Fikroh.com – Delapan abad lamanya Islam pernah menyinari lembah-lembah Andalusia. Dalam masa yang panjang itu, banyak kegemilangan dan kemajuan peradaban yang direkam oleh sejarah. Namun tidak sedikit juga pergolakan dan kemunduran terjadi.
Roda nasib terus berputar, “وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ”. Di suatu waktu kaum muslimin bersatu dan kuat, islam dapat meraih kegemilangan demi kegemilangan, namun setelah itu menjadi tercerai berai dan melemah hingga Allah menakdirkan datangnya pemimpin yang dapat mengikat kembali simpulnya. Beberapa kali kaum muslimin Andalusia berada di titik terendah gambaran ketidakberdayaan, lalu datang pemimpin yang mampu membawa perubahan besar dan mengembalikan islam pada poros kekuatannya. Situasi seperti itu terus menerus terulang selama delapan abad islam berada di Andalusia yang menjadikan pemerintahan islam disana terbagi beberapa era.
Berikut penulis coba memberikan sedikit gambaran perputaran roda itu selama 8 abad islam bercokol disana.
1. Era Penaklukan (92-95 H)
Penaklukan ini dipimpin oleh Thariq bin Ziyad dan dimotori oleh Musa bin Nushair yang saat itu menjabat sebagai gubernur Afrika Utara. Dalam kurun waktu 3 tahun, dataran Andalusia mampu ditaklukkan. Ketidaksenangan para penduduk asli Andalusia terhadap kerajaan Ghotic merupakan salah satu faktor cepatnya penaklukan ini, bahkan banyak dari para penduduk asli yang masuk islam -setelah melihat keadilan kaum muslimin- dan bergabung ke dalam pasukan islam.
Penting untuk diketahui, pasukan muslimin yang menyeberang ke Andalusia dan melakukan penaklukan terbagi dalam dua regu. Regu pertama yang berangkat bersama Thariq bin Ziyad dan pasukan tambahan yang menyeberang ke Andalusia setelah pertempuran Wadi Lakka. Pasukan ini berasal dari bangsa Barbar (Amazig). Regu kedua yang dipimpin langsung oleh Musa bin Nushair sebagai bala bantuan untuk pasukan sebelumnya. Dalam pasukan ini kebanyakan berasal dari para Ksatria Arab Yaman, Syam dan Iraq. Beberapa orang dari kalangan Tabi’in juga masuk ke Andalusia bersama pasukan ini.
2. Era Al Wulat/Kegubernuran (95-138 H)
Setelah berhasil ditaklukan, secara otomatis Andalusia berada dibawah otoritas Kekhalifahan Umayyah di Damaskus. Tercatat sebagai gubernur pertama ialah Abdul Aziz bin Musa bin Nushair setelah ayahnya bersama Thariq bin Ziyad pergi ke Damaskus memenuhi panggilan khalifah Walid bin Abdul Malik pada tahun 95 H. Abdul Aziz bin Musa menetapkan kota Sevilla sebagai ibukota kekuasaannya.
Pada awal-awal era Al Wulat ini merupakan fase kekuatan islam. Dimana semangat jihad sangat tinggi, fokus kaum muslimin jelas, yaitu penaklukkan kota-kota selanjutnya hingga sampai ke dataran Ghalia (Perancis). Berbagai penaklukan ini dipimpin langsung oleh para gubernur di masing-masing masanya seperti,
- As Samah bin Malik Al Khaulany yang syahid di pertempuran Toulosse,
- Anbasah bin Shuaim yang berhasil mencapai sekitar 70% wilayah Perancis,
- Abdurrahman Al Ghafiqi yang membuat jalanan di kota Paris bergetar karena derap langkah pasukannya, dan
- Uqbah bin Al Hajjaj yang berhasil memperkuat basis-basis kaum muslimin di wilayah Perancis setelah tragedi Balath Asy Syuhada.
