Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
Fatwapedia.com – Sebenarnya sebagian besar shahabat yang terlibat konflik dengan Ali khususnya, Zubeir dan Thalhah telah meraih kesepakatan dengannya dan mengetahui bahwa Ali akan menegakkan hukum qishash atas para pemberontak yang telah membunuh Utsman.
Namun akhirnya para shahabat tersebut berselisih pada sikap yang harus diambil selanjutnya. Sebagian besar dari mereka menginginkan agar segera diambil tindakan secepatnya. Sedangkan Ali memilih menunda hingga waktu yang dianggap tepat dan sesuai prosedur.
2. Sebab Ali menunda keputusan untuk menegakkan Qishash adalah karena beberapa pertimbangan, diantaranya :
Pertama, para pelaku pembunuh Ustman adalah sekelompok orang dalam jumlah yang besar. Mereka kemudian berlindung di suku masing-masing atau mencari pengaruh agar selamat dari hukuman.
Memanggil mereka untuk diadili sangat tidak mungkin. Jalan satu-satunya adalah dengan kekuatan. Dan Ali menilai memerangi mereka dalam kondisi negara sedang tidak stabil sudah pasti akan menyebabkan perang saudara yang akan mengorbankan banyak pihak yang sebenarnya tidak terlibat alias ikut-ikutan.
Terlebih sebagian besar pelaku kejahatan itu telah tinggal di kota Madinah dan menancapkan pengaruhnya kepada masyarakat awam.
3. Ketiga, para pelaku pembunuhan itu juga menyusup ke barisan pendukung Ali di Basrah dan Kufah. Ini tentu sangat membahayakan posisi Ali yang ia tentu perlu dukungan yang sholid dari seluruh komponen pasukannya.
Imam Thahawi berkata :
وكان فى عسكرى علي من اؤلئك الطغاة الخوارج الذين قتلوا عثمان من لايعرف بعينه و من تنتصرله قبيلته ومن لم تقم عليه حجة بما فعله ومن فى قلبه نفاق لم يتمكن من إظهاره كله.
“Di dalam pasukan Ali terdapat para khawarij yang telah membunuh Utsman, yang tak diketahui personalnya dan suku yang mendukungnya. Juga adanya orang-orang yang menyadari perbuatannya keliru.
Juga mereka yang di dalam hatinya bercokol penyakit nifak yang tak mudah untuk dikuak.” [1]
Ditambah lagi secara politik, Ali terus berhadapan dengan pihak yang kontra dengannya seperti Mu’awiyah, Aisyah dan lainnya, yang siap setiap saat menempuh jalan perang jika tuntutan mereka atas darah Utsman tidak dikabulkan.
4. Ali telah mencoba menjelaskan hal ini kepada para shahabat nabi lainnya, terutama mereka yang terus menekannya untuk segera mengambil tindakan.
Ali mengatakan bahwa para pembunuh
Utsman itu bukan satu dua orang, tapi berjumlah besar. Mereka mempunyai kekuatan yang tidak gampang ditaklukkan.
Karenanya beliau meminta kepada mereka agar tetap bersabar sehingga situasinya menjadi kondusif dan urusan sudah stabil, barulah saat itu segala hak-hak bisa dikembalikan. Termasuk hukum had atas para pembunuh Utsman.
Karena kondisi saat ini belum memungkinkan untuk melakukan semua maslahat, Ali telah memberikan pandangan dengan mengatakan :
إقرار هؤلاء القوم قتلة عثمان فهو خير من شر منه، القتال والفرقة.
“Mendiamkan sementara waktu para pembunuh Utsman saat ini lebih baik dari pada sesuatu yang lebih buruk darinya, yaitu perang dan berpecah belah.”
5. Zubeir dan Thalhah sempat menyatakan dukungannya kepada Ali dan siap membelanya menghadapi perlawanan dari pasukannya yang tak setia. Dan mereka memberikan saran, jika memang kekuatan pasukan yang Ali khawatirkan, mereka siap mendukung dengan kekuatan militer.
Thalhah berkata kepada Ali :
دعني أتى البصرةفلا يفجؤك الا أنا فى خيل.
“Saya akan pergi ke Basrah dan akan menggerakkan kekuatan untuk mendukungmu di sana.”
Zubeir juga berkata : “Saya akan bergerak ke Kuffah dan akan menggerakkan kekuatan untuk mendukungmu di sana.”
Namun Ali menjawab :
حتى انظر فى ذلك
“Jangan terburu-buru hingga aku memandang bahwa langkah itu sudah diperlukan.”
