Fatwapedia.com – Kita mungkin sering mendengar dua istilah diatas, namun sudahkah kita memahami maksud keduanya dengan benar? Jika kita perhatikan kedua istilah diatas sering kita dapati dalam ilmu fiqh. Sebagian kita menganggap kedua istilah tersebut sama namun benarkah demikian? Berikut ini penjelasan makna khilaf dan ikhtilaf beserta contoh-contohnya.
Kaum itu telah ikhtilaf; jika setiap orang pergi ke tempat yang berbeda dari tempat yang dituju orang lain.
Jadi makna Khilaf dan Ikhtilaf adalah: adanya perbedaan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa Khilaf dan Ikhtilaf mengandung makna yang sama. Namun ada juga ulama yang membedakan antara Khilaf dan Ikhtilaf,
Ikhtilaf: perbedaan dengan dalil. Khilaf: perbedaan tanpa dalil.
Maka selalu kita mendengar orang mengatakan, “Ulama ikhtilaf dalam masalah ini”, atau ungkapan, “Ini adalah masalah Khilafiyyah”. Maksudnya, bahwa para ulama tidak satu pendapat dalam masalah tersebut.
Contoh Ikhtilaf Ulama Dalam Memahani Nash
Allah Swt berfirman :
وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ
“Dan usaplah kepalamu”. (Qs. Al-Ma’idah [5]: 6).
Hadits Riwayat Imam Muslim:
Ibnu al-Mughirah berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Saw berwudhu’, beliau mengusap ubun- ubunnya, mengusap bagian atas sorban dan bagian atas kedua sepatu khufnya”. (HR. Muslim).
Hadits Riwayat Imam Abu Daud :
Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Saya melihat Rasulullah Saw berwudhu’, di atas kepalanya ada sorban buatan Qathar. Rasulullah Saw memasukkan tangannya dari bawah sorbannya, beliau mengusap bagian depan kepalanya, beliau tidak melepas sorbannya”. (HR. Abu Daud).
Hadits Riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim.
Kemudian Rasulullah Saw mengusap kepalanya. Rasulullah Saw (menjalankan kedua telapak) tangannya ke depan dan ke belakang, beliau awali dari bagian depan kepalanya, hingga kedua (telapak) tangannya ke tengkuknya, kemudian ia kembalikan lagi ke tempat semula. (HR. al- Bukhari dan Muslim).
Menyikapi ayat dan beberapa hadits tentang mengusap kepala diatas, muncul beberapa pertanyaan: Bagaimanakah cara mengusap kepala ketika berwudhu’? Apakah cukup menempelkan telapak tangan yang basah ke bagian atas rambut? Atau telapak tangan mesti dijalankan di atas kepala? Apakah cukup mengusap ubun-ubun saja? Atau mesti mengusap seluruh kepala? Di sinilah muncul Ikhtilaf diantara ulama.
Para ulama berijtihad, maka ada beberapa pendapat ulama tentang mengusap kepala ketika berwudhu’:
Mazhab Hanafi :
Wajib mengusap seperempat kepala, sebanyak satu kali, seukuran ubun-ubun, diatas dua daun telinga, bukan mengusap ujung rambut yang dikepang/diikat. Meskipun hanya terkena air hujan, atau basah bekas sisa air mandi, tapi tidak boleh diambil dari air bekas basuhan pada anggota wudhu’ yang lain, misalnya air yang menetes dari pipi diusapkan ke kepala, ini tidak sah.
Dalil Mazhab Hanafi :
1. Mesti mengikuti makna mengusap menurut ‘urf (kebiasaan).
2. Makna huruf Ba’ pada ayat [مكسوؤرب] artinya menempel. Menurut kaedah, jika huruf Ba’ masuk pada kata yang diusap, maka maknanya mesti menempelkan seluruh alat yang mengusap. Maka mesti menempelkan telapak tangan ke kepala. Jika huruf Ba’ masuk ke alat yang mengusap, maka mesti mengusap seluruh objek yang diusap. Jika seluruh telapak tangan diusapkan ke kepala, maka bagian kepala yang terkena usapan adalah seperempat bagian kepala. Itulah bagian yang dimaksud ayat mengusap kepala.
