Faatwapedia.com – Hukum membaca qunut pada shalat witir serta doa dan dzikir yang dianjurkan menurut syariat. Bagi yang belum membaca penjelasan dasar tentang apa itu shalat witir bisa disimak disini.
Kata “Qunut” memiliki beberapa makna di antaranya; berdiri, diam, ibadah yang rutin, doa, tasbih dan kekhusyu’an. Sedangkan dalam istilah Fikih, kata “Qunut” adalah; sebutan untuk doa ketika shalat, dalam posisi tertentu saat berdiri. [Al-Futuhat Ar-Rabbaniyyah ‘Alal-Adzkar An-Nawawiyyah (2/286), dan Bashair Dzawit-Tamyiz (4/298)]
Menurut jumhur ulama –yang berbeda dengan pendapat Imam Malik–,[Pendapat Masyhur dari Imam Malik adalah; makruh hukumnya qunut dalam witir, sedangakan dalam Riwayat Imam Malik; qunut dibaca pada pertengahan akhir bulan Ramadhan. Al-Kafi karya Ibnu Abdil-Barr (hal. 74), Al-Qawanin (hal. 66), Al-Mughni (2/580), dan Al-Majmu’ (4/24)] bahwa secara global membaca qunut ketika witir adalah hal yang dibenarkan secara syari’ah. Namun mereka kemudian berbeda pendapat mengenai status qunut tersebut apakah wajib atau dianjurkan, [Imam Abu Hanifah mengatakan wajib, ini berbeda dengan pendapat kedua muridnya (Abu Yusuf dan Muhammad Hasan) serta Jumhur ulama. Al-Bada-i’ (1/273) dan Al-Bahrur Ra-iq (2/43)] lalu apakah dibaca kapan saja atau hanya ketika Ramadan saja,[Menurut Hanafiyyah; sepanjang tahun, menurut Syafi’iyyah; di pertengahan akhir bulan Ramadhan secara khusus, namun ada pendapat lain dari mereka; selama bulan Ramadhan penuh, sedangkan menurut Hanabilah; di sepanjang tahun. Al-Bada-i’ (1/273), Al-Majmu’ (4/15), Al-Mughni (2/58), dan Al-Muhalla (4/145)] dan apakah qunut dibaca sebelum ruku’ atau sesudahnya, [Menurut Hanafiyyah; sebelum ruku’, menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah; setelah bengkit dari ruku’ [Lihat referensi di atas]] serta bacaan apa yang disunnahkan ketika membaca qunut?[Menurut Hanafiyyah dan Syafi’iyyah; berdoa dengan (Allahummahdina Fiiman Hadaiit…) sedangkan menurut Hanabilah; (Allahumma Inna Nasta’iinuka wa Nastahdiika…)]
Keterangan yang shahih adalah sebagai berikut:
1. Dianjurkan membaca qunut –sesekali– di setiap waktu (ketika Ramadhan maupun tidak).
Hal ini berlandaskan hadits riwayat Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhuma, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajariku doa-doa –qunut– yang dibaca ketika dalam witir
اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ ، وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ ، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ ، فإِنَّكَ تَقْضِي وَلا يُقْضَى عَلَيْكَ ، وَإِنَّهُ لا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ ، وَلا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
“Ya Allah, berilah aku petunjuk seperti orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk. Berilah aku kesehatan seperti orang yang telah Engkau beri kesehatan. Pimpinlah aku bersama-sama orang-orang yang telah Engkau pimpin. Berilah berkah pada segala apa yang telah Engkau berikan kepadaku. Dan peliharalah aku dari kejahatan yang Engkau pastikan. Karena, sesungguhnya Engkaulah yang menentukan dan tidak ada yang menentukan atas Engkau. Sesungguhnya tidaklah akan hina orang-orang yang telah Engaku beri kekuasaan. Dan tidaklah akan mulia orang yang Engkau musuhi. Maha Suci Engkau dan Maha Tinggi”). (Hadits Riwayat: Abu Daud (1425), At-Tirmidzi (464), An-Nasa`i (3/248), Ibnu Majah (1178). Shahih, Irwa’ al-Ghalil (429)
Dan juga dalam riwayat Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhuma :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- كَانَ يُوتِرُ فَيَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوعِ
“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika shalat witir kemudian beliau membaca doa qunut sebelum ruku’.”
