaga wudhu dalam setiap aktivitas. Wallahu alam.

Leave a Comment