Kegemilangan-kegemilangan itu akhirnya mulai meredup pada tahun 123 H setelah Uqbah bin Al Hajjaj gugur dalam suatu pertempuran. Setelah syahidnya Uqbah, benih-benih perpecahan yang berhasil diredam pada masa kekuasaan Abdurrahman Al Ghafiqi mulai timbul kembali ke permukaan dan mengganas. Revolusi kaum Khawarij, perebutan kekuasaan berdarah dan penuh tipu muslihat antara suku Qais dan Yaman, serta gesekan yang kembali meruncing antara kalangan Arab dan Barbar. Hal-hal itu terus terjadi di Andalusia hingga datangnya Abdurrahman bin Muawiyah Ad Dakhil.
Di akhir era Al Wulat ini, orang-orang Kristen di Utara Andalusia berhasil mencaplok beberapa kota dan mendirikan beberapa kerajaan tanpa perlawanan yang berarti dari kaum muslimin.
3. Era Keemiran Umawiyyah (138-316 H)
Era ini dimulai ketika Abdurrahman bin Muawiyah berhasil memasuki Andalusia setelah Kekhalifahan Umayyah di Damaskus runtuh. Ia berhasil menyelamatkan diri dari operasi sapu bersih kalangan Abbasiyah.
Abdurrahman bersama para penduduk Andalusia yang bersedia bergabung dengannya berhasil mengalahkan Yusuf Al Fihri -orang nomor satu di Andalusia saat itu- pada pertempuran Al Musharah. Setelah kemenangan itu, dengan mudah Abdurrahman Ad Dakhil mengambil alih ibukota Cordova dan menjadi penguasa Andalusia.
Keemiran yang didirikan Abdurrahman Ad Dakhil ini merupakan pemerintahan yang berdiri sendiri, tidak bergabung dengan kekhalifahan saat itu, yaitu Abbasiyah. Seratus tahun dari awal periode ini (138-238 H) merupakan tahun-tahun kejayaan dan kemajuan peradaban. Kota-kota ditata dengan indah dan bangunan-bangunannya memiliki nilai arsitektur yang tinggi.
Ada beberapa penguasa yang terkenal dalam fase keemiran ini seperti;
- Abdurrahman Ad Dakhil
- Hisyam bin Abdurrahman Ad Dakhil, kepemimpinannya sering disejajarkan dengan Umar bin Abdul Aziz dalam hal kesejahteraan,
- Abdurrahman Al Ausath, yang berhasil mengalahkan bangsa Viking
- Muhammad I bin Abdurrahman Al Ausath, yang membangun kota Majrith (Madrid) dan
- Abdurrahman An Nashir.
Di masa kekuasaan mereka, pintu jihad menghadapi Kristen kembali digaungkan setelah pada akhir era Al Wulat kaum muslimin disibukkan dengan perpecahan. Namun aktivitas jihad ini tidak lagi mencapai wilayah Perancis, dikarenakan Kerajaan Leon, Aragon serta Navarre telah bercokol di Utara Semenanjung Andalusia.
Dalam segi kemakmuran, di era ini tidak ada rakyat yang merasa kekurangan. Negara mengelola keuangan dengan sangat baik, bahkan di era Abdurrahman Al Ausath (206-238 H) anggaran belanja negara mencapai satu juta dinar per tahun. Di era Abdurrahman Al Ausath juga Andalusia telah menggunakan penerangan jalan pada malam hari, pada saat yang sama Eropa hidup dalam keterbelakangan. Dalam sisi keilmuan, pada era ini hidup Abbas bin Firnas yang merupakan orang pertama yang melakukan percobaan penerbangan.
Setelah banyak melahirkan berbagai kisah heroik dan peradaban yang maju, roda masa kembali berputar untuk keemiran ini. Antara tahun 238 hingga 300 Hijriah atau tepat setelah Abdurrahman Al Ausath wafat, keemiran Umayyah mengalami kemerosotan akibat banyaknya fitnah dan pemberontakan di hampir seluruh kota yang bersamaan dengan serangan Kristen di utara. Hal itu hampir saja memadamkan islam di Andalusia.
4. Era Kekhalifahan Umawiyyah (316-422 H)
Era ini tercipta melalui kerja keras Abdurrahman An Nashir (sang penolong) yang berusaha menyelamatkan keemiran Umayyah dan menyatukan kembali umat islam di Andalusia yang telah digerogoti oleh para pemberontak dari dalam dan Kristen Utara serta Daulah Syi’ah Ubaidiyah dari luar.