(Hadits Riwayat: Abu Daud (1414), An-Nasa`i (1/248), Ibnu Majah (1178). Dinyatakan Shahih oleh al-Albani. Irwa’ al-Ghalil (426)
Sedangkan apa yang kami katakan bahwa kadang dianjurkan membaca qunut ketika witir, karena para sahabat yang meriwayatkan hadits tentang shalat witir mereka tidak menyebutkan doa qunut di dalamnya. Sendainya saja Rasulullah melakukan qunut ketika witir secara terus-menerus, tentunya seluruh sahabat yang meriwayatkan hadits tentang witir turut menukilkan doa qunut di dalamnya. Benar, bahwa Ubay bin Ka’ab sendiri telah meriwayatkan hal tersebut (qunut ketika witir), namun dengan demikian hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kadang melakukannya –dan kadang meninggalkannya– dan menunjukkan juga bahwa hal tersebut tidaklah wajib, sebagaimana pendapat jumhur yang berbeda dengan pendapat Abu Hanifah. [Al-Albani menyatakan hal serupa dalam kitabnya Shifatus-Shalat (hal. 179)]
2. Membaca doa qunut dalam shalat witir lebih utama dilakukan sebelum ruku’ dan setelah membaca –ayat Al-Qur`an–.
Hal tersebut berdasarkan hadits riwayat Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhuma :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- كَانَ يُوتِرُ فَيَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوعِ
“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam suatu saat melaksanakan shalat witir kemudian beliau membaca doa qunut sebelum ruku’.”
Diriwayatkan dari ‘Ashim radhiallahu ‘anhu ia berkata:
سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنِ القُنُوتِ، فَقَالَ: “قَدْ كَانَ القُنُوتُ” قُلْتُ: قَبْلَ الرُّكُوعِ أَوْ بَعْدَهُ؟ قَالَ: “قَبْلَهُ”، قُلْتُ: فَإِنَّ فُلاَنًا أَخْبَرَنِي عَنْكَ أَنَّكَ قُلْتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ، فَقَالَ: “كَذَبَ إِنَّمَا قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الرُّكُوعِ شَهْرًا، أُرَاهُ كَانَ بَعَثَ قَوْمًا يُقَالُ لَهُمْ القُرَّاءُ، زُهَاءَ سَبْعِينَ رَجُلًا، إِلَى قَوْمٍ مِنَ المُشْرِكِينَ دُونَ أُولَئِكَ، وَكَانَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَهْدٌ، فَقَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَيْهِمْ”
“Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang qunut. Lalu ia menjawab, “Sesungguhnya qunut itu ada,” aku pun bertanya kembali, “Sebelum ruku’ atau setelahnya?”. Ia menjawab, “Sebelumnya.” Aku lalu berkata, “Sesungguhnya si Fulan telah mengabariku darimu, bahwa kamu mengatakan –jika qunut itu– sesudah ruku’. Anas menjawab, “Bohong!, hanyasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan qunut sesudah ruku’ selama satu bulan, aku lihat beliau mengutus satu kaum bernama Al-Qurra’ kira-kira sebanyak 70 orang kepada kaum musyrikin kemudian mereka membunuhnya, kaum musrikin tersebut ada perjanjian damai dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Rasulullah selama sebulan membaca qunut dan berdoa agar ditimpakan laknat kepada mereka (kaum musyrikin yang mengingkari janji).” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1002) dan Muslim (677)
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (2/569) berkata, “Kesimpulan dari apa yang diriwayatkan dari Anas bin Malik tersebut menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan –antara ulama– jika qunut yang dikarenakan keperluan (qunut nazilah) dilakukan setelah ruku’. Sedangkan selain qunut nazilah, maka yang tepat adalah dilakukan sebelum ruku’. Namun terdapat perbedaan antara sahabat dalam penerapannya. Namun pada dasarnya, ini merupakan perbedaan yang dibolehkan”.
