Oleh: Ustadz Abu Sa’id Neno Triyono
Fatwapedia.com – Bulan Sya’ban tidak bisa dipisahkan dengan berbagai amalan-amalan sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah. Termasuk amalan yang utama jika dilakukan di bulan ini adalah puasa sunnah Sya’ban. Yang dianjurkan adalah memperbanyak puasa pada bulan tersebut dan tidak ditentukan harinya, artinya bebas memilih sesuai kesanggupan. Terkait dengan puasa Sya’ban ada sebuah hadits yang melarang melakukan puasa sunnah setelah masuk setengah (pertengahan) bulan Sya’ban. Bagaimana status kehujanan hadits tersebut? Untuk menjawabnya kita perlu melakukan takhrij akan ke shohihan hadits yang dimaksud.
Diriwayatkan oleh Shahabi Jaliil wal Masyhuur Abdurrahman bin Shakhr Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
ﺇِﺫَﺍ ﺍﻧْﺘَﺼَﻒَ ﺷَﻌْﺒَﺎﻥُ، ﻓَﻠَﺎ ﺗَﺼُﻮﻣُﻮﺍ
“Jika sampai pertengahan bulan Sya’ban, maka janganlah kalian berpuasa”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam “Al-Musnad” (no. 9707), Imam Abu Dawud dalam “Sunannya” (no. 2337), Imam Tirmidzi dalam “Sunannya” (no. 738), Imam Nasa`i dalam “Sunan al-Kubra” (no. 2923), Imam Ibnu Majah dalam “Sunannya” (no. 1651), Imam Ad-Daarimiy dalam “Sunannya” (1781), Imam Ibnu Hibban dalam “Shahihnya” (no. 3589 & 3591), dan selain mereka dengan sanad yang semuanya bermuara kepada :
ﺍﻟْﻌَﻠَﺎﺀِ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺑْﻦِ ﻳَﻌْﻘُﻮﺏَ، ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻴﻪِ، ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ، ﻗَﺎﻝَ : ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ
“Al-‘Alaa` bin Abdirrahman bin Ya’quub, dari Bapaknya, dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salaam bersabda : Al-Hadits”.
Kedudukan sanadnya : Bapaknya Al-‘Alaa` yakni Abdurrahman bin Ya’quub adalah perawi tsiqah yang dijadikan hujjah oleh Imam Muslim. Adapun Al-‘Alaa` sendiri para ulama berbeda pendapat dalam memberikan penilaian terhadapnya, yang dengan perbedaan inilah, kemudian timbul perbedaan dalam menshahihkan dan mendhaifkan hadits ini.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya “Fath Al-Baariy” (4/129) mengatakan :
ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺟُﻤْﻬُﻮﺭُ ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﻳَﺠُﻮﺯُ ﺍﻟﺼَّﻮْﻡُ ﺗَﻄَﻮُّﻋًﺎ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟﻨِّﺼْﻒِ ﻣِﻦْ ﺷَﻌْﺒَﺎﻥَ ﻭَﺿَﻌَّﻔُﻮﺍ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚَ ﺍﻟْﻮَﺍﺭِﺩَ ﻓِﻴﻪِ
“Mayoritas ulama membolehkan puasa tathawu’ setelah pertengahan bulan Sya’ban dan mereka mendhaifkan hadits yang datang terkait larangannya”.
Alasan pendhaifan mereka adalah dari segi sanad dan matan (isi) haditsnya. Adapun dari segi sanad yaitu adanya penilaian negatif dari para ulama jarh wa ta’dil terhadap perawinya yang bernama Al-‘Alaa`:
Pertama, Imam Yahya bin Ma’in sebagaimana dalam riwayat Ad-Duuriy beliau menilai Al-‘Alaa` sebagai : “ ﻟﻴﺲ ﺣﺪﻳﺜﻪ ﺑﺤﺠﺔ ” (haditsnya bukanlah hujjah).
