Semut merupakan serangga sosial yang hidup dalam koloni yang terorganisir dengan baik. Mereka dikenal karena kerja sama erat antaranggota koloni dalam mencari makanan, membangun sarang, dan merawat telur serta larva. Semut memiliki pekerjaan yang terbagi, mulai dari pekerja pengumpul makanan hingga pekerja yang merawat keturunan. Mereka menggunakan feromon sebagai sarana komunikasi, memandu sesama semut menuju sumber makanan atau mengkoordinasikan pertahanan terhadap ancaman luar.
Selain sifat sosialnya, keberhasilan semut dalam mengatasi berbagai tantangan juga terkait dengan kemampuan adaptasi mereka. Meskipun kecil, semut memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah dan menemukan jalan keluar dari situasi sulit. Selain itu, beberapa spesies semut juga memiliki keahlian khusus, seperti semut tukang kayu yang mampu merobohkan pohon untuk membuat sarangnya. Keberagaman spesies semut dan peran mereka dalam ekosistem membuat mereka menjadi makhluk yang menarik untuk dipelajari.
Larangan Membunuh Semut Dalam Islam
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ أَنَّ نَمْلَةً قَرَصَتْ نَبِيًّا مِنَ الأَنْبِيَاءِ فَأَمَرَ بِقَرْيَةِ النَّمْلِ فَأُحْرِقَتْ فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَيْهِ أَفِي أَنْ قَرَصَتْكَ نَمْلَةٌ أَهْلَكْتَ أُمَّةً مِنَ الأُمَمِ تُسَبِّحُ (صحيح البخاري
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata: Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Ada seekor semut menggigit seorang Nabi, lalu Nabi itu memerintahkan agar sarang semut itu dibakar. Maka Allah pun menurunkan wahyu kepadanya: “Hanya seekor semut yang menggigitmu, tapi kenapa kamu bakar satu umat yang selalu bertasbih untuk-Ku?!”
Pelajaran dari hadits qudsi di atas:
- Semut adalah salah satu umat atau makhluk Allah ta’ala yang selalu bertasbih. Tasbih di sini bukan sekedar majaz atau kiasan, akan tetapi mereka memang benar-benar bertasbih, secara hakikat.
- “Bakar satu saja”, lanjut wahyu Allah ta’ala kepada Nabi itu dalam riwayat yang lain. Para Ulama menjelaskan bahwa satu itu bukan secara random, tapi satu semut yang menggigit saja yang boleh di balas. Jika tidak bisa mengenali semut mana yang telah menggigit maka tidak boleh membunuh secara sembarangan. Jadi syari’at sebenarnya mendorong agar lebih baik memaafkan semut yang telah menggigit itu, karena hampir mustahil bisa mengenalinya.
- Lalu secara fiqih, apakah membakar semut, atau lebih luas lagi menghukum dengan membakar, itu hukumnya boleh, dengan dalil Allah ta’ala mempersilahkan Nabi itu untuk membakar semut yang telah menyakitinya?. Mungkin saja dalam syari’at Nabi itu memang boleh. Tapi dalam syari’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak boleh menghukum dengan membakar, kecuali dalam hukum qishash (semisal ada orang membunuh orang lain dengan membakarnya hidup², maka wali korban boleh membakar hidup² si pembunuh itu). Adapun selain itu maka tidak boleh membakar hewan, meskipun itu kutu, lebah, semut atau hewan lainnya.
Kalo membunuh semut tidak dengan dibakar, tapi semisal dengan digilas, bagaimana hukumnya?, Dalam madzhab Syafi’i sama saja, tidak boleh. Namun dalam kitab Ma’alimus Sunan, Imam Al Khatthabi rahimahullah berkata, “Semut itu ada dua macam; pertama, semut yang menyakiti atau merugikan. Menolak atau menghilangkan madharat semut ini boleh hukumnya. Kedua, semut yang tidak merugikan, yaitu semut yang kakinya panjang2, tidak boleh dibunuh.”
Imam Al Baghawi berkata : “Semut kecil yang dikenal dengan nama ‘dzarr’ (oleh para Kyai Jawa biasa dimaknai dengan ‘semut pudak’) itu boleh dibunuh.”
Namun Imam Ath Thabari dalam tafsirnya meriwayatkan bahwa Imam Hasan Al Bashri berkata : “Orang bajik (Al Abrar) adalah orang-orang yang tidak mau menyakiti dzarr”.
Ahnaf bin Qais radhiyallahu ‘anhu pernah melihat pelayannya hendak membunuh semut, beliau pun melarangnya, “Jangan kamu bunuh, ambilkan saya kursi”, setelah duduk di kursi, beliau berkata kepada kawanan semut itu:
إني أحرج عليكن لما خرجتن من داري، فإني أكره أن تقتلن في داري
“Sungguh aku memaksa kalian keluar dari rumahku ini, sebab saya tidak suka kalian terbunuh di sini.”
Maka semut itu pun berbondong-bondong keluar rumah dan tidak pernah terlihat lagi setelahnya.
Imam Ahmad bin Hambal radhiyallahu ‘anhu yang meriwayatkan kisah di atas dari Habibah, pelayan Ahnaf bin Qais di atas, juga pernah melakukan hal yang sama kepada kawanan semut di rumahnya, beliau duduk di kursi lalu membaca apa yang dikatakan Ahnaf, dan manjur, kawanan semut pun keluar dari rumah beliau dan tidak pernah kembali lagi, sebagaimana kesaksian putra beliau, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal.
Kitab Min Shihahil Ahaditsil Qudsiyyah, Syech Muhammad ‘Awwamah, cet. Darul Minhaj.