Terdapat juga hikayat lainnya dari Abdurrahman bin Aswad dari ayahnya yang berkata, “Abdullah bin Mas’ud tidak pernah melakukan qunut ketika shalat apapun, kecuali di dalam shalat witir –yang dilakukan– sebelum ruku'” [Hadits Riwayat: Thabrani dalam Al-Kabir (9/238). Sanadnya Shahih, Irwa’ al-Ghalil (2/166)]
3. Doa yang disunnahkan untuk dibaca ketika qunut
Disunnahkan untuk membaca doa –ketika qunut dalam shalat witir– dengan apa yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Hasan bin Ali bin Abi Thalib, yaitu “Allahummahdini Fiiman Hadait…”. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Dan dibolehkan ketika qunut membaca shalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana yang telah dilakukan oleh para sahabat. Seperti Ubay bin Ka’ab saat mengimami shlat jamaah di bulan Ramadhan. Juga seperti Abu Halimah yang mengimami Mu’adz al-Anshari, yaitu salah satu yang diperintahkan Umar bin Khattab untuk mengimami tarawih.[Shifatus-Shalatin-Nabi (hal. 180)]
4. Tidak termasuk ajaran sunnah memanjangkan doa qunut.
Karena doa qunut ketika witir yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhuma singkat dan tidak panjang.
5. Bolehkah meliuk-liukkan suara ketika doa qunut?
Sepengetahuan penulis, tidak ada riwayat yang dinukil dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam maupun para sahabat yang meliuk-liukkan suara ketika membaca doa; baik qunut maupun yang lainnya. Maka penulis khawatir apa yang dianggap baik oleh para imam –masjid– di zaman ini merupakan sesuatu yang baru –dalam agama–
Ibnu Humam berkata, “… Saya tidak menemukan alasan yang membenarkan adanya nada yang berliuk ketika doa –sebagaimana yang dilakukan para qari di zaman ini– dari orang-orang yang paham hakikat doa dan memohon. Tidak lebih hal itu merupakan main-main. Hal ini jika kita rujuk ke dalam dunia nyata, seseorang yang meminta keperluan kepada orang yang punya, lalu dalam permintaannya tersebut ia menggunakan harmoni nada; dengan mengangkat suaranya, lalu menurunkannya, mendekatkan dan mengembalikan suaranya layaknya orang yang bernyanyi, maka itu akan dinilai sebagai bentuk penghinaan dan main-main. Karena seharusnya meminta itu dengan tunduk-khusyuk, bukan dengan bernyanyi. (Fathul-Qadir (1/370-371)
6. Dianjurkan mengangkat kedua tangan saat melakukan doa qunut
Sebagaimana dalam hadits riwayat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhuma saat menceritakan tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang mendoakan korban meninggal dari kaum al-Qurra’. Anas berkata,
لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كُلَّمَا صَلَّى الْغَدَاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ يَدْعُو عَلَيْهِمْ
“Aku telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam setiap kali shalat Subuh, beliau –membaca qunut– seraya mengangkat kedua tangan beliau mendoakan agar mereka ditimpakan laknat (yaitu para pembunuh Qurra’ tersebut)” (Hadits Riwayat: Ahmad (3/137) dan Baihaqy (2/211). Shahih)
Demikian juga riwayat Abu Rafi’ ia berkata:
صَلَّيْتُ خَلْفَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّاب رَضِيَ اللَّهُ عَنْه فَقَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ وَرَفَعَ يَدَيْهِ ، وَجَهرَ بِالدُّعَاءِ
“Aku shalat di belakang Umar bin Khattab lalu dia membaca qunut setelah ruku’ seraya mengangkat kedua tangannya dan melantangkan suaranya.” (Hadits Riwayat: Baihaqy (2/212) shahih, dan yang serupa terdapat di Ma’rifatus-Sunan (2/83) dari jalur Abu Utsman dari Umar)
Juga apa yang dilakukan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa ia mengangkat kedua tanggannya ketika membaca qunut saat bulan Ramadhan. [Hadits Riwayat: Ibnu Nashr dalam Qiyamul-Lail (hal. 138)]
7. Tidak disyariatkan mengusap wajah dan dada dengan kedua tangan selepas qunut
Karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut. Seperti apa yang dituturkan Imam Baihaqy dalam “sunan”nya (2/212) “adapun mengusapkan kedua tangan pada wajah setelah selesai membaca doa, maka aku tidak pernah menghafalnya dari seorang salafpun berkenaan dengan doa qunut.”
