Fatwapedia.com – Sudah menjadi tradisi bagi sebagian orang membungkukkan badan atau punggungnya saat berjabat tangan. Hal ini biasanya dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan karena kedudukannya. Lantas bagaimana islam memandang tradisi semacam ini?
Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ الرَّجُلُ مِنَّا يَلْقَى أَخَاهُ أَوْ صَدِيقَهُ أَيَنْحَنِي لَهُ؟ قَالَ: “لَا”، قَالَ: أَفَيَلْتَزِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ؟ قَالَ: “لَا”، قَالَ: أَفَيَأْخُذُ بِيَدِهِ وَيُصَافِحُهُ؟ قَالَ: “نَعَمْ.” هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ.
Anas bin Malik raḍiyallāhu ‘anhu mengatakan bahwa seseorang bertanya kepada Rasululullah: ‘Seseorang dari kami bertemu dengan saudaranya atau temannya, apakah boleh ia membungkukkan punggung kepadanya?’ Rasulullah menjawab: ‘Tidak boleh.’ Lalu ia bertanya lagi: ‘Lantas apakah ia boleh memeluk dan menciumnya?’ Rasulullah jawab: ‘Tidak boleh.’ Ia bertanya kembali: ‘Kemudian apakah boleh ia jabat tangannya dan menyalaminya?’ Rasulullah menjawab: ‘Iya, boleh.’ Al-Imām At-Tirmiżiyy (w. 279 H) katakan: “Ini hadis yang derajatnya hasan.” [At-Tirmiżiyy, As-Sunan (IV/447-448). Beirut: Dārul Gharbil Islāmiyy, 1996]
Hadis ini dijelaskan oleh Al-Imām An-Nawawiyy (w. 676 H) dengan mengatakan:
وَيُكْرَهُ حَنْيُ الظَّهْرِ فِيْ كُلِّ حَالٍ لِكُلِّ أَحَدٍ، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ مَا قَدَّمْنَا فِيْ الْفَصْلَيْنِ الْمُتَقَدِّمَيْنِ مِنْ حَدِيْثِ أَنَسٍ، وَقَوْلِهِ: ” أَيَنْحَنِيْ لَهُ؟ قَالَ: لَا.” وَهُوَ حَدِيْثٌ حَسَنٌ كَمَا ذَكَرْنَاهُ، وَلَمْ يَأْتِ لَهُ مُعَارِضٌ، فَلَا مَصِيْرَ إِلَى مُخَالَفَتِهِ.
“Makruh hukumnya membungkukkan punggung di hadapan siapapun. Dalilnya ialah hadis riwayat Anas raḍiyallāhu ‘anhu yang telah kami bawakan di dua subbab sebelumnya yang di dalamnya ada pertanyaan kepada Rasulullah: ‘Apakah boleh seseorang membungkukkan punggung di hadapan orang lain saat mencium tangannya ketika bertemu dan mengucapkan salam?’ Rasulullah menjawab: ‘Tidak boleh’.
Ini hadis yang derajatnya hasan sebagaimana telah kami sebutkan, serta tidak ada dalil lain yang bertentangan dengannya, sehingga tidak boleh seorang pun menyelisihi hadis ini.“ [An-Nawawiyy, Al-Ażkār (hlm. 484-485). Riyadh: Dār Ibni Khuzaimah, 2001]
Hukum “makruh” yang diberikan Al-Imām An-Nawawiyy tidaklah bertolak belakang dengan sabda Rasulullah: “Tidak boleh’”, sebab tidak boleh maknanya “tidak mubah”. Sementara “tidak mubah” dalam situasi ini mencakup di antaranya “makruh” dan “haram”. Kemudian Al-Imām Ibnu ‘Allān (w. 1057 H) jelaskan perkataan Al-Imām An-Nawawiyy ini dengan menyatakan:
قَوْلُهُ: (وَيُكْرَهُ حَنْيُ الظَّهْرِ) ظَاهِرُهُ وَإِنْ وَصَلَ إِلَى حَدِّ الرُّكُوْعِ، فَإِنَّهُ يَبْقَى مَكْرُوْهًا. … وَظَاهِرٌ أَنَّ مَحَلَّ مَا ذُكِرَ فِيْ الْاِنْحِنَاءِ مَا لَمْ يَقْصِدْ بِهِ الرُّكُوْعَ. وَإِلَّا، فَيَحْرُمُ لِأَنَّهُ تَعَاطَى عِبَادَةً فَاسِدَةً، بَلْ فِيْ بَعْضِ صُوَرِهِ مَا يَقْتَضِيْ الْكُفْرَ.
