Fatwapedia.com – Apakah seseorang yang melakukan shalat witir satu rakaat, tiga rakaat, atau rakaat lainnya, cukup baginya mengerjakan itu saja tanpa harus didahului shalat sunnah lainnya?
Dalam hal ini ulama Malikiyah dan juga salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’i menyatakan bahwa witir satu rakaat tidak dikerjakan kecuali setelah melakukan shalat sunnah dengan rakaat genap. [Al-Muntaqa karya Al-Baji (1/223) berikut referensi setelahnya] Mereka mengatakan bahwa pendapat ini berdasarkan hadits:
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat, dan apabila khawatir datangnya Subuh –yang telah dekat– maka cukup mengerjakan shalat witir satu rakaat untuk mengakhiri shalat malamnya”
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa shalat witir dengan satu rakaat dibolehkan, namun mereka mengatakan bahwa witir hanya dengan satu rakaat itu bertentangan dengan keutamaan, dan batas minimal witir yang sempurna adalah tiga rakaat. [Hasyiyah Al-Qalyubi (1/212), Kasyaf Al-Qanna’ (1/416), dan Al-Mughni (2/150)]
Penulis Berkata: Pendapat yang membolehkan shalat witir tanpa didahului shalat sunnah sebelumnya, mungkin pendapat mereka berlandaskan atas hadits di bawah ini: (Bidayatul-Mujtahid karangan Ibnu Rusyd (1/293) cet. Al-Kutub Al-‘Ilmiyah)
Hadits riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha :
كَانَ النَبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي وَأَنَا رَاقِدَةٌ مُعْتَرِضَةٌ عَلَى فِرَاشِهِ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ أَيْقَظَنِي فَأَوْتَرْتُ[5]
وَلَا يُسَلِّمُ، ثُمَّ يَقُوْمُ التَّاسِعَةَ ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللهَ وَ يَحْمَدُهُ وَ يَدْعُوهُ , ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمًا يُسْمِعنَاهُ، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ بَعْدَمَا يُسَلِّمُ وَهُوَ قَاعِدٌ ، فَتِلْكَ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يَا بُنَيَّ، فَلَمَّا أَسَنَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَخَذَ اللَّحْمَ أَوْتَرَ بِسَبْعٍ ، وَ صَنَعَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ مِثْل صَنِيْعهُ الأوَّلُ ، فَتِلْكَ تِسْعٌ يَا بُنَيَّ [1]
“Kami biasa menyediakan siwak bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau bangun malam pada waktu yang dikehendaki Allah. Kemudian beliau bersiwak dan berwudhu’ lalu shalat (witir) (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (512), dan Muslim (512) sembilan rekaat dan beliau tidak duduk (tasyahud) melainkan pada rakaat yang ke delapan, lalu berdzikir kepada allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya, kemudian beliau bangun dengan tidak mengucap salam dan berdiri mengerjakan rakaat yang ke sembilan, kemudian beliau duduk (tahiyat) seraya berdzikir kepada allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya. Kemudian beliau shalat dua rakaat seusai salam sedangkan beliau dalam keadaan duduk. Dengan demikian beliau mengerjakan sebelas rakaat wahai anakku. Namun ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam beranjak usia dan berat badan beliau pun bertambah, beliau hanya mengerjakan witir dengan tujuh rakaat, lalu melakukan shalat dua rakaat sebagaimana sebelumnya –aku jelaskan kepadamu– dengan demikian beliau mengerjakan sembilan rakaat wahai anakku.” (Hadits Riwayat: Muslim (746), Abu Daud (1328), dan An-Nasa`i (3/199))
Apakah Disyaratkan Shalat Witir Didahului Dengan Shalat Genap?
Apakah seseorang yang melakukan shalat witir satu rakaat, tiga rakaat, atau rakaat lainnya, cukup baginya mengerjakan itu saja tanpa harus didahului shalat sunnah lainnya? Dalam hal ini ulama Malikiyah –dan juga salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’i– menyatakan bahwa witir satu rakaat tidak dikerjakan kecuali setelah melakukan shalat sunnah dengan rakaat genap. [Al-Muntaqa karya Al-Baji (1/223) berikut referensi setelahnya] Mereka mengatakan bahwa pendapat ini berdasarkan hadits:
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat, dan apabila khawatir datangnya Subuh –yang telah dekat– maka cukup mengerjakan shalat witir satu rakaat untuk mengakhiri shalat malamnya”
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa shalat witir dengan satu rakaat dibolehkan, namun mereka mengatakan bahwa witir hanya dengan satu rakaat itu bertentangan dengan keutamaan, dan batas minimal witir yang sempurna adalah tiga rakaat. [Hasyiyah Al-Qalyubi (1/212), Kasyaf Al-Qanna’ (1/416), dan Al-Mughni (2/150)]
Penulis Berkata: Pendapat yang membolehkan shalat witir tanpa didahului shalat sunnah sebelumnya, mungkin pendapat mereka berlandaskan atas hadits di bawah ini: [Bidayatul-Mujtahid karangan Ibnu Rusyd (1/293) cet. Al-Kutub Al-‘Ilmiyah]
Hadits riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha :
كَانَ النَبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي وَأَنَا رَاقِدَةٌ مُعْتَرِضَةٌ عَلَى فِرَاشِهِ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ أَيْقَظَنِي فَأَوْتَرْتُ[5]
“Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat malam dan aku tidur melintang di atas kasur beliau. Dan saat Rasulullah hendak melaksanakan shalat witir, beliau membangunkanku lalu aku pun mengerjakan shalat witir.” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (512), dan Muslim (512))
Secara jelas dalam hadits ini menerangkan bahwa Aisyah radhiallahu ‘anha melaksanakan shalat witir tanpa didahului sebelumnya dengan shalat sunnah yang rakaatnya genap.
Hadits riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha yang telah dipaparkan sebelumnya tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengerjakan shalat witir tujuh dan sembilan rakaat, kemudian setelah itu beliau mengerjakan shalat malam dua rakaat dalam posisi duduk… (hadits). Yang dapat dipahami dalam hadits tersebut bahwa shalat witir dilakukan terlebih dahulu sebelum shalat malam, dengan demikian ini merupakan dalil bahwa shalat witir tidak disyaratkan dalam melaksanakannya untuk didahului dengan shalat sunnah yang memiliki rakaat genap. Wallahu A’lam.