Penulis Berkata: demikian juga, tidak ada satu pun hadits shahih tentang mengusap wajah setelah berdoa diluar shalat. Syaikhul Islam berkata (12/519) “adapun mengusap wajah dengan kedua tangan, maka hal tersebut tidak terdapat hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melainkan satu atau dua hadits yang tidak dapat dijadikan landasan dalil. Wallahu A’lam”.
Tasbih Dan Doa Setelah Shalat Witir
Dianjurkan setelah usai mengerjakan witir untuk bertasbih. Sebagaimana dalam riwayat Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhuma :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَقْرَأُ فِي الوِتْرِ بِـ [سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى] ، وَ[قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ] ، وَ[قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ] فَإِذَا سَلَّمَ ، قَالَ : سُبْحَانَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ ، ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika mengerjakan shalat witir, beliau membaca surat [Sabbihisma Rabbika-l-A’la] lalu [Qul Ya Ayyuhal-Kafirun] dan [Qul Huwallahu Ahad]. Dan seusai salam beliau membaca, “Subhanal-Malikul-Quddus” sebanyak tiga kali.” (Shahih, baru saja dibahas)
Dan juga hadits riwayat Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam seusai mengerjakan witir beliau berdoa,
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dengan keridhaan-Mu –agar selamat– dari murka-Mu, dan dengan ampunan-Mu –agar terhindar– dari siksa-Mu. Aku tidak mampu menghitung pujian kepada-Mu. Engkau adalah sebagaimana pujian-Mu kepada diri-Mu sendiri.” (Hadits Riwayat: Abu Daud (1427), At-Tirmidzi (3566), An-Nasa`i (1/252), dan Ibnu Majah (1179). Shahih)
Qadha’ Shalat Witir
Jika seseorang ketiduran atau lupa tidak mengerjakan witir, maka dibolehkan –meng-qadha’nya– dengan mengerjakan shalat witir tersebut kapan saja ketika ia bangun atau teringat. Hal tersebut berlandaskan hadits riwayat Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhubahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ نَامَ عَنْ الْوِتْرِ أَوْ نَسِيَهُ فَلْيُصَلِّ إِذَا أَصْبَحَ أَوْ ذَكَرَهُ
“Siapa yang ketiduran dari shalat witir (hingga tidak mengerjakannya) atau karena lupa, maka qadha’lah shalat witir tersebut saat masuk pagi (terbangun) atau ketika ia mengingatnya” (Hadits Riwayat: At-Tirmidzi (465), Abu Daud (1431), Ibnu Majah (1188), dan Ahmad (3/44). Shahih. Irwa’ al-Ghalil (2/153))
Dan juga berlandaskan keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam :
مَنْ نَامَ عَنْ صَلَاةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Siapa yang ketiduran –hingga tidak mengerjakan– shalat, atau lupa; maka hendaknya ia meng-qadha’ shalat tersebut ketika mengingatnya.”
Hadits ini bersifat umum dan berlaku untuk seluruh jenis shalat baik fardhu maupun sunnah. Sehingga perintah qadha’ dalam shalat fardhu hukumnya wajib, dan perintah qadha’ dalam shalat sunnah hukumnya sunnah.
Demikian juga jika seseorang belum sempat shalat witir karena sakit atau sebab lainnya (maka dianjurkan untuk meng-qadha’nya).
Penulis Berkata: siapa yang sengaja meninggalkan witir tanpa adanya halangan tertentu hingga masuknya waktu Subuh, maka selamanya tidak diwajibkan baginya untuk meng-qadha’ witir tersebut, sebagaimana kami uraikan dalam bab “Qadha’ Shalat”. Wallahu A’lam
Berapa Rakaat Shalat Witir Yang Diqadha’?
Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anha ia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا نَامَ مِنَ اللَّيْلِ ، أَوْ مَرِضَ صَلَّى بِالنَّهَارِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً.
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam apabila tertidur di malam hari atau saat sakit, beliau meng-qadha’ –shalat malam– pada siang hari dengan dua belas rakaat.” (Hadits Riwayat: Muslim (746) dan selainnya)
Dan telah diketahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat malam sebelas rakaat, dan diketahui pula bahwa witir jika diqadha’ di siang hari maka rakaatnya menjadi genap. Maka bagi siapa yang terbiasa shalat witir di malam hari dengan satu rakaat, ketika diqadha’ witir tersebut di siang hari menjadi dua rakaat. Dan yang terbiasa witir tiga rakaat maka saat qadha’ di siang hari witirnya menjadi empat rakaat. Begitu juga seterusnya.
Dianjurkan Mengqadha’ Witir Sesegera Mungkin Sebelum Masuk Waktu Zhuhur
Hal tersebut agar shalat qadha’nya mendapat pahala –seperti– shalat di malam hari. Hal tersebut sebagaimana hadits riwayat Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ نَامَ عَنْ حِزْبِهِ أَوْ عَنْ شَىْءٍ مِنْهُ فَقَرَأَهُ فِيمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْفَجْرِ وَصَلاَةِ الظُّهْرِ كُتِبَ لَهُ كَأَنَّمَا قَرَأَهُ مِنَ اللَّيْلِ
“siapa yang tertidur –dari shalat malam– sehingga tidak membaca ayat Al-Qur`an yang biasa ia baca ketika shalat malam atau –meninggalkan– sebagian dari hizib itu, kemudian ia membaca hizib tersebut antara shalat Subuh dan shalat Zhuhur, maka dicatat pahala baginya seperti jika ia membacanya di malam hari.” (Hadits Riwayat: Muslim (747), At-Tirmidzi (578), Abu Daud (1299), An-Nasa`i (3/259) dan Ibnu Majah (1343))
Secara zhahir, dalam hadits di atas terdapat dorongan untuk bersegera dalam melaksanakan qadha’. Dan terdapat kemungkinan bahwa keutamaan ibadah pada waktunya (ada’) dengan pahala berlipat-ganda, disyaratkan untuk melakukannya pada waktu tertentu.[Hasyiyah Suyuthi ‘Ala An-Nasa`i (3/259)
[2] ]
Shalat Yang Dilakukan Setelah Witir
Telah diriwayatkan tentang sifat shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di malam hari dari Aisyah radhiallahu ‘anha:
كَانَ يُصَلِّي ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ وَ يُوتِرُ بِرَكْعَةٍ وَإِذَا سَلَّمَ كَبَّرَ ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَالِسًا ، وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ أَذَانِ الْفَجْرِ وَالإِقَامَةِ
“Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat malam tiga belas rakaat; yaitu shalat tahajud delapan rakaat kemudian witir satu rakaat, dan ketika salam beliau –berdiri lagi– dan bertakbir, kemudian melakukan shalat dua rakaat dengan duduk. Beliau juga melakukan shalat sunnah fajar di antara Adzan Subuh dan iqamah.” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1159), Muslim (738) dan selainnyz)
Mengenai dua rakaat yang dikerjakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam setelah witir tersebut, terdapat tiga penafsiran para ulama dalam memahaminya, yaitu:
1. Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat tersebut sebagai keterangan –bagi umat beliau– bahwa hal itu boleh dilakukan, oleh karena itu Rasulullah tidak rutin melakukannya, beliau hanya mengerjakan sekali atau beberapa kali saja. Selain itu, perkataan Aisyah dengan redaksi “Suatu ketika…” tidak menunjukkan kepada sesuatu yang berkesinambungan dan berulang-ulang, kecuali jika memang ada dalil yang menunjukkan kepada maksud tersebut.[Syarh Muslim karangan Imam Nawawi (6/21) cet. Ihya’ Turats ‘Araby]
2. Dua rakaat yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut memiliki status sebagai shalat sunnah dan pelengkap bagi shalat witir. Karena witir adalah ibadah tersendiri –terlebih jika dikatakan bahwa witir hukumnya wajib– maka dua rakaat tersebut layaknya dua rakaat ba’diyah Maghrib, karena Maghrib adalah witirnya siang hari, dan dua rakaat ba’diyah Maghrib adalah pelengkap shalat Maghrib itu sendiri. Demikian halnya dua rakaat setelah witir malam (ia adalah pelengkap dari witir itu sendiri). [Zaadul-Ma’ad karangan Ibnul-Qayyim (1/318-319)]
3. Bahwa dua rakaat tersebut khusus bagi Rasulullah saja, dan hadits ini tidak dimaksudkan sebagai pengkhususan bagi hadits yang menyatakan bahwa akhir (penutup) shalat malam itu adalah witir.[Nailul-Authar (3/48) cet. Al-Hadits]
Penulis Berkata: Dua pendapat pertama di atas memiliki tinjauan kuat terhadap hadits, sedangkan pendapat ketiga masih perlu dikritisi, karena untuk menetapkan bahwa shalat tersebut khusus bagi Rasulullah saja, membutuhkan dalil –lain– sehingga dapat diterima. Dan pada dasarnya, pekerjaan Rasulullah itu telah disyariatkan untuk diikuti.