“Ucapan Al-Imām An-Nawawiyy ‘Makruh hukumnya membungkukkan punggung…’ nampak darinya bahwa meskipun membungkukkannya sampai serendah ruku’, hukumnya tetap makruh. … Nampak juga bahwa penjelasan beliau tadi hanya terkait membungkukkan badan yang tidak disertai kesengajaan melakukan ruku’. Adapun jika seseorang sengaja ruku’ kepada orang lain, maka hukumnya haram sebab ia melakukan hal yang merupakan khas ibadah secara tidak benar. Bahkan dalam sebagian kondisi, ruku’ di hadapan orang lain bisa menjadi perbuatan kekafiran.” [Ibnu ‘Allān, Al-Futūḥāt Ar-Rabbāniyyah (V/263). Beirut: Dārul Kutubil ‘Ilmiyyah, 2004]
Kondisi di mana ruku’ kepada orang lain bisa menjadi perbuatan kekafiran telah dijelaskan oleh Al-Imām Ibnu Ḥajar Al-Haitamiyy (w. 974 H):
لَوْ قَصَدَ تَعْظِيمَ مَخْلُوقٍ بِالرُّكُوعِ كَمَا يُعَظِّمُ اللَّهَ بِهِ فَإِنَّهُ لَا شَكَّ فِي الْكُفْرِ حِينَئِذٍ.
“Jika seseorang ruku’ kepada makhluk dengan maksud mengagungkannya sebagaimana mengagungkan Allah, maka tidak ragu lagi bahwa saat itu adalah perbuatan kekafiran.” [Al-Haitamiyy, Tuḥfatul Muḥtāj (X/677). Kairo: Dārul Ḥadīṡ, 2016]
Sebagai penguat dari penjelasan tadi, Asy-Syaikh Al-Bujairamiyy (w. 1221 H) tegaskan:
وَالْحَاصِلُ أَنَّ الِانْحِنَاءَ لِمَخْلُوقٍ كَمَا يُفْعَلُ عِنْدَ مُلَاقَاةِ الْعُظَمَاءِ حَرَامٌ عِنْدَ الْإِطْلَاقِ أَوْ قَصْدِ تَعْظِيمِهِمْ لَا كَتَعْظِيمِ اللَّهِ، وَكُفْرٌ إنْ قَصَدَ تَعْظِيمَهُمْ كَتَعْظِيمِ اللَّهِ تَعَالَى.
“Simpulannya adalah bahwa membungkukkan punggung (maksud beliau: ruku’) kepada makhluk sebagaimana dilakukan ketika berjumpa dengan para tokoh yang diagungkan hukumnya haram ketika orang yang melakukannya tidak memaksudkan apapun atau ia memaksudkan pengagungan kepada orang tersebut tapi dengan pengagungan yang berbeda dari pengagungan kepada Allah. Hukumnya pun selain haram adalah merupakan perbuatan kekafiran jika ia memaksudkan pengagungan terhadap orang lain seperti pengagungan terhadap Allah subḥānahu wata’ālā.” [Al-Bujairamiyy, Tuḥfatul Ḥabīb (IV/241). Beirut: Dārul Fikr, 2007]
Perkataan beliau ini juga dikutip lengkap sebagai persetujuan oleh As-Sayyid Bakriyy (w. 1310 H) dalam I’ānatuṭ Ṭālibīn [Bakriyy, I’ānatuṭ Ṭālibīn (IV/240-241). Damaskus: Dārul Faiḥā’, 2020]. Melihat konteks pembicaraan di kitab Tuḥfatul Ḥabīb tadi yang memang sedang membahas hukum ruku’ kepada selain Allah, tentu yang dimaksud oleh Asy-Syaikh Al-Bujairamiyy bukan sekadar membungkukkan punggung meskipun sampai serendah posisi ruku’, tetapi melakukan ruku’. Itu juga bisa kita pahami dari narasi yang dibawakan As-Sayyid Bakriyy dalam I’ānatuṭ Ṭālibīn ketika mengutipnya.
Penjelasan kedua imam tadi seolah menjawab diskusi yang dibawakan oleh Al-Imām Asy-Syibrāmalisiyy (w. 1087 H) ketika memberikan catatan kaki atas kitab Nihāyatul Muḥtāj karya Al-Imām Syamsuddīn Ar-Ramliyy (w. 1004 H):
(قَوْلُهُ: مِنْ السُّجُودِ بَيْنَ يَدَيْ الْمَشَايِخِ) هَلْ مِثْلُهُ مَا يَقَعُ لِبَعْضِهِمْ مِنْ الِانْحِنَاءِ إلَى حَدِّ الرُّكُوعِ، أَوْ مَا زَادَ عَلَيْهِ بِحَيْثُ يَقْرَبُ إلَى السُّجُودِ أَوْ لَا؟ فِيهِ نَظَرٌ. وَلَا يَبْعُدُ أَنَّهُ مِثْلُهُ. وَقَدْ يُفَرَّقُ بِأَنَّ السُّجُودَ يُتَعَبَّدُ بِهِ وَحْدَهُ كَسَجْدَةِ التِّلَاوَةِ وَالشُّكْرِ، بِخِلَافِ الرُّكُوعِ وَمَا قَارَبَهُ لَا يُتَعَبَّدُ بِشَيْءٍ مِنْهُمَا وَحْدَهُ.
