Fatwapedia.com – Wali Majdub adalah merujuk kepada orang yang tadinya shalih sebagai ahli ibadah, kemudian karena saking tenggelamnya dengan kecintaan kepada Allah, lalu Allah tarik akalnya, sehingga sekarang kondisinya dalam bahasa mudahnya gila atau gendeng (bs. Jawa). Maka apakah orang seperti ini ada dan bagaimana kita menyikapinya?
Pandangan yang ilmiah dan obyektif maka bisa kita dapatkan dari penjelasannya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Dalam “Majmû al-Fatâwâ” di awal-awal juz 11, tatkala beliau memberikan pandangan mengenai fenomena orang-orang yang pingsan ketika membaca dan mendengarkan Al-Qur’an, bahkan sampai ada juga yang hilang akalnya saking ketakutan dan yang semisalnya, maka beliau mengajukan sebuah analogi yang mudah kita cerna. Dengan bahasa saya, kita bisa dapati ada orang-orang yang mengalami depresi setelah mendapatkan peristiwa duniawiyyah, misalnya mendapatkan musibah kematian, kehilangan harta dan yang semisalnya. Setelah peristiwa tersebut, orang tersebut yang tadinya normal, kini dengan bahasa simpelnya, kita katakan menjadi gila. Hal ini karena tidak kuatnya dirinya menghadapi momen yang menyedihkan tersebut. Syaikhul Islam berkata :
كَمَنْ سَمِعَ الْقُرْآنَ السَّمَاعَ الشَّرْعِيَّ وَلَمْ يُفَرِّطْ بِتَرْكِ مَا يُوجِبُ لَهُ ذَلِكَ وَكَذَلِكَ مَا يَرِدُ عَلَى الْقُلُوبِ مِمَّا يُسَمُّونَهُ السُّكْرَ وَالْفَنَاءَ وَنَحْوَ ذَلِكَ مِنْ الْأُمُورِ الَّتِي تُغَيِّبُ الْعَقْلَ بِغَيْرِ اخْتِيَارِ صَاحِبِهَا
“Seperti orang yang mendengarkan Al-Qur’an dengan pendengaran yang SYAR’I dan tidak meremehkan apa yang diwajibkan kepadanya, lalu merasuk ke hatinya apa yang disebut dengan mabuk atau fana atau yang semisalnya yang menyebabkan hilang akalnya, tanpa ada kehendak dari dirinya.”
Kemudian dengan ketelitiannya, Syaikhul Islam menerangkan hukum terkait penyebab orang tersebut sampai “gila”, beliau berkata :
إذَا كَانَتْ أَسْبَابُهَا مَشْرُوعَةً وَصَاحِبُهَا صَادِقًا عَاجِزًا عَنْ دَفْعِهَا كَانَ مَحْمُودًا عَلَى مَا فَعَلَهُ مِنْ الْخَيْرِ وَمَا نَالَهُ مِنْ الْإِيمَانِ مَعْذُورًا فِيمَا عَجَزَ عَنْهُ وَأَصَابَهُ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِ وَهُمْ أَكْمَلُ مِمَّنْ لَمْ يَبْلُغْ مَنْزِلَتَهُمْ لِنَقْصِ إيمَانِهِمْ وَقَسْوَةِ قُلُوبِهِمْ
“Jika penyebabnya adalah Syar’i dan orang tersebut jujur dan tidak mampu menepisnya (sehingga sampai menjadi gila), maka ia TERPUJI atas kebaikan yang ia lakukan dan keimanannya, ia dimaafkan karena lemah untuk menepisnya dan terjadinya hal tersebut tanpa pilihannya, maka mereka ini lebih utama dibandingkan yang tidak sampai derajat ini karena kekurangan imannya dan kerasnya hatinya.”
Akan tetapi jika penyebabnya tidak syar’i, maka ini seperti yang dibahas oleh para ulama fiqih terkait orang yang gila karena minum minuman keras atau menghisap hatsis (sejenis ganja), para ulama telah bersepakat ini adalah tercela. Oleh sebab itu, jika ada orang yang gila karena misalnya tenggelam dalam zikir-zikir bid’ah, maka ini tercela. Syaikhul Islam berkata :
وَقَدْ يَحْصُلُ بِسَبَبِ سَمَاعِ الْأَصْوَاتِ الْمُطْرِبَةِ الَّتِي تُورِثُ مِثْلَ هَذَا السُّكْرِ وَهَذَا أَيْضًا مَذْمُومٌ فَإِنَّهُ لَيْسَ لِلرَّجُلِ أَنْ يَسْمَعَ مِنْ الْأَصْوَاتِ الَّتِي لَمْ يُؤْمَرْ بِسَمَاعِهَا مَا يُزِيلُ عَقْلَهُ إذْ إزَالَةُ الْعَقْلِ مُحَرَّمٌ
“Bisa jadi penyebabnya adalah karena mendengar suara yang kencang (seperti zikir-zikir bid’ah ala sufi, pent.) yang menyebabkan mabuk, ini juga TERCELA, karena seseorang tidak diizinkan mendengar suara yang tidak diperintahkan untuk mendengar suara yang bisa menghilangkan akalnya, jika karenanya hilang akalnya, maka ini DIHARAMKAN.”