6. Demikianlah amirul mukminin Ali bin Abi Thalib memilih melakukan penangguhan demi untuk menyedikitkan mudaratnya dibanding bila menyegerakannya.
Karena Ali saat itu memang dalam keadaan benar-benar tidak mampu membunuh orang-orang yang membunuh Utsman, karena mereka menguasai kabilah-kabilah yang membela mereka.
Keamanan belum kondusif, fitnah masih bergejolak, dan sangat mungkin jika ia nekad ia justru yang akan dihabisi oleh pengikutnya sendiri.
7. Sayidina Ali merencanakan bila keadaan telah lebih stabil ia akan membentuk tim untuk melakukan penyelidikan atas kasus ini secara lebih mendalam dan hati-hati.
Lalu mempersilahkan para wali korban untuk mengajukan tuntutan mereka. Menghadirkan yang dituntut dan yang menuntut di persidangan, mengungkap bukti-bukti dan menghadirkan para saksi, barulah kemudian mengadili mereka lewat pengadilan dengan seadil-adilnya.
8. Namun sikap Ali ini yang kemudian menyebabkan Thalhah dan Zubeir seperti kehilangan kepercayaan kepada Ali. Ditambah sikap para pendukung Ali yang terduga terlibat dalam pembunuhan Utsman yang kian kuat dan menampakkan arogansi karena merasa baik-baik saja.
Sehingga para shahabat tersebut kemudian menempuh jalan konfrontasi terhadap Ali. Mereka akhirnya pergi ke Makkah dan bergabung dengan kelompok yang siap menuntut dan memaksa Ali dengan tekanan kekuatan militer.
9. Tuduhan bahwa sayidina Ali ridha atas terbunuhnya Utsman dan sengaja melindungi para pembunuhnya jelas adalah tuduhan yang sangat keji. Tiada sumber yang bisa dirujuk tentang hal ini kecuali dari kalangan syi’ah Imamiyah yang memang sangat membenci shahabat Nabi seperti Utsman dan dari kelompok Khawarij Ibadhiyah.[2]
Ali radhiyallahu’anhu pernah berkata :
اللهم إني أبرأ اليك من دم عثمان
“Ya Allah, sesungguhnya aku bersih dan berlepas diri kepadaMu dari pembunuh Utsman.” [3]
10. Meskipun secara data terbukti bahwa para pelaku kejahatan pembunuhan terhadap Utsman ada dipihaknya, namun Ali berusaha menjauhi dan mempergauli mereka dengan sangat hati-hati.
Itu mengapa ia tidak pernah menyerahkan kepemimpinan dalam setiap operasi pasukannya kepada mereka yang terlibat, meskipun mereka adalah tokoh di kaumnya.
Inilah upaya puncak yang mungkin bisa ia lakukan dalam kondisi yang sedang tidak stabil. Memangkas pengaruh mereka berlahan-lahan. Karena jika ia menempuh jalan lebih keras lagi, masalah akan semakin runyam dan sulit untuk dikendalikan.
11. Dan Alasan selanjutnya, dan ini yang paling esensi, Ali tidak menghendaki terjadi hukum rimba atau ada yang main hakim sendiri. Hukum harus netral dan bersih dari tekanan politik manapun.
Ibnu Hazm mengatakan : “Seandainya saja Mu’awiyah dan shahabat-shahabat yang lain mau mendukung Ali dengan berbai’ah dan tidak terus menerus menekannya secara militer, sungguh Ali akan mampu untuk menyegerakan qishash terhadap pembunuh Utsman.” [4]
Yang terjadi Mu’awiyah dan beberapa pihak lainnya terus menekan sayidina Ali, dengan menuntut agar para pembunuh itu diserahkan kepadanya untuk dibalas sesuai dengan kejahatannya.
Karenanya para ulama seperti Ibnul Arabi membenarkan sikap Ali yang tetap bersikap sesuai aturan dan rambu-rambu syariat, di mana ia menyatakan pendiriannya :
لا امكن طالبا من مطلوب ينفذ فيه مراده بغير حكم ولا حاكم.
“Aku tidak mungkin akan menyerahkan kepada penuntut untuk berbuat semaunya atas orang yang dituduh tanpa lewat vonis atau seorang hakim.” [5] Semoga bermanfaat.
Referensi:
1. Syarh at Thahawiyah hal. 546
2. Aqidah Ahlil Bait bainal Ifrath wa Tafrith hal. 229
3. Al Bidayah wa Nihayah (7/202)
4. Al Fashl fil Milal wa An Nihal (4/162)
5. Al Awashim minal Qawashim hal. 163