Oleh: Muhammad Atim
Fatwapedia.com – Menjaga aqidah Islam dari berbagai penyimpangan adalah kewajiban setiap muslim. Rongrongan penyimpangan aqidah ini telah ada sejak generasi awal Islam, yaitu para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Tiga generasi inilah yang dipuji oleh Rasulullah saw sebagai generasi terbaik yang kita kenal dengan Shalafush Shaleh. Maka kita perlu bersungguh-sungguh untuk memahami dan memegang teguh manhaj aqidah yang telah digariskan oleh Salafush Shaleh tersebut.
Di antara ulama yang cukup memiliki jasa besar dalam menyingkap manhaj aqidah Salaf tersebut adalah Ibnu Taimiyyah. Kalau kita mau jujur dan sudi menelaah kitab-kitab beliau, yang sangat berlimpah itu, maka kita akan mengetahui penguasaan beliau yang luar biasa terhadap atsar-atsar Salaf khususnya dalam masalah aqidah. Beliau rangkaikan menjadi pemahaman yang utuh. Bahkan mengokohkannya dengan hujjah-hujjah baik naql maupun ‘aql. Tak hanya itu, beliau juga menguasai ilmu kalam dan filsafat, yang tak jarang menjadi penyebab timbulnya kerancuan dalam aqidah. Maka tak sedikit beliau meluruskan dan membantah berbagai penyimpangan aqidah. Namun demikian, beliau tetaplah manusia biasa yang tidak ma’shum. Kita mengikuti ijtihad beliau bukan karena taqlid, tapi karena ilmu yang kita pahami.
Sebagai pembelajar dan pencari kebenaran, kita harus jujur dalam menilai seseorang apalagi seorang ulama, melalui kajian yang mendalam terhadap karya-karyanya. Keulamaan beliau bahkan gelar sebagai Syaikhul Islam telah diakui oleh banyak para ulama, baik pada masa beliau maupun masa setelahnya. Semoga Allah merahmati beliau dan memberikan balasan yang terbaik. Aamiin.
Akar Tuduhan Tajsim
Semua tuduhan mujassim dan musyabbih kepada Ibnu Taimiyyah dan juga kepada para ulama lainnya yang berusaha berjuang memegang aqidah sebagaimana Salafush Shaleh, sebenarnya bermuara pada permasalahan metodologi.
Ahlul kalam, baik mu’tazilah, asy’ariyyah maupun maturidiyyah, membatasi pengertian jisim (fisik), tahayyuz (menempati ruang), makan (tempat), jihah (arah) dan had/ghayah (batasan), adalah hal-hal yang terikat dengan makhluk. Sehingga dengan tegas mereka menafikan semua itu dari Allah.
Metode tersebut menjadi titik tolak mereka menolak atau menta’wil makna hakikat/zahir dari nash-nash sifat yang mereka anggap mengandung hal-hal tersebut.
Sementara Salafush Shaleh dan para ulama yang berpegang dengan manhaj mereka, tidak memutlakkan istilah-istilah tersebut. Karena prinsip dalam penetapan aqidah terkait nama dan sifat Allah adalah tauqifi, berpaku pada nash Al-Qur’an dan Hadits. Istilah-istilah tersebut tidak ada dalam nash baik pengitsbatan maupun penafian. Sehingga harus dilihat maksud yang diinginkan dari lafaz-lafaz tersebut.
Para ulama salaf dan atsariyyah menolak metode ahli kalam yang berakibat menafikan/merubah makna hakikat/zahir yg dikandung oleh nash yang jelas, seperti, “Allah maha tinggi, beristiwa di atas arsy, di atas langit”, dll.
Oleh karena itu, kita akan mendapati perbedaan dari para ulama salaf antara yang menetapkan dan menafikan. Kalau memahami metode mereka dengan baik, maka akan mudah memahaminya dan tidak akan beranggapan bahwa mereka bertentangan antara satu sama lain, dan tentu tidak akan mudah menuduh mereka sebagai mujassim atau musyabbih.