(Al-Jarh wa At-Ta’dil, Ibnu Abi Hatim, 6/357)
Kedua, Imam Abu Hatim menilainya “ ﺻﺎﻟﺢ ” (Shaalih). (Idem)
Ketiga, Imam Abu Zur’ah menilainya, “ ﻟﻴﺲ ﻫﻮ ﺑﺎﻗﻮﻯ ﻣﺎ ﻳﻜﻮﻥ ” (dia tidak kuat haditsnya).
(Al-Jarh, 6/356)
Keempat, Imam Abu Ahmad ibnu ‘Adiy menilainya, “ ﻟﻴﺲ ﺑﺎﻟﻘﻮﻱ ” (tidak kuat).
(Al-Kaamil fii Adh-Dhu’aafaa’, 6/372)
Kelima, Imam Ibnul Jauzi memasukkanya sebagai perowi dhaif dalam kitabnya “Adh-Dhu’aafaa` wa Al-Matrukiin” (2/187).
Keenam, Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya “Al-Kaasyif” (2/105) menyetujui penilaian Imam Abu Hatim terhadapnya.
Dan selain mereka yang penulis belum mengetahuinya.
Berdasarkan kelemahan pada diri Al-‘Alaa` inilah, maka hadits yang kita bahas ini hukumnya dhaif alias lemah.
Adapun dari sisi matan (isi) hadits, maka hadits ini bertentangan dengan hadits yang masyhur dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhumaa yang memberitahukan sifat puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pada bulan Sya’ban, diantara lafazh haditsnya adalah :
ﻛَﺎﻥَ ﻳَﺼُﻮﻡُ ﺷَﻌْﺒَﺎﻥَ ﻛُﻠَّﻪُ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salaam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban pada semua harinya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Kami pernah membahas sebelumnya tentang apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam benar-benar full berpuasa bulan Sya’ban atau sebagian besar harinya, hanya beberapa hari saja yang beliau berbuka, namun pointnya disini adalah, jika memang benar adanya larangan berpuasa mulai tanggal 16 bulan Sya’ban dan seterusnya sampai akhir Sya’ban, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits yang kita bahas, maka tentu ini bertentangan dengan hadits Bukhari-Muslim ini, dan tentunya Shahihain dimenangkan atas selainnya mengingat kualitas sanadnya yang telah disepakati oleh para ulama.
Kemudian hadits yang kita bahas juga bertentangan dengan hadits dalam Bukhari-Muslim juga dari riwayat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullaah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ﻻ ﺗَﻘَﺪَّﻣُﻮﺍ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﺑِﺼَﻮْﻡِ ﻳَﻮْﻡٍ ﻭَﻻ ﻳَﻮْﻣَﻴْﻦِ ﺇِﻻ ﺭَﺟُﻞٌ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﺼُﻮﻡُ ﺻَﻮْﻣًﺎ ﻓَﻠْﻴَﺼُﻤْﻪُ
“Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari, melainkan seseorang yang (terbiasa) berpuasa, maka berpuasalah.”
Hadits tersebut memberikan pengertian larangannya berlaku pada akhir bulan Sya’ban, jika benar larangannya sudah mulai berlaku pada pertengahan bulan Sya’ban, maka tentu hadits Shahihain ini tidak berfaedah, karena sebelumnya sudah dilarang, kecuali kalau kita kalahkan hadits yang melarangnya mulai pertengahan bulan Sya’ban, mengingat kualitas sanadnya yang lebih rendah dibandingkan dengan hadits ini.
Diantara deretan ulama yang melemahkan hadits ini adalah Imam Ahmad, Imam Yahya bin Ma’in, Imam Abdurrahman bin Mahdi, Imam Baihaqi, Imam Ath-Thahawi dan selain mereka.
Adapun sebagian ulama yang menerima hadits yang kita bahas, juga sama alasannya dari segi sanad dan jawaban mereka atas klaim adanya pertentangan isinya dengan hadits yang lain.