Abdurrahman An Nashir yang ketika menerima tampuk kekuasaan hanya berkuasa atas Cordova dan desa-desa sekitar, dalam kurun waktu 16 tahun (300-316 H) berhasil menyatukan kembali seluruh Andalusia dalam satu panji. Setelah berhasil menyatukan kembali seluruh kota Andalusia, pada tahun 316 Hijriah, Abdurrahman An Nashir memproklamirkan berdirinya Kekhalifahan Umawiyyah Andalus setelah khalifah Abbasiyyah Al Muqtadir Billah tewas terbunuh oleh Mu’nis Al Muzaffar At turki. Pada masanya, pasukan Andalusia menyentuh 100.000 prajurit aktif. Jihadnya melawan kerajaan-kerajaan Kristen Iberia sangat gemilang, sampai-sampai ibukota Kerajaan Navarre saat itu berhasil ia masukkan ke dalam kekuasaannya.
Selain berjihad menghadapi kerajaan-kerajaan Kristen di Utara, Abdurrahman An Nashir juga mampu meluaskan pengaruhnya hingga ke kota-kota di Afrika Utara dan terlibat beberapa pertempuran hebat melawan Dinasti Syi’ah Ubaidiyyah. Pada tahun 345 H, pasukan Ubaidiyyun dibuat tercerai berai oleh pasukan Kekhalifahan Andalusia di sekitaran perairan Andalus. Setelah itu orang-orang Syi’ah Ubaidiyyun tidak berani lagi mengganggu Andalusia.
Di era kekhalifahan ini juga, muncul dalam panggung sejarah seorang perdana menteri khalifah sekaligus komandan jihad yang bisa membuat seluruh kerajaan Kristen Iberia bertekuk lutut dengan hina. Ksatria yang telah memimpin 54 pertempuran semasa hidupnya dan tak pernah merasakan satu kalipun kekalahan. Ialah Al Hajib Al Mansur Muhammad bin Abi Amir yang berkuasa pada periode 366-392 H.
Masa Kekhalifahan ini berakhir di tahun 422 Hijriah dikarenakan beberapa faktor yang diantaranya ialah ketidakcakapan penguasa dalam mengurus negara. Terjadilah perebutan kursi kekhalifahan antara Bani Amiriyyah dan Bani Hamudiyyah. Bahkan sempat ada satu Khalifah di Cordova dan satu Khalifah di Sevilla.
5. Era Muluk Ath Thawaif (raja-raja kecil)
Diturunkannya Khalifah terakhir dari kalangan Bani Umayyah menandakan Andalusia memasuki era baru. Tiap kota mengangkat pemimpin tersendiri dari kalangan mereka yang membuat kaum muslimin Andalusia menjadi terkotak-kotak. Kali ini tak ada lagi penguasa sekaliber Abdurrahman An Nashir yang mampu menyatukan kembali Andalusia pada masa sebelumnya.
Maka berdirilah 22 Muluk Ath Thawaif di bumi Andalusia dan terbagi menjadi tujuh kawasan utama yang satu sama lain saling bermusuhan. Tujuh kawasan itu meliputi Bani Jahur di Cordova, Bani Abbad di Sevilla, Bani Amir di Valencia, Bani Ziry di Granada, Bani Al Afthas di Badajoz, Bani Hud di Zaragoza, dan Bani Dzun Nun di Toledo dan sekitarnya.
Era ini merupakan periode kelam islam di Andalusia. Dimana para Muluk Ath Thawaif di masing-masing daerah disibukkan dengan memikirkan cara agar bisa merebut tanah kekuasaan para raja muslim lainnya dan mengabaikan kerajaan-kerajaan Kristen di Utara. Bahkan para raja muslim sering meminta bantuan kepada kerajaan Kristen Iberia -baik Leon, Kastilia ataupun Aragon- saat hendak menyerang kekuasaan raja muslim yang lain.
