Fatwapedia.com – Saat ini berbagai teknik marketing sering digunakan oleh pelaku bisnis untuk menarik para pembeli. Ada yang murni dilatarbelakangi oleh kepentingan bisnis namun ada juga untuk kegiatan sosial. Diantara contoh kasusnya adalah jual beli dengan sistem bayar seikhlasnya. Dimana penjual menawarkan produknya untuk dibeli namun akad yang dipakai adalah bayar seikhlasnya. Artinya tidak ada ketentuan harga yang ditetapkan. Apakah sistem jual beli ini diperbolehkan menurut syari’at?
Perlu kita ketahui bersama bahwa diantara syarat jual beli menurut fiqh muamalah adalah adanya kejelasan dalam harga objek yang dijual. Karena jika harga barang yang dijual tidak jelas, ini termasuk dalam kategori jual beli gharar yang terlarang.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli gharar.” (HR. Muslim 3881, Nasai 4535, dan yang lainnya).
Dan termasuk pada pengertian gharar yang terlarang adalah sebagaimana yang dinyatakan Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah berikut ini:
الغرر هو المجهول العاقبة
“Gharar adalah Jual beli yang tidak jelas konsekuensinya.” (al-Qawaid an-Nuraniyah, hlm. 116)
Dan inti dari gharar adalah adanya jahalah (ketidak jelasan), baik pada barang maupun harga barang.
Disamping melanggar hadis tentang gharar, menjual barang dengan harga tidak jelas juga melanggar hadis larangan menjual barang dengan 2 harga.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua jual beli dalam satu jual beli.” (HR. Ahmad 9834, Nasai 4649, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Mengenai makna hadis di atas, Turmudzi menuliskan,
وقد فسر بعض أهل العلم قالوا بيعتين فى بيعة. أن يقول أبيعك هذا الثوب بنقد بعشرة وبنسيئة بعشرين ولا يفارقه على أحد البيعين فإذا فارقه على أحدهما فلا بأس إذا كانت العقدة على واحد منهما
Sebagian ulama menafsirkan, bahwa dua transaksi dalam satu akad, bentuknya, penjual menawarkan: “Baju ini aku jual ke anda, tunai 10 dirham, dan jika kredit 20 dirham. Sementara ketika mereka berpisah, belum menentukan harga mana yang dipilih. Jika mereka berpisah dan telah menentukan salah satu harga yang ditawarkan, dibolehkan, jika disepakati pada salah satu harga. (Jami’ at-Turmudzi, 5/137).
Dan alasan dari larangan ini adalah harganya tidak jelas.
Karena itulah, para ulama menegaskan, jual beli dengan harga tidak jelas, termasuk transaksi yang terlarang, dan statusnya batal.
Ad-Dasuqi dalam Hasyiyahnya – fiqh Maliki – mengatakan,
لا بد من كون الثمن والمثمن معلومين للبائع والمشتري وإلا فسد البيع
Harga dan barang harus jelas, diketahui penjual dan pembeli. Jika tidak maka transaksinya batal. (Hasyiyah ad-Dasuqi, 3/15).
Ibnu Abidin – ulama Hanafi – mengatakan,
وشرط لصحته معرفة قدر مبيع وثمن
Syarat sahnya jual beli adalah diketahuinya ukuran barang dan harga barang. (Hasyiyah Ibnu Abidin, 4/529).
Ibnu Utsaimin mengatakan,
جهالة الثمن تؤدي إلى بطلان البيع ؛ لأن من شروط البيع العلم بالثمن
Ketidak jelasan harga menyebabkan batalnya transaksi jual beli. Karena bagian dari syarat jual beli adalah diketahuinya harga. (as-Syarh al-Mumthi’, 8/233)
Alasan ketidak jelasan harga ini dilarang adalah karena bisa memicu sengketa.
Ada kaidah mengatakan,
الجهالة إنما تفيد الفساد إذا كانت مفضية إلى النزاع المشكل
Jahalah (ketidak jelasan) yang menyebabkan jual belinya batal adalah jahalah yang menyebabkan terjadinya sengketa.
Menjual Barang dengan Harga Seikhlasnya
Menjual barang dengan harga seikhlasnya di tempat kita, ada 2 keadaan,
Pertama, baru sebatas tawaran dari penjual
Artinya, penjual membuka kesempatan bagi pembeli untuk menawar dengan harga seikhlasnya.
Karena itulah, ketika pembeli menyampaikan harga tertentu, penjual belum tentu ridha. Sehingga terkadang masih terjadi tarik ulur, tawar menawar.
Misalnnya, Mukidi menawarkan iPhone 6 bekas miliknya.
Mukidi, “Mengenai harga terserah kamu Jo… seikhlasnya.”
Paijo, “Kalo 3jt mau gak?”
Mukidi, “Tambah dikit lah…”
Dialog ini menunjukkan bahwa harga seikhlasnya yang ditawarkan mukidi belum final. Karena itu, masih ada tawar menawar.
Transaksi ini dibolehkan, karena hakekatnya harganya jelas, yaitu harga yang disepakati kedua pihak.
Kedua, harga seikhlasnya pembeli dan tidak ada pilihan lain
Harga itu putus. Sehingga ketika Paijo membayar berapapun, tidak lagi terjadi kesepakatan.
Bisa jadi harganya terlalu mahal, atau terlalu murah. Sehingga bisa menimbulkan sengketa di belakang.
Transaksi ini yang menyebabkan jual belinya menjadi tidak sah. Karena bisa memicu sengketa. Allahu a’lam. Sumber disini.