Dari segi sanad, tidak sedikit ulama yang memberikan penilain positif kepada Al-‘Alaa` ini, diantara meraka :
• Imam Muhammad bin Umar mengomentari diri Al-‘Alaa` ini, sebagaimana dinukil oleh Imam Ibnu Sa’ad dalam kitabnya “Ath-Thabaqaat Al-Kubraa” (hal. 330) :
ﻗَﺎﻝَ ﻣُﺤَﻤَّﺪُ ﺑْﻦُ ﻋُﻤَﺮَ : ﻭَﺻَﺤِﻴﻔَﺔُ ﺍﻟْﻌَﻠَﺎﺀِ ﺑِﺎﻟْﻤَﺪِﻳﻨَﺔِ ﻣَﺸْﻬُﻮﺭَﺓٌ , ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺛِﻘَﺔً ﻛَﺜِﻴﺮَ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚِ ﺛَﺒَﺘًﺎ
“Shahifah (lembaran karya tulisan) Al-‘Alaa` ini masyhur di Madinah, beliau perawi tsiqah, banyak haditsnya lagi tsabat”.
• Imam Yahya bin Ma’in dalam kitab “Taarikhnya” berdasarkan riwayat Imam Utsman Ad-Daarimiy menilai Al-‘Alaa` : “ ﻟَﻴْﺲَ ﺑِﻪِ ﺑَﺄْﺱ ” (tidak mengapa).
• Imam Al-‘Ijliy dalam kitabnya “Ats-Tsiqaat” (hal. 343) menilainya “ ﺗﺎﺑﻌﻲ، ﺛﻘﺔ ” (seorang Tabi’i tsiqah).
• Imam Ibnu Hibban juga mentsiqahkannya
(Lihat Ats-Tsiqaat (5/247).
• Imam Ahmad juga mentsiqahkannya sebagaimana diceritakan oleh anaknya Imam Abdullah bin Imam Ahmad
(Lihat Al-Ma’ushuu’ah Aqwaal Imam Ahmad 3/132).
• Imam adz-Dzahabi dalam kitabnya “Siyar A’laaam An-Nubalaa`” (6/186), memberikan penilaian shaduq kepadanya.
• Begitu juga Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah memberikan penilain shaduq kepadanya. Seolah-olah ini sebagai upaya mengkompromikan antara yang menilainya negatif dengan yang menilainya positif.
Barangkali ini bisa dijadikan contoh atas penafsiran sebagian ulama terhadap penilaian Imam Tirmidzi dalam kitab Sunannya yang sering menggunakan istilah “hadits hasan shahih”, yakni maknanya telah terjadi perbedaan pendapat dari kalangan para ulama, apakah ia ditsiqahkan atau kedudukannya lebih rendah dari itu, karena setelah meriwayatkan hadits yang kita bahas ini, Imam Tirmidzi berkata :
ﺣَﺪِﻳﺚُ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﺣَﺪِﻳﺚٌ ﺣَﺴَﻦٌ ﺻَﺤِﻴﺢٌ، ﻟَﺎ ﻧَﻌْﺮِﻓُﻪُ ﺇِﻟَّﺎ ﻣِﻦْ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟﻮَﺟْﻪِ ﻋَﻠَﻰ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟﻠَّﻔْﻆِ
“Hadits Abu Hurairah hadits hasan shahih, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalan ini, dengan lafazh ini”.
Kemudian seandainya diterima hadits yang kita bahas ini, lalu bagaimana menjawab hadits-hadits sebelumnya yang dianggap bertentangan oleh sebagian ulama, maka sebagian ulama memberikan jawaban bahwa larangan dalam hadits ini dibawa kepada makruh bagi orang yang mulai berpuasa setelah tanggal 16 bulan Sya’ban. Adapun bagi yang sudah mulai berpuasa pada awal bulan Sya’ban dan ingin meneruskannya setelah pertengahan bulan Sya’ban, maka larangan ini tidak berlaku atau bagi orang yang memiliki kebiasaan berpuasa, misalnya Senin-Kamis, maka ketika ia mau berpuasa Senin-Kamis setelah pertengahan bulan Sya’ban, larangan ini tidak berlaku.