Maka kalau ada ucapan ulama salaf yang menetapkan ruang/tempat, arah dan batasan, maksudnya yg mengandung makna khusus bagi Allah, yang tidak sama dengan yang ada pada makhluk atau ada dalam bayangan, sebagaimana ditunjuki oleh nash-nash secara hakikat dan zahirnya tanpa tahrif/ta’wil (penyelewengan makna) dan tanpa tamtsil (menyerupakan dengan makhluk).
Sedangkan yang menafikan, tentu maksud dari lafazh yg dinafikan itu adalah dengan makna-makna yang terikat dengan makhluk, artinya semata-mata menafikan penyerupaan dengan makhluk, bukan menafikan makna-makna yang ditunjuki oleh nash-nash yang jelas tersebut.
Tuduhan Sebagian Ulama
Memang ada ulama yang menuduh beliau melakukan tajsim, seperti misalnya Ibnu Hajar Al-Haitami, dll.
Kalau hanya sebatas nukilan perkataan ulama, kita pun bisa menghadirkan nukilan para ulama lainnya yang membela dan membebaskan Ibnu Taimiyyah dari tuduhan tajsim. Seperti Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Badruddin Al-‘Aini, Al-Bulqini, Al-Kurani, Al-Buhuti, Ali Mula Al-Qari, Al-Alusi, Al-Qasimi, dll. Sebagaimana telah saya tulis berikut ini: Klik disini
Tapi, persoalannya bukan sebatas nukilan, tapi pembuktian. Ulama yang menuduh tersebut dimungkinkan terpengaruh oleh para ahli kalam, sebagaimana kita tahu tokoh-tokoh madzhab Syafi’i misalnya tak sedikit yang menggunakan metode kalam asy’ariyyah, ia hanya memandang dari perspektif ilmu kalam tersebut, tanpa melakukan pendalaman terhadap kitab-kitab dan manhaj Ibnu Taimiyyah.
Umumnya kesalahan para penuduh adalah salah paham terhadap teks-teks Ibnu Taimiyyah, mereka tidak memahami secara utuh apa yang sedang dibahas oleh Ibnu Taimiyyah dan bagaimana gaya perdebatan yang sedang beliau jalankan. Di samping tidak pernah ada ucapan Ibnu Taimiyyah yang secara jelas menyebut “saya adalah mujassim” atau mengatakan “Allah adalah jisim”.
Cerita Ibnu Bathuthah
Yang sering dijadikan alasan tuduhan tajsim kepada Ibnu Taimiyyah adalah kisah yang diceritakan oleh Ibnu Bathuthah,
وكان بدمشق من كبار الفقهاء الحنابلة تقي الدين ابن تيمية، كبير الشأن، يتكلم في الفنون، إلا أن في عقله شيئا! وكان أهل دمشق يعظمونه أشدَّ التعظيم، ويعِظهم على المنبر، وكنت إذ ذاك بدمشق، فحضرته يوم الجمعة وهو يعِظ الناس على منبر الجامع ويذكِّرهم، فكان من جملة كلامه أن قال: (إنَّ الله ينزل إلى سماء الدنيا كنزولي هذا” ونزل درجة من درج المنبر
“Di Damaskus, di antara ulama besar Hanbali adalah Taqiyyuddin Ibnu Taimiyyah, kedudukannya besar, ia berbicara dalam banyak ilmu, hanya saja pada akalnya ada “sesuatu”. Penduduk Damaskus sangat memuliakannya. Ia menasihati mereka di atas mimbar. Aku saat itu ada di Damaskus. Aku hadir pada hari Jum’at dan dia sedang menasihati mereka, di antara perkataannya ia berkata, “Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia seperti turunku ini” dan ia pun turun dari satu tangga mimbar.” (Rihlah Ibnu Bathuthah, 1/316-317).
