Fatwapedia.com – Sesungguhnya suatu hal yang paling menonjol dari wanita muslimah adalah dia memiliki keimanan yang kuat, tertancap di dalam hatinya terhadap Tuhannya. Dia berkeyakinan bahwa apa yang terjadi di alam semesta ini, dan apa yang menimpa manusia dari berbagai macam kejadian, sejatinya sudah merupakan ketetapan dan takdir-Nya. Apa yang sudah menjadi ketentuan-Nya, maka tidak akan luput darinya. Dan apa yang memang bukan menjadi jatahnya, maka tidak akan dapat dicapai seberapa besar apa pun usaha yang dilakukannya.
Manusia dalam kehidupan ini, hendaknya berusaha untuk menapaki jalan yang baik dan mengambil sebab-sebab demi terwujudnya amal saleh, yang akan memberikan kebaikan bagi agama maupun dunianya. Bertawakal kepada Allah dengan sebanar-benar tawakal kepada-Nya, menyerahkan segala urusannya pada-Nya. Menyadari bahwa dia seorang yang lemah, yang selalu membutuhkan pertolongan, bantuan, bimbingan dan keridhaan-Nya.
Kisah ibunda Hajar, ketika Nabi Ibrahim meninggalkannya di sisi Ka’bah di Mekah Al Mukarramah, di sekitar padang pasir nan luas di atas air zamzam. Tidak ada seorangpun yang tinggal di Mekah kala itu. Tiada air dan tiada pula orang yang menemaninya terkecuali Ismail yang masih menyusu pada ibunya.
Dari kisah ini, terlukis jelas di benak wanita muslimah sebuah keteladanan yang tak terhingga nilainya, dari kekuatan iman kepada Allah dan kelurusan tawakal kepada-Nya. Ketika ibunda Hajar berkata kepada Nabi Ibrahim dengan penuh ketetapan hati, keteguhan, ketenangan dan kedamaian, “Apakah Allah memerintahkan hal ini kepadamu wahai Ibrahim?” lalu Nabi Ibrahim menjawab: “Ya, benar.” Setelah ibunda Hajar mendengar jawaban itu, maka dengan segala keridhaan dan kepuasan hati serta kegembiraan dan kedamaian ia berkata: “Jika demikian, niscaya Allah tidak akan menyia-nyiakan kami.” (HR. Bukhari)
Suatu keadaan yang teramat sulit untuk dijalani, meninggalkan istri dan bayinya, di sebuah gurun yang tidak ada tumbuh-tumbuhan, air dan tidak pula manusia. Kemudian bertolak menuju ke negeri Syam nan jauh. Tidak meninggalkan bekal kepada keduanya melainkan hanya sekadar sebuah kantong yang berisi kurma, dan bejana yang menyimpan beberapa teguk air.
Sekiranya bukan karena keimanan yang mengalir memenuhi relung hati ibunda Hajar, dan kalaulah bukan karena kejujuran dan tawakal kepada Allah yang menyelimuti perasaan dan hatinya, niscaya ia tidak akan sanggup menanggung beban yang berat ini, dan tentulah ia akan terjatuh pada sapaan ujian pertama.
Demikianlah ketegaran seorang wanita yang tetap abadi, dikenang oleh para jamaah haji dan umrah, di waktu malam dan siang harinya. Terlebih ketika mereka minum air zamzam dan melakukan sa’i antara Shafa dan Marwa seperti sa’inya Hajar di hari yang sulit itu.
Sungguh, keterjagaan iman ini telah memberikan buah yang sangat menakjubkan bagi kehidupan kaum muslimin dan muslimat. Sebab ia membangun nurani, mengasah perasaan, menyadarkan hatinya, bahwasannya Allah melihat dan mengawasi apa yang terendap di jiwa dan ilmuNya menyelimuti seluruh manusia di mana pun mereka berada.
Tiada bukti yang lebih kuat mengenai kejujuran nurani dan terwujudnya rasa takut kepada Allah, baik secara rahasia maupun yang tampak, dari kisah seorang wanita muslimah yang terdapat dalam kitab: “Shifatus Shafwah wa wafiyat Al A’yan, yang di ceritakan ulang oleh Ibnul Jauzi dalam kitabnya: ‘Ahkam al Nisa:
Diriwayatkan dari Abdullah bin Aslam dari ayahnya dari kakeknya berkata: “Aku pernah menemani Umar bin Khattab saat kami ronda di lorong-lorong Madinah. Ketika dia merasakan lelah telah menguasai tubuhnya, dia menyandarkan tubuhnya pada sebuah dinding rumah di pertengahan malam. Tiba-tiba dia mendengar suara seorang wanita berkata kepada putrinya, “Wahai putriku pergilah dan campurlah air susu itu dengan air.” Putrinya menjawab: “Wahai ibuku! apakah engkau belum mendengar keputusan Amirul Mukminin hari ini?”
Wanita itu berkata: “Apakah keputusan Amirul Mukminin wahai putriku?
Ia menjawab: “Amirul Mukminin telah mengumumkan larangan kepada rakyatnya untuk mencampur susu dengan air.”
Ibunya berkata lagi, “Wahai putriku! berdiri dan campurlah susu itu dengan air!, karena kamu berada di tempat yang tidak mungkin dilihat oleh Umar.” Putrinya menjawab: “Wahai ibuku, aku tidak mungkin menaatinya di tempat yang terbuka, sementara aku bermaksiat kepadanya di tempat yang tertutup.”
