Oleh: Muhammad Atim
Fatwapedia.com – Masih banyak yang gagal paham terhadap istilah “ta’wil” yang digunakan oleh kelompok menyimpang yaitu Jahmiyyah dan Mu’tazilah, dan yang mengikuti mereka, yang diterapkan terhadap sifat-sifat Allah. Dengan alasan ta’wil inilah mereka terjerumus dalam kekeliruan besar yaitu menafikan sifat-sifat Allah. Mereka tidak dapat membedakan dengan istilah “ta’wil” yang digunakan dalam banyak ayat Al-Qur’an dan hadits. Sehingga perkaranya menjadi cambur baur. Untuk itulah saya perlu memperjelasnya dalam tulisan ini.
Ta’wil menurut bahasa adalah mengembalikan, berasal dari kat “aul” yang berarti kembali.
Ibnu Manzhur berkata :
أول: الأَوْلُ: الرُّجُوعُ. آلَ الشيءُ يَؤُولُ أَوْلًا ومَآلًا: رَجَع. وأَوَّلَ إِليه الشيءَ: رَجَعَه
Al-Aul artinya kembali (ruju’). Sesuatu itu “aala-yauulu-aulan dan ma’aalan” maknanya kembali. Dan “awwala” sesuatu kepadanya, maknanya mengembalikannya. (Lisanul ‘Arob, 1/194).
Menurut istilah, digunakan untuk tiga makna.
Pertama,
الحَقِيْقَةُ الَّتِي يَؤُوْلُ إِلَيْهَا الْكَلَامُ
Hakikat yang kembali kepadanya perkataan.
Dalam arti, perwujudan dari suatu perkataan. Baik perkataan itu berupa berita (khobar) ataupun berupa tuntutan (thalab).
Dalam hal khobar contohnya,
﴿هَلۡ یَنظُرُونَ إِلَّا تَأۡوِیلَهُۥۚ یَوۡمَ یَأۡتِی تَأۡوِیلُهُۥ یَقُولُ ٱلَّذِینَ نَسُوهُ مِن قَبۡلُ قَدۡ جَاۤءَتۡ رُسُلُ رَبِّنَا بِٱلۡحَقِّ فَهَل لَّنَا مِن شُفَعَاۤءَ فَیَشۡفَعُوا۟ لَنَاۤ أَوۡ نُرَدُّ فَنَعۡمَلَ غَیۡرَ ٱلَّذِی كُنَّا نَعۡمَلُۚ قَدۡ خَسِرُوۤا۟ أَنفُسَهُمۡ وَضَلَّ عَنۡهُم مَّا كَانُوا۟ یَفۡتَرُونَ﴾
“Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) Al-Quran itu. Pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al-Quran itu, berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu: “Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami membawa yang hak, maka adakah bagi kami pemberi syafa’at yang akan memberi syafa’at bagi kami, atau dapatkah kami dikembalikan (ke dunia) sehingga kami dapat beramal yang lain dari yang pernah kami amalkan?”. Sungguh mereka telah merugikan diri mereka sendiri dan telah lenyaplah dari mereka tuhan-tuhan yang mereka ada-adakan.” (QS. Al-A’raf : 53).
Ibnu Jarir Ath-Thabari menafsirkan :
هل ينتظر هؤلاء المشركون الذين يكذبون بآيات الله ويجحدون لقاءه “إلا تأويله”، يقول: إلا ما يؤول إليه أمرهم، من ورودهم على عذاب الله، وصِلِيِّهم جحيمه، وأشباه هذا مما أوعدهم الله به.
“Tidak ada yang ditunggu oleh orang-orang musyrik yang mengingkari ayat-ayat Allah dan menentang pertemuan dengan-Nya, kecuali ta’wilnya. Ia berkata, “kecuali apa yang urusan mereka kembali kepadanya, dari masuknya mereka ke dalam siksaan Allah, masuknya mereka ke dalam neraka jahim, dan yang semisalnya yang termasuk apa yang Allah ancamkan untuk mereka.” (Tafsir Ath-Thabari, 10/240-241).
