3 Pendapat Ulama Mengenai Zakat Fitrah dengan Uang

Bolehkah Zakat Fithri dengan Uang?

Fiatwapedia.com – Persoalan zakat fitri menggunakan uang memiliki beberapa pendapat ulama. Para ulama berselisih pendapat dalam penentuan hukumnya. Yakni, apakah zakat fithri boleh dengan uang atau tidak.

Untuk mengetahui jawabannya ada baiknya kita uraikan satu persatu dari masing-masing pendapat agar menjadi hujjah yang jelas bagi kita.

Ada tiga pendapat dalam kasus ini.

(1). Pendapat pertama : Zakat Fithri tidak sah dengan uang. 

Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama dari madzhab Maliki, Syafi’I, dan Hanbali. Termasuk madzhab Dzohiri. (Al-Majmu’, 5/428; Al-Minhaj, 7/61)

Dalil mereka antara lain :

Keumuman ayat Al-Qur’an,

{وآتوا الزكاة}

“Dan tunaikanlah zakat!”

Ayat tersebut mengandung perintah, dan kaifiyat membayarnya telah terang berdasarkan perbuatan Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam.

Zakat merupakan perkara ‘ubudiyyah layaknya shalat. Karena itu, tuntunannya harus berdasarkan tuntunan Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam.

Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak sesuai tuntunan kami, maka amalan tersebut tertolak”. (HR. Muslim No. 1718)

Hadits-hadits yang ada menunjukkan bahwa Nabi memerintahkan ummatnya untuk membayar zakat dengan makanan, dan bukan dengan qimah [nilai makanan tersebut].

Dari Abdullah Ibn Umar radhiyallaahu ‘anhuma, beliau berkata :

«فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى العَبْدِ وَالحُرِّ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى، وَالصَّغِيرِ وَالكَبِيرِ مِنَ المُسْلِمِينَ، وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ»

“Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam mewajibkan zakat fithri satu sha’ dari kurma atau sha’ dari gandum bagi setiap hamba sahaya [budak] maupun yang merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar dari kaum Muslimin. Dan Beliau memerintahkan agar menunaikannya sebelum orang-orang berangkat shalat [Ied]”. (HR. Al-Bukhari No. 1503 dan Muslim No. 984, dengan lafadz Al-Bukhari)

Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam memerintahkan untuk mengeluarkan zakat fithri dari jenis makanan. Buktinya beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam menyebutkan beberapa contoh makanan pokok di zaman itu, seperti : kurma dan gandum. Padahal saat itu telah ada mata uang berupa dinar dan dirham. Jika memang boleh untuk mengeluarkannya berupa uang, tentu beliau akan menyebutkan. (lihat, Tadzkirul Anaam bi Wujuub Ikhraj Zakat Al Fihtri Tha’am, hal. 9)

Dalam hal ini Imam An-Nawawi berkomentar :

“Dan tidak boleh mengambil qimah [nilai, maksudnya uang] dalam membayar zakat. Sebab, zakat merupakan hak Allaah Ta’ala dan Allaah tetapkan berdasarkan nash yang ada. Karena itu tidak boleh dialihkan dengan yang lain sebagaimana udhhiyah [qurban].” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 5/428)

Dalam hadits berkenaan dengan udhhiyah disebutkan bahwa ada salah seorang sahabat yang menyembelih qurban tidak sesuai dengan tuntunan Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam. Maka Nabi menganggap amalannya tersebut bukan qurban/tertolak. (HR. Al-Bukhari No. 955)

Untuk menguatkan pendapat ini pula terdapat riwayat dari Abu Sa’id Al-Khudri, yang secara tegas menyebutkan penunaian zakat dengan kata “makanan”. Dan sama sekali tidak disebutkan dinar atau dirham.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata :

«كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ»

“Kami membayar zakat fithri berupa satu sha’ makanan, atau gandum atau kurma atau satu sha’ keju atau anggur kering.” (HR. Muslim No. 985)

Inilah pendapat yang terkuat menurut kami, in Sya Allaah.

