Fatwapedia.com – Da’wah dalam arti menyeru manusia kembali kejalan Allah merupakan perbuatan yang paling mulia di sisi Allah. (Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?”) [QS Fushshilat : 33]
Sejalan dengan firman Allah itu, Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya“. Melalui jalan da’wah itulah manusia faham akan kehendak Allah atas manusia, sehingga terbuka kemungkinan bagi manusia untuk menjalankan perintah-Nya (tha’at) dan menjauhi larangan-Nya (tidak ma’shiyat).
Orang-orang yang taat dan tidak bermaksiat kepada Allah itulah yang disebut sebagai orang yang bertaqwa dan berhak untuk mendapatkan surga yang penuh dengan kebahagiaan kekal selama-lamanya.
Untuk menunjang keberhasilan da’wah perlu diperhatikan beberapa faktor berikut.
Faktor pertama adalah keikhlasan. Allah menuntun para da’i untuk tidak berharap upah apapun dari manusia, kecuali dari Allah. (Katakanlah (hai Muhammad), “Aku tidak meminta upah sedikit pun kepadamu atas da’wahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.) [QS Shaad : 86]
Da’wah yang dijadikan profesi untuk mencari nafkah tidak akan berbuah akhlaq karimah, karena cenderung menyampaikan tontonan, bukan tuntunan. Dai cenderung berusaha menghibur mengikuti kemauan pasar, bukan mendidik mengikuti kehendak Allah.
Faktor ke dua adalah keteladanan. Firman Allah dalam QS Fushshilat : 33 menjelaskan bahwa para da’i pun harus beramal shalih dan berserah diri kepada Allah. Allah melarang para da’i untuk menyeru ke jalan kebaikan sementara dirinya sendiri tidak mengemalkan. (Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)?
Maka tidakkah kamu berpikir?) [QS Al-Baqarah : 44] Bahkan Allah murka kepada orang yang berbuat demikian. (Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.) [QS Ash Shaaf : 2-3]
Faktor yang ke tiga adalah kebersamaan. Sasaran da’wah begitu luas yakni seluruh umat manusia dan tantangan da’wah begitu besar, seorang da’i tidak mungkin menghadapinya sendiri, maka diperlukan kebersamaan atau jama’ah. Dengan membangun kehidupan berjama’ah daya jangkau da’wah akan semakin luas dan kekuatan untuk menghadapi tantangan da’wah semakin meningkat.
Sejarah selalu terulang, kisah permusuhan Qabil terhadap Habil yang merupakan representasi permusuhan orang jahat terhadap orang baik akan terus terjadi sampai qiyamat. Maka bila orang-orang baik tidak bersatu membangun kekuatan dalam kebersamaa, mereka akan dilindas oleh kekuatan jahat.
Faktor ke empat adalah pendanaan. Yang benar adalah agar da’wah itu hidup harus dibiayai, bukan da’wah yang dijadikan untuk mencari biaya hidup. Maka umat islam perlu mengeluarkan zakat, infaq, dan sedekah. Apapun yang kita keluarkan untuk membiayai jalan da’wah akan dibalas Allah dengan lipat ganda yang banyak. (Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafqahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezqi) dan kepada-Nya lah kamu dikembalikan.) [QS Al-Baqarah :245]
Di sisi lain dengan terus berzakat, berinfaq, dan bersedekah akan terbentuk kepribadian yang dermawan. Orang yang dermawan akan dicintai oleh penghuni langit dan bumi.
Faktor yang terakhir adalah berkelanjutan. Artinya da’wah harus berlanjut terus sampai qiyamat. Tidak hanya sekedar datang menyampaikan ilmu lalu pergi dan tidak kembali lagi. Umat yang sudah dibina harus dipertahankan pembinaannya sampai qiyamat, karena orang yang sudah baikpun selalu terancam oleh godaan syaithan dan syaithan terus akan menggoda sampai qiyamat.
Karena da’wah harus berkelanjutan sampai qiyamat, maka para da’i perlu menikah untuk melahirkan putra-putri penerus tongkat estafet da’wah sampai qiyamat. Karena putra-putri yang dilahirkan harus menjadi anak shalih dan shalihah, maka para da’i perlu memilih calon istri yang shalihah. Tanpa memperhatikan kelima faktor di atas, da’wah tidak lebih dari sekedar transfer ilmu. Hanya menjadikan manusia memiliki kecerdasan cognitif (akal) saja, tapi tidak memiliki kecerdasan afektif (moral), sehingga banyak orang akalnya pinter, tapi amalnya tidak pener, na’udzubillaah.
Semoga kita dijadikan oleh Allah menjadi sebaik-baik hamba-Nya, yaitu yang mau belajar dan mengajarkan Al-Qur’an. Aamiin.
Oleh: Ustadz Drs. Ahmad Sukina, Pimpinan Majlis Tafsir Al-Qur’an Solo