Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
1. Jika ulama kebanyakannya berpenampilan sederhana, tidak dengan imam Malik, beliau dikenal sebagai sosok yang sangat menjaga penampilan. Diantara nasehat beliau yang terkenal berkaitan dengan hal ini adalah :
ما أحب لامرئ أنعم الله عليه ألا يرى أثر نعمته
“Saya paling tidak suka dengan seseorang yang telah diberi nikmat oleh Allah, tapi nikmat itu seakan tidak nampak pada dirinya.”
Dan ungkapan beliau ini sesuai dengan sabda Nabi shalallahu’alaihi wassalam :
إِنَّ اللَّهَ يُحِبَّ أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ
“Sungguh Allah menyukai melihat bekas nikmatNya pada diri hambaNya” (HR. Tirmudzi)
Sehingga imam Malik selalu menjaga penampilan mulai dari pakaian, kendaraan, prabot, hingga karpet tempat menjamu tamu. Untuk pakaiannya, sang imam dikenal tidak mau sembarangan. Baju yang ia kenakan adalah pakaian-pakaian pilihan yang dimpor dari negeri Khurasan, Mesir, dan lainnya yang dikenal mewah dan harganya wah.
Konon untuk urusan karpet yang digelar di rumahnya, itu adalah jenis hanbal yang mahal, akan segera digulung dan diganti karpet baru setelah menerima beberapa tamu.
2. Sikap sang imam ini tentu bukan tanpa maksud, apalagi untuk mengajari umat hal buruk agar gemar kemewahan apalagi bersikap mubazir. Bukan itu.
Namun beliau ingin menampakkan izzahnya yang tinggi serta status mulia sebagai pengemban ilmu, sehingga tidak dipandang sebelah mata oleh pemilik harta dan penguasa.
Karena penyakit dulu hingga hari ini, orang-orang berharta atau yang punya kuasa merasa bisa mengatur ulama dengan sesuatu yang mereka miliki dari dunia. Apalagi kalau ulama itu kelihatan rajin tebar proposal.
3. Dan memang demikianlah imam Malik, jangankan sekedar orang berharta, pejabat setingkat gubernur Makkah bahkan Khalifah sekalipun sangat segan kepada sang imam.
Diriwayatkan, ketika imam Syafi’i meminta surat rekomendasi kepada amir Makkah untuk bisa belajar kepada imam Malik, awalnya ia menolak dengan mengatakan : “Sungguh engkau meminta aku menyuapi mulut singa, itu lebih aku sukai dari pada memenuhi permintaanmu.”
Saat khalifah Harun ar Rasyid pernah duduk bersandar disebuah tiang masjid saat menyimak pengajian imam Malik, maka ia pun mendapat teguran darinya yang membuat pemimpin terbesar sepanjang sejarah dinasti Abasiyah itu akhirnya berinsut membenahi cara duduknya.
4. Imam Malik pernah memuji muridnya, asy Syafi’i dengan mengatakan :
من أراد العلم النفيس، فعليه بمحمد بن ادريس
“Barangsiapa yang ingin mendapatkan ilmu yang berharga, hendaklah dia belajar dengan Muhammad bin Idris yaitu imam syafi’i.
Ketika hal ini disampaikan kepada Syafi’i, beliau berkata : “Bagaimana tidak, sedangkan aku adalah muridnya.” Bahasa kita, muridnya aja begini lalu bagaimana dengan gurunya.
Imam Syafi’i juga pernah berkata :
مالك حجة اللَّه على خلقه بعد التابعين، ومالك أستاذي، وعنه أخذت العلم، ومالك معلمي، وما أحد أمنّ عليّ من مالك، وجعلته حجة فيما بيني وبين اللَّه
“Malik adalah hujjahnya Allah atas makhluknya setelah tabi’in. Dia guruku yang darinya aku mengambil ilmu. Dia juga pengajarku yang tidak ada aku merasa aman melebihi perasaanku kepada Malik. Aku akan menjadikan dia hujjah antara diriku dengan Allah kelak.”
5. Sewaktu masih menimba ilmu, beliau dikenal sangat rajin dan tidak pernah menyia-nyiakan sedikitpun waktu. Diriwayatkan ia selalu membersamai gurunya dan terbiasa menemani ulama berjalan dari rumah mereka menuju masjid. Waktu seperti itu ia manfaatkan untuk bertanya kepada sang ulama.
Pada suatu hari imam Malik kecil berada di pintu Ibnu Harmaz, yakni salah satu gurunya untuk menunggunya ke luar menuju masjid. Ibnu Harmaz berkata kepada pembantunya : “Siapa itu yang di pintu ?”