(2). Pendapat kedua mengatakan: bahwa zakat dapat dibayarkan dalam bentuk qimah/nilai bahan makanan pokok tersebut. Alias dengan uang. 

Pendapat ini diambil oleh Imam Abu Hanifah dan Sufyan As-Tsauri. (Al-Jami’ Al-‘Aam fi Fiqh As-Shiyam, hal. 472)

Ini pula pendapat Umar Ibn Abdil Aziz dan Hasan Al Bashri.

Terdapat Surat ‘Umar Ibn Abdil Aziz perihal pemungutan zakat : diambil setengah sha’ bagi setiap jiwa, atau yang setara dengannya [qimah] sebesar setengah dirham. (HR. Ibn Abi Syaibah [3/174]. Sanadnya shahih)

Dalil mereka antara lain:

Hadits riwayat Ibn ‘Umar. Beliau berkata :

فرض رسول الله زكاة الفطر وقال : «أغنوهم في هذا اليوم»

“Rasulullaah telah mewajibkan zakat fithri dan beliau berkata : Cukupilah mereka [fakir miskin] di hari ini [hari Raya]”. (HR. Ad Daruquthni [2/153], dan Al Bayhaqi di dalam Al Kubra'[4/175])

Menurut mereka, al-ghina’ /kecukupan dapat terpenuhi juga dengan harta/uang. Sebab itu zakat fithri boleh dengan uang. (Al-Jami’ Al-‘Aam, hal. 473)

Hadits riwayat As-Shunabihi. Ia berkata :

رَأَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي إِبِلِ الصَّدَقَةِ نَاقَةً مُسِنَّةً فَغَضِبَ وَقَالَ مَا هَذِهِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي ارْتَجَعْتُهَا بِبَعِيرَيْنِ مِنْ حَاشِيَةِ الصَّدَقَةِ فَسَكَتَ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat unta yang berumur satu tahun di segerombolan unta zakat, maka beliau marah dan bersabda; “Apa ini?” dia menjawab; “Wahai Rasulullah, aku akan mengembalikannya dengan ganti dua ekor unta dari hewan zakat.” maka beliau pun diam. (HR. Ahmad [4/349], dan Ibn Abi Syaibah [3/125,126])

Dan berdasarkan hadits ini, mereka memandang bahwa mengambil qimah [nilai] dalam menunaikan zakat hukumnya boleh.

Jawaban atas hujjah mereka tiada lain :

1- Hadits riwayat Ibn ‘Umar diatas adalah hadits dho’if. Hadits tersebut diriwayatkan dari jalur Abu Ma’syar, dari Nafi’, dari Ibn ‘Umar.

Komentar Al-Bukhari terhadap Abu Ma’syar: munkarul hadits. Dan Az-Zaila’i di dalam Nashbur Raayah [2/432] berkomentar atas hadits ini : gharib bi hadza al lafdz. Imam An-Nawawi di dalam Al Majmu’[6/121] juga mendha’ifkan Abu Ma’syar.

2- Hadits yang diriwayatkan oleh As-Shunabihi diatas juga diperselisihkan.

Di dalamnya terdapat Mujalad Ibn Sa’id yang dikomentari Al Hafidz  Ibn Hajar : Laysa bil qawi (Hafalannya tidak kuat). (Al-Jami’ Al-‘Aam, hal. 474)

3- Hadits shunabihi di atas kalau lah shahih, maka istidlal mereka tidak tepat.

Imam As-Syinqithi mengatakan bahwa unta badal/pengganti tersebut masih terkategori jenis wajib untuk pembayaran zakat [masih sama-sama unta], dan perbuatan tersebut erat kaitannya dengan kemaslahatan. (Adhwaa’ul Bayaan, 8/492).

Imam Ibn Hajar berkata :

لو كانت القيمة مقصودة لاختلفت حسب الزمان والمكان، ولكنه تقدير شرعي.

