Fatwapedia.com – Pembahasan aurat wanita di depan sesama wanita dan sesama mahram maka masuk dalam pembahasan aurat wanita di depan mahram, karena masih satu konteks dengan ayat ke-31 surat An-Nur, adapun aurat wanita ketika shalat dan di luar shalat maka terdapat sedikit perincian.
Terkait aurat wanita sesama wanita adalah seperti yang disebutkan dalam surat An Nur ayat 31,
أَوْ نِسَائِهِنَّ
“atau wanita-wanita Islam.”
Kata ganti “هِنَّ” disini kata al-Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya :
هَنُ المسلمات
“Yakni mereka wanita-wanita Muslimah.”
Al-Imam Thabari rahimahullah dalam tafsirnya juga menukil dengan sanadnya sampai kepada al-Imam Ibnu Juraij rahimahullah bahwa yang dimaksud disini adalah wanita-wanita Muslimah, sehingga tidak boleh bagi wanita menampakkan auratnya di hadapan wanita kafir, sebagaimana mereka tidak boleh menampakkannya juga kepada laki-laki yang bukan mahramnya.
Alasan pembedaan antara yang Muslim dan kafir, padahal sama-sama wanitanya adalah karena seorang wanita Muslimah ia tahu kode etik terkait dengan rahasia tubuh wanita saudaranya sesama Muslimah untuk tidak dibeberkan kepada laki-laki asing bagi wanita tersebut, sebagaimana ini yang diperintahkan oleh Rasulullah ﷺ :
َّلَا تُبَاشِرْ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ فَتَنْعَتَهَا لِزَوْجِهَا كَأَنَّهُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا
“Janganlah seorang istri menceritakan ciri-ciri wanita lain pada suaminya sehingga ia seolah-olah melihatnya.” (Muttafaqun ‘alaih).
Adapun wanita kafir, maka dikhawatirkan mereka akan menyebarkan rahasia wanita Muslimah yang selama ini dijaga untuk disembunyikan di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya, sehingga untuk melakukan pencegahan ini, Allah Ta’âlâ TIDAK mengizinkan aurat wanita Muslimah diumbar kepada mereka.
Al-Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menukil bahwa khalifah Umar pada waktu itu mengirim syarat kepada Abu Ubaidah radhiyallahu anhumaa yang isinya sebagai berikut :
Amma Ba’du, sesungguhnya telah sampai “berita kepadaku yang mengatakan bahwa sebagian dari kaum wanita muslimat sering memasuki tempat mandi sauna bersama wanita-wanita musyrik, dan hal itu terjadi di daerah wewenangmu. Maka tidak dihalalkan bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian memperlihatkan auratnya kepada wanita lain kecuali wanita yang seagama dengannya.” -selesai-.
Aurat Wanita Di Depan Mahramnya
Allah Ta’âlâ telah memberikan isyarat kepada para wanita yang beriman agar menutup tubuhnya di depan mahram, kecuali ada beberapa anggota tubuh yang boleh dinampakkan di depan mereka. FirmanNya :
وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ
“dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara-saudara perempuan mereka.” (An-Nur: 31)
Mereka yang disebutkan di atas adalah mahram wanita, para wanita diperbolehkan memperlihatkan perhiasannya kepada orang-orang tersebut (tafsir Ibnu Katsir).
Dalam ayat ini juga terdapat isyarat bahwa anggota tubuh wanita yang boleh dinampakkan adalah anggota tubuh yang biasanya menjadi tempat perhiasan, berdasarkan hal ini maka mengacu kepada jenis-jenis perhiasan yang biasa dipakai wanita, berarti aurat wanita yang boleh dinampakkan kepada mahramnya yaitu :
1. Cincin yang biasa dipakai di jari tangan, mengisyaratkan untuk telapak tangannya.
2. Gelang yang biasa dipakai di tangan, mengisyaratkan lengan tangan bagian bawah sampai sikunya.
3. Anting yang biasa dipakai di telinga, mengisyaratkan kepalanya.
4. Kalung yang biasa dipakai di leher, mengisyaratkan lehernya.
5. Gelang kaki yang biasa dipakai di betis, mengisyaratkan kaki bagian bawah sampai lututnya.
Al-Imam Abu Bakar Jashasha rahimahullah dalam tafsirnya (via Islamqa) mengatakan :
وأباح للزوج وذوي المحارم النظر إلى الزينة الباطنة . وروي عن ابن مسعود والزبير : القرط والقلادة والسوار والخلخال …
“Dibolehkan bagi suami dan mahramnya melihat perhiasan batinnya. Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud dan Zubair radhiyallahu anhumaa, (bahwa perhiasan batin adalah) : anting, kalung, gelang tangan dan gelang kaki…”. -selesai-.
