Oleh: Ustadz Hanif Luthfi, Lc., MA
Fatwapedia.com – Diantara salah satu syiar Islam adalah adanya syariat shalat jum’at. Dimana seorang muslim laki-laki yang merdeka, sehat, dan tidak sedang musafir berkumpul di satu tempat, untuk mendengarkan khutbah dan melaksanakan shalat jum’at berjamaah.
Shalat jum’at memang biasanya dilakukan di Al-Jami’ atau masjid jami’. Semua tempat yang biasa dijadikan tempat berjamaah shalat lima waktu disebut dengan masjid. Adapun disebut masjid jami’ atau hanya al-jami’ tanpa tambahan masjid, jika masjid itu digunakan untuk shalat jum’at. Maka setiap Al-Jami’ pasti masjid, dan tidak sebaliknya.
Syaikh Khalil bin Ishaq Al-Maliki (w. 776 H) menyebutkan :
وإنما يوصف بأنه جامع لاجتماع الناس كلهم فيه لصلاة الجمعة
“(Suatu tempat) disebut Al-Jami’ karena digunakan untuk berkumpul melaksanakan shalat jum’at.” (At-Taudhih fi Syarh Mukhtashar ibn Al-Hajib, 2/55)
Hanya kadang karena ada suatu alasan tertentu tak ditemukan Al-Jami’ di suatu daerah. Misalnya sebuah komplek perumahan baru, disitu belum dibangun masjid yang resmi untuk shalat jum’at. Atau suatu perkantoran atau komplek apartemen baru, dimana belum disediakan tempat khusus untuk shalat jum’at. Atau suatu kampus dengan mahasiswa ribuan, tapi karena di tengah kota yang padat tak ada tempat khusus untuk shalat jum’at, adanya hanya gedung auditorium.
Bolehkah shalat jum’at diadakan di tempat yang tidak biasa disebut dengan masjid? Atau apakah harus shalat jum’at itu dilaksanakan di masjid?
Pembahasan disini khusus pada keadaan tidak adanya masjid yang mengadakan shalat jum’at, atau ada tetapi berada di daerah yang cukup jauh.
Jika sudah ada masjid yang dekat dan tak ada halangan syar’i untuk melaksanakan shalat jum’at di masjid, maka tak boleh ada dua shalat jum’at di tempat yang berdekatan.
Masjid yang dibangun atas dasar ingin membuat perpecahan umat islam, karena riya’ atau sum’ah oleh para ulama dilarang shalat disitu, karena masjid seperti itu digolongkan masjid dhirar.
Hal itu sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Qurthubi (w. 671 H) ketika menafsiri ayat masjid dhirar :
قال علماؤنا: وكل مسجد بني على ضرار أو رياء وسمعة فهو في حكم مسجد الضرار لا تجوز الصلاة فيه
“Ulama kita mengatakan: Setiap masjid yang dibangun dalam rangka membahayakan kaum muslimin, karena riya’ atau sum’ah maka hukumnya sebagaimana masjid dhirar, tidak dibolehkan shalat disana.”
(Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, 8/254)
Perbedaan Pendapat
Secara ringkas, ulama berbeda pendapat. Ulama Malikiyyah melarang shalat jum’at kecuali di Al-Jami’ atau Masjid Jami’. Sedangkan mayoritas ulama menyatakan bahwa Shalat Jum’at tak harus ditempat yang biasa disebut masjid. Artinya boleh shalat jum’at dilaksanakan di gedung auditorium, aula pertemuan, dsb. Lebih rincinya sebagai berikut :
Malikiyyah
Disebutkan dalam kitab Mukhtahsar Al-Khalil karya Syaikh Khalil bin Ishaq Al-Maliki (w. 776 H) :
….وبجامع مبني متحد
“…(shalat jum’at harus) di Al-Jami’ yang berbentuk bangunan dan menyatu..”(Mukhtashar Al-Khalil, 1/44)
Hal ini diperjelas dalam kitab Al-Fawakih Ad-Dawani karya Syaikh Ahmad bin Ghanim Al-Azhari Al-Maliki (w. 1126 H) :
ووقوع الصلاة والخطبة في الجامع المبني على وجه العادة وأن يكون متحدا وأن يكون متصلا بالبلد أو في حكم المتصل حين بنائه
“Shalat jum’at dan khutbahnya harus diadakan di Al-Jami’ yang berupa bangunan sebagaimana biasanya, bangunan itu menyatu dan menyambung dengan suatu daerah tempat tinggal..” (Al-Fawakih Ad-Dawani, 1/260)
Hal yang sama juga disebutkan dalam kitab Adz-Dzakhirah karya Imam Syihabuddin Al-Qarafi Al-Maliki (w. 684 H) :
الشرط الرابع المسجد… وقال الباجي لا تقام إلا في الجامع
“Syarat keempat adalah (jum’at) harus diadakan di masjid… Al-Baji Abu Al-Walid (w. 474 H) berkata: Shalat jum’at tak boleh diadakan kecuali di Al-Jami’.” (Adz-Dzakhirah, 2/335)
Bahkan disebutkan dalam kitab At-Taudhih karya Syaikh Khalil bin Ishaq Al-Maliki (w. 776 H) :
ولا يصح أن يقول أحد في المسجد أنه ليس من شرائط الصحة، إذ لا اختلاف في أنه لا يصح أن تقام الجمعة في غير مسجد
“Tak ada ikhtilaf atau perbedaan para ulama (pent: dalam madzhab Maliki) bahwasanya shalat jum’at itu tidak sah jika dilaksanakan di selain masjid.
(At-Taudhih fi Syarh Mukhtashar ibn Al-Hajib, 2/54)
Intinya, menurut ulama Malikiyyah, shalat jum’at hanya boleh dilaksanakan di masjid saja. Alasannya adalah karena Nabi dan para shahabatnya dahulu shalat jum’at di masjid.
Hanafiyyah
Menurut ulama Al-Hanafiyyah, shalat jum’at hanya diadakan jika mendapat ijin dari penguasa. Hanya hal ini berbeda dengan mayoritas ulama.
Maka dalam madzhab Hanafiyyah, jika penguasa mengadakan shalat jum’at di Istananya dan mengijinkan orang untuk shalat disana bukan di masjid, hukumnya boleh tetapi makruh.
Disebutkan dalam kitab Bahru Ar-Raiq karya Ibnu Nujaim Al-Hanafi (w. 970 H) :
في المحيط: فإن فتح باب قصره وأذن للناس بالدخول: جاز ، ويكره ; لأنه لم يقض حق المسجد الجامع
“Ketika sang pemimpin/penguasa membuka pintu istananya dan mengijinkan masyarakat untuk masuk (untuk shalat jum’at disitu), maka hukumnya boleh tetapi makruh. Karena si pemimpin itu tidak menunaikan hak masjid Jami’.
(Bahru Ar-Raiq, 2/163)
Syafi’iyyah
Dalam kitab Tharhu At-Tatsrib karya Al-Hafizh Abu Al-Fadhl Zainuddin Al-Iraqi (w. 806 H) disebutkan :
مذهبنا أن إقامة الجمعة لا تختص بالمسجد بل تقام في خطة الأبنية فلو فعلوها في غير مسجد لم يصل الداخل إلى ذلك الموضع في حالة الخطبة إذ ليست له تحية فلا يترك استماع الخطبة لغير سبب وهذا الحديث محمول على الغالب من إقامة الجمعة في المساجد والله أعلم
“Madzhab kami (Asy-Syafi’iyyah) berpendapat bahwa pelaksanaan shalat jum’at tak hanya khusus di masjid. Tetapi boleh dilaksanakan di suatu bangunan. Hanya saja ketika shalat jum’at dilaksanakan tidak di masjid, ketika ada orang masuk dan khatib telah naik keatas mimbar, maka dia tak disunnahkan shalat tahiyyat al-masjid. Karena hadits boleh shalat tahiyyat masjid walaupun khatib sedang berkhutbah itu untuk shalat jum’at di masjid.
(Tharhu At-Tatsrib, 3/190)
Imam Nawawi Asy-Syafi’I (w. 676 H) menyebutkan :
الثاني: أن تقام في خطة أبنية أوطان المجمعين
“Kedua: (Shalat jum’at) dilaksanakan di suatu bangunan orang-orang yang mempunyai kewajiban shalat jum’at.”