Tanggapan :
Cerita tersebut tidak mungkin bisa diterima kebenarannya, dengan beberapa alasan berikut :
1. Kitab Rihlah Ibnu Bathuthah itu sangat penuh dengan keanehan dan hal-hal yang tidak masuk akal. Para ulama mu’tabar tidak ada yang menjadikan kitabnya sebagai pegangan. Ia tidak dikenal bahkan dituduh dusta. Di antaranya Abul Barakat Ibnul Balfiqi, sebagaimana dinukil oleh Lisanuddin ibnul Khatib ketika menyebut biografi Ibnu Bathuthah,
وكانت رحلته على رسم الصّوفية زيّا وسجيّة، ثم قفل إلى بلاد المغرب، ودخل جزيرةَ الأندلس، فحكى بها أحوال المشرق، وما استفاد من أهله، فكذّب
“Rihlahnya itu berjalan di atas garis orang-orang Sufi, baik dari segi pola maupun karakteristiknya. Kemudian ia menutup rihlahnya ke negeri Maroko dan masuk
Jazirah Andalus, lalu ia menceritakan keadaan masyrik, dan apa yang dia ambil dari penduduknya.” Lalu (Al-Bulfiqi) pun menilainya dusta.” (Al-Ihathah fi Akhbari Al-Gharnathah, 3/206).
Selain itu, Ibnu Khaldun pun menilainya dusta. (Lihat Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal. 227).
Di samping, rihlahnya itu berlangsung lama, yaitu selama 30 tahun, dan dia tidak menuliskannya langsung. Justru ia menulisnya ketika pulang ke negerinya dan itu pun ia mendiktekannya kepada orang lain. Tentu ini sangat berpotensi terjadi lupa dan kekeliruan.
2. Cerita Ibnu Bathuthah tersebut tidak bisa diterima karena waktu kejadian ia melihat Ibnu Taimiyyah, justru saat itu Ibnu Taimiyyah sedang berada di penjara. Mana mungkin ketika ia sedang di penjara bisa menyampaikan pidato kepada khalayak ramai?
Ibnu Bathuthah secara jelas menyebutkan ia sampai ke Damaskus,
وكان دخولي لبعلبك عشية النهار، وخرجت منها بالغدو لفرط اشتياقي إلى دمشق، ووصلت يوم الخميس التاسع من شهر رمضان المعظم عام ستة وعشرين
“Masukku ke Ba’labek pada sore hari. Lalu aku keluar darinya pada waktu pagi karena kerinduanku yang sangat ke Damaskus, dan aku sampai pada hari Kamis tanggal 9 dari bulan Ramadhan yang dimuliakan tahun 26 (maksudnya 9-9-726 H). (Rihlah Ibnu Bathuthah, 1/297).
Pada saat itu Ibnu Taimiyyah sedang di penjara di Qal’ah (benteng) Damaskus menurut kesepakatan para ahli sejarah baik yang pro maupun kontra.
(Lihat Nihayatul Arab fi Fununil Adab, 33/213-215, Tarikh Hawadits Zaman wa Anbaihi wa Wafayatil Akabir wal A’yan min Abnaih, 2/111-123, Al-‘Uqud Ad-Durriyyah fi Dzikri Ba’dhi Manaqib Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah, 1/396-399, A’yanul Ashr wa A’yanun Nashr, 1/238, Al-Bidayah wan Nihayah, 14/123, Al-Jami’ li Siroh Ibni Taimiyyah khilal Sab’atu Qurun, hal. 32, Ibnu Taimiyyah Al-Mujtahid, hal. 48).
Di antaranya Ibnu Katsir menceritakan di antara kejadian tahun 726 H,
قال البرزالي: وفي يوم الاثنين عند العصر سادس عشر شعبان اعتقل الشيخ الإمام العالم العلامة تقي الدين بن تيمية بقلعة دمشق
“Al-Barzali berkata, “Pada hari Senin ketika ashar tanggal 16 Sya’ban, Asy-Syekh Al-Imam Al-‘Alim Al-‘Allamah Taqiyyuddin Ibnu Taimiyyah dipenjara di qal’ah Damaskus.” (Al-Bidayah wan Nihayah, 14/123).
Setelah dipenjara tersebut beliau tidak keluar lagi sampai wafat pada malam Senin, 20 Dzul Qa’dah tahun 728 H.
3. Tidak pernah ada pernyataan semisal yang diungkapkan oleh Ibnu Taimiyyah dimana pun dari kitab-kitabnya, ataupun nukilan dari murid-muridnya.
Semoga Allah menjaga kita dari lisan yang keji kepada para ulama. Wallahu A’lam.