Sebenarnya Al-‘Alaa` ini mendapatkan mutaba’ah yang terlewatkan dari pengamatan para Hufazh yakni diriwayatkan oleh Imam Abu Sa’id ibnul A’rabiy dalam “Mu’jamnya” (no. 1198) :
ﻧﺎ ﺇِﺳْﺤَﺎﻕُ ﺑْﻦُ ﻳَﺤْﻴَﻰ، ﺃَﺧُﻮ ﺩَﺍﻭُﺩَ ﺍﻟﺪَّﻫَّﺎﻥِ، ﻧﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪُ ﺑْﻦُ ﻋُﺒَﻴْﺪٍ، ﻧﺎ ﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴﻢُ ﺑْﻦُ ﻳَﺤْﻴَﻰ، ﻋَﻦْ ﻣُﺤَﻤَّﺪِ ﺑْﻦِ ﺍﻟْﻤُﻨْﻜَﺪِﺭِ، ﻋَﻦْ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺑْﻦِ ﻳَﻌْﻘُﻮﺏَ ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﻗَﺎﻝَ : ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ : ﺇِﺫَﺍ ﺍﻧْﺘَﺼَﻒَ ﺷَﻌْﺒَﺎﻥُ ﻓَﺄَﻓْﻄِﺮُﻭﺍ
“Telah mengabarkan kepada kami Ishaaq bin Yahya saudara Daawud Ad-Dahhaan; Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaid; Telah mengabarkan kepada kami Ibraahiim bin Yahya, dari Muhammad bin Al-Munkadir, dari ‘Abdurrahman bin Ya’quub dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu…”.
Muhammad bin Al-Munkadir, perawi tsiqah, dijadikan hujjah oleh Imam Bukhari-Muslim, namun untuk perawi di bawahnya, saya kesulitan menemukan biografinya.
Kemudian Imam Ath-Thabarani dalam “Mu’jam Al-Ausath” (no. 1936) juga meriwayatkan dari jalannya sampai kepada Muhammad bin Al-Munkadir :
ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺃَﺣْﻤَﺪُ ﺑْﻦُ ﻣُﺤَﻤَّﺪِ ﺑْﻦِ ﻧَﺎﻓِﻊٍ ﻗَﺎﻝَ : ﻧﺎ ﻋُﺒَﻴْﺪُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦُ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟْﻤُﻨْﻜَﺪِﺭِﻱُّ ﻗَﺎﻝَ : ﺣَﺪَّﺛَﻨِﻲ ﺃَﺑِﻲ، ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻴﻪِ، ﻋَﻦْ ﺟَﺪِّﻩِ، ﻋَﻦْ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺑْﻦِ ﻳَﻌْﻘُﻮﺏَ ﺍﻟْﺤُﺮَﻗِﻲِّ، ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﻗَﺎﻝَ : ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ : « ﺇِﺫَﺍ ﺍﻧْﺘَﺼَﻒَ ﺷَﻌْﺒَﺎﻥُ ﻓَﺄَﻓْﻄِﺮُﻭﺍ »
“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Naafi’ ia berkata; Telah mengabarkan kepada kami ‘Ubadillah bin ‘Abdillah Al-Munkadir ia berkata; Telah menceritakan kepadaku Bapakku, dari Bapaknya, dari Kakeknya, dari ‘Abdurrahman bin Ya’quub Al-Huraqiy dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu…”.
Ahmad bin Muhammad ditsiqahkan oleh Ibnu Yunus; Silsilah ‘Ubaidillah sampai kakeknya, saya belum berhasil menemukan biografinya.
‘Alaa kulli hal, untuk sikap pertengahan, maka menilai hadits yang kita bahas ini sebagai hadits hasan kelihatannya lebih sesuai dengan kaedah-kaedah dalam ilmu hadits. Wallahu a’lam bish-shawaab.