(Minhaj Ath-Thalibin, hlm. 47)
Imam Nawawi Asy-Syafi’I (w. 676 H) menjelaskan lebih lanjut :
قال أصحابنا ولا يشترط إقامتها في مسجد ولكن تجوز في ساحة مكشوفة بشرط أن تكون داخلة في القرية أو البلدة معدودة من خطتها
“Ulama-ulama syafi’iyyah berkata: (shalat jum’at) tidak harus dilaksanakan di masjid, tetapi boleh di pelataran, asalkan masih di tengah-tengah kampung atau suaru wilayah tertentu.”
(Al-Majmu’, hlm. 47)
Imam Al-Khatib Asy-Syirbini (w. 977 H) menjelaskan perkataan Imam Nawawi (w. 676 H) :
(الثاني) من الشروط (أن تقام في خطة أبنية أوطان المجمعين) بتشديد الميم: أي المصلين الجمعة، وإن لم تكن في مسجد لأنها لم تقم في عصر النبي – صلى الله عليه وسلم – والخلفاء الراشدين إلا في مواضع الإقامة كما هو معلوم
“Syarat kedua dari syaratnya shalat jum’at adalah diadakan di suatu bangunan orang yang mempunyai kewajiban shalat jum’at. Meskipun bangunan itu bukan masjid.”
(Mughni Al-Muhtaj, 1/543)
Hanbaliyyah
Disebutkan dalam kitab Al-Inshaf karya Alauddin Al-Mardawi Al-Hanbali (w. 885 H) :
(ويجوز إقامتها في الأبنية المتفرقة، إذا شملها اسم واحد وفيما قارب البنيان من الصحراء) . وهو المذهب مطلقا. وعليه أكثر الأصحاب. وقطع به كثير منهم. وقيل: لا يجوز إقامتها إلا في الجامع
“(Shalat jum’at) boleh dilaksanakan di suatu bangunan yang terpisah-pisah. Asalkan namanya satu tempat. Ini adalah yang dipilih oleh kebanyakan ulama madzhab Hanbali. Meski ada yang mengatakan bahwa shalat jum’at harus di Al-Jami’.
(Al-Inshaf, 2/378)
Bahkan Ibnu Qudamah Al-Hanbali (w. 620 H) membolehkan shalat jum’at tidak di sebuah bangunan. Berbeda dengan ulama syafi’iyyah yang mensyaratkan harus di suatu bangunan. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi Al-Hanbali (w. 620 H) berkata :
فصل: ولا يشترط لصحة الجمعة إقامتها في البنيان، ويجوز إقامتها فيما قاربه من الصحراء
“Shalat jum’at tidak disyaratkan harus dilaksanakan di suatu bangunan, bahkan boleh dilakukan di padang pasir.”
(Al-Mughni, 2/246)
Alasan yang dikemukakan oleh Ibnu Qudamah (w. 620 H) adalah suatu ketika seorang sahabat Nabi; Mush’ab bin Umair mengadakan jum’atan dengan para shahabat anshar di suatu tempat yang tak dihuni oleh manusia, atau disebut dengan Naqi’ Al-Khadhimat .
Alasan lain adalah shalat jum’at itu seperti shalat ‘Id, dan shalat ‘Id boleh dilaksanakan di selain masjid. Secara teks dalil juga tak ada aturan harus di suatu tempat tertentu.
(Ibnu Qudamah Al-Maqdisi Al-Hanbali w. 620 H, Al-Mughni, 2/246)
Kesimpulan
Jika dicari dalil teks dari Al-Qur’an maupun Hadits yang secara sharih atau to the point menjelaskan hal ini sepertinya akan kesusahan. Karena justru salah satu sebab adanya perbedaan ulama disini adalah tak adanya teks yang secara jelas menyebutkan dimana shalat jum’at harus diadakan.
Kesimpulan sederhana yang bisa diambil adalah jika memang di suatu daerah sudah ada Al-Jami’, maka shalat jum’at dilaksanakan di masjid tersebut. Sebisa mungkin jum’at diadakan untuk menyatukan ummat.
Tetapi jika memang harus shalat jum’at diadakan di selain masjid, misalnya diadakan di auditorium, aula atau balai pertemuan warga maka hukum shalat jum’atnya tetap sah.
Allahu a’lam bis shawab