Kebobrokan para Muluk Ath Thawaif itu berbarengan dengan gencarnya aksi Reconquista kerajaan-kerajaan Kristen yang bertujuan melebarkan kekuasaan mereka dan menguasai kota-kota kaum muslimin. Masing-masing dari Muluk Ath Thawaif menutup mata dan telinga terhadap penyerangan pihak Kristen ke daerah kaum muslimin hanya karena benteng atau kota yang diserang bukanlah berada dibawah kekuasaannya. Hingga tragedi demi tragedi terus terjadi, dari tragedi Barbastro yang memilukan hingga puncaknya, jatuhnya ibukota pemerintahan Bani Dzun Nun, kota Toledo oleh Raja Leon-Kastilia, Alfonso VI.
Banyak para ulama terkenal yang menyaksikan era ini, seperti Ibnu Hazm, Ibnu Hayyan, Ibnu Abdil Barr, Abu Al Walid Al Baji, Ath Thurtusy dan sederert ulama lainnya.
6. Era Murabithun
Bibit-bibit era ini bermula saat panglima Daulah Murabithun, Yusuf bin Tasyifin dan pasukannya memasuki Andalusia dengan tujuan menolong kaum muslimin dan para Muluk Ath Thawaif yang tidak berdaya menahan gempuran Reconquista yang dilancarkan Alfonso VI.
Setelah kemenangan para Murabithun dan kaum muslimin Andalusia atas koalisi Kristen di pertempuran Zallaqah (479 H), Yusuf bin Tasyifin memilih kembali ke Marrakesh dan berpesan kepada para penguasa Andalusia untuk bersatu agar kehinaan-kehinaan seperti sebelumnya tidak terulang. Namun nasihat Yusuf bin Tasyifin seperti angin lalu bagi para Muluk Ath Thawaif, mereka kembali terjebak konflik antar sesama hingga akhirnya kota Valencia luput dari tangan kaum muslimin. Yusuf bin Tasyifin pun sekali lagi membawa pasukannya dalam jumlah besar menyeberang ke Andalusia.
Saat pengepungan salah satu benteng Kristen di Aledo (481 H), Yusuf bin Tasyifin menyaksikan sendiri bagaimana nista dan munafiknya para Muluk Ath Thawaif. Dimana sebagian dari mereka justru bersekongkol dengan kaum Kristen demi mendapat kekuasaan. Kejadian itu membuat Yusuf bin Tasyifin geram namun ia belum mengambil tindakan terhadap para Muluk Ath Thawaif.
Kemudian di tahun 483 H, Yusuf bin Tasyifin untuk kali ketiga menyeberang ke Andalusia untuk memperbaiki kerusakan yang dibuat para Muluk Ath Thawaif. Mengingat sifat munafik penguasa Andalusia saat aksi jihad sebelumnya, kali ini Yusuf bin Tasyifin berniat untuk menundukkan para Muluk Ath Thawaif walaupun harus dengan kilatan pedang. Berbagai pertempuran pun pecah antara Daulah Murabithun melawan para Muluk Ath Thawaif yang dimenangkan oleh Yusuf bin Tasyifin. Pada tahun 484 H, seluruh kawasan Andalusia -yang belum dikuasai Kristen- masuk ke dalam pemerintahan Daulah Murabithun.
Selama kepemimpinan Murabithun di Andalusia, mereka terus menggelorakan jihad dan mencoba mengembalikan kota-kota kaum muslimin yang telah dikuasai pihak Kristen. Salah satu kemenangan gemilang yang mereka raih adalah Pertempuran Ucles tahun 501 H. Masing-masing panglima dalam perang ini adalah putra panglima yang berhadapan saat pertempuran Zallaqah 22 tahun sebelumnya. Tamim bin Yusuf bin Tasyifin bersama pasukannya mampu melumat habis 23.000 pasukan Kristen dan membunuh Sancho bin Alfonso VI.
Ulama terkenal yang sempat merasakan era ini ialah Ibnu Al Arabi (penulis kitab Al Awashim min Al Qawashim) dan muridnya, Al Qadhi Iyadh.
7. Era Muwahhidun
Tahun 541 H berdiri Daulah Muwahhidun pimpinan Abdul Mu’min bin Ali di Maghrib setelah berhasil meruntuhkan Daulah Murabithun. Maka sedikit demi sedikit kawasan yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Murabithun berpindah ke orang-orang Muwahhidun, tak terkecuali dengan Andalusia.
