Fatwapedia.com – Di hari-hari ini, ada tersebar sebuah fatwa yang mengharamkan menyalakan obor sebagai bentuk aktualiasi dari rasa bahagia akan datangnya bulan Ramadhan yang penuh berkah. Fatwa tersebut, tidak disandarkan kepada ilmu sama sekali. Hanya semata di atas pemahaman seorang yang bodoh terhadap makna bidah dan hasutan seorang yang fanatik kepada kelompok tertentu. Di mana, sebagian orang yang berfatwa ini menyangka, bahwa awal kali yang mengadakan tradisi menyalakan obor ini adalah daulah Fathimiyyah (Syiah Rafidhah). Lalu, dia mengingatkan untuk tidak melakukannya sebagai bentuk meniadakan penyerupaan dengan orang-orang Syiah dalam masalah ini.
Pengharaman ini tidak memiliki pondasi yang sah. Menyalakan obor di bulan Ramadhan (baik awal Ramadhan atau pada saat malam hari raya – pentj.), termasuk perkara tradisi saja. Tujuannya, untuk mengaktualisasikan rasa gembira atas kedatangan bulan Ramadhan yang mulia. Pengkhususan hal itu, sebagaimana pengkhususan bulan Ramadhan dengan membuat makanan dan minumum khusus. Tidak ada hubungannya dengan bidah dan sunah !
Adapun klaim bahwa yang melakukannya pertama kali adalah daulah Fathimaiyyah, adalah tidak benar. Kalau seandainya benar, itupun tidak cukup untuk kemudian dijadikan alasan mengharamkannya. Pernyataan pengharaman dalam masalah ini tidak akan muncul dari seorang yang berakal, apalagi dari seorang yang berilmu. Sebenarnya sedih, kita terpaksa untuk membantah fatwa semacam ini dengan sepersepuluh akal kami.
Kami katakan kepada mereka (yang mengharamkan hal ini) ; “Orang-orang Fathimiyyahlah yang pertama kali membangun Jami’ (universitas) Al-Azhar, maka apakah kemudian menghidupkannya saat ini dengan ilmu dan ibadah termasuk perkara haram karena yang membangunnya adalah mereka (Fathimiyyah) ? (Tentu tidak, kan).
Pengkhususan bulan Ramadhan dengan menyalakan obor dan lampu-lampu, sebenarnya merupakan sunah yang telah berjalan lama. Yang pertama kali mengadakannya di masjid, adalah sahabat Umar bin Al-Khathab ra. Maka pada saat itu, masjid-masjid di malam hari pada pelaksanaan shalat Isya dan Tarawih di bulan Ramadhan, cahayanya bertambah terang. Di mana bertambah terangnya bulan Ramadhan saat itu dengan dinyalakannya lampu-lampu menjadikannya sebagai sebuah kesan yang special dan masa yang mereka tidak akan pernah melupakannya.
Telah datang dari berbagai jalan periwayatan yang kesemuanya menunjukkan bahwa khabar ini tsabit (valid), paling tidak telah tsabit dari sebagian tabi’in dari Ali bin Abi Thalib secara mursal, bahwa beliau (Ali) apabila melihat lampu-lampu bercahaya di masjid di malam-malam bulan Ramadhan, beliau berkata ;
نوّر الله لعمر بن الخطاب كما نور مساجد الله
“Semoga Allah menerangi Umar bin Al-Khathab, sebagaiama dia (Umar) telah menerangi masjid-masjid Allah.”
Al-Azraqi (w. 250 H) di dalam kitabnya yang berjudul “Akhbaru Makkah” (2/98), Al-Fakhihi (w. 272 H) dalam “Akhbaru Makkah” juga (2/204), Al-Fasi (w. 832 H) dalam kitab “Syifaul Gharam bi Akhbari Al-Balad Al-Haram” (1/313) disebutkan :
أن المسجد الحرام كان يُـخص في رمضان بمزيد من القناديل والثريات ، وأنه كان في رمضان أضوأ منه في سائر السنة ومن سائر المواسم سواه
“Sesungguhnya masjid Haram dulu kala, dikhususkan di bulan Ramadhan dengan ditambahkannya lampu-lampu. Di bulan Ramadhan, cahayanya lebih terang dari seluruh tahun dan berbagai musim di selain Ramadhan.”
Perlu diketahui, bahwa Al-Azraqi dan Al-Fakihi wafat sebelum adanya daulah Fathimiyyah. Maka, pemilik fatwa yang rusak ini, mereka telah mempersempit kehidupan manusia. Telah mengharamkan suatu perkara yang tidak diharamkan oleh Allah Ta’ala hanya bersandar kepada hawa nafsu mereka. Kita berlindung kepada Allah dari kebodohan dan sikap ekstrim dalam beragama. (Syekh Prof. Dr. Syarif Hatim Al-‘Auni – hafidzahullah -).
Alih bahasa ; Abdullah Al-Jirani, dengan sedikit diringkas dan penyesuaian. Judul tambahan dari penterjemah. Teks Arab bisa dibaca di kolom komentar.
Semoga bermanfaat. Salam literasi !