Atsar Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu diatas dishahihkan oleh Badruddin al-‘Ainiy (w. 855 H).
Catatan : Dalam ayat diatas, tidak disebutkan paman baik dari pihak ayah (‘Âmmun) maupun dari pihak ibu (Khôlun), kata al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah :
“Oleh sebab itu, seorang wanita tidak boleh membuka kain kerudungnya di hadapan pamannya, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Demikian itu karena dikhawatirkan keduanya akan menggambarkan keadaannya kepada anak-anak laki-lakinya masing-masing.” -selesai-.
Yakni anak laki-laki dari pamannya bagi wanita adalah sepupunya yang bukan termasuk mahramnya.
Tentu membuka aurat di atas itu, catatannya adalah jika aman dari fitnah ketika itu dinampakkan kepada mahramnya, jika tidak tentu harus ditutup.
Wallahu A’lam.
Aurat Wanita Ketika Salat
Syaikhunâ Sulthân bin Abdillah al-Āmiriy hafizhahullah dalam kitabnya “al-Fiqh al-Muyassar” (hal. 82) berkata :
“Wanita itu semuanya aurat, kecuali wajahnya dalam sholat. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ
“Allah tidak menerima sholatnya wanita haidh (sudah baligh) kecuali dengan kerudung.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi dengan sanad shahih).
Namun jika ia sedang berada di tempat keramaian, seperti taman dan yang semisalnya, maka tidak boleh membuka wajahnya, sekalipun dalam kondisi ia sedang sholat.
Mayoritas ulama berpendapat membuka telapak tangan dan telapak kaki tidak mengapa, bahwa dikatakan ada ijma tentang hal ini.” -selesai-.
Al-‘Allamah Muqbil rahimahullah pernah ditanya seputar hukum membuka telapak kali dalam sholat bagi wanita, maka beliau rahimahullah memberikan fatwa yang inti fatwanya adalah :
فالصحيح أن المرأة يجوز لها أن ينكشف قدمها ليس هناك دليل يمنع
“Pendapat yang benar bahwa wanita boleh baginya membuka telapak kakinya dan disana tidak ada dalil yang melarangnya.” -selesai-.
Akan tetapi Imam al-Albani memilih pendapat bahwa telapak kaki wanita harus ditutup, diantara dalil yang beliau sampaikan adalah hadits Abu Dawud bahwa wanita ketika sholat, maka hendaknya memakai gamis yang lebar yang dapat menutupi punggung telapak kakinya, beliau menegaskannya dalam kitab “Jâmi’ Turats al-‘Allâmah al-Albani fî al-Fiqh” (7/403) :
أن للعلماء قولين اثنين في قدمي المرأة، أحدهما: أنهما عورة، وهو الصحيح، والآخر: أنهما ليسا بعورة وهو مرجوح
“Ulama dalam masalah telapak kaki wanita memiliki dua pendapat, yang pertama bahwa itu adalah aurat dan ini pendapat yang benar dan yang kedua bukan aurat dan ini pendapat yang marjûh (lemah).”
Imam bin Baz rahimahullah juga mengatakan bahwa telapak kaki wajib ditutup, lantas beliau menyandarkannya kepada pendapat mayoritas ulama, kata beliau rahimahullah :
وأما القدمان فجمهور العلماء على أنهما يستران في الصلاة
“Adapun kedua telapak kaki, maka mayoritas ulama mengatakan bahwa keduanya harus ditutup dalam sholat.” -selesai-.
Syaikhunâ Sulthan hafizhahullah yang berpendapat telapak kaki tidak wajib dibuka dalam sholat, namun ketika ana (Abu Sa’id) bertanya kepada beliau seputar telapak kaki apakah aurat bagi wanita atau tidak, maka beliau mengatakan bahwa sekalipun boleh dibuka dalam sholat, namun ia adalah aurat yang wajib ditutup diluar sholat, sebagaimana wajah yang yang boleh dibuka dalam sholat, Syaikhunâ mengikuti kebanyakan ulama hijaz bahwa wajah wanita wajib ditutup diluar sholat.
Wallahu A’lam.
Aurat Wanita Diluar Shalat
Pada prinsipnya wanita itu adalah aurat, sebagaimana dalam hadits shahabi jalîl Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu secara marfu’ dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam :
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ، فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Wanita itu adalah aurat, jika ia keluar, maka syaithon akan menjadikannya nampak indah dalam pandangan laki-laki.” (HR. Tirmidzi, dishahihkan oleh al-Albani).
