Oleh: Ahmad Syahrin Thoriq
Fatwapedia.com – Sya’ban adalah termasuk bulan yang memiliki keutamaan, ia terletak antara bulan suci Rajab dan bulan Ramadhan. Di antara keistimewaannya bulan ini adalah ia menjadi waktu dinaikkan amalan dalam setahun dan bulan di mana Rasulullah ﷺ memperbanyak puasa sunnah.
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Bulan Sya’ban adalah bulan di saat manusia lalai. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.”[1]
Bagaimana dengan keutamaan Nisfu Sya’ban?
Nisfu Sya’ban artinya separuh Sya’ban, yakni tanggal 15 dari bulan tersebut. ulama berbeda pendapat tentang kedudukan malam Nisfu Sya’ban.
Menurut sebagian ulama malam Nisfu Sya’ban tidak memiliki kekhususan tersendiri, karena hadits- hadits yang menyebutkan tentang keutamaan malam Nisfu Sya’ban semuanya lemah bahkan sebagiannya palsu.
Berkata al imam Ibnu Arabi rahimahullah :
لَيْسَ فِي لَيْلَة النّصْف من شعْبَان حَدِيث يُسَاوِي سَمَاعه
“Tidak ada tentang malam Nisfu Sya’ban satu haditspun yang layak untuk didengarkan.”[2]
Sedangkan mayoritas ulama umumnya berpendapat bahwa malam ini memiliki fadhilah tersendiri[3] karena ada hadits tentang Nisfu Sya’ban yang dinilai derajatnya bagus diantaranya :
يَطَّلِعُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِعِبَادِهِ إِلَّا اِثْنَيْنِ مُشَاحِنٍ وَقَاتِلِ نَفْسٍ
“Allah ‘azza wajalla mendatangi makhluk-Nya pada malam nisfu Sya’ban, Allah mengampuni hamba-hamba-Nya kecuali dua orang yaitu orang yang bermusuhan dan orang yang membunuh jiwa.”
Hadits dengan redaksi yang hampir serupa, bunyinya :
إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Sesungguhnya Allah memperhatikan hambanya (dengan penuh rahmat) pada malam Nishfu Sya’ban, kemudian Ia akan mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik dan musyahin (yang menebar kebencian antara sesama umat Islam).”[4]
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah :
وقد روي في فضلها -أي ليلة النصف من شعبان- من الأحاديث المرفوعة والآثار ما يقتضي أنها ليلة مفضلة. وأن من السلف من كان يخصها بالصلاة فيها
“Dan telah diriwayatkan tentang keutamannya -yakni malam Nisfu Sya’ban- dari hadits-hadits marfu’ dan atsar yang sampai kepada penetapan bahwa malam ini memang memiliki keutamaan. Dan sesungguhnya sebagian ulama salaf ada yang mengkhususkan dengan mengerjakan shalat malam padanya.” [Iqtidha Shiratil Mustaqim (2/136)]
Hukum menghidupkan malam Nisfu Sya’ban dengan ibadah umum.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa menghidupkan malam Nisfu Sya’ban tanpa ada pengkhususan amalan tertentu hukumnya mandub, seperti dengan shalat malam, membaca Qur’an, dzikir dan doa. Berkata al imam Syafi’i rahimahullah:
بلغنا أن الدعاء يستجاب في خمس ليال: ليلة الجمعة، والعيدين، وأول رجب، ونصف شعبان
“Telah sampai kepada kami bahwa sesungguhnya do’a itu mustajabah di empat malam : Malam Jum’at, malam dua hari raya, malam awal Rajab dan Nisfu Sya’ban.” [Syarh Bahjah al Wardiyah (5/257)]
Lalu bagaimana dengan ibadah tertentu pada malam Nisfu Sya’ban?
1. Puasa
Mayoritas ulama mazhab Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi’iyyah berpendapat tentang kebolehan berpuasa Nisfu Sya’ban dan sehari setelahnya. Hal ini didasarkan kepada sebuah hadits :
أَنَّ رَسُول اللَّهِ ﷺ قَال: يَا فُلاَنُ أَمَا صُمْتَ سُرَرَ هَذَا الشَّهْرِ؟ قَال الرَّجُل: لاَ يَا رَسُول اللَّهِ، قَال: فَإِذَا أَفْطَرْتَ فَصُمْ يَوْمَيْنِ مِنْ سُرَرِ شَعْبَانَ
Rasulullah ﷺ bertanya kepada seseorang : “Apakah kamu telah berpuasa di surar bulan Sya’ban?” ia menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda: “Jika kamu telah usai menunaikan puasa Ramadlan, maka berpuasalah dua hari.” (HR. Bukhari, Sarar/surar dalam hadits ini, maknanya adalah akhir bulan. Akhir bulan dinamakan sarar karena istisrarnya bulan (yakni tersembunyinya bulan).