Cukup banyak penggunaan kata ta’wil dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang dimaksudkan untuk makna ini. Contoh lainnya yang diucapkan oleh nabi Yusuf ketika melihat kenyataan mimpinya, arti ta’wil tersebut adalah perwujudan mimpinya ke dalam realita. Termasuk makna ta’wil mutasyabihat, yang lebih kuat adalah untuk makna ini. Ath-Thabari menukil perkataan Ibnu Zaid,
حدثني يونس قال، أخبرنا ابن وهب قال، قال ابن زيد في قوله : ﴿يَوْمَ يَأْتِي تَأْوِيْلُهُ﴾ قال : يوم يأتي حقيقته، وقرأ قول الله تعالى : ﴿هَذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِنْ قَبْلُ﴾ (سورة يوسف : ١٠٠) قال : هذا تحقيقها. وقرأ قول الله : ﴿وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ﴾ (سورة آل عمران : ٧). قال : ما يعلم حقيقته ومتى يأتي، إلا الله تعالى.
Yunus telah menceritakan kepadaku, ia berkata, Ibnu Wahb telah mengabarkan kepada kami, ia berkata, Ibnu Zaid berkata tentang firman-Nya, “Pada hari datang ta’wilnya”. Ia berkata, pada hari datang hakikatnya. Dan ia membaca firman Allah ta’ala, “Ini ta’wil mimpiku sebelumnya.” (QS. Yusuf : 100). Ia berkata, ini adalah perwujudan hakikatnya. Dan membaca firman Allah, “Dan tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah.” (QS. Ali Imran : 7). Ia berkata, “Tidak mengetahui hakikatnya dan kapan akan datang, kecuali Allah.” (Tafsir Ath-Thabari, 10/242/243).
Adapun dalam kategori thalab (tuntutan), makna ta’wil artinya adalah pelaksanaan dari tuntutan tersebut. Contohnya berikut ini :
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ، كَانَ رَسولُ اللهِ ﷺ يُكْثِرُ أنْ يَقُولَ في رُكُوعِهِ وسُجُودِهِ : سُبْحانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنا وبِحَمْدِكَ، اللَّهُمَّ اغْفِرْلي، يَتَأَوَّلُ القُرْآنَ.
Dari Aisyah, Ummul Mu’minin, “Rasulullah ﷺ memperbanyak berdoa dalam ruku dan sujudnya, “Maha suci Engkau ya Allah, tuhan Kami, dan dengan memuji-Mu, ya Allah, ampunilah aku”. Beliau menta’wilkan Al-Qur’an.” (HR. Bukhari, no. 817, Muslim, no. 484).
Maksud dari “menta’wilkan Al-Qur’an” adalah mengamalkan perintah Al-Qur’an yaitu dalam surat An-Nashr.
Contoh lainnya adalah perkataan Sufyan Ibnu Uyainah :
السُّنَّةُ هِيَ تَأْوِيْلُ الْأَمْرِ وَالنَّهْيِ
“Sunnah adalah ta’wil (pelaksanaan) dari perintah dan larangan”. (At-Tadmuriyyah, hal. 96).
Kedua,
التَّفْسِيْرُ أَيْ بَيَانُ الْمُرَادِ مِنَ الْكَلَامِ
Tafsir, yaitu penjelasan maksud dari suatu perkataan.
Contohnya dalam doa nabi ﷺ untuk Ibnu Abbas,
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ
“Ya Allah pahamkanlah ia dalam agama dan ajarkanlah kepadanya ta’wil (tafsir).” (HR. Bukhari no. 143, Muslim no. 2645 tanpa tambahan kata “wa’allimhut ta’wil”, tambahan tersebut ada pada riwayat Ahmad, no. 2879, Ibnu Hibban, no. 7055).
Juga, istilah ta’wil yang bermakna tafsir ini, banyak digunakan oleh para ulama ahli tafsir masa awal, termasuk oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam tafsirnya.
Untuk kedua makna inilah, yaitu hakikat perwujudan dari suatu berita atau tuntutan dan tafsir, kata ta’wil yang terdapat dalam Al-Qur’an, Sunnah dan perkataan para ulama Salaf.
