Oleh: Muhammad Atim
Fatwapedia.com – Ushul Fiqih didefinisikan dengan dua tinjauan definisi. Yaitu definisi secara idhofi, dengan melihat makna satu persatu kata dari dua kata yang diidhofatkan (dinisbatkan), yaitu ushul dan fiqih. Dan definisi secara laqobi, artinya dengan melihat kata Ushul Fiqih secara menyatu yang sudah menjadi suatu istilah.
Berikut ini adalah penjelasan definisi Ushul Fiqih, Ruang Lingkup dan Manfaatnya yang termuat dalam Syarah Matan Al-Waraqat.
بسم الله الرحمن الرحيم
مَعْنَى أُصُوْلِ الْفِقْهِ
هَذِهِ وَرَقَاتٌ تَشْتَمِلُ عَلَى فُصُوْلٍ مِنْ أُصُوْلِ الْفِقْهِ. وَهُوَ لَفْظٌ مُؤَلَّفٌ مِنْ جُزْأَيْنِ مُفْرَدَيْنِ. أَحَدُهُمَا الأُصُوْلُ وَالْآخَرُ الفِقْهُ.
فَالْأَصْلُ : مَا يَنْبَنِي عَلَيْهِ غَيْرُهُ. وَالْفَرْعُ : مَا يُبْنَى عَلَى غَيْرِهِ.
وَالْفِقْهُ : مَعْرِفَةُ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الَّتِي طَرِيْقُهَا الْاِجْتِهَادُ.
Makna Ushul Fiqih
Ini adalah lembaran-lembaran yang mencakup beberapa fasal dari Ushul Fiqih. Ia adalah lafazh yang disusun dari dua bagian kosa kata. Yang pertama adalah ushul, dan yang kedua adalah fiqih.
Al-Ashl adalah yang dibangun di atasnya yang lainnya. Dan al-far’u (cabang) yang dibangun di atas yang lainnya.
Sedangkan fiqih adalah mengetahui hukum-hukum syariat, yang cara mengetahuinya melalui ijtihad.
Syarah:
Ini adalah syarah bagi matan Al-Waraqat dalam ilmu ushul fiqih. Matan ini ditulis oleh imam Al-Haromain Abul Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad Al-Juwaini, nisbat kepada Juwainah, salah satu daerah di kota Naisabur. Beliau lahir tahun 419 H dan wafat tahun 478 H. Tak asing lagi beliau adalah salah seorang ulama besar dalam madzhab Syafi’i. Kitab fiqih yang beliau tulis menjadi rujukan penting dalam madzhab Syafi’i, yaitu Nihayatul Mathlab fi Diroyatil Madzhab, yang merupakan syarah dari kitab Mukhtashar Al-Muzanni, murid langsung dari imam Asy-Syafi’i. Selain itu beliau juga dikenal sebagai ahli ilmu kalam dan ilmu ushul fiqih. Dalam ilmu ushul fiqih beliau menulis matan ini untuk pemula, karya lainnya yang besar adalah kitab Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqhi.
Sebagaimana namanya yang beliau berikan pada matan ini yaitu al-waraqat (lembaran-lembaran), yang mencerminkan bahwa ini adalah matan yang ringkas, beberapa lembar saja, berisi beberapa fasal dalam ilmu ushul fiqih, yaitu istilah-istilah dan pemahaman kunci yang diperuntukan bagi pelajar pemula dalam ilmu ushul fiqih. Menariknya, meskipun matan ini ditulis oleh seorang ulama syafi’iyyah, ia dipelajari oleh lintas madzhab, dari zaman ke zaman telah dijadikan sebagai panduan pembelajaran. Ini menunjukkan bahwa Allah memberikan keberkahan kepada matan ini. Semoga Allah ﷻ memberikan balasan kepada penulisnya dengan balasan yang terbaik, mengampuni dosa-dosanya, memberikan rahmat dan keridhoan kepadanya dan menempatkannya di surga yang tinggi. Aamiin ya Robbal ‘alamin.
Ushul Fiqih adalah salah satu ilmu syar’i yang sangat penting, karena dengannya seseorang dapat memahami Al-Qur’an dan Sunnah dan menyimpulkan hukum dari keduanya. Dengan kata lain, ilmu ushul fiqih adalah qanun yang berisi kaidah dan sistem untuk mengistinbat (menyimpulkan) hukum-hukum syari’at.