Lalu jika dikatakan, bahwa perbuatan Rasulullah tidak mengkhususkan perintah beliau yang menyuruh untuk menjadikan shalat witir sebagai penutup shalat malam, maka kita katakan; benar, namun perintah Rasulullah tersebut sifatnya anjuran, dengan landasan hadits,
مَنْ خَافَ مِنْكُمْ أَنْ لَا يَسْتَيْقِظَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ وَليَرْقُدْ.
“Siapa di antara kalian merasa khawatir tidak akan bangun di akhir malam, maka hendaknya mengerjakan shalat witir di awal malam baru kemudian tidur.”
Apa yang Rasulullah setujui terhadap tindakan Abu Bakar yang melakukan witir sebelum tidur,[2] menunjukkan bahwa; melakukan shalat sunnah ketika bangun malam adalah sesuatu yang disyariatkan, meskipun sebelum itu orang bersangkutan telah melaksanakan shalat witir.
Hingga penulis berhenti ketika menemukan perintah Rasulullah dalam hadits marfu’ riwayat Tsauban, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ هَذَا السَّفَرَ جَهْدٌ وَثَقِلٌ، فَإِذَا أَوْتَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، فَإِنْ اسْتَيْقَظَ، وَإِلاَّ كَانَتَا لَهُ
“Sesungguhnya perjalanan ini susah dan berat, dan jika di antara kalian ada yang hendak mengerjakan witir maka dirikanlah shalat dua rakaat jika bangun malam. Namun jika tidak –bangun malam– maka dia telah mendapatkan –pahala– shalat dua rakaat tersebut.”
Hadits Riwayat: Ad-Darimi (1594) dan dalam redaksinya disebutkan (السهر) sebagai ganti dari (السفر), Ibnu Khuzaimah (1106), Darul-Quthny (2/36). Dinyatakan Shahih oleh al-Albani. As-Shahiihah (1993)
Dari sini bertemulah antara perintah dan apa yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga menyimpulkan suatu hukum syar’i. Lalu sabda Rasulullah untuk menjadikan witir sebagai penutup shalat malam, bermakna sebagai perintah anjuran –dan bukan kewajiban– Wallahu Ta’ala A’lam.