3. Hadits yang menjelaskan ayat ini, riwayat Abu Daud dari Anas, ia berkata, “Saya melihat Rasulullah Saw berwudhu’, di atas kepalanya ada sorban buatan Qathar, Rasulullah Saw memasukkan tangannya dari bawah sorbanya, ia engusap bagian depan kepalanya, ia tidak melepas sorbannya”. Hadits ini menjelaskan ayat yang bersifat mujmal (global/umum). Ubun-ubun atau bagian depan kepala itu seperempat ukuran kepala, karena ubun-ubun satu bagian dari empat bagian kepala.
Mazhab Maliki:
Wajib mengusap seluruh kepala. Orang yang mengusap kepala tidak mesti melepas ikatan rambutnya dan tidak mesti mengusap rambut yang terurai dari kepala. Tidak sah jika hanya mengusap rambut yang terurai dari kepala. Sah jika mengusap rambut yang tidak turun dari tempat yang diwajibkan untuk diusap. Jika rambut tidak ada, ma ka yang diusap adalah kulit kepala, karena kulit kepala itulah bagian permukaan kepala bagi orang yang tidak memiliki rambut. Cukup diusap satu kali. Tidak dianjurkan mengusap kepala dan telinga beberapa kali usapan.
Dalil Mazhab Maliki:
1. Huruf Ba’ mengandung makna menempel, artinya menempelkan alat kepada yang diusap, dalam kasus ini menempelkan tangan ke seluruh kepala . Seakan-akan Allah Swt berfirman, “ Tempelkanlah usapan air ke kepala kamu”.
2. Hadits riwayat Abdullah bin Zaid, “Sesungguhnya Rasulullah Saw mengusap kepalanya dengan kedua tangannya, ia usapkan kedua tangan itu ke bagian depan dan belakang. Ia mulai dari bagian depan kepala, kemudian menjalankan kedua tangannya hingga ke tengkuk, kemudian ia kembalikan lagi ke bagian depan tempat ia memulai usapan”. Ini menunjukkan disyariatkan mengusap seluruh kepala.
Mazhab Hanbali:
Seperti Mazhab Maliki, dengan sedikit perbedaan:
1. Wajib mengusap seluruh kepala hanya bagi laki-laki saja. Sedangkan bagi perempuan cukup mengusap kepala bagian depan saja, karena Aisyah mengusap bagian depan kepalanya.
2. Wajib mengusap dua daun telinga, bagian luar dan bagian dalam daun telinga, karena kedua daun telinga itu bagian dari kepala. Sebagaimana hadits riwayat Ibnu Majah, “Kedua telinga itu bagian dari kepala”.
Mazhab Syafi’i:
Wajib mengusap sebagian kepala. Boleh membasuh kepala, karena membasuh itu berarti usapan dan lebih dari sekedar usapan. Boleh hanya sekedar meletakkan tangan di atas kepala, tanpa menjalankan tangan tersebut di atas kepala, karena tujuan mengusap kepala telah tercapai dengan sampainya air membasahi kepala.
Dalil Mazhab Syafi’i:
1. Hadits riwayat al-Mughirah dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, “Sesungguhnya Rasulullah Saw mengusap ubun-ubunnya dan bagian atas sorbannya”. Dalam hadits ini disebutkan cukup mengusap sebagian saja. Yang dituntut hanyalah mengusap secara mutlak/umum, tanpa ada batasan tertentu, maka sebagian saja sudah mencukupi.
2. Jika huruf Ba’ masuk ke dalam kata jama’ (plural), maka menunjukkan makna sebagian, maka maknanya, “ Usapkan sebagian kepala kamu saja”. Mengusap sedikit sudah cukup, karena sedikit itu sama dengan banyak, sama-sama mengandung makna mengusap [17]
Komentar Syekh Mahmud Syaltut dan Syekh Muhammad Ali as-Sais, dikutip oleh Syekh DR.Wahbah az-Zuhaili:
Yang benar, bahwa ayat (مكسوءرب اوحسماو) “Usaplah kepala kamu” termasuk ayat yang bersifat umum, tidak menunjukkan lebih dari sekedar mengusap kepala. Usapan itu sudah terwujud apakah dengan mengusap seluruh kepala, mengusap sebagian kepala, sedikit atau pun banyak, selama dapat dianggap sebagai makna mengusap. Adapun mengusap satu helai atau tiga helai rambut, tidak dapat dianggap mengusap [18]
Dari uraian diatas dapat dilihat
Pertama, mazhab bukan agama. Tapi pemahaman ulama terhadap nash-nash (teks) agama dengan ilmu yang ada pada mereka. Dari mulai pemahaman mereka tentang ayat, dalil hadits, ‘urf, sampai huruf Ba’ yang masuk ke dalam kata. Begitu detailnya. Oleh sebab itu slogan “Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”, memang benar, tapi apakah setiap orang memiliki kemampuan? Apakah semua orang memilik i alat untuk memahami al-Qur’an dan Sunnah seperti pemahaman para ulama?! Oleh sebab itu bermazhab tidak lebih dari sekedar bertanya kepada orang yang lebih mengerti tentang suatu masalah, mengamalkan firman Allah Swt,
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui ”. (Qs. an-Nahl [16]: 43).