Definisi Ushul Fiqih
Ushul Fiqih didefinisikan dengan dua tinjauan definisi. Yaitu definisi secara idhofi, dengan melihat makna satu persatu kata dari dua kata yang diidhofatkan (dinisbatkan), yaitu ushul dan fiqih. Dan definisi secara laqobi, artinya dengan melihat kata Ushul Fiqih secara menyatu yang sudah menjadi suatu istilah.
Dalam pembahasan ini penulis hanya menyebutkan definisi secara idhofi saja, namun untuk melengkapi pelemahaman, saya lengkapi dengan definisi secara laqobi.
Secara idhofi, Ushul Fiqih terdiri dari dua kata yaitu ushul dan fiqih.
Ushul adalah bentuk jama’ (majemuk) dari kata al-ashl, penulis mengatakan :
فَالْأَصْلُ : مَا يَنْبَنِي عَلَيْهِ غَيْرُهُ. وَالْفَرْعُ : مَا يُبْنَى عَلَى غَيْرِهِ
“Al-Ashl adalah yang dibangun di atasnya yang lainnya. Dan al-far’u (cabang) yang dibangun di atas yang lainnya.”
Artinya, al-ashl adalah pokok dari sesuatu yang dapat melahirkan cabang. Maka untuk memahaminya dijelaskan pula tentang al-far’u (cabang) yang dilahirkannya atau yang dibangun di atasnya. Al-ashl ini kalau pada bangunan, ia sebagai pondasinya, kalau bagi pohon, ia adalah akarnya. Dalam hal ini berarti, ushul fiqih adalah dasar bagi fiqih, sedangkan fiqih merupakan cabangnya.
Sedangkan secara istilah, kata “Ashl” digunakan untuk beberapa makna, diantaranya :
1. Dalil
Misalnya dikatakan, “Asal dari permasalahan ini adalah Al-Qur’an dan Sunnah”, maksudnya adalah dalilnya.
2. Ar-Rajih (Yang lebih kuat)
Misalnya dikatakan, “Asal dari suatu perkataan adalah hakikat”, artinya yang lebih kuat untuk dipahami dari suatu perkataan adalah maknanya secara hakikat, bukan dipahami secara majaz (kiasan), karena hakikat lebih kuat dari majaz.
3. Kaidah
Maksudnya kaidah yang ada di berbagai disiplin ilmu. Misalnya dalam ilmu kaidah fiqih jika dikatakan “Membolehkan bangkai bagi orang yang sedang dalam keadaan darurat adalah menyalahi asal”. Asal tersebut maksudnya kaidah bahwa “Bangkai itu haram”.
4. Asal dalam qiyas
Dalam pembahasan qiyas, ada rukun yang dikenal dengan Ashl (asal) dan Far’u (cabang). Asal itu yang disebutkan di dalam Nash Al-Qur’an atau hadits, misalnya larangan mengucapkan “ah” sebagai ucapan menggerutu kepada kedua orang tua, itu adalah asal. Sedangkan yang tidak disebutkan yang bisa diqiyaskan kepadanya yaitu memukulnya, mencelanya, dan lain sebagainya, itu disebut cabang. Lebih jauhnya ini akan dibahas di pembahasan qiyas.
5. Istishhab
Yaitu hukum asal dari segala sesuatu. Misalnya dikatakan, “Asal dari segala sesuatu adalah mubah”, maksudnya istishhab. Ini akan dibahas dalam pembahasan khusus salah satu dalil yang digunakan adalah dalil istishhab.
Dari kelima definisi ashl secara istilah di atas, makna yang dimaksud di dalam kata ushul fiqih adalah makna pertama, yaitu bahwa ushul fiqih maknanya adalah dalil-dalil fiqih.
Kata “fiqih” didefinisikan secara bahasa adalah al-fahmu (paham). Misalnya dalam Al-Qur’an disebutkan :
قَالُوا يَا شُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِيْرًا مِمَّا تَقُوْلُ
“Mereka berkata : Wahai Syu’aib, kami tidak terlalu memahami apa yang kamu katakan” (QS. Hud : 91).
