Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
Pertanyaan: Afwan kiyai, beberapa waktu lalu saya mendengar ceramah seorang ustadz yang mengatakan bahwa mengusap wajah selesai berdoa hukumnya bid’ah. Saya agak terkejut, karena selama ini yang biasa saya lakukan dan banyak saya lihat selesai berdoa adalah mengusapkan tangan ke wajah. Mohon pencerahannya.
Jawaban
Para ulama terbagi menjadi beberapa pendapat tentang hukum mengusapkan telapak tangan ke wajah selepas dari berdoa, bahkan antar ulama dalam satu madzhab sendiri ada ketidak kompakan, sebagian berpendapat itu termasuk sunnah dan adab dalam berdo’a, sedangkan yang lain berpendapat tidak disunnahkan.
1. Yang berpendapat disunnahkan
Mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah sebagian Malikiyyah dan juga Hanabilah berpendapat bahwa mengusap wajah selesai berdoa termasuk perkara yang mustahab (dianjurkan) dan termasuk adab dalam berdo’a.[1]
Imam Hasan bin Ammar as Syaranbalali dari al Hanafiyyah berkata, “Barang siapa yang menghendaki menerima takaran pahala dengan takaran yang sempurna pada hari kiamat, maka hendaklah akhir ucapannya dalam majlisnya adalah “subhana rabbika” dan seterusnya. Dan ia mengusap tangan dan wajahnya di akhir doanya.”[2]
Imam an Nafrawi dari mazhab Maliki berkata:
ويستحب أن يمسح وجهه بيديه عقبه -أي: الدعاء
“Dan disunnahkan mengusap wajah dengan kedua tangannya setelah berdoa…”[3]
Imam Nawawi dari mazhab Syafi’i berkata,
ومن آداب الدعاء كونه في الأوقات والأماكن والأحوال الشريفة واستقبال القبلة ورفع يديه ومسح وجهه بعد فراغه
“Dan diantara beberapa adab dalam berdoa adalah, adanya doa dalam waktu-waktu, tempat-tempat dan keadaan-keadaan yang mulia, menghadap kiblat, mengangkat kedua tangan, mengusap wajah setelah selesai berdoa…”[4]
Al Imam Buhuti dari madzhab Hanbali berkata,
ثم يمسح وجهه بيديه هنا أي عقب القنوت وخارج الصلاة إذا دعا
“Kemudian orang yang berdoa mengusapkan wajahnya dengan kedua tangannya setelah membaca doa qunut dan di luar shalat ketika selesai berdoa.”[5]
Ibnu Muflih al Hanbali juga berkata :
ويسمح وجهه بيديه، فعله أحمد
“Dan dianjurkan mengusap wajahnya dengan kedua tangannya, ini pernah dilakukan oleh Ahmad.”[6]
2. Mubah
Sebagian riwayat mengatakan bahwa imam Ahmad bin Hanbal menghukumi sebagai perkara yang mubah, tidak sampai sunnah. Abdullah bin Ahmad bin Hambal pernah bertanya kepada ayahnya tentang mengusap wajah setelah berdoa, maka ayahnya menjawab :
أرجو ألا يكون به بأس
“Semoga tidak apa-apa.”[7]
3. Tidak disunnahkan
Sedangkan sebagian ulama dari madzhab Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa mengusapkan tangan ke wajah adalah perkara yang tidak ada kesunnahannya sehingga hukumnya makruh untuk dilakukan.
Dari kalangan mazhab Hanbali, pendapat ini diwakili oleh Ibnu Taimiyah, ia berkata, “Sedangkan mengusap wajah dengan dua tangan, hanya ada dasar satu atau dua hadits tapi tidak dapat dijadikan hujjah.”[8]
Sedangkan dari mazhab Syafi’iyyah ada al imam Al-‘Izz ibnu Abdissalam yang memiliki pendapat berseberangan dengan fatwa resmi dalam madzhabnya. Beliau berkata,
ولا يمسح وجهه بيديه عقب الدعاء إلا جاهل
“Tidak ada orang yang mengusap tangan ke wajahnya setelah berdoa kecuali orang jahil.”[9]
Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Imam Malik ditanya tentang seorang laki-laki yang mengusap wajahnya dengan kedua tangannya ketika berdoa, beliau berkata : Aku tidak tahu (dasar amalan tersebut).”[10]
Sebab perbedaan pendapat.