Kemudian Syaikhul Islam memberikan keterangan yang obyektif didalam menyikapi apa yang kita istilahkan hari ini dengan wali Majdzud, yakni ia menjadi hilang akalnya karena ketidakmampuannya di dalam menghadapi sesuatu yang menggoncangkan hatinya karena hal-hal syar’i, seperti membaca atau mendengar ayat-ayat Al-Qur’an yang kebetulan menusuk tajam ke ulu hatinya, menurut beliau, orang-orang dalam menyikapinya ada 2 kelompok yang ekstrim :
قَوْمٌ يَذُمُّونَ هَؤُلَاءِ وينتقصونهم وَرُبَّمَا أَسْرَفُوا فِي ذَلِكَ. وَقَوْمٌ يَغْلُونَ فِيهِمْ وَيَجْعَلُونَ هَذَا الطَّرِيقَ مِنْ أَكْمَلِ الطُّرُقِ وَأَعْلَاهَا
“Ada kelompok yang mencela dan merendahkan mereka, bahkan ada yang sampai taraf berlebih-lebihan dalam mencelanya dan ada kelompok yang GHULUW terhadap mereka dan menjadikan jalan mereka ini adalah jalan yang paling sempurna dan paling tinggi.”
Lanjut beliau :
وَالتَّحْقِيقُ أَنَّهُمْ فِي هَذِهِ الْعِبَادَاتِ وَالْأَحْوَالِ مُجْتَهِدُونَ
“Yang benar mereka dalam ibadah-ibadahnya ini dan kondisi mereka (sebelumnya) adalah orang-orang yang bersungguh-sungguh (dalam beribadah).”
Artinya jika ada orang yang seperti ini, maka kondisi ia sebelum akalnya diangkat adalah termasuk ahli ibadah, tentu layak kita apresiasi, namun sekarang kini kondisinya adalah tidak berakal tentunya sudah tidak layak bagi kita menirunya atau berguru kepadanya, karena sudah dalam kondisi orang-orang yang tidak mukallaf lagi, karena sudah tercerabut akalnya.
Kemudian Syaikhul Islam memberikan pandangan terkait fenomena orang-orang yang karena kesungguhannya dalam beribadah sampai ada yang hilang akalnya, dengan pandangan yang menunjukkan bagaimana komitmen beliau yang sangat kuat dalam berpegang kepada manhaj Salaf :
وَالصَّوَابُ: لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ خَيْرَ الْكَلَامِ كَلَامُ اللَّهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخَيْرَ الْقُرُونِ الْقَرْنُ الَّذِي بُعِثَ فِيهِمْ وَأَنَّ أَفْضَلَ الطُّرُقِ وَالسُّبُلِ إلَى اللَّهِ مَا كَانَ عَلَيْهِ هُوَ وَأَصْحَابُهُ….. فَمَنْ جَعَلَ طَرِيقَ أَحَدٍ مِنْ الْعُلَمَاءِ وَالْفُقَهَاءِ أَوْ طَرِيقَ أَحَدٍ مِنْ الْعُبَّادِ وَالنُّسَّاكِ أَفْضَلَ مِنْ طَرِيقِ الصَّحَابَةِ فَهُوَ مُخْطِئٌ ضَالٌّ مُبْتَدِعٌ
“Yang benar, seorang Muslim harus tahu bahwa sebaik-baik Kalam adalah Kalamullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuknya Muhammad ﷺ dan sebaik-baik generasi adalah generasinya yang Nabi diutus kepada mereka, sehingga sebaik-baik metode dan jalan yang mengantarkan kepada Allah adalah apa yang dilakukan oleh Nabi ﷺ dan para sahabatnya….
Barangsiapa yang menjadikan jalannya salah seorang ulama atau ahli ibadah lebih utama dari jalannya para sahabat, berarti ia orang yang menyimpang, sesat dan pelaku bid’ah.”
Sebelumnya Syaikhul Islam menggambarkan bagaimana sikap para sahabat ketika tersentuh dengan keagungan ayat-ayat suci :
لَكِنَّ الْأَحْوَالَ الَّتِي كَانَتْ فِي الصَّحَابَةِ هِيَ الْمَذْكُورَةُ فِي الْقُرْآنِ وَهِيَ وَجَلُ الْقُلُوبِ وَدُمُوعُ الْعَيْنِ وَاقْشِعْرَارُ الْجُلُودِ كَمَا قَالَ تَعَالَى: {إنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ}
“Namun kondisi para sahabat ketika mendengarkan ayat-ayat suci dari Kitabullah adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an yaitu hatinya bergetar, mengalir air matanya dan merinding kulitnya, sebagaimana FirmanNya :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal.” (Al-Anfâl ayat 2).”
Tidak sampai para sahabat menjadi gila, padahal mereka lebih bersungguh-sungguh di dalam menghayati dan mengamalkan Al-Qur’an. Wallahu A’lam.
Oleh: Abu Sa’id Neno Triyono