DR. Muhammad Na’im hafizhahullah dalam kitabnya “Maushû’ah Masâ`il al-Jumhûr” (I/144) berkata :
وأما عورتها خارج الصلاة فبدنها كله وتبدي وجهها وكفَّيها لحاجة الييع والشراء والأخذ والعطاء أو الشهادة ونحو ذلك
“Adapun aurat wanita diluar sholat adalah badannya semuanya dan boleh nampak wajah dan telapak tangannya karena ada keperluan jual-beli, mengambil, memberi atau persaksian dan yang semisalnya.” -selesai-.
Al-Imam al-Albani rahimahullah dalam kitabnya “Jilbâb al-Mar`ah al-Muslimah” ketika menyebutkan syarat-syarat jilbab yang sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah, yaitu syarat pertamanya adalah :
استيعاب جميع البدن إلا ما استثني
“Menutupi seluruh badannya, kecuali apa yang dikecualikan.”
Pengecualian yang dimaksud adalah wajah dan telapak tangan. Dalam “al-Maushû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah” (31/44) disebutkan pendapat mayoritas ulama tentang pengecualiannya :
ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّ جِسْمَ الْمَرْأَةِ كُلَّهُ عَوْرَةٌ بِالنِّسْبَةِ لِلرَّجُل الأَْجْنَبِيِّ عَدَا الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ….لَكِنْ جَوَازُ كَشْفِ ذَلِكَ مُقَيَّدٌ بِأَمْنِ الْفِتْنَةِ
“Mayoritas ulama fiqih berpendapat bahwa badan wanita itu semuanya adalah aurat dihadapan laki-laki asing (non mahram), kecuali wajah dan telapak tangan….namun kebolehan membuka (wajah dan telapak tangan) dikaitkan dengan aman dari fitnah.” -selesai-.
Hal ini berdasarkan Firman Allah Ta’âlâ :
وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya.” (An-Nur: 31).
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan :
وَيُحْتَمَلُ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ وَمَنْ تَابَعَهُ أَرَادُوا تَفْسِيرَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا بِالْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ، وَهَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ عِنْدَ الْجُمْهُورِ
“Dapat pula dikatakan bahwa Ibnu Abbas dan para pengikutnya bermaksud dengan tafsir firman-Nya yang mengatakan, “Kecuali apa yang biasa tampak darinya,” adalah wajah dan kedua telapak tangan.
Pendapat inilah yang terkenal di kalangan jumhur ulama.” -selesai-.
Penafsiran shahabi jalîl Ibnu Abbas radhiyallahu anhu dapat kita lihat dengan sanad yang bersambung dalam tafsir ath-Thabari, Ibnu Abi Hatim dan kitab-kitab hadits lainnya, dengan sanad yang dinilai shahih oleh Imam al-Albani dan selainnya.
Hal ini diperkuat dengan hadits Abu Dawud bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
يا أسماءُ إنَّ المرأةَ إذا بلغت المَحيضَ ، لم يصلُحْ أن يُرى منها إلا هذا وهذا وأشار إلى وَجهِه وكفَّيه
“Wahai Asmâ`, sesungguhnya wanita jika sudah baligh, tidak boleh baginya kelihatan darinya, kecuali ini dan ini.”
Beliau berisyarat kepada wajah dan telapak tangan.” (Hadits ini dihasankan oleh al-Albani dengan penggabungan jalan-jalannya).
Dalam hadits ini terdapat isyarat juga bahwa kedua telapak kaki wanita wajib ditutup alias ia juga bagian dari auratnya. Akan tetapi, penulis kitab “al-Maushû’ah al-Kuwaitiyyah” pada halaman yang sama menukil bahwa al-Imam Abu Hanifah memiliki pendapat yang berbeda dengan jumhur ulama :
وَوَرَدَ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ الْقَوْل بِجَوَازِ إِظْهَارِ قَدَمَيْهَا؛ لأَِنَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى نَهَى عَنْ إِبْدَاءِ الزِّينَةِ وَاسْتَثْنَى مَا ظَهَرَ مِنْهَا. وَالْقَدَمَانِ ظَاهِرَتَانِ
“Telah datang dari Abu Hanifah pendapat yang memperbolehkan menampakkan kedua telapak kaki, karena Allah Ta’âlâ melarang untuk menampakkan perhiasan dan mengecualikannya dengan apa yang biasa nampak darinya dan telapak kaki adalah biasa dinampakkan.” -selesai-.
Al-Imam Nawawi rahimahullah melengkapinya lagi dalam kitabnya “al-Majmu'” (3/169, via Islamweb) :
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَالثَّوْرِيُّ وَالْمُزَنِيُّ قَدَمَاهَا أَيْضًا ليست بِعَوْرَةٍ
“Abu Hanifah, ats-Tsauriy dan al-Muzaniy berpendapat bahwa kedua telapak kaki bukanlah aurat juga.” -selesai-.