Berdirinya Daulah baru ini -dimana dengan cara meruntuhkan daulah sebelumnya- mengorbankan puluhan ribu nyawa yang mengakibatkan sumber daya pasukannya makin menipis. Dampaknya, pada tahun-tahun awal Daulah Muwahhidun berkuasa, beberapa kota penting jatuh ke tangan pihak Kristen. Setahun saat Daulah Muwahhidun baru berdiri, tepatnya tahun 542 H kota Almeria jatuh. Ribuan kaum muslimin terbunuh dan 14.000 gadis muslimah dijadikan tawanan oleh orang-orang Kristen. Setahun setelah itu (543 H), giliran Tortosa dan Lleid yang sebelumnya telah dibebaskan orang-orang Murabithun berhasil diduduki pihak Kristen. Pada tahun yang sama, kerajaan Portugal mulai memperluas wilayahnya di daerah selatan Andalusia. Kekalahan-kekalahan ini membuat Abdul Mu’min bin Ali berbenah dan menguatkan pilar-pilar Daulahnya. Hasilnya pada tahun 552 H Almeria bisa ia rebut kembali dari orang-orang Kristen dan mulai meluaskan pengaruhnya, baik di Andalusia maupun di daerah Maghrib.
Masa Ya’qub bin Yusuf bin Abdul Mu’min (penguasa ketiga Muwahhidun) merupakan masa kejayaan Daulah Muwahhidun, dimana kekuatan pemerintahannya bisa dibilang dapat menandingi Kekhalifahan Abbasiyah. Ya’qub Al Mansur Al Muwahidi sering menyeberang ke Andalusia dan memimpin sendiri pasukannya untuk menghadapi Kerajaan Portugal dan Kerajaan-Kerajaan Kristen lainnya yang ada di Utara. Salah satu pertempurannya melawan kerajaan Kristen tercatat dalam sejarah dengan nama “Pertempuran Alarcos(al arak)”. Yaitu ketika tahun 591 H disekitar benteng Alarcos, Ya’qub Al Mansur Al Muwahidi dan pasukannya mampu melumat 300.000 prajurit koalisi Kristen pimpinan Alfonso VII. Untuk memperingati kemenangan di Alarcos, Al Mansur Al Muwahidi membangun Masjid Agung Sevilla dengan gaya arsitektur tinggi yang menggambarkan bagaimana majunya peradaban islam saat itu -sekarang telah beralih fungsi menjadi Katedral dan merupakan yang terbesar ketiga di dunia-.
Berakhirnya era Muwahhidun di Andalusia ditandai dengan kekalahan Abu Muhammad An Nasir pada pertempuran Las Navas de Tolosa (Al ‘Iqob) yang terjadi pada tanggal 6 Shafar 609 H. Dimana setelah kekalahan itu, Abu Muhammad An Nashir melarikan diri ke Sevilla, namun karena masih merasa tidak aman ia segera menyeberang ke Maroko (pusat kekuasaanya).
8. Era Keemiran Granada (633-897 H)
Setelah pertempuran Las Navas de Tolosa tidak ada lagi pasukan kaum muslimin yang mampu menahan gempuran Kristen. Keadaan di Andalusia menjadi kacau, lebih parah dibandingkan pada era Muluk Ath Thawaif sebelumnya. Tahun 625 H, Ibnu Hud yang menguasai kawasan Timur dan Selatan Andalusia memisahkan diri dari kekuasaan Muwahhidun. Bani Al Ahmar mengikuti jejak Ibnu Hud. Dua penguasa ini saling bersaing memperebutkan pengaruh di kota-kota kaum muslimin Andalusia saat pihak Kristen makin menggila dengan Reconquistanya.
Pada tahun 633 H, Cordova terhapus dari peta islam. Lalu Bani Al Ahmar menjadikan Granada sebagai ibukota kekuasaanya setelah runtuhnya kekuasaan Ibnu Hud. Selanjutnya giliran Valencia yang akhirnya runtuh setelah lima tahun mendapat serangan bertubi-tubi dari raja Aragon. Lima puluh ribu kaum muslimin Andalusia harus dievakuasi ke Tunisia dengan bantuan Bani Hafash -sebelumnya Bani Hafash sangat membantu penduduk Valencia dalam melawan pengepungan raja Aragon-.