Sedangkan sebagian ulama memandang, kata fiqih itu tidak sekedar paham, tetapi bermakna pemahaman yang mendalam. Misalnya Abu Ishaq Asy-Syirozi mendefinisikan,
فَهْمُ الْأَشْيَاءِ الدَّقِيْقَةِ
“Memahami berbagai perkara secara mendalam”
Imam Fakhruddin Ar-Razi mendefinisikan,
فَهْمُ غَرْضِ الْمُتَكَلِّمِ مِنْ كَلَامِهِ
“Memahami maksud seorang pembicara dari perkataannya.
Namun di sini perlu dipahami bahwa kata fiqih memiliki tiga akar kata yang berbeda yang tentu saja mengandung makna yang berbeda.
Pertama, berasal dari kata “faqiha-yafqohu” artinya paham
Kedua, berasal dari kata “faqoha-yafqohu” artinya seseorang telah lebih dulu paham dari yang lainnya.
Ketiga, berasal dari kata “faquha-yafquhu” artinya seseorang telah menjadi pakar (sajiyyah) dalam ilmu fiqih.
Makna pertama dan kedua adalah makna secara bahasa, sedangkan makna ketiga adalah makna istilah yaitu dalam disiplin ilmu fiqih. Seperti dikenal dalam ilmu tashrif, bahwa penggunaan huruf dhommah di ‘ain fi’il itu biasanya digunakan untuk suatu disiplin ilmu, seperti contoh lain kata “balugho” artinya seseorang telah menjadi ahli dalam ilmu balaghah.
Secara istilah, penulis mendefinisikan :
مَعْرِفَةُ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الَّتِي طَرِيْقُهَا الْاِجْتِهَادُ
“Mengetahui hukum-hukum syariat, yang cara mengetahuinya melalui ijtihad”
Kata ma’rifah yang penulis sebutkan maksudnya adalah ilmu, karena ushul fiqih telah menjadi satu disiplin ilmu. Ketika kita menyebutkan kata “ilmu” dan memaksudkannya satu disiplin ilmu tertentu, maka maksudnya adalah ilmu hasil pemikiran manusia yang bersifat zhan (dugaan), bukan bersifat qhat’i.
Hukum-hukum syari’at artinya hukum-hukum yang berasal dari Allah sebagai pembuat syari’at. Ini untuk membedakan dari hukum-hukum yang lain, misalnya hukum akal, yaitu yang dihasilkan dari pemahaman akal, misalnya “seluruhnya” itu lebih besar daripada “sebagian”, atau hukum al-‘adi at-tajribi (hukum alam hasil eksperimen), misalnya api itu membakar.
Kalimat “yang cara mengetahuinya melalui ijtihad” adalah untuk membedakan dengan ilmu para nabi, mereka tidak mendapatkannya melalui ijtihad, tetapi melalui pemberian wahyu langsung dari Allah. Juga untuk membedakan dengan hukum-hukum syariat yang diketahui tanpa melalui ijtihad karena telah ditunjukkan secara jelas dan tegas (qath’i) oleh nash, misalnya shalat lima waktu itu wajib, zakat itu wajib, membunuh itu haram, mencuri itu haram, dsb. Hal-hal seperti itu adalah perkara qath’i yang tidak dinamakan fiqih. Sedangkan fiqih wilayah pembahasannya adalah hukum-hukum syari’at yang bersifat zhanni, yang membutuhkan usaha ijtihad untuk menghasilkannya, seperti mengetahui niat dalam wudhu itu wajib, takbirotul ihrom itu wajib dalam shalat, dll. Karena ijtihad itu sendiri adalah :
بَذْلُ الْفَقِيْهِ كُلَّ وُسْعِهِ فِي تَحْصِيْلِ ظَنٍّ بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ مَأْخُوْذٍ مِنْ أَدِلَّتِهَا
“Mengerahkan segenap kesungguhan dari seorang ahli fiqih dalam menghasilkan perkara zhanni dari hukum-hukum syariat yang diambil dari dalil-dalilnya.”
Definisi fiqih yang dikemukakan oleh penulis adalah definisi yang ringkas, sedangkan lebih lengkapnya para ulama mendefinisikan :
العِلْمُ بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ العَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبُ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
“Ilmu tentang hukum-hukum syariat yang bersifat amalan (praktek) yang dihasilkan dari dalil-dalilnya yang terperinci”.