Namun pendapat yang mengatakan telapak kaki wanita bukan aurat adalah marjûh atau lemah, karena bertentangan dengan hadits Ibnu Umar radhiyallahu anhu secara marfu’ :
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ ، لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “. فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ : فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ ؟ قَالَ : ” يُرْخِينَ شِبْرًا “. فَقَالَتْ : إِذَنْ تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ، قَالَ : ” فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا، لَا يَزِدْنَ عَلَيْهِ “.
“Barangsiapa menjulurkan kainnya dengan sombong, maka Allah tidak akan melihat dia pada hari kiamat”. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bertanya: “Apa yang dilakukan wanita dengan ujung gaunnya?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Lebihkanlah satu jengkal”.
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha menjawab: “Jika demikian telapak kakinya akan tersingkap”.
Beliau menanggapi : “lebihkanlah satu hasta dan jangan lebih dari itu”. (HR. Tirmidzi dan Nasa`i dengan sanad yang dishahihkan oleh al-Albani dan asal hadits ini ada pada shahihain).
Perkataan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bahwa “telapak kakinya akan tersingkap”, kemudian disetujui oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam, maka lafazh hadits ini menunjukkan bahwa yang ma’ruf dikalangan shahabiyyah bahwa telapak kaki termasuk aurat, oleh sebab itu ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyebutkan ancaman bagi orang-orang yang melabuhkan kakinya dibawah mata kaki, Ummu Salamah merasa perlu fatwa, apakah ini berlaku juga bagi wanita, maka Rasulullah memberikan fatwa bahwa wanita kain pakaiannya dipanjangkan seukuran satu jengkal dari mata kaki dan ini yang sunnah, kalau masih ingin tambah panjang lagi maka maksimalnya adalah seukuran sehasta dari mata kaki. Penulis kitab “Tuhfah al-Akhwadzi” menukil penjelasan Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah :
إن للرجال حالين : حال استحباب وهو أن يقتصر بالإزار على نصف الساق وحال جواز وهو إلى الكعبين ، وكذلك للنساء حالان : حال استحباب وهو ما يزيد على ما هو جائز للرجال بقدر الشبر ، وحال جواز بقدر ذراع
“Sesungguhnya bagi laki-laki ada dua kondisi :
✓ Kondisi dianjurkan, yaitu sarungnya sampai setengah betis.
✓ Kondisi diperbolehkan, yaitu sampai mata kaki.
Demikian juga wanita ada dua kondisi :
✓ Kondisi dianjurkan, yaitu yang melebihi dari ukuran yang diperbolehkan oleh laki-laki sepanjang satu jengkal.
✓ Kondisi diperbolehkan, yaitu panjang lebihannya seukuran satu hasta. -selesai-.
Jika telapak kaki wanita bukan aurat, tentu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak mengizinkan ujung bawah pakaian wanita sampai menutupi mata kaki.
Para wanita pada zaman sahabat dan generasi salaf terbiasa gaunnya panjang-panjang, salah satu wanita pernah bertanya kepada Ummul Mukminin Ummu Salamah radhiyallahu anhâ :
إِنِّي امْرَأَةٌ أُطِيلُ ذَيْلِي، وَأَمْشِي فِي الْمَكَانِ الْقَذِرِ. فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ “.
“aku adalah wanita yang bergaun panjang, lalu ketika aku berjalan di tempat kotor (najis) (bagaimana kesucian pakaianku?)”, Maka Ummu Salamah menjawab : “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “akan mensucikannya tanah setelahnya.” (HR. Ashabus Sunan, dishahihkan oleh al-Albani).
Imam al-Albani dalam kitabnya “ash-Shahihah” (no. 1864, via islamqa) memberikan penjelasan mengenai sebagian wanita yang untuk menutupi kedua kakinya menggunakan kaos kaki, kata beliau rahimahullah :
فلا يجوز للمرأة أن تلبس حذاءً مكشوفاً يَظهر منه قدماها ، فإذا كان اللباس طويلاً وهي تلبس الجوارب : فلا حرج عليها ، والأفضل أن تُغطَى القدمان بالثوب لا بالجوارب
“Tidak boleh seorang wanita memakai sepatu yang terbuka dan nampak telapak kakinya, jika pakaiannya panjang dan ia mengenakan kaos kaki, maka tidak mengapa, yang lebih utama adalah ia menutupi telapak kakinya dengan gaunnya, bukan dengan kaos kaki.” -selesai-.
Wallahu Ta’âlâ A’lam.
Penulis: Abu Sa’id Neno Triyono