Dan Umar mendengar percakapan keduanya, lalu ia memerintahkan, “Wahai Aslam.. pergilah ke tempat itu dan lihatlah siapakah wanita itu?, apakah gadis itu sudah bersuami?”
Aslam melanjutkan penuturannya, “Lalu aku pergi ke rumah tersebut, dan aku mendapatkan bahwa gadis itu belum bersuami, sedangkan wanita yang berbicara dengan gadis itu adalah ibunya, sementara tidak ada seorang pun laki-laki di rumah itu. Lalu aku menemui Umar dan kuceritakan mengenai kedua wanita itu.”
Kemudian Umar memanggil putra-putranya dan mengumpulkan mereka seraya berkata: “Siapakah di antara kalian yang sudah mampu untuk menikah, maka aku nikahkan dengan gadis pilihanku?” Sekiranya aku bisa memanjangkan usiaku, niscaya tak satu pun dari kalian yang sanggup mendahului aku untuk menikahi gadis itu.”
Abdullah berkata: “Aku telah beristri,” dan Abdurrahman juga berkata: “Aku juga telah beristri.” Sedangkan “Ashim berkata: “Adapun aku belum beristri, maka nikahkanlah aku dengannya.”
Selanjutnya Umar pergi ke rumah gadis itu, dan menikahkannya dengan “Ashim. Dari pernikahan ini, terlahir seorang anak perempuan dan dari perempuan inilah lahir Umar bin Abdul Azis.
Itulah keterjagaan nurani, kebeningan jiwa dan kesucian hati, yang ditanamkan Islam dalam diri wanita muslimah ini. Lalu lahirlah sosok yang bertakwa dan Istiqomah, baik di saat yang sunyi maupun dalam keramaian, tersembunyi maupun terang-terangan. Hal itu disebabkan karena tersematnya sebuah keyakinan bahwa Allah 3g senantiasa bersamanya, mendengar ucapannya dan melihat perbuatannya.
Inilah keimanan yang benar, yang membuahkan mutiara berharga bagi pemiliknya dan mengantarkannya pada derajat ihsan. Balasan yang disegerakan Allah kepada wanita ini adalah bahwasanya Dia menganugerahkan kepadanya pernikahan barakah ini. Dimana lahir dari keturunannya, Khulafaur Rasyidin yang kelima yaitu Umar bin Abdul Azis.
Keimanan wanita muslimah senantiasa terjaga kebeningannya dan kesuciannya. Tidak ternodai oleh kejahilan (kebodohan), dan tidak pula terkeruhkan oleh gelapnya kedustaan, dan tidak pula terpadamkan sinarnya oleh bayang-bayang keraguan.
Itulah akidah (keyakinan) yang dibangun di atas pondasi iman kepada Allah yang Maha Esa, Mahatinggi, tempat bergantung makhluk-Nya, Mahakuasa atas segala sesuatu, di tangan-Nya kunci segala urusan, dan kepada-Nya pula kembali setiap urusan. Allah berfirman:
(Katakanlah: “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari azab-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “(Kalau demikian) maka dari jalan manakah kamu ditipu?) (QS: Al Mukminun: 88-89)
Keimanan yang dalam, kokoh, dan suci, menambah kekuatan, kesadaran dan kematangan bagi kepribadian wanita muslimah. Dia memandang kehidupan dunia dengan kacamata iman, sehingga dia sadar bahwa dunia adalah tempat ujian dan cobaan. Sedangkan hasil usahanya dapat dilihat pada hari kiamat, hari yang tidak diragukan kedatangannya.
Allah berfirman: (Katakanlah: “Allah-lah yang menghidupkan kamu kemudian mematikan kamu, setelah itu mengumpulkan kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”) (QS: Al Jatsiyah: 26) Dan Allah juga berfirman: (Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?) (QS: Al Mukminun: 115) Dan Allah berfirman: (Maha Suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.) (QS. Al Mulk: 1-2)
Pada hari itu (kiamat) manusia akan dibalas atas amalan yang telah diperbuatnya, jika amalannya baik maka baiklah balasannya dan jika amalannya buruk, maka buruk pula balasannya, tanpa ada seorang pun yang merasa dirinya teraniaya atau dirugikan oleh Allah. Allah berfirman: (Pada hari tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya, tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya.) (QS. Al Mukmin: 17) Dan timbangan amal di akhirat kelak sangatlah teliti, baik dan buruk amai yang teiah diusahakan oieh manusia, ia akan mendapat balasannya. Allah berfirman:
(Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat balasannya pula.) (QS. Az Zalzalah: 7-8) Tidak akan tersembunyi dari Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Mulia pada hari ini, amalan manusia meskipun hanya seberat biji sawi, sebagaimana firman-Nya: (Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan) itu hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahalajnya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.) (QS. Al Anbiya’: 47)
Tidak syak lagi, bahwa wanita muslimah yang senantiasa terjaga dan berada dalam petunjuk-Nya, mampu merenungi makna-makna yang terkandung di dalam ayat-ayat ini. Kemudian dia merasakan dengan mata batinnya kesulitan-kesulitan yang akan ditemuinya pada hari kiamat. Maka dia segera menghadap Allah dengan ketaatan, tobat dan penuh rasa syukur, serta dia mempersiapkan bekal yang memadai untuk kehidupan akhiratnya, dengan segala bentuk dan warna amal saleh, sesuai dengan kesanggupannya.