“Seandainya qimah/nilai yang dituju, tentu akan saling berbeda tiap zaman dan tempat [dalam menunaikan zakat], akan tetapi ketetapannya telah tetap oleh syara’.” (Al-Jami’, hal. 476)

(3). Pendapat ketiga : Zakat boleh dibayarkan dengan uang jika ada kemaslahatan. 

Ini adalah pendapat Imam Ibn Taimiyah, dan ulama kontemporer seperti Syaikh Ali Jum’ah.

Al-Imam Ibn Taimiyah berkata:

أَنَّ إخْرَاجَ الْقِيمَةِ لِغَيْرِ حَاجَةٍ وَلَا مَصْلَحَةٍ رَاجِحَةٍ مَمْنُوعٌ مِنْهُ …وَأَمَّا إخْرَاجُ الْقِيمَةِ لِلْحَاجَةِ أَوْ الْمَصْلَحَةِ أَوْ الْعَدْلِ فَلَا بَأْسَ بِهِ

“Sesungguhnya mengeluarkan zakat berupa uang tanpa ada kebutuhan dan kemashlahatan yang kuat, maka terlarang…..adapun mengeluarkan berupa uang untuk suatu keperluan atau kemaslahatan atau untuk kesamaan, maka tidak mengapa [boleh].” (Majmu’ Al-Fatawa, 25/83)

Syaikh Ali Jum’ah beralasan bahwa asas disyari’atkannya zakat adalah kemaslahatan kaum fakir dan pemenuhan kebutuhannya terutama di hari Raya. Karena itu boleh zakat dengan uang. (Al-Bayaan lima Yasghalul Adzhaan, 1/345)

Ini pula lah pendapat yang diambil oleh Syaikh Ahmad Ibn Shiddiq Al Ghumari, yang terbukti dengan adanya tulisan beliau “Tahqiq Aamaal fi Ikhraj Zakat Al Fihtri bil Maal”.

Pendapat ketiga ini hakikatnya kurang lebih sama dengan pendapat kedua. Dan yang dituntut kepada kita adalah mengambil apa apa yang telah jelas ditetapkan oleh syara’. Tidaklah kita mengukur kemaslahatan berdasar pandangan kita sendiri; melainkan kemaslahatan itu ada dalam hukum syara’. Wallaahu a’lam.

Daftar Ulama Yang Membolehkan Zakat Fitrah Dengan Uang

Telah diketahui bahwa pendapat mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah mengharuskan zakat dengan makanan pokok negeri, dan tidak membolehkan diganti dengan uang.

Dan masyhur dikenal bahwa kalangan Hanafiyahlah sebagai satu-satunya madzhab yang membolehkan. Namun ternyata banyak yang mengira, bahwa madzhab Hanafi menyendiri dalam masalah ini.

Padahal pendapat ini pun sebenarnya dipegang oleh ulama lainnya dan bahkan dinisbahkan kepada ulama besar dari kalangan tabi’in dan para shahabat. Ia juga dinukilkan dari para ulama madzhab lainnya seperti Syafi’iyyah dan Malikiyyah.

Berikut diantara nama-nama besar ulama yang disebut membolehkan zakat fitrah diganti dengan uang.

1. Riwayat dari sebagian shahabat

Abu Ishaq rahimahullah berkata :

أدركتهم وهم يعطون في صدقة ‌رمضان ‌الدراهم ‌بقيمة ‌الطعام

“Kami mendapati mereka dari para shahabat Nabi menunaikan zakat Ramadhan dalam bentuk dirham sebagai ganti makanan.”[1]

من الصحابة رضوان الله عليهم عمر بن الخطاب، وابنه عبد الله بن عمر، وعبد الله بن مسعود، وعبد الله بن عبّاس، ومعاذ بن جبل.