Sedangkan kalangan madzhab Hanabilah memakruhkan puasa Nisfu Sya’ban, berdasarkan hadits : “Apabila sudah masuk pada pertengahan bulan Sya’ban, maka janganlah kamu berpuasa sampai menjelang bulan Ramadhan.” (HR. Ahmad, Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (24/292)
2. Berjama’ah menghidupkan malam Nisfu Sya’ban
Menurut mayoritas ulama makruh hukumnya melakukan ibadah Nisfu Sya’ban dengan ibadah yang dikerjakan dengan berjama’ah. Disebutkan dalam al Mausu’ah Fiqhiyyah :
جمهور الفقهاء على كراهة الاجتماع لإحياء ليلة النصف من شعبان
“Mayoritas ahli fiqih berpendapat makruh hukumnya melaksanakan ibadah secara Bersama-sama pada malam Nisfu Sya’ban.” [Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (2/236)]
Bahkan sebagiannya diantaranya imam Atha dan Ibnu Abi Mulaikah tegas mengatakan hal ini sebagai bentuk ibadah yang hukumnya bid’ah munkarah (bid’ah yang hukumnya haram). [Mawahib al Jalil (1/74), al Harsyi (1/366)]
Berkata imam al Buhuti al Hanbali rahimahullah :
كان من السلف من يصلي فيها، لكن الاجتماع فيها لإحيائها في المساجد بدعة
“Dahulu sebagian ulama salaf ada yang melaksanakan shalat padanya. Tetapi sengaja berkumpul pada malam tersebut atau melakukan amalan di masjid adalah bid’ah.” [Syarah Muntaha al Iradat (1/251)]
Berkata imam Ibnu Rajab al Hanbali :
أنه يكره الإجتماع فيها في المساجد للصلاة والقصص والدعاء ولا يكره أن يصلي الرجل فيها لخاصة نفسه وهذا قول الأوزاعي إمام أهل الشام وفقيههم وعالمهم وهذا هو الأقرب إن شاء الله تعالى
“Dimakruhkan berkumpul di masjid untuk shalat dan membacakan cerita, serta berdoa. Akan tetapi tidak dimakruhkan melakukan shalat sendiri. Dan ini pendapat imam al-Auza’iy Imamnya penduduk Syam, serta ulama fiqih mereka dan juga para ahli ilmu mereka. Dan ini pendapat yang lebih baik (untuk diamalkan) insyaallah.” [Lathaif al Ma’arif hal. 137.]
Berkata Ibnu Shalah Asy Syafi’i rahimahullah :
وأما ليلة النصف من شعبان، فلها فضيلة، وإحياؤها بالعبادة مستحب، ولكن على الانفراد
“Dan adapun malam Nisfu Sya’ban, maka ia memiliki fadhilah. Menghidupkannya dengan ibadah adalah sunnah, namun dikerjakan dengan sendiri-sendiri.” [Al Musajalah hal. 43]
Berkata al Khatabi al Maliki rahimahullah :
لا يختلف المذهب في كراهة الجمع ليلة النصف من شعبان وليلة عاشوراء وينبغي للأئمة المنع منه
“Tidak ada perbedaan pendapat dalam madzhab (Maliki) pada dibencinya berkumpul pada malam Nisfu Sya’ban dan juga pada malam Asyura. Maka sudah seharusnya para ulama untuk mencegah hal ini.” [Mawahib al Jalil (2/74)]
Hasan bin Ammar al Hanafi berkata :
ويكره الاجتماع على إحياء ليلة من هذه الليالي” المتقدم ذكرها في المساجد وغيرها لأنه لم يفعله النبي ﷺ ولا الصحابة فأنكره أكثر العلماء من أهل الحجاز
“Dan dibenci berkumpul untuk menghidupkan malam (nisfu Sya’ban) dari malam-malam ini, baik dilaksanakan di masjid atau tempat lainnya. Karena Nabi ﷺ tidak pernah melakukannya demikian juga para shahabat. Dan telah mengingkarinya sebagian besar ulama yang ada di Hijaz.” [Maraq al Falah hal. 151]
Sedangkan ada sebagian ulama lainnya diantaranya Khalid bin Mi’dan, Luqman bin Amir dan imam Ghazali berpendapat bolehnya shalat di malam Nisfu Sya’ban dikerjakan secara berjama’ah. [Maraqi al Falah hal. 219]
3. Melakukan amalan tertentu
Mayoritas ulama mazhab berpendapat tidak adanya amalan khusus di malam nisfu Sya’ban apapun bentuknya, seperti melakukan shalat Raghaib atau dzikir tertentu dan mereka menegaskan larangan melakukannya. Disebutkan dalam al Mausu’ah :
وبين الغزالي في الإحياء كيفية خاصة لإحيائها، وقد أنكر الشافعية تلك الكيفية واعتبروها بدعة قبيحة
“Dalam kitabnya Ihya al Imam Ghazali ada menyebutkan beberapa ibadah khusus di malam Nisfu Sya’ban, namun ditentang oleh para ulama bahkan dari kalangan madzhab Syafi’iyyah sendiri. [Al Mausu’ah al Fiqhiyyah (2/236)]
Berkata al imam Nawawi rahimahullah :
وهاتان الصلاتان بدعتان مذمومتان منكرتان قبيحتان، ولا تغتر بذكرهما في كتاب قوت القلوب والإحياء، وليس لأحد أن يستدل على شرعيتهما
“Dua shalat yang disebut dengan shalat raghaib ini, (yakni 12 rakaat antara maghrib dan isya di malam jumat pertama bulan Rajab. Dan juga shalat yang dilakukan di malam nisfu sya’ban 100 rakaat) keduanya adalah bid’ah yang tercela, bentuk kemungkaran yang buruk. Jangan tertipu dengan penyebutannya di dalam kitab Qut al Qulub dan dalam kitab Ihya.