“Ucapan beliau (mengutip Al-Ḥāfiẓ Ibnuṣ Ṣalāḥ, w. 643 H) ‘Haramnya sujud di depan para syaikh’, apakah sama juga hukumnya apa yang dilakukan kepada sebagian syaikh dari membungkukkan punggung sampai serendah posisi ruku’, atau lebih menunduk lagi hingga mendekati sujud ataukah hukumnya berbeda? Ini butuh diteliti. Tidak mustahil hukumnya sama. Hanya saja bisa dibedakan antara sujud dan ruku’ adalah bahwa ada ibadah yang wujudnya semata sujud, seperti sujud tilawah dan sujud syukur. Berbeda dengan ruku’ atau yang membungkukkan punggung hingga mendekati posisi ruku’ yang tidak ada ibadah disyariatkan dengan ruku’ saja.” [Asy-Syibrāmalisiyy, Al-Ḥāsyiyah ‘alā Nihāyatil Muḥtāj (I/122). Beirut: Dārul Kutubil ‘Ilmiyyah, 2003]
Pembedaan antara ruku’ dan sujud ini sebetulnya telah disebutkan oleh Al-Imām Ibnu Ḥajar Al-Haitamiyy:
وَخَرَجَ بِالسُّجُودِ الرُّكُوعُ لِأَنَّ صُورَتَهُ تَقَعُ فِي الْعَادَةِ لِلْمَخْلُوقِ كَثِيرًا بِخِلَافِ السُّجُودِ.
“Ruku’ berbeda dari sujud sebab perbuatan seperti ruku’ menjadi adat kebiasaan banyak peradaban sebagai penghormatan yang bukan ibadah. Berbeda halnya dengan sujud.” [Tuḥfatul Muḥtāj (X/677)]
Kesimpulan
1. Hukum membungkukkan punggung saat mencium tangan orang lain ketika memberi salam hormat adalah makruh.
2. Hukum memberikan salam penghormatan pada orang lain dengan cara ruku’ adalah haram, tetapi tidak merupakan perbuatan kekafiran, selama:
a. tidak dimaksudkan apapun.
b. tidak dimaksudkan pengagungan terhadap orang tersebut dengan pengagungan yang sama terhadap Allah.
3. Hukum ruku’ atau bahkan sekadar membungkukkan punggung yang tidak sampai serendah ruku’ adalah haram serta merupakan perbuatan kekafiran manakala dismaksudkan pengagungan terhadap orang lain tersebut dengan pengagungan yang sama terhadap Allah.
Sungguh tepatlah Al-Imām An-Nawawiyy ketika menutup penjelasan tentang hukum membungkukkan punggung ini dengan paparan beliau:
وَلَا يُغْتَرَّ بِكَثْرَةِ مَنْ يَفْعَلُهُ مِمَّنْ يُنْسَبُ إِلَى عِلْمٍ أَوْ صَلَاحٍ وَغَيْرِهِمَا مِنْ خِصَالِ الْفَضْلِ، فَإِنَّ الْاِقْتِدَاءَ إِنَّمَا يَكُوْنُ بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قال الله تعالى: (وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا) [الحشر: 7] وقال تعالى: (فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُوْنَ عَنْ اَمْرِهٖٓ اَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ اَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ) [النور: 63] . وَقَدْ قَدَّمْنَا فِيْ كِتَابِ الْجَنَائِزِ عَنِ الْفُضَيْلِ بْنِ عِيَاضٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَا مَعْنَاهُ: اتّبِعْ طُرُقَ الْهُدَى، وَلَا يَضُرُّكَ قِلَّةُ السَّالِكِيْنَ. وَإِيَّاكَ وَطُرُقَ الضَّلَالَةِ، وَلَا تَغْتَّرَّ بِكَثْرَةِ الْهَالِكِيْنَ، وَبِاللهِ التَّوْفِيْقِ.
“Janganlah seseorang tertipu dengan banyaknya yang melakukan hal makruh ini dari orang-orang yang dikenal berilmu, salih, atau memiliki keutamaan lainnya, sebab keteladanan sejati hanyalah kepada Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam.
Allah berfirman: ‘Apa yang diajarkan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.’ [QS. 59: 7]
Allah juga berfirman: ‘maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa azab yang pedih.’ [QS. 24: 63]
Sungguh kami telah kutipkan sebelumnya di bab Jenazah ucapan Al-Fuḍail bin ‘Iyāḍ (w. 187 H) yang maknanya: ‘Ikutilah jalan-jalan petunjuk dan tidak akan membahayakanmu sedikitnya orang yang melaluinya. Serta jauhilah jalan-jalan kesesatan dan janganlah tertipu dengan banyaknya orang yang binasa.’ Hanya pada Allah-lah kita memohon taufik.“ [Al-Ażkār (hlm. 484-485)].