Kata “al-‘amaliyyah” yang bersifat amalan fisik, ini untuk membedakan hukum syariat yang bersifat keyakinan karena itu termasuk ilmu aqidah, atau yang bersifat perbuatan hati yang termasuk wilayah ilmu akhlaq atau tasawuf.
Kata “al-muktasab” sebagai sifat dari ilmu, yaitu ilmu yang dihasilkan oleh manusia, untuk membedakan dari ilmu wahyu yang langsung diberikan oleh Allah kepada para rasul atau malaikat.
Kata “dari dalil-dalilnya yang terperinci” untuk membedakan dari ilmu orang yang taqlid (muqollid), bahwa mereka mengetahuinya bukan dari dalil, tapi dari fatwa ulama, atau mereka mengetahuinya dari dalil global bukan dalil yang terperinci.
Kata “terperinci” juga untuk membedakan pembahasan ilmu fiqih yang berkaitan dengan dalil-dalil yang terperinci dengan ilmu ushul fiqih yang membahas dalil-dalil yang bersifat global, sebagaimana akan diuraikan dalam pembahasan definisi ushul fiqih secara makna laqobi.
Dari makna ushul dan fiqih secara idhofi di atas, kita memahami bahwa ushul fiqih itu berarti “dalil-dalil yang menjadi landasan bagi ilmu tentang hukum-hukum syariat yang bersifat amalan fisik yang dihasilkan dari dalil-dalilnya yang terperinci”, atau lebih ringkasnya “dalil-dalil yang menjadi landasan bagi ilmu fiqih”.
Namun dalam definisi secara idhofi ini belum nampak jelas bagaimanakah sifat dalil-dalil tersebut, dan apa titik penting yang dibahas darinya. Hal itu akan nampak jelas dalam definisi secara laqobi.
Secara makna laqobi, Ushul Fiqih didefinisikan,
العِلْمُ بِأَدِلَّةِ الْفِقْهِ الْإِجْمَالِيَّةِ وَطُرُقِ اسْتِفَادَةٍ مِنْهَا وَحَالِ الْمُسْتَفِيْدِ
“Ilmu tentang dalil-dalil fiqih secara global, cara-cara mengambil faidah dari dalil-dalil tersebut dan keadaan orang yang mengambil faidah”
Para ulama berbeda pendapat apakah dalam definisi ini menggunakan kata ilmu atau ma’rifah (pengetahuan) ataukah tidak. Yang jelas, jika kita melihat istilah Ushul Fiqih dari segi hakikatnya, tidak perlu disebutkan kata “ilmu” sebelumnya, tetapi dikatakan ia sebagai “dalil-dalil fiqih…” Tetapi jika kita memaksudkan dengan Ushul Fiqih adalah sebuah disiplin ilmu tentu saja merupakan suatu hal yang bagus kita mendefinisikannya dengan menyebutkan kata “ilmu” di awalnya.
Adapun yang lebih mengutamakan kata “ma’rifah” (pengetahuan) daripada ilmu, hal itu karena memandang bahwa di dalam pembahasannya tidak semua berupa hal yang qath’i, yang diyakini seratus persen kebenarannya, tetapi mencakup juga sesuatu yang zhan. Tentu saja tidak begitu, karena yang dimaksud ilmu di sini adalah suatu disiplin ilmu (fan / shina’ah) yang dihasilkan dari pemikiran manusia, yang mencakup hal yang yakin dan juga zhan, tidak berdasarkan makna ilmu secara hakiki yang bersifat qath’i.
Ada juga yang mendefinisikan ushul fiqih dengan kaidah, tidak dengan dalil-dalil, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Hajib,
القَوَاعِدُ الَّتِي يُتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى اسْتِنْبَاطِ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْفَرْعِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
“Kaidah-kaidah yang bisa sampai dengannya kepada kesimpulan hukum-hukum syariat yang bersifat cabang dari dalil-dalilnya yang terperinci.”
Dalam definisi tersebut titik tekan pendefinisiannya ada pada kata “kaidah-kaidah istinbath” adapun kata-kata selanjutnya hanyalah merupakan definisi dari fiqih.
Definisi ini tidak lebih bagus dari definisi pertama, karena inti yang dibahas dalam ilmu ushul fiqih justru adalah dalil-dalil. Adapun kaidah-kaidah istinbath hanyalah sesuatu yang lazim untuk memahami dalil-dalil tersebut, dan hal itu sudah disebutkan di dalam definisi pertama yaitu “cara-cara mengambil faidah dari dalil-dalil” yang tiada lain merupakan kaidah-kaidah istinbat.