Tidak ada satupun yang bisa menunjukkan pensyariatan keduanya dari riwayat Nabi ﷺ.”[Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (4/256)]
Berkata al imam Ibnu Jauzi rahimahullah :
صلاة الرغائب موضوعة على رسول الله ﷺ وكذب عليه… وقد ذكروا على بدعيتهما وكراهيتهما عدة وجوه منها: أن الصحابة والتابعين ومن بعدهم من الأئمة المجتهدين لم ينقل عنهم هاتان الصلاتان، فلو كانتا مشروعتين لما فاتتا السلف، وإنما حدثتا بعد الأربعمائة
“Shalat Raghaib adalah pemalsuan atas Rasulullah ﷺ dan kedustaan kepada beliau… Dan telah disebutkan kebid’ahan dan dibencinya shalat ini dalam sejumlah dalil diantaranya : Bahwa para shahabat, tabi’in dan ulama setelahnya dari para mujtahid tidak ada nukilan bahwa mereka pernah mengerjakannya.
Seandainya itu disyariatkan, tentu kaum salaf tidak akan meninggalkannya. Sesungguhnya ini (shalat Raghaib) baru muncul setelah tahun 400 H.” [Al Maudhu’at li Ibnu Jauzi (2/124)]
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah :
وأما الاجتماع في المساجد على صلاة مقدرة؛ كالاجتماع على مائة ركعة …فهذا بدعة لم يستحبها أحد من الأئمة
“Adapun berkumpul di masjid lalu shalat dengan tatat cara tertentu, seperti berkumpul untuk mengerjakan shalat 100 raka’at maka ini adalah perbuatan bid’ah yang tidak disunnahkan oleh satupun dari para imam.” [Al Fatawa al Kubra (5/344)]
Kesimpulannya, menurut mayoritas ulama melakukan ibadah malam Nisfu Sya’ban tanpa pengkhususan suatu ibadah tertentu, hukumnya boleh. Tapi membuat bentuk amalan atau bacaan tertentu apa lagi dikerjakan secara berjama’ah maka ini tidak diperkenankan. Wallahu a’lam.
Catatan kaki:
[1] Hadits ini dikeluarkan oleh imam Nasai no. hadits 2317 dan Ahmad no. Hadits 20.578 , Ibnu Hajar berkata dalam Fath al Bari (4/215) “Dan telah menshahihkan hadits ini Ibnu Khuzaimah.”
[2] ‘Aridh al Ahwandzi (2/201)
[3] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (2/235), Bahr al Raiq (2/56), Hasyiah Ibn Abidin (1/460), Mawahib al Jalil (1/74), al Furu’ (1/440).
[4] Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al Kabir no. 16639, Daraquthni 68, Ibnu Majah no. 1380, Ibnu Hibban no. 5757, Ibnu Abi Syaibah no. 150, Al Baihaqi fi Syu’ab al Iman no. 6352, dan Al Bazzar fi Al Musnad 2389.
Ulama berbeda pendapat tentang status haditsnya. Sebagian muhadits seperti al imam Adz Dzahabi dalam at Takhlish hal. 183 dan Ibnu Jauzi dalam al I’lal Mutanahiyah (2/561), Ibnu Syaibah dalam Mushanafnya (16/639) menyatakan hadits ini lemah.
Sedangkan Al Haitsami dalam Majma’ Al Zawaid (8/65) menilai para perawi hadits ini sebagai orang-orang yang terpercaya dan imam Baihaqi dalam at Targhib (3/283) mengatakan tidak mengapa dengan isnadnya. Termasuk Syaikh Al Albani termasuk yang menshahihkan hadits ini dalam Shalih Targhib wa Tarhib (3/53).