Begitu pula dalam memahami kata ta’wil tentang ayat mutasyabihat, tidak akan keluar dari dua makna ini, dengan perbedaan waqaf pada kata “warrosikhuna”, yaitu apakah ayat mutasyabihat itu diketahui oleh Allah saja, ataukah orang-orang yang mendalam ilmunya juga dapat mengetahuinya. Jika diketahui oleh Allah saja, maka maksud ta’wil tersebut adalah hakikat perwujudannya, atau yang disebut dengan kaifiyyah. Yaitu misalnya berita-berita tentang perkara yang ghaib, seperti surga dan neraka, waktu terjadinya kiamat dan tanda-tandanya, termasuk tentang sifat-sifat Allah. Kita mengetahui makna-makna yang dikandungnya, tetapi tidak mengetahui kaifiyyah atau hakikat perwujudannya. Tapi jika diketahui pula oleh orang-orang berilmu, maka maksud dari ta’wil tersebut adalah tafsir. Tapi, menurut hemat saya yang lebih kuat adalah penafsiran yang pertama, karena waqafnya lebih tepat pada kata “illallah”, dan di dalamnya terdapat celaan bagi yang mencari-cari ta’wilnya. Hal itu sebagaimana dipilih oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam tafsirnya dan juga oleh para ahli tafsir lainnya.
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ۖ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran : 7).
Ibnu Katsir menguraikan dua penafsiran ini :
وَمِنَ الْعُلَمَاءِ مَنْ فَصَّلَ فِي هَذَا الْمَقَامِ، فَقَالَ: التَّأْوِيلُ يُطْلَقُ وَيُرَادُ بِهِ فِي الْقُرْآنِ مَعْنَيَانِ، أَحَدُهُمَا: التَّأْوِيلُ بِمَعْنَى حَقِيقَةِ الشَّيْءِ، وما يؤول أَمْرُهُ إِلَيْهِ، وَمِنْهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوا لَهُ سُجَّدًا وَقَالَ يَا أَبَتِ هَذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِنْ قَبْلُ قَدْ جَعَلَهَا رَبِّي حَقًّا﴾ )يُوسُفَ: ١٠٠ (وَقَوْلُهُ ﴿هَلْ يَنْظُرُونَ إِلا تَأْوِيلَهُ يَوْمَ يَأْتِي تَأْوِيلُهُ﴾ )الْأَعْرَافِ: ٥٣( أَيْ: حَقِيقَةُ مَا أُخْبَرُوا بِهِ مِنَ أَمْرِ الْمَعَادِ، فإن أريد بِالتَّأْوِيلِ هَذَا، فَالْوَقْفُ عَلَى الْجَلَالَةِ؛ لِأَنَّ حَقَائِقَ الْأُمُورِ وَكُنْهَهَا لَا يَعْلَمُهُ عَلَى الْجَلِيَّةِ إِلَّا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ، وَيَكُونُ قَوْلُهُ : ﴿وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ﴾ مُبْتَدَأً وَ ﴿يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ﴾ خَبَرَهُ.
وَأَمَّا إِنْ أُرِيدَ بِالتَّأْوِيلِ الْمَعْنَى الْآخَرُ وَهُوَ التَّفْسِيرُ وَالتَّعْبِيرُ وَالْبَيَانُ عَنِ الشَّيْءِ كَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿نَبِّئْنَا بِتَأْوِيلِهِ﴾ )يُوسُفَ: ٣٦( أَيْ: بِتَفْسِيرِهِ، فَإِنْ أُرِيدَ بِهِ هَذَا الْمَعْنَى، فَالْوَقْفُ عَلَى: ﴿وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ﴾ لِأَنَّهُمْ يَعْلَمُونَ وَيَفْهَمُونَ مَا خُوطِبُوا بِهِ بِهَذَا الِاعْتِبَارِ، وَإِنْ لَمْ يُحِيطُوا عِلْمًا بِحَقَائِقِ الْأَشْيَاءِ عَلَى كُنْهِ مَا هِيَ عَلَيْهِ، وَعَلَى هَذَا فَيَكُونُ قَوْلُهُ: ﴿يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ﴾ حَالًا مِنْهُمْ، وَسَاغَ هَذَا، وَهُوَ أَنْ يَكُونَ مِنَ الْمَعْطُوفِ دُونَ الْمَعْطُوفِ عَلَيْهِ، كَقَوْلِهِ: ﴿لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ﴾ إِلَى قَوْلِهِ: ﴿وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ﴾ الْآيَةَ (الْحَشْرِ: ٨-١٠)، وَكَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا﴾ (الْفَجْرِ: ٢٢) أَيْ : وَجَاءَتِ الْمَلَائِكَةُ صُفُوفًا صُفُوفًا
“Di antara ulama ada yang merincikan masalah ini, dia mengatakan bahwa ta’wil yang disebutkan dalam Al-Qur’an dimaksudkan mempunyai dua pengertian. Yang pertama adalah ta’wil dengan makna hakikat sesuatu dan apa yang perkaranya kembali kepadanya. Di antaranya firman Allah SWT, “Dan Yusuf berkata, “Wahai ayahku, inilah ta’wil mimpiku yang dahulu itu.” (QS. Yusuf: 100), dan firman-Nya, “Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) Al-Qur’an itu. Pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al-Qur’an itu …” (QS. Al-A’raf : 53). Yakni hakikat dari apa yang diberitakan kepada mereka menyangkut perkara akhirat. Apabila yang dimaksud dengan ta’wil seperti di atas berarti waqaf-nya pada lafzul Jalalah. Karena hakikat dan kenyataan segala sesuatu itu tidak ada seorang pun yang mengetahuinya dengan jelas kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan demikian, berarti firman-Nya, “Dan orang-orang yang mendalam ilmunya.” berkedudukan sebagai mubtada, sedangkan firman-Nya, “Mereka mengatakan, “Kami beriman kepadanya.” berkedudukan sebagai khabar-nya.