Kata “dalil-dalil fiqih yang bersifat global”, adalah kebalikan dari yang bersifat terperinci. Yaitu misalnya dalil Al-Qur’an, sunnah, ijma, qiyas, dll. Tanpa disebutkan rinciannya, karena hal itu merupakan pembahasan ilmu fiqih. Dalil terperinci itu sedikit disebutkan hanya sebagai contoh saja. Karena dalil global dan rinci itu bukanlah sesuatu yang terpisah, karena tidak akan dapat tergambar dalil global tanpa disebutkan contoh dari dalil rincinya.
“Dan cara-cara mengambil faidah dari dalil tersebut”. Ini merupakan metode dan seperangkat kaidah untuk memahami dalil-dalil tersebut sehingga dapat dihasilkan sebuah kesimpulan fiqih.
“Dan keadaan orang yang mengambil faidah” Ini berkaitan dengan seseorang yang sedang memahami dalil dengan menggunakan kaidah-kaidahnya yang disebut dengan mujtahid.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan empat pembahasan dalam ilmu Ushul Fiqih, dan imam Ghazali sangat indah dalam memberi perumpamaannya seperti sebuah pohon
1. Hukum fiqih sebagai buah yang dihasilkan
2. Dalil-dalil sebagai pohonnya
3. Metode istinbat sebagai cara memetik buah tersebut
4. Mujtahid sebagai orang yang memetik buah tersebut
Untuk memahami ilmu ushul fiqih secara lebih lengkap sebelum mempelajari pembahasan-pembahasannya, selain diketahui makna atau definisinya, perlu juga diketahui perkara lainnya yang disebut oleh para ulama dengan 10 muqaddimah ilmu, seperti yang dikatakan oleh Ash-Shabban dalam baitnya,
إِنَّ مَبَادِئَ كُلِّ فَنٍّ عَشْرَة الحَدُّ وَالْمَوْضُوْعُ ثُمُّ الثَّمَرَة
وَنِسْبَةٌ وَفَضْلُهُ وَالْوَاضِع وَالإِسْمُ الإِسْتِمْدَادُ حُكْمُ الشَّارِع
مَسَائِلٌ وَالْبَعْضُ بِالْبَعْضِ اكْتَفَى وَمَنْ دَرَى الْجَمِيْعَ حَازَ الشَّرَفَ
“Sesungguhnya permulaan-permulaan setiap disiplin ilmu itu ada sepuluh
Definisi, objek ilmunya, kemudian buahnya (manfaatnya)
Penisbatannya kepada ilmu lain, keutamaannya, dan peletaknya
Namanya, istimdadnya (asal pengambilan ilmunya), hukumnya secara syariat
Pembahasannya. Satu dengan lainnya telah tercukupi
Siapa yang dapat menempuh semuanya itu, layaklah ia menyandang kemuliaan”
Maudhu’ (objek ilmu)
Objek ilmu ushul fiqih adalah dalil-dalil dan hukum-hukum syariat secara global. Yaitu baik dalil-dalil yang disepakati berupa Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas, ataupun yang diperselisihkan seperti Istihsan, Istishlah, Istishhab, Sad Adz-Dzaro’i, dll, serta tatacara memahami dalil-dalil tersebut, dan juga hukum-hukum syariat secara global yang mencakup hukum-hukum taklifi dan hukum-hukum wadh’i.
Buah (manfaat)
Ilmu Ushul Fiqih adalah ilmu yang sangat penting di dalam memahami syariat Islam. Ilmu inilah yang menjadi alat utama para ulama untuk dapat menyimpulkan hukum-hukum yang dipahami dari dalil-dalil. Oleh karena itu sangat banyak manfaatnya. Jika kita rumuskan ke dalam poin-poin, diantaranya sebagai berikut :
1. Memahami pesan-pesan dari Allah dan Rasul-Nya dan dengannyalah kita dapat beribadah dengan benar
2. Mengetahui dalil-dalil yang menjadi landasan dan cara memahami dalil-dalil tersebut sehingga disimpulkanlah hukum-hukum syariat