Penyebab adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah dikarenakan ulama khilaf dalam menyikapi kekuatan hadits-hadits yang menyebutkan amaliyah mengusap wajah setelah selesai dari berdo’a.
Sebagian ahli hadits menghukumi seluruh hadits-haditsnya dhaif sehingga tidak bisa diamalkan, sedangkan sebagian ulama lainnya menghasankan.
فَإِذَا فَرَغْتُمْ، فَامْسَحُوا بِهَا وُجُوهَكُمْ
“Apabila kalian telah selesai (berdoa), maka usapkan tangan ke paras kalian.”
Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud (1485), Ibnu Majah (3866), al-Hakim dalam al-Mustadrak (1968), dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (3276).
Al Imam Abu Daud mengomentari hadits ini sebagai hadits dhaif.[11]
رَوَى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَال: كَانَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ فِي الدُّعَاءِ لَمْ يَحُطَّهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
Dari Umar bin Khattab berkata, “Rasulullah ﷺ bila berdoa mengangkat kedua tangannya, tak melepaskannya kecuali setelah mengusapkan keduanya ke wajahnya.” (HR. Tirmidzi)
Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini gharib, sedangkan al imam Nawawi dalam al Adzkar mendha’ifkannya.[12]
Sedangkan al iman Ibnu Hajar Al-‘Asqalani mengatakan bahwa meski hadits-hadits tentang mengusap wajah itu masing-masing dhaif, namun satu sama lain saling menguatkan. Sehingga derajatnya naik menjadi hasan.[13]
Diantara penguat yang dimaksud oleh Ibnu Hajar adalah apa yang disebutkan oleh al Imam Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad hal 214 bahwa Umar dan Ibn Zubair ketika selesai berdoa keduanya mengusapkan kedua tangannya ke muka.
Hammad Al Anshaari mengatakan:
مسألة مسح الوجه باليدين بعد الدعاء، فيها ثلاثة أحاديث تصل إلى درجة الحسن
“Masalah mengusap wajah dengan kedua tangan, di dalamnya terdapat tiga buah hadits yang kemudian menjadikannya derajat hasan.”[14]
Penutup
Ulama berbeda pendapat menjadi tiga kelompok tentang hukum mengusapkan tangan ke wajah setelah selesai berdo’a : Ada yang menghukumi sunnah, ada yang menghukumi mubah saja dan ada yang menghukumi makruh.
Namun tidak ada yang mewajibkan ataupun sebaliknya yang sampai mengharamkan dalam pendapat resmi empat madzhab.
Mengusap wajah selesai berdo’a, barulah bisa menjadi haram jika tangannya diusapkan bukan ke wajah sendiri, tapi malah ke wajah orang yang ada di sebelah. Wallahu a’lam.
Catatan kaki:
[1] Al Fatawa al Hindiyyah (5/318), al Inshaf (2/173), al Mughni(2/154), Mughni al Muhtaj (2/154), Tuhfatul Muhtaj (1/486).
[2] Hasyiyah as-Syaranbalali ‘ala Durar al-Hukkam, (1/80).
[3] Al Fawakih al-Dawani, (2/335).
[4] Al Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, (4/487).
[5] Syarh Muntaha al-Iradat (1/ 241), Kasysyaf al-Qina’ (1/420).
[6] Al Furu’ (2/364).
[7] Masail li imam Ahmad li Ibnhi Abdullah 332.
[8] Majmu’ Fatawa ( 22/519).
[9] Faidhul Qadir, (1/473) Mughni Muhtaj, (2/360)
[10] Mukhtashar Kitab Al Witri, Hal. 152.
[11] Sunan Abi Daud (2/78).
[12] Al Azkar an Nawawi halaman 399.
[13] Subulussalam (4/399)
[14] Majmu fi Tarjamah al A’alamah al Anshari (2/487).