Adapun jika yang dimaksud dengan ta’wil ialah pengertian yang lain, yaitu tafsir, penjelasan, dan keterangan mengenai sesuatu, seperti firman Allah Ta’ala, “Beritahukanlah kepada kami ta’wilnya.” (QS. Yusuf: 36). Yakni tafsir dari mimpinya itu. Jika yang dimaksud adalah seperti ini, berarti waqaf-nya pada firman-Nya, “Dan orang-orang yang mendalam ilmunya”. Karena mereka mengetahui dan memahami apa yang di-khitab-kan oleh Al-Qur’an dengan ungkapannya itu, sekalipun pengetahuan mereka tidak meliputi hakikat segala sesuatu seperti apa adanya. Berdasarkan analisis ini, berarti firman-Nya, “Mereka mengatakan, “Kami beriman kepadanya.” berkedudukan sebagai hal yang menggambarkan keadaan mereka. Hal ini memang diperbolehkan, dan ia termasuk ma’tuf yang maknanya berbeda dengan ma’tuf ‘alaihnya. Seperti firman-Nya, “Bagi orang-orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan harta benda mereka.” sampai dengan firman-Nya, “Mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami.” hingga akhir ayat. (QS. Al-Hasyr : 8-10). Dan seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan datanglah Tuhanmu, dan malaikat dengan berbaris-baris. (QS. Al-Fajr : 22). Maksudnya, dan datang para malaikat dalam keadaan berbaris-baris.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/11-12).
Perkara-perkara yang mutasyabih yang disebutkan di dalam ayat, jika kita menelaah penafsiran para ulama, ia mencakup berita-berita yang wajib kita imani, tetapi tidak terkait langsung dengan pengamalan. Sedangkan yang muhkam adalah yang wajib diimani dan sekaligus diamalkan, yaitu berisi hukum-hukum amalan. Yang mutasyabih seperti tanda-tanda kiamat dan terjadinya hari kiamat, apa yang Allah janjikan di akhirat berupa surga dan neraka, termasuk tentang sifat-sifat Allah. Termasuk pula kisah-kisah para nabi, perumpamaan, sumpah-sumpah, ayat-ayat yang dinasakh, dan huruf-huruf muqatha’ah.
Perkara-perkara yang mutasyabih itu bukan berarti tidak dipahami sama sekali. Ada kadar makna yang diketahui, dan ada kadar makna yang tidak diketahui. Ada kadar ilmu yang bisa kita dapatkan darinya, dan ada kadar ilmu yang tidak akan mampu kita dapatkan. Ilmu yang bisa diketahui itulah yang kita butuhkan, sedangkan yang Allah sembunyikan itu tidak kita butuhkan. Kita paham apa yang Allah informasikan kepada kita berupa tanda-tanda kiamat, terjadinya kiamat, gambaran surga dan neraka, termasuk tentang sifat-sifat Allah. Itulah kadar ilmu yang kita ketahui. Tapi ada kadar yang tidak dapat kita ketahui, yaitu kapan persis terjadinya tanda-tanda kiamat dan kejadian kiamat itu, bagaimana wujud nyata dari surga dan neraka itu, termasuk pula bagaimana wujud sifat-sifat Allah itu. Itulah maksud ta’wil yang tidak diketahui, yaitu hakikat perwujudan atau kaifiyyah yang tidak diketahui.