“Dari para shahabat (yang membolehkan zakat dengan uang) adalah Umar bin Khattab dan anaknya ; Abdullah bin Umar, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, dan Muadz bin Jabal.”[2]

2. Umar bin Abdul Aziz

جاءنا ‌كتاب ‌عمر ‌بن ‌عبد ‌العزيز ‌في ‌صدقة ‌الفطر: ‌نصف ‌صاع ‌عن ‌كل ‌إنسان ‌أو ‌قيمته ‌نصف ‌درهم

“Datang kepada kami Umar bin Abdul Aziz dengan membawa zakat Fitrah. Setengah Sha’ untuk setiap orang atau dengan uang senilai setengah dirham.”[3]

Al imam Ibnu Hazm berkata :

وصح عن عمر بن عبد العزيز إيجاب نصف صاع من بر على الإنسان في صدقة الفطر، أو قيمته

“Benar bahwa Umar bin Abdul Aziz menyerahkan setengah sha’ dari tepung ke orang-orang dari zakat Fitrah, atau berupa uang.”[4]

3. Imam Hasan al Bashri rahimahullah

لا بأس أن تُعطى الدراهم في صدقة الفطر

“Tidak mengapa untuk memberikan dirham sebagai ganti zakat Fitrah.”[5]

4. Imam Sufyan ats Tsauri rahimahullah

وكان أبو حنيفة والثوري يقولان بجواز إخراج القيمة

“Adalah Abu Hanifah dan Tsauri keduanya berkata bolehnya mengeluarkan zakat dengan uang.”[6]

Beliau juga berkata :

لا يشترط إخراج التمر أو الشعير أو البر في زكاة الفطر بل لو أخرج قيمتها مما هو أنفع للفقير جاز لأن المقصد منها إغناء الفقراء

“Tidak disyaratkan untuk mengeluarkan zakat Fitrah dalam bentuk kurma, atau gandum atau tepung. Seandainya dikeluarkan dalam bentuk uang yang mana itu lebih bermanfaat bagi orang fakir maka dibolehkan. Karena tujuan zakat adalah mencukupi kebutuhan orang fakir.”[7]

5. Imam Yahya bin Ma’in rahimahullah

قال يحيى في زكاة الفطر: لا بأس أن يعطي فضةً

“Telah berkata Yahya bin Ma’in dalam masalah zakat fitrah : Tidak mengapa itu digantikan dengan mata uang perak.”[8]

6. Ibnu Zanjawih rahimahullah

Beliau adalah ulama besar hadits yang tsiqah menurut Nasai, adz Dzahabi dan lainnya. Dalam kitabnya al Amwal beliau membuat judul khusus :

بَابٌ: الرُّخْصَةُ فِي إِخْرَاجِ الدَّرَاهِمِ بِالْقِيمَةِ

“Bab keringanan pada mengeluarkan dirham sebagai nilai (zakat).”[9]

7. Imam Bukhari rahimahullah

Dalam fath al Bari Ibnu Hajar menukilkan perkataan Ibnu Rusyd ketika ia menyebutkan tentang hadits Muadz tentang zakat.

وافق البخاري فى هذه المسألة الحنفية مع كثرة مخالفتهم لهم لكن قاده إلى ذلك الدليل

“Dalam masalah ini (zakat dengan uang), Bukhari sependapat dengan kalangan Hanafiyyah meskipun sebenarnya ia banyak berbeda dengan mereka (dalam banyak masalah), tetapi kekuatan dalil yang membuatnya sependapat dengan mereka dalam hal ini.”[10]

8. Ibnu Taimiyah rahimahullah

‌وأما ‌إخراج ‌القيمة ‌للحاجة ‌أو ‌المصلحة، ‌أو ‌العدل ‌فلا ‌بأس ‌به

“Adapun mengeluarkan zakat dalam bentuk uang karena adanya kebutuhan atau maslahat atau tujuan maka itu tidak mengapa.”[11]

9. Imam Ruyani Asy Syafi’i rahimahullah

جواز صرف زكاة الفطر إلى فقير واحد، ‌وإخراج ‌القيمة ‌عنها ‌كمذهب ‌أبى ‌حنيفة

“Beliau membolehkan memberikan zakat hanya kepada satu orang miskin, dan membolehkan mengeluarkan zakat dengan uang seperti madzhab imam Abu Hanifah.”[12]

