Fatwapedia.com – Seiring dengan berkembangnya teknologi dan sarana transportasi, maka inovasi kaum muslimin dalam pendistribusian daging kurban-pun beragam. Dengan alasan pemerataan, maka salah satu inovasi dalam distribusi daging kurban adalah dengan mengolah daging kurban dan mengemasnya di kaleng untuk kemudian didistribusikan ke daerah-daerah yang minim kurbannya. Bagaimana pandangan ulama dalam masalah ini?
Daging kurban (non-nazar) boleh dibagikan dalam kondisi sudah dimasak. Sama saja dimasak dalam bentuk daging kornet (FYI: daging kornet itu sebenarnya sudah dimasak) yang lalu dikalengkan, dalam bentuk rendang, sate, gulai, steak, atau olahan lainnya. Apalagi dalam beberapa kondisi, pembagian daging kurban dalam kondisi tidak mentah, misalnya sudah dibuat kornet kalengan, lebih besar maslahatnya.
Ada tiga pertimbangan akan hal ini:
Pertama. Sebagian ulama memang membolehkan pembagian daging kurban dalam kondisi sudah dimasak tanpa mensyaratkan adanya hajat ataupun maslahat. Di antaranya:
a. Mazhab Maliki membolehkan pembagian daging kurban dalam kondisi sudah dimasak. Al-Imam Ibnul Hajib (w. 646 H), mewakili pendapat resmi Mazhab Maliki, mengatakan:
وَيَأْكُلُ الْمُضَحِّيْ وَيُطْعِمُ نَيِّئًا وَمَطْبُوْخًا وَيَدَّخِرُ وَيَتَصَدَّقُ
Artinya, “Pengurban dianjurkan memakan sebagian dari daging kurbannya, membagikannya dalam kondisi mentah maupun sudah dimasak, menyimpannya, atau menyedekahkannya.” [Jaami’ul Ummahaat hlm. 230, karya Ibnul Hajib, cet. Darul Yamamah Damaskus 1998 M]
b. Al-Imam Ibnu Jama’ah (w. 767 H) setelah menegaskan bahwa Mazhab Syafii mengharuskan sedekah daging kurban ke fakir miskin dalam keadaan mentah, beliau menyatakan:
وَأَطْلَقَ الْحَنَفِيَّةُ التَّصَدُّقَ بِهِ وَمَذْهَبُ الْمَالِكِيَّةِ أَنَّهُ يَجُوْزُ التَّصَدُّقُ بِهِ مَطْبُوْخًا
Artinya, “Mazhab Hanafi membebaskan sedekah daging kurban dalam kondisi apapun. Mazhab Maliki secara tegas menyatakan bolehnya sedekah daging kurban dalam kondisi sudah dimasak.” [Hidaayatus Saalik (III/1150), karya Ibnu Jama’ah, cet. Darul Basyairil Islamiyyah Beirut 1994 M]
Memang demikian adanya dalam kitab-kitab fikih Mazhab Hanafi, tidak ada aturan khusus. Lihat Tabyinul Haqaiq (VI/8) karya Al-Hafidzh Az-Zayla’i (w. 762 H) cet. Al-Mathba’ah Al-Amiiriyyah Kairo 1897 M. Begitu juga fatwa penjelas dari Maulana Asy-Syaikh ‘Abdurrahman Yusuf Mangera Al-Hanafi no. 36999 di situs www.qibla.com.
c. Al-Lajnah Ad-Daimah (semacam MUI-nya Arab Saudi) juga memfatwakan:
وَالْأَمْرُ فِيْ تَوْزِيْعِهَا مَطْبُوْخَةً أَوْ غَيْرَ مَطْبُوْخَةٍ وَاسِعٌ
Artinya, “Perkara membagikan daging kurban dalam kondisi sudah dimasak maupun belum adalah perkara yang luas (boleh-boleh saja tidak ada keharusan tertentu).”
[Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daimah no. 9563 (XI/394) cet. Darul ‘Ashimah Riyadh 2012 M]
Kedua: Sebagian ulama turut membolehkan daging kurban dimasak (dalam bentuk kornet, rendang, dan semisalnya) jika ada maslahat (dampak positif) atau hajat (kebutuhan). Di antaranya:
a. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat pekan ini berfatwa:
“Atas dasar pertimbangan kemaslahatan, daging kurban boleh (mubah) untuk … dikelola dengan cara diolah dan diawetkan, seperti dikalengkan dan diolah dalam bentuk kornet, rendang atau sejenisnya.” [Fatwa MUI Pusat no. 37 tahun 2019 yang dirilis pada 7 Agustus 2019, turut ditandatangani oleh Shahibus Samaahah KH. Dr. Ma’ruf Amin]
b. Majelis Tarjih & Tajdid PP Muhammadiyah menyatakan:
“Daging kurban boleh dikornetkan, selama terdapat hajat (kebutuhan), misalnya adanya kaum muslimin yang miskin, kelaparan, tertimpa bencana, dan semisalnya.” [Makalah Problematika Seputar Qurban dan Iduladha hlm. 8, dirilis pada 15 Agustus 2018 oleh KH. Dr. Fuad Zein pada Pengajian Tarjih Muhammadiyah di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, dipublikasikan juga dalam situs Majelis Tarjih & Tajdid PP Muhammadiyah (www.tarjih.or.id)]
Ketiga: Keharusan pembagian daging kurban dalam kondisi mentah di Mazhab Syafii dan Hanbali sebenarnya hanya pada “sedekah”. Sementara daging kurban sebagiannya disedekahkan, sebagiannya disimpan, dan sebagiannya dimakan oleh mudhohhi (orang yang berkurban) [lihat QS. 22:28, QS. 22:36, dan HR. Muslim no. 1971 cet. Darul Minhaj Jeddah 2015 M].
Dari sini sebenarnya ada bagian yang bukanlah sedekah, yakni bagian yang disimpan dan yang dimakan mudhohhi. Maka setelah ada sebagian yang disedekahkan dalam kondisi wajib mentah menurut kedua mazhab ini, berarti bagian yang disimpan maupun yang dimakan tidaklah terkena kewajiban harus mentah.
Buktinya tidak ada yang melarang ketika seseorang memasak daging kurban di rumahnya menjadi rendang di rumahnya lalu membagikan rendang ini ke tetangga atau saudaranya, baik mereka miskin ataupun kaya. Tidak ada yang melarang pula jika seseorang menyimpan daging kurbannya di rumah dalam bentuk kornet kalengan (yang cara membuatnya juga dimasak lebih dahulu), kemudian ia berikan kornet kalengan itu ke orang lain, sekalipun miskin. Bahkan panitia kurban di banyak tempat pun sudah lumrah mengambil jatah daging hewan kurban untuk mereka (bukan sebagai upah) lebih dulu dari kaum muslimin lainnya lalu dimasak untuk makan siang di hari penyembelihan.
Perhatikan beberapa pendapat berikut:
a. Darul Ifta’ Yordania juga merilis tanya jawab salah seorang anggota muftinya: Asy-Syaikh Dr. Nidhal Sulthan, bahwa yang harus dibagikan dalam kondisi mentah ialah kadar daging yang wajib disedekahkan saja, yaitu sebanyak setengah Rithl. Artinya selebihnya dari itu maka tidak harus dibagikan dalam bentuk daging mentah.
Teks pertanyaannya:
هَلْ يَصِحُّ طَبْخُ الْأُضْحِيَةِ ثُمَّ تَوْزِيْعُهَا؟
“Apakah sah memasak dahulu daging kurban lalu baru dibagikan?”
الْمِقْدَارُ الْوَاجِبُ تَوْزِيْعُهُ مِنَ الْأُضْحِيَةِ يُوَزَّعُ لَحْمًا نَيِّئًا قَبْلَ الطَّبْخِ
“Kadar daging kurban yang wajib dibagikan hendaknya dibagikan dalam kondisi mentah sebelum dimasak.”
Sedangkan dalam list fatwa yang sama Darul Iftaa’ menyatakan:
أَقَلُّ مَا يَجِبُ التَّصَدُّقُ بِهِ مِقْدَارُ مَا يَتَمَوَّلُ بِهِ الْفَقِيْرُ وَيُقَدَّرُ بِنِصْفِ رَطْلٍ.