3. Mengetahui berbagai bentuk bayan (penjelasan) yang disampaikan oleh Allah dan Rasul-Nya di dalam syariat Islam ini.
4. Sebagai perangkat untuk menjadi ulama yang mampu berijtihad, atau paling tidak memahami cara kerja ulama dalam berijtihad. Dari sini kita bisa beralih secara bertahap dari seorang yang awam yang hanya bertaklid kepada pendapat atau fatwa ulama, menjadi seorang pembelajar yang memahami cara kerja ijtihad, lalu lebih jauh lagi dengan penguasaan ilmu yang lebih luas dan me dalam, banyak pengalaman dalam praktek dan penerapan yang tentu saja belajar dari pengalaman yang telah dilakukan oleh para ulama sehingga mampu merasakan dzauq (cita rasa) dalam berijtihad, serta tentu dibimbing oleh ketakwaan kepada Allah, yang dengannya Allah memberikan ilmu mauhibah (ilmu anugrah langsung dari Allah), menjadi seseorang yang mampu berijtihad, walaupun tentu saja dalam berijtihad itu ada tingkatan-tingkatannya, insya Allah akan dibahas secara khusus dalam pembahasan Ijtihad.
5. Mengetahui dan memahami cara menjawab persoalan baru yang tidak terbatas, yang tidak ada habisnya dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits yang terbatas, dalam arti dilalah-dilalah yang terdapat pada keduanya mampu menjawab persoalan baru dan menentukan hukum bagi segala sesuatu. Ini adalah pekerjaan ijtihad yang tidak bisa tidak kecuali melalui perangkat ilmu Ushul Fiqih.
Nisbat (hubungan dengan ilmu-ilmu lain)
Ilmu Ushul Fiqih adalah termasuk bagian dari ilmu syar’i. Nisbat dengan ilmu-ilmu syar’I lainnya adalah al-‘umum wal khusus min wajhin (umum-khusus dari segi-segi tertentu). Artinya di dalam ilmu Ushul Fiqih ada bagian ilmu-ilmu yang lain, seperti ilmu Al-Qur’an, ilmu hadits, ilmu fiqih, ilmu bahasa Arab, dll, dan ada pula yang menjadi kekhususan ilmu Ushul Fiqih yang tidak ada di ilmu yang lain, misalnya pembahasan muthlaq-muqoyyad, manthuq-mafhum, dll.
Keutamaan Ushul Fiqih
Dengan mengetahui manfaat ilmu Ushul Fiqih, dari sana kita sudah bisa mengukur keutamaannya. Dengan ilmu inilah kita bisa memahami Al-Qur’an dan hadits, memahami hukum-hukum yang terkandung di dalamnya dan selanjutnya dapat mengamalkannya, dan menjadikan seorang ulama bisa berijtihad dengannya. Untuk itu, ilmu Ushul Fiqih memiliki keutamaan yang agung di dalam berkhidmat kepada agama Allah ini.
Peletak Ushul Fiqih
Peletak di sini maksudnya adalah orang yang pertama kali menyusun karya dalam bidang ilmu Ushul Fiqih secara terpisah dari ilmu-ilmu lain, yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i Al-Muththalibi Al-Qurasyi (150-204 H) yang dikenal dengan imam Asy-Syafi’i dalam karya beliau yang beliau namakan dengan “Ar-Risalah”.
Dalam kitab Ar-Risalah tersebut belum semua permasalahan ushul fiqih di bahas, hanya bagian-bagian pentingnya saja, dan secara khusus beliau memperpanjang pembahasan tentang bayan (penjelasan) di dalam syariat. Belum tersusun dengan urutan-urutan logika keilmuan (tartib mantiqi), sebagaimana telah maklum bahwa seperti itulah karya-karya awal dalam suatu disiplin ilmu.
