Oleh: Abu Usaid Al Munawy
Dalam pembahasan term Ulul Amri, para ulama berbeda pendapat tentangnya, sebagian mereka hanya memasukkan ulama sebagai Ulul Amri. Sebagian yang lain memasukkan penguasa dan ulama sebagai Ulul Amri itu. Diantara ulama yang berkeyakinan seperti itu adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah-
Ringkasnya, keduanya masuk dalam kategori Ulul Amri, sesuai pendapat mayoritas ulama. Ulama bertugas memberi nasehat, pengarahan dan fatwa sedang penguasa melaksanakannya.
Jika hudud atau perkara penting lainnya seperti fatwa dari ulama yang berkaitan dengan hilang atau tidaknya nyawa kaum muslimin tidak dilaksanakan oleh penguasa, maka fatwa ulama yang diikuti dan dilaksanakan. Dalam hal ini penguasa telah melakukan maksiat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berkata:
وكذلك الأمير إذا كان مضيعا للحدود أو عاجزا عنها لم يجب تفويضها إليه مع إمكان إقامتها بدونه. والأصل على أن هذه الواجبات تقام على أحسن الوجوه فمتى أمكن إقامتها من أمير لم يحتاج إلى اثنين ومتى لم يقم إلا بعدد من غير سلطان أقيمت إذا لم يكن في إقامتها فساد يزيد على إضاعتها فإنها من باب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر
“Jika seorang pemimpin menyia-nyiakan hukum hudud atau ia tidak melaksanakannya karena lemah, maka tidak wajib menyerahkan urusan tersebut kepadanya jika hal itu tetap mampu ditegakkan tanpanya. Asalnya, kewajiban ini harus dilakukan dalam bentuk yang paling baik. Tapi, manakala seorang pemimpin mampu menegakkannya, maka tidak butuh lagi pada orang kedua. Namun, bilamana hal itu (hudud) tidak tegak kecuali dengan beberapa orang selain pemimpin, maka tetap ditegakkan jika dalam penegakannya tidak terdapat kerusakan yang lebih besar dari penyia-nyiannya. Sebab hal ini, masuk dalam kategori amar makruf nahi mungkar.” (Majmu’at al-Fatawa: 17/237)
Perkara fatwa boikot produk Is a hell tentu sangat berkaitan dengan nyawa kaum muslimin, sebab keuntungan dari penjualan produk mereka dipakai untuk membiayai pembantaian kaum muslimin.
Jika pemimpin tidak mau melaksanakan itu, padahal para ulama telah memfatwakannya, maka kaum muslimin mengikuti fatwa ulama.
Imam Al-Qurthubi rahimahullah menukil perkataan imam Ibnu Khuwaiz Mindad al-Maliki -rahimahullah- dalam tafsirnya tentang ini. Beliau berkata:
وأما طاعة السلطان فتجب فيما كان لله فيه طاعة ولا أيجب فيما كان فيه معصية ولذلك قلنا إن ولاة زمننا لاتجوز طاعتهم ولا معاونتهم ولا تعظيمهم ويجب الغزو معهم متى غزوا
“Adapun ketaatan pada penguasa hanya wajib dalam masalahan ketaatan pada Allah, dan tidak wajib dalam perkara maksiat. Oleh karena itu, kita katakan sesungguhnya para penguasa di zaman kita tidak wajib ditaati, dibantu dan diagungkan, tapi tetap wajib berperang bersama mereka jika mereka berperang.” (Tafsir Al-Qurthubi: 3 /5/191)
Terkait fatwa MUI tentang pemboikotan produk Is a hell yang hasil penjualannya dipakai untuk membiayai pembantaian kaum muslimin Filashtin, maka kaum muslimin wajib mengamalkannya.
Adapun nyinyiran kaum yang katanya mengikuti salaf -padahal kenyataanmya mereka mengikuti setan- maka tidak perlu dipedulikan. Hal itu menunjukkan mereka tidak paham apa itu Ulul Amri. Jangankan MUI yang merupakan kumpulan ulama yang sering kali menjadi referensi pemerintah dalam memutuskan permasalahan di negri ini, para Masyaikh, anggota dewan dan orang-orang yang diikuti perkataannya juga merupakan Ulul Amri.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berkata:
ويدخل فيهم الملوك والمشايخ وأهل الديوان وكل من كان متبوعا فإنه من أولي ألأمر
“Termasuk dari mereka adalah para raja, para Masyaikh, para ahli dewan, dan semua orang yang diikuti, maka ia adalah Ulul Amri.” (Al-Amru wa an-Nahyu ‘an al-Mungkar: 70)
Alhamdulillah, di negri kita pemerintah tidak diam persoalan ini, tidak melarang fatwa ini, maka apakah yang menghalangimu melaksanakannya wahai muslim?