Artinya, “Kadar minimal daging kurban yang wajib disedekahkan ialah kadar minimal yang bisa diuangkan oleh seorang fakir, yaitu dikadarkan sebesar setengah Rathl (kira-kira 0,9 kg).” [Dirilis pada 20 September 2015 di situs Darul Ifta’ Yordania (www.aliftaa.jo)]
b. Al-Imam Al-Buhuti (w. 960 H), mewakili pendapat resmi Mazhab Hanbali, menyatakan:
يَجِبُ الصَّدَقَةُ بِبَعْضِهَا نَيِّئًا عَلَى فَقِيْرٍ مُسْلِمٍ
Artinya, “Wajib menyedekahkan sebagian daging kurban dalam kondisi mentah kepada fakir yang muslim.” [Kasysyaaful Qinaa’ (III/23) karya Al-Buhuti cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah Beirut 2009 M]
c. Al-Imam An-Nawawi (w. 676 H), mewakili pendapat resmi Mazhab Syafii, menjelaskan:
وَلَا يَجُوْزُ تَمْلِيْكُ الْأَغْنِيَاءِ مِنْهَا شَيْئًا وَإِنَّمَا يَجُوْزُ إِطْعَامُهُمْ وَالْهَدِيَّةُ إِلَيْهِمْ. وَيَجُوْزُ تَمْلِيْكُ الْفُقَرَاءِ مِنْهَا لِيَتَصَرَّفُوْا فِيْهِ بِالْبَيْعِ وَغَيْرِهِ. … لَا يَجُوْزُ أَنْ يَدْعُوَ الْفُقَرَاءَ لِيَأْكُلُوْهُ مَطْبُوْخًا لِأَنَّ حَقَّهُمْ فِيْ تَمَلُّكِهِ … وَإِنْ دَفَعَ مَطْبُوْخًا، لَمْ يُجْزِهِ بَلْ يُفَرِّقُهُ نَيِّئًا لِأَنَّ الْمَطْبُوْخَ كَالْخُبْزِ فِيْ الْفِطْرَةِ.
Artinya, “Tidak boleh memberikan kepemilikan (tamliik) daging kurban sedikit pun kepada orang kaya. Yang boleh hanyalah memberi mereka makanan berupa daging kurban dan menghadiahkannya pada mereka. Sementara orang-orang fakir, boleh diberikan kepemilikan (tamliik) daging kurban kepada mereka agar mereka memiliki keleluasaan memilih akan diapakan daging tersebut, entah dijual atau lainnya. …
Tidak boleh pengurban mengundang orang-orang fakir untuk makan daging kurban tersebut dalam kondisi sudah dimasak karena hak mereka adalah memiliki daging kurban (bukan hanya memakannya). …
Jika daging kurban diberikan dalam kondisi sudah dimasak, maka ini tidak sah (sebagai sedekah). Justru ia haruslah membagikannya dalam keadaan mentah karena menyedekahkan daging kurban dalam keadaan sudah dimasak sama saja seperti berzakat fitrah dengan roti.” [Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (VIII/239) karya An-Nawawi, cet. Dar ‘Alamil Kutub Riyadh 2003 M]
Jika kita perhatikan kedua nukilan terakhir, nampak bahwa Mazhab Syafii membedakan antara tamliik (memberikan) dalam bentuk sedekah dan ith’am (memberi makan). Tamlik dalam bentuk sedekah daging kurban wajib dalam kondisi mentah. Tidak sah sedekah yang berkonsekuensi tamliik ini jika dagingnya sudah dimasak. Sedekah ini juga hanya untuk fakir miskin. Adapun ith’am dalam bentuk hadiah daging atau pemberian makanan dari daging kurban, maka boleh diberikan kepada orang kaya, tanpa ada pensyaratan harus dalam kondisi mentah. Demikian juga Mazhab Hanbali.
Artinya, dalam kasus “sedekah” daging kurban, maka harus dalam kondisi mentah, sebagaimana zakat fitrah harus dalam bentuk gandum (misalnya), bukan roti gandum yang sudah jadi. Hanya saja, berbeda dari zakat fitrah, kurban tidak seluruh dagingnya disedekahkan. Ada bagian untuk dimakan sendiri dan disimpan, bahkan diberikan dalam bentuk hadiah makanan kepada orang kaya. Maka untuk selain sedekah sebagian daging kurban pada fakir, bahkan dalam kedua mazhab ini, tentulah tidak seketat aturan di atas.
