Fatwapedia.com – Rezeki adalah segala hal yang bermanfaat yang Allah Ta’ala berikan kepada manusia. Dia tidak terbatas pada uang dan harta. Rezeki bisa juga istri yang shalihah bagi seorang suami, suami yang shalih bagi seorang istri, anak yang shalih, kesehatan, sahabat yang baik, tetangga yang baik, dan apa pun yang bermanfaat buat kehidupan kita.
Bisa jadi, seseorang dilebihkan harta, tapi rezeki lainnya dia tidak memilikinya seperti kesehatan, atau anak yang shalih. Atau dia sehat, tetapi secara harta biasa saja, dan bisa jadi ada yang punya semuanya. Memandang rezeki seperti ini lebih memunculkan sikap bersyukur atas apa yang sudah dimiliki.
Berikut ini adalah beberapa pintu rezeki yang mesti kita ketahui:
1. Taqwa kepada Allah
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. (QS. AthThalaq, Ayat 2-3)
Secara bahasa taqwa kepada Allah Ta’ala adalah takut (khauf) kepada Allah. (Tafsir Al Muyassar, 1/292, 1/401)
Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu berkata tentang taqwa:
أن يُطاع فلا يُعْصَى، وأن يُذْكَر فلا يُنْسَى، وأن يُشْكَر فلا يُكْفَر
Yaitu taat dan tidak ingkar, ingat dan tidak lupa, bersyukur dan tidak kufur. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/86-87)
Imam Al Baidhawi Rahimahullah menjelaskan:
وهو استفراغ الوسع في القيام بالواجب والاجتناب عن المحارم
Taqwa adalah mengerahkan potensi dalam menjalankan kewajiban dan menjauhi hal-hal yang diharamkan. (Anwarut Tanzil, 1/373)
Rezeki yang Allah Ta’ala berikan bagi orang yang bertaqwa bukan hanya dunia, tapi juga akhirat. Sebagaimana riwayat dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma:
مَخْرَجًا مِنْ شُبُهَاتِ الدُّنْيَا وَمِنْ غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَمِنْ شَدَائِدِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Jalan keluar dari syubhatnya dunia, dari kematian yang menyedihkan, dan dari kerasnya hari kiamat. (Tafsir Al Qurthubi, 18/160)
2. Bekerja dan Berusaha
Bekerja dan berusaha jelas adalah upaya yg syar’iy, masuk akal, dan sunnatullah kehidupan. Bukan hanya manusia, hewan pun bekerja, walau seluruh makhluk sudah dijamin rezekinya.
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. (QS. Ar-Ra’d, Ayat 11)
Ayat yang lain:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah, Ayat 105)
Dari Rafi’ bin Khadij, “Dikatakan:
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ قَالَ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ
“Wahai Rasulullah, mata pencaharian apakah yang paling baik?” beliau bersabda: “Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur.” (HR. Ahmad No. 17265, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 2158. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan lighairih)
Para nabi pun bekerja.., Nabi Daud ‘Alaihissalam makan dari usahanya sendiri, Nabi Zakariya ‘Alaihissalam sbagai tukang kayu. Sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari
Mari kita bekerja yang halal menuju pribadi yang qaadirun ‘alal kasbi – mampu mencari nafkah sendiri, tidak meminta-minta atau mengemis.
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Sallam berkata kepada Qabishah:
قَالَ يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ فَمَا سِوَاهُنَّ مِنْ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا
Hai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak boleh (tidak halal) kecuali untuk tiga golongan. (Satu) orang yang menanggung hutang (gharim, untuk mendamaikan dua orang yang saling bersengketa atau seumpanya). Maka orang itu boleh meminta-minta, sehingga hutangnya lunas. Bila hutangnya telah lunas, maka tidak boleh lagi ia meminta-meminta. (Dua) orang yang terkena bencana, sehingga harta bendanya musnah. Orang itu boleh meminta-minta sampai dia memperoleh sumber kehidupan yang layak baginya. (Tiga) orang yang ditimpa kemiskinan, (disaksikan atau diketahui oleh tiga orang yang dipercayai bahwa dia memang miskin). Orang itu boleh meminta-minta, sampai dia memperoleh sumber penghidupan yang layak. Selain tiga golongan itu, haram baginya untuk meminta-minta, dan haram pula baginya memakan hasil meminta-minta itu.” (HR. Muslim no. 1044)
3. Tawakal Kepada Allah Ta’ala
Yaitu menyerahkan hasilnya apa yang sudah kita usahakan, kepada Allah Ta’ala. Apa yang kita lakukan dan doakan seakan menjadi proposal kepada Allah Ta’ala, biarlah Allah Ta’ala yang mempantaskannya; diterima atau ditolak.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. (QS. Ath-Thalaq: 3)
Kenapa kita bertawakal setelah berusaha? Karena Allah Ta’ala yang Maha Kaya, Maha Kuat, oleh karwna itu kita bergantung kepadaNya, bukan kepada usaha sendiri.
Syaikh Abdurrahman Nashir As Sa’diy Rahimahullah menjelaskan:
{وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ} أي: في أمر دينه ودنياه، بأن يعتمد على الله في جلب ما ينفعه ودفع ما يضره، ويثق به في تسهيل ذلك {فَهُوَ حَسْبُهُ} أي: كافيه الأمر الذي توكل عليه به، وإذا كان الأمر في كفالة الغني القوي [العزيز] الرحيم، فهو أقرب إلى العبد من كل شيء، ولكن ربما أن الحكمة الإلهية اقتضت تأخيره إلى الوقت المناسب له
(Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah) yaitu dalam urusan agama dan dunianya, dengan menyandarkan kepada Allah Ta’ala dalam meraih manfaat dan menolak bahaya, dan meyakininya hal itu mudah bagiNya.
(Maka Allah akan mencukupkan baginya) yaitu mencukupi urusan yang dia tawakalkan itu. Jika urusan dibawah kuasa dan tanggungan yang Maha Kaya, Maha Kuat, Maha Perkasa, dan Maha Penyayang, maka hal itu lebih dekat kepada hamba tersebut dibanding apa pun juga.
Tetapi bisa jadi ada hikmah ilahiyah, bahwa keinginannya itu tertunda dan diberikan di waktu yang tepat. (Tafsir As Sa’diy, 1/869)
Syaikh Abbas As Sisiy Rahimahullah diminta oleh gurunya, Syaikh Hasan Al Banna Rahimahullah untuk ikut lomba menembak, karena Syaikh As Sisiy adalah mantan anggota militer.
Syaikh As Sisiy menolak dgn alasan penglihatan matanya sudah tidak bagus. Tapi, sang guru menjawab:
“Justru karena mata kamu seperti itulah kamu ikut perlombaan tersebut, sebab jika mata kamu normal aku khawatir kamu akan bertawakkal kepada mata, bukan bertawakkal kepada pencipta mata.”
Syaikh As Sisiy terdiam, begitu dalam nasihat gurunya. Dia pun ikut perlombaan tersebut, dan dengan izin Allah Ta’ala akhirnya dia juara pelombaan tersebut. Wallahu A’lam.
Oleh: Farid Nu’man Hasan