Kedua, ikhtilaf mereka pada furu’ (permasalahan cabang), bukan pada ushul (dasar/prinsip). Mereka tidak ikhtilaf tentang apakah wudhu’ itu wajib atau tidak. Yang mereka perselisihkan adalah masalah-masalah cabang, apakah mengusap itu seluruh kepala atau sebagiannya saja? Demikian juga dalam shalat, mereka tidak ikhtilaf tentang apakah shalat itu wajib atau tidak? Semuanya sepakat bahwa shalat itu wajib. Mereka hanya ikhtilaf tentang cabang-cabang dalam shalat, apakah basmalah dibaca sirr atau jahr? Apakah mengangkat tangan sampai bahu atau telinga? Dan sejeninsya.
Ketiga, tidak membid’ahkan hanya karena beda cara melakukan. Yang mengusap seluruh kepala tidak membid’ahkan yang mengusap sebagian kepala, demikian juga sebaliknya. Selama perbuatan itu masih bernaung di bawah dalil yang bersifat umum.
Ikhtilaf tidak hanya terjadi pada masa generasi khalaf (belakangan). Kalangan Salaf (generasi tiga abad pertama Hijrah); para shahabat Rasulullah Saw, Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in juga Ikhtilaf dalam masalah-masalah tertentu.
Ikhtilaf Shahabat Ketika Rasulullah Saw Masih Hidup.
Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Rasulullah Saw berkata kepada kami ketika beliau kembali dari perang Ahzab, ‘Janganlah salah seorang kamu shalat ‘Ashar kecuali di Bani Quraizhah’. Sebagian mereka memasuki shalat ‘Ashar di tengah perjalanan. Sebagian mereka berkata, ‘Kami tidak akan melaksanakan shalat ‘Ashar hingga kami sampai di Bani Quraizhah’
Sebagian mereka berkata, ‘Kami melaksanakan shalat ‘Ashar sebelum sampai di Bani Quraizhah’. Peristiwa itu diceritakan kepada Rasulullah Saw, beliau tidak menyalahkan satu pun dari mereka”. (HR. al-Bukhari)
Ini membuktikan bahwa para shahabat juga ikhtilaf, sebagian mereka berpendapat bahwa shalat Ashar mesti dilaksanakan di Bani Quraizhah, sedangkan sebagian lain berpendapat shalat Ashar dilaksanakan ketika waktunya telah tiba, meskipun belum sampai di Bani Quraizhah. Satu kelompok berpegang pada teks, yang lain berpegang pada makna teks. Inilah cikal bakal ikhtilaf dan Rasulullah Saw membenarkan keduanya, karena tidak keluar dari tuntunan Sunnah.
Setelah Rasulullah Saw wafat pun para shahabat mengalami ikhtilaf dalam masalah- masalah tertentu.
Ikhtilaf Shahabat Ketika Rasulullah Saw Telah Wafat.
Ketika jenazah Rasulullah Saw telah siap (untuk dikebumikan) pada hari Selasa. Jenazah Rasulullah Saw diletakkan di tempat tidurnya di dalam rumahnya. Kaum muslimin ikhtilaf dalam hal pemakamannya. Ada yang berpendapat, “Kita makamkan di dalam masjidnya (Masjid Nabawi)”. Ada yang berpendapat, “Kita makamkan bersama para shahabatnya (di pemakaman Baqi’)”. Abu Bakar berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, “ Tidak seorang pun dari nabi itu yang meninggal dunia melainkan ia dimakamkan di mana ia meninggal ”. Maka kasur tempat Rasulullah Saw meninggal pun diangkat. Lalu makam Rasulullah Saw digali di bawah kasur itu”
Ini membuktikan bahwa para shahabat ikhtilaf, baik ketika Rasulullah Saw masih hidup, maupun setelah Rasulullah Saw wafat. Namun kedua ikhtilaf itu diselesaikan dengan tuntunan Sunnah Rasulullah Saw.