Fatwa Ulama
Ulama kalangan madzhab Syafii telah mengamalkan hadits-hadits ini, lalu mereka berkata, tidak dibolehkan berpuasa setelah pertengahan bulan Sya’ban kecuali bagi orang yang terbiasa berpuasa atau ingin melanjutkan puasa sebelum pertengahan (Sya’ban). Dan ini adalah pendapat terkuat menurut kebanyakan mereka (ulama madzhab Syafi’i) bahwa larangan dalam hadits adalah untuk pengharaman. Sebagian lain berpendapat –seperti Ar-Ruyani- bahwa larangan tersebut bersifat makruh, bukan untuk mengharamkan.
(Silakan lihat kitab Al-Majmu, 6/399-400, dan Fathul Bari, 4/129)
Imam Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan tentang cara mengkompromikan hadits di atas. Beliau mengatakan,
لا تعارض بين حديث النهي عن صوم نصف شعبان الثاني والنهي عن تقدم رمضان بصوم يوم أو يومين وبين وصال شعبان برمضان
“Tidak ada pertentangan antara hadits yang melarang puasa setelah memasuki pertengahan Sya’ban, serta hadits yang melarang mendahului ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya, dengan hadits yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambung puasa Sya’ban dengan puasa Ramadhan.
والجمع ممكن بأن يحمل النهي على من ليست له عادة بذلك ويحمل الأمر على من له عادة حملا للمخاطب بذلك على ملازمة عادة الخير حتى لا يقطع
Kompromi memungkinkan untuk dilakukan, dengan memahami bahwa hadits larangan puasa berlaku untuk orang yang tidak memiliki kebiasaan berpuasa sunnah. Sementara keterangan untuk rajin puasa di bulan Sya’ban dipahami untuk orang yang memiliki kebiasaan puasa sunnah, agar tetap istiqamah dalam menjalankan kebiasaan baiknya, sehingga tidak terputus.”
(Aunul Ma’bud, 6/330)
Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan dalam kitab Riyadush Shalihin, hal. 412:
“Bab larangan mendahului Ramadhan (dengan berpuasa) setelah pertengahan Sya’ban kecuali bagi orang yang meneruskan puasa sejak sebelum pertengahan (Sya’ban) atau bertepatan dengan kebiasaan berpuasa Senin Kamis.”
Syaikh Abdul Aziz Ar-Rajihi Hafizhahullah berkata:
وحديث العلاء يدل على المنع من تعمد الصوم بعد النصف, لا لعادة، ولا مضافا إلى ما قبله
“Hadits Al-‘Ala ini menunjukkan larangan menyengaja berpuasa setelah saparuh Sya’ban, padahal puasa bukan kebiasaan dia, dan bukan pula sebagai tambahan dari sebelumnya.”
(Al-Ilmam bisy Syai’ min Ahkamish Shiyam, Hal. 6)
Syaikh Ibn Baz rahimahullah ditanya tentang hadits larangan berpuasa setelah pertengahan Sya’ban, beliau menjawab:
“Ia adalah hadits yang shahih sebagaimana dikatakan Al-Allamah Syaikh Nashiruddin Al-Albani. Maksud larangannya adalah baru memulai berpuasa dari pertengahan bulan (Sya’ban). Adapun bagi yang sudah sering berpuasa atau telah banyak banyak berpuasa di bulan (Sya’ban), maka dia telah sesuai dengan sunnah.”
(Al-Majmu Fatawa Ibnu Baz, 15/385)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata dalam syarah (penjelasan) Riyadush Shalihin, 3/394: “Kalau pun haditsnya shahih, maka larangannya tidak bermakna haram akan tetapi hanya makruh saja. Sebagaimana pendapat sebagian ulama. Kecuali bagi yang terbiasa berpuasa, maka dibolehkan baginya berpuasa meskipun setelah pertengahan Sya’ban.”