Bacaan Pada Shalat Dua Rakaat Setelah Witir
أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْوِتْرِ , وَهُوَ جَالِسٌ يَقْرَأُ فِيهِمَا [ إذَا زُلْزِلَتِ الأَرْضُ ] وَ [ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ]
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam suatu saat mengerjakan shalat dua rakaat setelah witir; beliau membaca di dalam dua rakaat tersebut dengan surat [Idza Zulzilatil-Ardhu] dan [Qul Ya Ayyuhal-Kafirun]). (Hadits Riwayat: Ahmad (5/260), Thahawi (1/280-341), Thabrani dalam kitab Al-Kabir (8/277), dan Baihaqy (3/33) dan ia memiliki syahid dari hadits Anas. Hasan)
Dianjurkan Berbaring Setelah Shalat Dua Rakaat Setelah Witir
Dianjurkan bagi yang telah mengerjakan shalat dua rakaat setelah witir –atau setelah shalat malam– untuk tidur hingga adzan Subuh. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma saat bermalam di rumah bibinya (saudari ibu) yaitu Maimunah radhiallahu ‘anha dan menceritakan tentang sifat Shalat malam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnu Abbas berkata,
ثُمَّ قَامَ يُصَلِّي , فَقُمْتُ فَصَنَعْتُ مِثْلَ ماَ صَنَعَ ,ثُمَّ ذَهَبْتُ فَقُمْتُ إلَى جَنْبِهِ فَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى رَأْسِي وَأَخَذَ بِأُذُنِي اليُمْنَى يَفْتِلُهَا فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَوْتَرَ ثُمَّ اضْطَجَعَ حَتَّى أَتَاهُ الْمُؤَذِّنُ فَقَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى الصُّبْحَ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bangun untuk mengerjakan shalat –malam–, aku pun turut beranjak, dan kulakukan apa yang beliau lakukan, aku lalu menghampiri Rasulullah dan berdiri di sisi beliau, lalu Rasulullah meletakkan tangan kanan beliau di atas kepalaku, dan menarik telinga kananku, lantas beliau shalat dua rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian shalat witir, lalu setelah itu beliau istirahat (tidur miring) hingga muadzin mengumandangkan adzan Subuh, maka Rasulullah pun bangun, lalu mengerjakan dua rakaat fajar dengan cepat, baru setelah itu beliau keluar untuk menunaikan shalat Subuh.”
Dan di dalam riwayat Ibnu Huzaimah dikatakan,
فَأَوْتَرَ بِتِسْعٍ أَوْ سَبْعٍ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَوَضَعَ جَنْبَهُ حَتَّى سَمِعْتُ ضَفِيْزَهُ ثُمَّ أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَانْطَلَقَ فَصَلىَّ
“Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat witir dengan sembilan atau tujuh rakaat, lalu –setelah itu– mengerjakan shalat dua rakaat. Rasulullah kemudian istirahat (tidur miring) hingga aku mendengar nafas beliau (saat tidur), sampai dikumandangkan adzan Subuh, maka beliau pun beranjak untuk shalat”
Dua rakaat yang dikerjakan Rasulullah dalam hadits ini, mungkin shalat sunnah yang beliau kerjakan seusai witir, dan mungkin juga shalat sunnah Subuh.[2]
Penulis Berkata: namun kemungkinan pertama di atas, dikuatkan oleh hadits riwayat Aswad yang bertanya kepada Aisyah radhiallahu ‘anha tentang tata-cara shalat malam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam Aisyah pun berkata:
كَانَ يَنَامُ أَوَّلَهُ ، وَيَقُومُ آخِرَهُ فَيُصَلِّى ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى فِرَاشِهِ ، فَإِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ وَثَبَ ، فَإِنْ كَانَتْ بِهِ حَاجَةٌ اغْتَسَلَ وَإِلا تَوَضَّأَ وَخَرَج
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidur di awal malam dan bangun di akhir malam lalu mengerjakan shalat, kemudian beliau kembali ke tempat tidur, hingga muadzin mengumandangkan adzan –Subuh– maka beliau bangun. Dan jika Rasulullah ada keperluan, maka beliau mandi terlebih dahulu, dan jika tidak maka beliau langsung wudhu’ dan keluar –untuk shalat–.”
Hadits ini tidaklah melarang istirahat (berbaring miring) setelah shalat sunnah qabliyah Subuh, namun secara dzahir dapat dipahami; bahwa Rasulullah kadang istirahat di antara shalat malam dan shalat Subuh, dan kadang beliau istirahat setelah shalat qabliyah Subuh, dan mungkin juga beliau istirahat dalam kedua waktu tersebut. Wallahu A’lam.
[1] Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1146), dan Muslim (739)
[2] Hadits Riwayat: Shahih Ibnu Khuzaimah (2/157-158)
[3] Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1146) dan Muslim (739)