Kemudian satu demi satu kota akhirnya terhapus dari peta islam dan beralih tangan ke pihak Kristen. Hingga pada tahun 642 H, kota yang dikuasai kaum muslimin tersisa Sevilla di barat daya dan kawasan Granada di tenggara. Namun kota Sevilla tak bisa bertahan lama. 27 Ramadhan 646 H, dengan bantuan penguasa Granada -Ibnu Al Ahmar-, Ferdinand III mampu mengambil kota Sevilla dari tangan kaum muslimin.
Kekuasaan kaum muslimin dan tempat berlindung orang-orang yang terusir di Andalusia tersisa Keemiran Granada. Granada -kekuasaannya meliputi Granada, Malaga, dan kawasan Al Mariyah- yang merupakan wilayah subur dan dipenuhi berbagai kekayaan alam bagaikan hidangan menggiurkan di meja makan yang diperebutkan oleh orang-orang Kristen. Pihak Kristen mulai mencaplok sedikit demi sedikit wilayah kekuasaan Ibnu Al Ahmar walaupun ada perjanjian damai diantara mereka.
Ibnu Al Ahmar yang tersadar akan fatalnya langkah yang dia ambil sebelumnya akhirnya melakukan perlawanan. Dengan susah payah penguasa Granada mencoba mempertahankan keberadaan kota muslim terakhir ini.
Selama lebih dari 200 tahun Granada menentang keruntuhannya. Keberhasilan keturunan Ibnu Al Ahmar mempertahankan eksistensi mereka dalam waktu yang lama itu tak lepas dari jasa Bani Marin di Maroko yang selalu mengirimkan pasukan elit mereka untuk mematahkan Reconquista pihak Kristen. Namun karena kebobrokan penguasa Granada yang menjabat pada periode itu, kemenangan-kemenangan gemilang Bani Marin atas Kristen tidak bisa mengembalikan kejayaan kaum muslimin di Andalusia. Wilayah kekuasaan Granada makin mengecil, hingga akhirnya pada 2 Rabi’ul Awwal 897 H, kerajaan Islam terakhir di Andalusia itu pun runtuh setelah raja terakhirnya menandatangani perjanjian serah terima kota. Setelahnya, kaum muslimin yang tersisa di Andalusia harus merasakan Kristenisasi paksa dan pedihnya siksaan demi siksaan dewan Gereja dan Mahkamah Inkuisisi Spanyol.
Demikianlah perjalanan islam selama delapan ratus tahun di Andalusia. Telah berakhir bangsa yang sebelumnya melahirkan banyak tokoh Islam baik dari kalangan kemiliteran, ulama, cendekiawan dan para ahli. Telah berakhir bangsa yang memiliki peradaban maju di segala bidang. Peradaban yang telah mengetahui bagaimana proses pembedahan dan segala seluk beluknya -dengan tokohnya yang bernama Az Zahrawi-, 600 tahun sebelum Eropa mengenalnya. Dan akhirnya kitab karangan Az Zahrawi menjadi buku pedoman para ahli bedah di Eropa pada abad 16 Masehi.
Telah berakhir Andalusia. Pelajaran dari Andalusia bukan tentang menangisi masa lalu, tetapi lebih menempatkan wewangian diatas luka. Kalimat kebenaran haruslah diungkapkan. Alasan hilangnya negara Andalusia sama dengan saat ini di negara-negara Muslim. Jauhnya dari agama, degradasi moral para penguasa dan masyarakat umum, rusaknya sistem administrasi, hilangnya keadilan, dan fanatisme-fanatisme antar kelompok yang menjadi tembok tebal diantara kaum muslimin.
Oleh: Abdurrahman Al Buthony
Referensi:
- Qisah Al-Andalus, Dr. Raghib As Sirjani
- Man Abthal al-Fathi al-Islamy, Muhammad Ali Qutb
- An-Nawazil al-Kubro fi At-Tarikh Al-Islamy, Dr. Fathi Zaghrut