Ibnu Jarir Ath-Thabari menjelaskan :
وذلك أن جميع ما أنزل الله عز وجل من آي القرآن على رسوله ﷺ، فإنما أنزله عليه بيانًا له ولأمته وهدًى للعالمين، وغيرُ جائز أن يكون فيه ما لا حاجة بهم إليه، ولا أن يكون فيه ما بهم إليه الحاجةُ، ثم لا يكون لهم إلى علم تأويله سبيل. فإذْ كان ذلك كذلك، فكل ما فيه بخلقه إليه الحاجة، وإن كان في بعضه ما بهم عن بعض معانيه الغنى، وإن اضطرته الحاجة إليه في معان كثيرة. وذلكَ كقول الله عز وجل: ﴿يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا﴾ (سورة الأنعام: ١٥٨)، فأعلم النبي ﷺ أمته أن تلك الآية التي أخبر الله جل ثناؤه عبادَه أنها إذا جاءت لم ينفع نفسًا إيمانها لم تكن آمنت من قبل ذلك، هي طُلوع الشمس من مغربها. فالذي كانت بالعباد إليه الحاجة من علم ذلك، هو العلم منهم بوقت نَفع التوبة بصفته، بغير تحديده بعدد السنين والشهور والأيام. فقد بين الله ذلك لهم بدلالة الكتاب، وأوضحه لهم على لسان رسوله ﷺ مفسَّرًا. والذي لا حاجة بهم إلى علمه منه، هو العلم بمقدار المدة التي بين وقت نزول هذه الآية ووقت حدوث تلك الآية، فإن ذلك مما لا حاجة بهم إلى علمه في دين ولا دنيا. وذلك هو العلم الذي استأثر الله جل ثناؤه به دون خلقه، فحجبه عنهم. وذلك وما أشبهه، هو المعنى الذي طلبت اليهودُ معرفته في مدّة محمد ﷺ وأمته من قبل قوله : “ألم” و”ألمص” و”ألر” و”ألمر” ونحو ذلك من الحروف المقطّعة المتشابهات، التي أخبر الله جل ثناؤه أنهم لا يدركون تأويل ذلك من قبله، وأنه لا يعلم تأويله إلا الله. فإذْ كان المتشابه هو ما وصفنا، فكل ما عداه فمحكم. لأنه لن يخلو من أن يكون محكمًا بأنه بمعنى واحد لا تأويل له غير تأويل واحد، وقد استغنى بسماعه عن بيان يُبينه أو يكون محكمًا، وإن كان ذا وُجوه وتأويلات وتصرف في معان كثيرة. فالدلالة على المعنى المراد منه، إما من بيان الله تعالى ذكره عنه، أو بيان رسوله ﷺ لأمته. ولن يذهبَ علم ذلك عن علماء الأمة لما قد بيَّنَّا.
“Hal itu karena seluruh apa yang Allah Azza wa Jalla turunkan dari ayat Al-Qur’an kepada rasul-Nya ﷺ, tiada lain Allah menurunkannya sebagai penjelasan baginya, bagi umatnya, dan petunjuk bagi seluruh alam. Tidak boleh di dalamnya ada sesuatu yang tidak dibutuhkan oleh mereka, dan tidak pula apa mereka butuhkan tidak ada di dalamnya, kemudian tidak ada jalan bagi mereka untuk mengetahui ta’wilnya (tafsirnya). Kalau begitu, maka seluruh yang ada di dalamnya (Al-Qur’an), adalah dibutuhkan oleh makhluk-Nya. Meskipun mereka tidak membutuhkan kepada sebagian maknanya, dan membutuhkan kepada makna-makna lainnya yang banyak. Hal itu seperti firman Allah ta’ala, “Pada hari datang sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Rabbmu, tidak bermanfaat bagi seorang pun keimanannya yang sebelumnya ia belum beriman, atau mengusahakan kebaikan pada keimanannya (yang telah ada).” (QS. Al-An’am : 158). Maka Nabi ﷺ memberitahukan kepada umatnya bahwa ayat tersebut Allah beritahukan kepada para hamba-Nya, bahwa tanda-tanda itu apabila datang tidak akan bermanfaat bagi seorang pun keimanannya yang sebelum itu ia belum beriman, seperti terbitnya matahari dari barat. Ilmu yang dibutuhkan oleh hamba