Itulah rincian yang diulas oleh ٍSyaikhul Islam Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 973 H):
وَلَهُ إِطْعَامُ الْأَغْنِيَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْهُ نَيِّئًا وَمَطْبُوْخًا … وَيَجِبُ أَنْ يُمَلِّكَهُ نَيِّئًا طَرِيًّا لَا قَدِيْدًا
Artinya, “Mudhohhi boleh memberikan sebagian daging kepada kaum muslimin yang kaya baik dalam kondisi daging mentah ataupun matang. …Hanya saja wajib memberikan kadar yang wajib disedekahkan dalam kondisi mentah, bukan bentuk dendeng (yang sudah dimasak).” [Tuhfatul Muhtaj (IX/363-364) karya Ibnu Hajar Al-Haitami cet. Al-Maktabah At-Tijariyyah Kairo 1938 M]
Begitu pula yang ditulis oleh Al-Imam Syamsuddin Ar-Ramli (w. 1004 H):
وَلَهُ إِطْعَامُ الْأَغْنِيَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ -كَمَا عُلِمَ مِمَّا مَرَّ- نَيِّئًا وَمَطْبُوْخًا … وََيَجِبُ دَفْعُ الْقَدْرِ الْوَاجِبِ نَيِّئًا لَا قَدِيْدًا
Artinya, “Mudhohhi boleh memberikan sebagian daging kepada kaum muslimin yang kaya -sebagaimana telah berlalu pembahasannya- baik dalam kondisi daging mentah ataupun matang. …Hanya saja wajib memberikan kadar yang wajib disedekahkan dalam kondisi mentah, bukan bentuk dendeng (yang sudah dimasak).” [Nihayatul Muhtaj (VI/272-273) karya Syamsuddin Ar-Ramli cet. Darul Hadits Kairo 2017 M]
Kesimpulan
Ialah bahwa para sebagian ulama (Mazhab Syafii & Hanbali) tidak membolehkan sedekah daging kurban kepada fakir miskin dalam kondisi daging sudah dimasak sedangkan sebagian lain (Mazhab Hanafi & Maliki) membolehkan. Titik perbedaan mereka hanya pada kasus “sedekah daging kurban ke fakir miskin”. Mereka sebenarnya sepakat bahwa sebagian daging kurban (non-sedekah ini) boleh dibagikan dalam kondisi sudah dimasak.
Menurut penulis, sababul khilafnya (faktor yang menimbulkan perbedaan pandangan ini) ialah taraddudut tashadduqi bi ba’dhi luhuumil udh-hiyah baina kaunihi min baabi zakaatil fithri wal kaffarah wa baina kaunihi muthlaqal ith’am wal hadiyyah (sedekah daging kurban kepada fakir miskin ini apakah ia ia termasuk seperti zakat fitrah dan kaffarat ataukah ia dikategorikan hadiah dan pemberian makan belaka ataukah). Dua mazhab mengambil sudut pandang pertama dan dua mazhab terakhir mengambil sudut pandang kedua.
Nah, karena semua sepakat bahwa daging kurban (non-nazar) tidak seluruhnya wajib disedekahkan ke fakir miskin, bahkan ditekankan pengurbannya untuk memakan sebagiannya, berbeda dari zakat fitrah dan kaffarat, maka sudut pandang kedua nampak lebih kuat.
In any case, terlepas dari itu, agar terbebas dari perbedaan pandangan ulama, maka alangkah baiknya jika bagian yang dibagikan dalam kondisi matang ialah bagian dari daging hewan kurban yang bukan merupakan sedekah kepada fakir miskin, tetapi bagian yang boleh dihadiahkan kepada kaya, boleh disimpan, serta boleh dimakan pengurbannya sendiri. Adapun bagian yang disedekahkan kepada fakir miskin, maka hendaklah dalam kondisi mentah. Wallahu A’lamu bissowab.