Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R. Rozikin)
Fatwapedia.com – Sudah lama saya sempat bertanya-tanya hikmah sebuah hadis Nabi ﷺ yang mengajarkan bahwa salat itu jika baik maka semua amal akan menjadi baik dan jika buruk mengapa semua amal menjadi buruk.
Rasulullah ﷺ bersabda,
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلَاةُ، فَإِنْ صَلَحَتْ صَلَحَ لَهُ سَائِرُ عَمَلِهِ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ». «المعجم الأوسط للطبراني» (2/ 240)
Artinya, “Dari Nabi ﷺ beliau bersabda, “Amal pertama yang dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah salat. Jika baik, maka amal sisanya akan baik. Jika rusak, maka rusaklah amal sisanya” (H.R.al-Ṭabarānī)
Setelah mendalami tafsir surah Fatihah, barulah saya mengerti.
Begini renungan saya.
Orang salat itu sudah pasti meminta petunjuk kepada Allah, sebab dia selalu melafalkan
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ [الفاتحة: 6]
Orang yang selalu membaca lafal ini artinya semangat hidupnya adalah selalu berusaha menjadi lebih baik. Bukan hanya setiap hari, bahkan setiap jam dia berusaha lebih baik! Sebab jarak antara satu salat dengan yang lainnya hanya beberapa jam saja dan itu dia sudah meminta petunjuk lagi!
Bisa jadi dia sudah melakukan sejumlah amal saleh selain salat, seperti birrul walidain, sedekah, silaturahmi, membaiki tetangga, memuliakan tamu, menyantuni anak yatim, memberi makan orang kelaparan, berzikir, i’tikaf, menjaga lisan dan lain-lain.
Tetapi yang selalu membuat risau adalah, apakah amal itu sudah benar dan sudah seperti yang dikehendaki Allah?
Apakah amal itu sudah pasti diterima Allah?
Apakah itu sudah mencapai level ideal dari sisi tatacara maupun penataan hati?
Karena dia menyadari bahwa dirinya bukan hamba sempurna, yang masih banyak dosa, dan juga tidak maksum, maka dia selalu meminta petunjuk kepada Allah supaya ditambahi ilmu, ditambahi taufiq dan ditambahi inayah setiap hari sehingga makin lama makin sempurnalah ilmu dan amalnya.
Setiap mengucapkan “ihdinaṣṣirāṭal mustaqīm” dia mengucapkannya sepenuh hati, sungguh-sungguh, khusyuk , serius dan penuh konsentrasi.
Setelah itu tiba-tiba terjadi sejumlah keajaiban pada dirinya.
Makin lama makin mengertilah dia kehendak Allah terkait birrul walidain itu bagaimana. Dia bukan hanya mengerti berbakti kepada orang tua itu wajib, tapi juga mengerti keutamaannya, dalil-dalilnya, balasan Allah atasnya, janji-janji Allah bagi orang yang melakukannya, amalan birrul walidain itu bagaimana, tantangannya apa saja, apa yang harus dilakukan jika orang tua jahat, apa yang harus dilakukan jika orang tua zalim, bagaimana petunjuk Allah jika punya orang tua yang tidak bijaksana mengelola harta, bagaimana kisah-kisah birrul walidain generasi saleh di masa lalu, dan seterusnya.
Sesekali mungkin Allah menambahi petunjuk dengan cara ditunjukkan hamba Allah yang lain yang hebat dalam birrul walidain agar kita terinspirasi, terdorong dan makin semangat birrul walidain.
Sesekali Allah juga mungkin menambahi petunjuk dengan cara menampakkan sebagian hambaNya yang durhaka kepada orang tuanya, lalu dihadirkan perasaan khawatir anak kita seperti itu, lalu kita lebih terdorong untuk membaiki orang tua dan tidak meniru anak durhaka tersebut.
Sesekali juga mungkin Allah kirimkan kepada kita sebagian hambaNya yang minta nasihat atau sharing tentang konfliknya/ketegangannya dengan orang tua sehingga kita terpicu untuk mengingat kembali ilmu tentang birrul walidain, atau bahkan saat kita memberi nasihat, lalu secara aneh dan ajaib seakan-akan hati kita diberi ilham ilmu baru dan lisan kita dibuat lancar memberi nasihat yang bahkan kita sendiri tidak menyangka kita bisa berbeicara seperti itu!
Sesekali mungkin juga kita dipercaya untuk berdakwah, atau memberi kultum, atau ceramah dengan tema birrul walidain yang memaksa kita menyegarkan kembali ilmu tentang itu sehingga lebih terdorong lagi berbuat baik kepada orang tua seperti yang dikehendaki oleh Allah.
Yang seperti ini juga berlaku pada seluruh amal saleh yang lain baik terkait hak Allah maupun hak hamba.
Bahkan ini juga berlaku bagi orang yang masih terfitnah dengan maksiat.
Sebejat apapun dia.
Selama dia masih salat, masih membaguskan salat, dan serius meminta petunjuk kepada Allah saat salat, maka akan ada satu masa di mana Allah akan membantunya untuk kembali ke jalan-Nya, bertaubat, lalu menempuh jalan kesucian.
Entah jalannya diberi sakit dulu, kecelakaan, musibah kehilangan harta, takut kematian, takut hari pertemuan denganNya, rasa sayang kepada anak dan lain-lain.
Semua jenis tambahan petunjuk/huda/hidayah itu adalah bentuk pengabulan doa “ihdinaṣṣirāṭal mustaqīm” yang selalu kita baca setiap salat.
Jika memang seperti ini faktanya, maka wajar jika dikatakan bahwa baiknya salat seseorang akan membuat baik pula seluruh amalnya.
Sebab orang yang serius salat, tidak nglamun, sungguh-sungguh menyadari posisinya menghadap Allah, khusyuk dan sepenuh hati minta petunjuk kepada Allah, sudah pasti Allah akan mengabulkan permintaannya yang akan berdampak terbenahinya seluruh amalnya.
Sungguh besar posisi salat dalam din.
Wajar, jika orang yang meremehkan salat maka tidak bisa diharapkan kebaikannya.
Sebab orang sombong yang enggan minta petunjuk kepada Allah agar hidupnya bisa benar, atau asal-asalan dan tidak serius dlam meminta petunjuk, bagaimana bisa diharapkan hidupnya akan menjadi benar?
Jika orang angkuh untuk meminta petunjuk kepada Allah, dari mana dia bisa tenang dan yakin bahwa amalnya akan benar, bagus dan diterima oleh Allah?
Bagaimana bisa orang diharapkan saleh atau istikamah dalam islam sementara dia masih malas-malasan dalam salat?
رب اجعلني مقيم الصلاة ومن ذرياتي