10. Syihabuddin ar Ramli asy Syafi’i rahimahullah

‌فيجوز ‌فيها ‌للمرء ‌المذكور ‌تقليد ‌الإمام ‌أبي ‌حنيفة رضي الله عنه – في إخراج بدل الزكاة دراهم

“Dan dibolehkan bagi seseorang untuk taqlid kepada imam Abu Hanifah radhiyallahu’anhu dalam mengeluarkan pengganti zakat dengan dirham.”[13]

11. Sebagian ulama madzhab Malikiyah

ورُوي عن بعض المالكية القول بإخراج القيمة ولكن مع الكراهة

“Diriwayatkan dari sebagian Malikiyyah pendapat bolehnya mengeluarkan zakat dengan harganya (uang) meskipun dengan adanya kemakruhan.”[14]

12. Imam Malik rahimahullah

Berkata al imam Abdil Barr al Maliki rahimahullah :

وقد رُوي عنه وعن طائفة من أصحابه أنه تجزأ القيمة عمن أخرجها في زكاة الفطر

“Dan telah diriwayatkan darinya dari sebagian shahabat-shahabatnya bahwa beliau membolehkan membayar dengan uang untuk zakat fitrah.”[15]

13. Ibnu Qasim al Maliki rahimahullah

باب دفع القيمة في زكاة الفطر … ولو فعل لم أر به بأساً

“Pada bab mengeluarkan uang untuk membayar zakat fitrah… Seandainya seseorang mengerjakannya, aku tidak melihat itu sebagai sebuah masalah.”[Al Bayan wa Tahshil (2/486)]

14. Ibnu Habib al Maliki rahimahullah

وأجاز ابن حبيب دفع القيمة إذا رآه أحسن للمساكين

“Ibnu Habib membolehkan membayar zakat dengan uang jika itu dipandang lebih bermanfaat untuk orang-orang miskin.” [Umdatul Qari (9/8)]

15. Ibnu Arafah al Maliki rahimahullah

..يفتي لأهل البلاد إذا أخذها منهم العمال أول الشهر قيمة أنها تجزي

“Bahwa beliau pernah berfatwa jika mereka membayarkan zakat di awal bulan dengan uang maka itu dibolehkan.” [Fatawa al Barzali (1/582)]

16. Kitab Fiqih al Manhaji ala Madzhab asy Syafi’i

لا بأس باتباع مذهب الإمام أبي حنيفة رحمه الله تعالى في هذه المسألة في هذا العصر، وهو جواز دفع القيمة، ذلك لأن القيمة أنفع للفقير اليوم من الفقير نفسه، واقرب إلى تحقيق الغاية المرجوة.

“Di zaman sekarang ini, tidaklah mengapa untuk mengikuti madzhab Imam Abu Hanifah rahimahullah dalam masalah ini, yaitu bolehnya menyerahkan uang untuk zakat fitrah. Karena saat ini, uang lebih bermanfaat bagi orang fakir dari orang fakir itu sendiri dan lebih realistis dalam memastikan tujuan yang diharapkan.” [Fiqih al Manhaji (1/230)]

Wallahu a’lam.

Catatan kaki: 
[1] Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (2/294)
[2] Umadatul Qari (9/8)
[3] Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (6/293)
[4] Al Muhalla bil Atsar (6/130)
[5] Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (6/293)
[6] Jami’ Ahkam ash Shiyam hal.375
[7] Al Mausu’ah Fiqhiyyah ats Tsauri hal. 473
[8] Tarikh Ibn Ma’in (3/476)
[9] Al Amwal (3/1267)
[10] Fath al Bari (3/312)
[11] Majmu’ Fatawa (25/82)
[12] Aqdul Madzhab hal.144, Tabaqat Syafi’iyin 525
[13] Fatawa ar Ramli (2/56)
[14] Jami’ Ahkam ash Shiyam hal.375
[15] Al Kafi fi Fiqh Ahli Madinah (1/323)

Oleh: Ust. Muhammad Rivaldy Abdullah

Leave a Comment