Selanjutnya ilmu ushul fiqih disusun secara lebih sistematis, yaitu terbagi kepada dua metode penulisan. Pertama, metode mutakallimin, disebut juga metode jumhur, karena digunakan oleh mayoritas ulama. Metode ini bersifat teoritis, fokus membahas ilmu ushul fiqihnya, sedikit menyebutkan permasalahan fiqih, sebagai contoh saja untuk memperjelas teori yang dibahas. Namun terkadang terlalu mendalam membahas asal usul sebuah teori, sehingga merambah kepada pembahasan ilmu kalam. Misalnya kitab Al-Burhan karya Al-Juwaini dan Al-Mustashfa karya Al-Ghazali. Kedua, metode fuqaha, disebut juga metode hanafiyyah karena digunakan oleh para ulama dalam madzhab Hanafi. Metode ini bersifat praktis, banyak menyebutkan permasalahan fiqih dari teori yang dibahas, sehingga terkadang kaidah yang dibahas sangat terikat dengan madzhab hanafi. Kitabnya misalnya Ushul Al-Jassosh dan Ushul Al-Bazdawi. Selanjutnya ada juga metode yang menggabungkan kedua metode tersebut, yaitu misalnya kitab Jam’ul Jawami’ karya Tajuddin As-Subki. Lalu ada juga metode yang disebut dengan Takhrijul Furu’ ‘alal Ushul (mengeluarkan furu terhadap ushul), maksudnya membahas kaidah-kaidah ushul fiqih dengan menerapkannya secara lebih rinci ke dalam permasalahan fiqih, seperti yang ditulis oleh Az-Zanjani dan At-Tilmisani. Lalu ada juga metode penulisan ushul fiqih dengan secara lebih dominan membahas sisi maqashid syar’iyyah, yaitu kitab Al-Muwafaqot karya Asy-Syathibi.
Nama Ilmu Ushul Fiqih
Nama untuk ilmu ini adalah Ushul Fiqih, dan terkadang para ulama menyingkatnya dengan sebutan ilmu Ushul.
Istimdad (sumber pengambilannya)
Yang dimaksud dengan istimdad (sumber pengambilannya) adalah ilmu-ilmu lain yang menjadi bahan dasar disusunnya suatu disiplin ilmu.
Istimdad dari ilmu Ushul Fiqih adalah ilmu fiqih karena ilmu fiqih telah lebih dahulu mapan ketimbang ilmu ushul fiqih, dari ilmu fiqih yang digeluti oleh para ulama itu dapat diketahui ushulnya. Selanjutnya ilmu-ilmu bahasa Arab untuk memahami teks-teks wahyu yang berbahasa Arab itu. Dan terakhir ilmu-ilmu logika khususnya ilmu kalam, karena untuk memahami teks-teks wahyu dan merumuskan kaidah-kaidah dalam memahaminya dan menyimpulkannya hingga melahirkan hukum itu diperlukan pengamatan akal yang mendalam.
Hukum Belajar Ushul Fiqih
Hukum mempelajari ilmu Ushul Fiqih adalah fardu kifayah. Jika tidak ada seorang pun yang mempelajarinya, maka berdosalah semuanya karena hal itu membuat wahyu yang Allah turunkan tidak bisa dipahami dan diamalkan. Jika ada sebagian orang yang telah mempelajarinya dan orang-orang tersebut melaksanakan amanah ilmunya, maka gugurlah kewajiban yang lainnya.
Namun hukum fardhu kifayah ini bisa berubah menjadi fardhu ‘ain jika di suatu tempat hanya ada seseorang yang memiliki potensi untuk dapat mempelajarinya sedangkan orang-orang sangat membutuhkannya, maka hukumnya menjadi fardhu ‘ain baginya.
Permasalahannya
Permasalahan yang dibahas dalam ilmu Ushul Fiqih di dalam karya-karya klasik secara keumumannya mencakup :
Muqaddimah yang didalamnya sudah dibahas tentang hukum-hukum syariat, dan setelahnya dibahas tujuh pembahasan, yaitu
1. Al-Qur’an dan pembahasan lafazh
2. Sunnah
3. Ijma
4. Qiyas
5. Istidlal, maksudnya adalah dalil lain yang diperselisihkan
6. Ta’arudh wat Tarjih (hal-hal yang bertentangan dan cara penyelesaiannya)
7. Ijtihad dan dibahas kebalikannya yaitu taqlid
Adapun sistematika pembahasan dalam karya-karya kontemporer biasanya meliputi :
Muqaddimah, dan setelahnya
1. Hukum-hukum syariat
2. Dalil-dalil hukum baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan
3. Metode istinbat yang meliputi
a. kaidah ushul dan kebahasaan
b. Maqashid syariat
c. Ta’arudh dan tarjih
4. Ijtihad dan Taqlid
Wallahu A’lam.