dari hal itu adalah ilmu mengetahui waktu bermanfaatnya taubat dengan karakteristiknya, tanpa penentuannya dengan jumlah tahun, bulan dan hari. Sungguh, Allah telah menjelaskan hal itu kepada mereka dengan petunjuk Al-Qur’an, dan menjelaskan kepada mereka melalui lisan rasul-Nya ﷺ dalam keadaan ditafsirkan. Sedangkan yang tidak dibutuhkan untuk mengetahuinya, yaitu ilmu terhadap ukuran waktu antara waktu turunnya ayat ini dengan waktu terjadinya, sesungguhnya hal itu merupakan ilmu yang tidak dibutuhkan untuk mengetahuinya baik di dunia maupun di akhirat. Itulah ilmu yang Allah rahasiakan untuk diri-Nya tanpa memberitahukan kepada makhluk-Nya, dimana Ia menutupinya dari mereka. Hal tersebut dan yang semisalnya adalah makna yang dicari-cari oleh Yahudi untuk mengetahuinya tentang usia nabi Muhammad ﷺ dan umatnya dari firman-Nya, “Alif Lam Mim, Alif Lam Mim Shad, Alim Lam Ra, Alif Lam Mim Ra”, dan yang semisalnya dari huruf-huruf muqatha’ah yang mutasyabih, yang Allah beritahukan bahwa mereka tidak mengetahui ta’wil hal tersebut sebelumnya, dan bahwa tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah. Jika yang mutasyabih itu adalah sebagaimana yang telah kami jelaskan, maka semua yang selain itu adalah muhkam. Karena yang muhkam itu bisa berupa yang memiliki satu makna dan tidak ada ta’wil kecuali ta’wil yang satu tersebut, dan sungguh cukup baginya tanpa perlu kepada penjelasan yang menjelaskannya. Dan bisa pula yang memiliki berbagai bentuk pemaknaan, ta’wil-ta’wil (tafsir-tafsir), dan bisa digunakan dalam banyak makna. Maka yang menunjukkan kepada makna yang dimaksudnya itu, bisa dari penjelasan Allah yang menyebutkan hal tersebut, atau dari penjelasan rasul-Nya kepada umatnya. Dan ilmu tersebut tidak akan hilang dari para ulama umat ini, oleh sebab yang telah kami jelaskan.” (Tafsir Ath-Thabari, 5/199-201).
Ketiga,
صَرْفُ اللَّفْظِ عَنِ الْاحْتِمَالِ الرَّاجِحِ إِلَى الْاِحْتِمَالِ الْمَرْجُوْحِ بِدَلِيْلٍ يَقْتَرِنُ بِهِ
“Memalingkan lafazh dari kandungan makna yang kuat kepada kandungan makna yang lemah dengan adanya dalil yang menjadi qorinahnya (keterangan yang memalingkannya).”
Pengkhususan istilah ta’wil kepada makna ini belum dikenal di era Salaf bahkan di era para imam madzhab. Ia baru muncul belakangan digunakan oleh para ahli ilmu Ushul Fiqih dan para ahli fiqih ketika memperdalam pembahasan tentang dilalah nash.
Ta’wil terhadap nash dengan makna ini bisa diterima jika memang ada dalil yang menguatkannya. Inilah yang disebut dengan ta’wil yang benar (ta’wil shahih). Ta’wil yang shahih ini sebenarnya termasuk bagian dari penafsiran yang benar. Karena memang ia makna asal dari ta’wil itu sendiri, sebagaimana telah dijelaskan. Adapun jika tidak ada dalil, atau menganggap ada dalil padahal sebenarnya ia bukan dalil yang membenarkan ta’wilnya, maka ini disebut dengan ta’wil yang rusak (ta’wil fasid).