Pembantunya berkata : “ Tidak ada siapapun kecuali seperti biasa, si anak rambut pirang (Imam Malik).” Ibnu Harmaz berkata :
أدعيه فذلك عالم الناس
“Suruh masuk dia, karena anak itu akan menjadi alimnya manusia.”
6. Beliau termasuk figur ulama yang dekat dengan penguasa kala itu. Karenanya sang imam sering kali diberi hadiah oleh khalifah dan beliau pun menerimnya. Namun meski demikian, hal seperti itu tidaklah menyebabkan beliau menjadi seorang penjilat bagi penguasa. Apalagi tukang stempel kepentingan pejabat untuk melanggengkan kekuasaan.
Karenanya ketika ada yang meminta fatwa tentang kebolehan membunuh para pemberontak. Maka imam Malik menjawab, “Boleh memerangi pemberontak jika khalifahnya seperti Umar bin Abdul Aziz, sang pemimpin yang adil. Kalau tidak, biarkan saja urusan mereka, karena Allah akan membalas orang dzalim dengan orang dzalim lainnya dan menghancurkan keduanya.”
7. Sang imam pun pernah terlibat konfrontasi dengan penguasa Madinah yang memaksa beliau untuk mencabut fatwa yang tidak disukai pemerintah. Beliau menolak dan tak sejengkalpun mundur menghadapi tekanan kekuasaan. Akibatnya beliau dijebloskan ke penjara dan divonis hukuman cambuk sekian puluh kali.
8. Beliau adalah penulis kitab hadits yang sangat populer dan terbaik saat itu yakni “al Muwatha”. Yang mana sepanjang zaman menjadi rujukan kaum muslimin bukan hanya dari kalangan madzhab Maliki, namun juga dari luar madzhab yang ia dirikan.
Kitab hadits beliau dinamakan muwatha’, yang artinya yang ditandatangani. Karena setelah kitab tersebut selesai disusun beliau meminta persetujuan dan koreksi dari sekian banyak ulama di zamannya.
Hal yang unik juga imam Malik sempat dicibir ketika menulis kitab hadits karena telah banyak “Al Muwatha’” lainnya yang bahkan dikatakan lebih lengkap. Namun beliau menjawab cibiran itu dengan ungkapannya yang terkenal :
مَا كَانَ لِلَّهِ بَقِيَ
“Yang tetap eksis adalah apa yang dilakukan karena Allah.”
9. Imam Malik bukan hanya dikenal sebagai salah satu bintangnya ulama fiqih, namun juga sangat dikenal dalam ilmu hadits. Bahkan dalam dunia hadits ada istilah yang dikenal sebagai silsilatudz Dzahabiyah (Rantai emas).
Yakni jalur periwayatan tertinggi yang tak diragukan lagi keshahihannya. Yang dalam mata rantainya salah satunya ada nama imam Malik, yakni Dari Ibnu Umar, dari Nafi dari Imam Malik.
10. Gelar imam Malik adalah imam Darul Hijrah (imamnya negeri Hijrah). Gelar ini diberikan kepada beliau karena memang tidak ada ulama yang ilmunya menandingi beliau di kota Madinah. Dan sepanjang hayatnya imam Malik tidak pernah keluar kota Madinah kecuali ketika sedang berhaji.
11. Diriwayatkan bahwa imam Malik setiap kali ada yang meminta dibacakan hadits, atau beliau akan mengajarkannya, maka beliau akan mandi, berwudhu dan shalat dua raka’at terlebih dahulu.
Sang imam juga tidak pernah berkendara sepanjang usianya di kota Madinah. Kemanapun ia selalu jalan kaki, ketika ditanyakan sebabnya beliau menjawab :
لا أركب في مدينة فيها جثة رسول الله صلى الله عليه وسلم مدفونة
“Aku tidak berkendara di Madinah karena ada jasad Nabi shalallahu’alaihi wassalam di makamkan di dalamnya.”
12. Dari imam Malik kita belajar bahwa hidup nyaman itu boleh-boleh saja. Asalkan si empunya badan bisa mempertanggung jawabkannya.
Jangan sampai kita hari ini seperti membuat aturan tak tertulis yang mengharuskan ulama yang mengajarkan ilmu itu harus hidup miskin dan keadaannya mengenaskan.
Akhirnya, anak-anak kita pun enggan bercita-cita menjadi ulama, karena yang mereka lihat ulama itu dilarang hidup enak, apa lagi belum-belum sebagian orang tua menakut-nakuti : “Kamu belajar agama mau jadi apa. Kamu cuma nyantri nanti kerja apa ?”
Marja’: Fiqh ibadah ‘ala Madzhab Maliki hal 11, Tadrib ar rawi karya al imam Suyuthi (1/93), Siyar A’lam an Nubala (8/48-120)