Makna ketiga inilah yang dimaksud oleh para ahli kalam seperti Jahmiyyah dan Mu’tazilah, dan yang mengikuti mereka, ketika mereka menta’wilkan sifat-sifat Allah. Menta’wil sifat-sifat Allah ini tidak bisa diterima karena tidak didukung oleh dalil yang kuat. Dalilnya hanya anggapan mereka yang lemah bahwa sifat-sifat yang Allah tetapkan untuk diri-Nya itu secara zahirnya mengandung keserupaan dengan makhluk, mereka bersikap lancang dan berani mengalihkan suatu makna yang telah ditetapkan oleh Allah tanpa ada penjelasan dari Allah dan rasul-Nya, mereka terjerumus kepada kekeliruan berbicara atas nama Allah tanpa ilmu. Mengalihkan makna seperti ini adalah tahrif (pengubahan) terhadap firman Allah. Dan ujungnya tidak ada beda dengan menafikan sifat-sifat Allah tersebut. Ketika muncul anggapan keserupaan dengan makhluk, seharusnya yang mereka lakukan adalah menghilangkan anggapannya tersebut, bukan malah mengubah sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah. Kita wajib mengimani apa yang Allah tetapkan untuk diri-Nya, beserta makna yang dikandung di dalamnya, yang sesuai dengan keagungan-Nya.
Jadi, di sini harus bisa membedakan antara menta’wil nash, yang bisa diterima jika ada dalil yang menguatkannya, dengan menta’wil sifat Allah, yang tidak bisa diterima sama sekali. Rata-rata yang mereka jadikan dalil bahwa salaf itu menta’wil, sebenarnya mereka sedang menta’wil nash, dalam arti menafsirkan dengan tafsiran yang benar, bukan sedang menta’wil sifat Allah. Karena nash tersebut tidak sharih apakah sedang berbicara tentang sifat Allah ataukah tidak. Jelilah dalam memahami perbadaan ini. Salah satu contoh misalnya penafsiran sekelompok sahabat dan tabi’in terhadap kata saq (betis) dalam ayat berikut,
يَوْمَ يُكْشَفُ عَن سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ فَلَا يَسْتَطِيعُونَ
“(Ingatlah) pada hari ketika betis disingkapkan dan mereka diseru untuk bersujud, maka mereka tidak mampu.” (QS. Al-Qalam : 42).
Mereka menafsirkan kata “saq” dengan “perkara yang berat” (al-karb/ al-amr asy-syadid/syiddatul amr), karena memang dalam bahasa Arab kata saq tersebut bisa bermakna perkara yang berat. (Lihat Tafsir Ath-Thabari, 23/187). Dan dalam ayat tersebut tidak sharih/jelas sedang berbicara saq (betis) yang merupakan salah satu sifat yang Allah tetapkan untuk diri-Nya, karena lafazhnya disebutkan secara nakirah dan tidak dinisbatkan langsung kepada Allah. Jadi, mereka tidak sedang menta’wilkan sifat Allah yang ditetapkan dalam ayat tersebut, justru mereka menilai ayat tersebut tidak sedang berbicara tentang sifat Allah. Tidak ada keterangan yang menunjukkan bahwa mereka menolak sifat “saq” yang ditetapkan bagi Allah dalam nash lain.
Sedangkan yang menafsirkannya sebagai salah satu sifat Allah adalah berdasarkan dalil lain yang secara jelas menyebutkannya, yaitu dengan menisbatkannya langsung kepada Allah. Yaitu dalam hadits berikut,
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ النَّبِيَّ ﷺ يَقُوْلُ : يكْشِفُ رَبُّنَا عَنْ سَاقِهِ، فَيَسْجُدُ لَهُ كُلُّ مُؤْمِنٍ وَمُؤمِنَةٍ، ويَبْقى مَنْ كَانَ يَسْجُدُ في الدُّنيا رِيَاءً وَسُمْعَةً، فَيَذْهَبُ لِيَسْجُدَ، فَيَعُوْدُ ظَهْرُهُ طَبَقًا وَاحِدًا
“Dari Abu Sa’id Al-Khudri ra, ia berkata, “Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda, “Tuhan kita akan menyingkapkan betis-Nya, maka bersujud kepada-Nya semua laki-laki dan perempuan beriman, dan tersisa orang yang biasa sujud di dunia karena riya’dan sum’ah. Dia ingin sujud, tetapi punggungnya menjadi satu ruas saja.” (HR. Bukhari, kitab Tafsri Al-Qur’an, bab pada hari disingkapkan betis, no. 4919, lihat Tafsir Al-Baghawi, 8/200).
Allah Al-Hadi lish Shawab.
t.me/butirpencerahan
t.me/maisy_institute