Fatwapedia.com – Gugat cerai adalah merujuk kepada perceraian dengan kehendak istri yang dalam istilah fiqih dikenal dengan nama “الخُلْعُ” (Khulu’). Secara praktis khulu’ didefinisikan oleh Prof. DR. Amir Syarifuddin dengan sedikit perubahan adalah apabila seorang istri sudah tidak cocok untuk melanjutkan hubungan pernikahan, sedangkan si suami tidak merasa perlu menceraikannya, maka sang istri dapat meminta perceraian dari suaminya dengan kompensasi ganti rugi yang diberikan kepada suaminya.
Dalam Al-Qur’an ditegaskan kebolehannya seorang istri melakukan khulu’ :
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ
“Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (Al-Baqarah : 229).
Al-‘Allâmah Abdur Rahman as-sa’di mengatakan dalam tafsirnya :
“Ayat ini merupakan dalil disyariatkannya khulu’.”
Hikmah disyariatkannya khulu’ adalah sebagai bentuk keadilan Allah kepada sepasang suami-istri, apabila suami berhak melepaskan hubungan dengan istrinya dengan cara thalaq, maka sang istri juga punya hak melepaskan hubungan dengan suaminya dengan cara khulu’.
Kebolehan khulu’ memberikan ruang kepada sang istri agar terhindar dari kesulitan atau kemudharatan bila terus melanjutkan hubungan pernikahannya, apabila suami enggan melepaskan dirinya dengan menceraikannya.
Alasan istri menggugat cerai alias khulu’ adalah bila sang istri mengkhawatirkan dirinya tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai istri yang berarti ia tidak bisa menjalankan hukum-hukum Allah sebagaimana disinggung dalam ayat yang mulia di atas. Hal ini juga didukung oleh kasus yang terjadi pada zaman Nabi yang diwartakan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu anhu dalam Shahih Bukhari (4867, EH) :
أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلَا دِينٍ وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْبَلْ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً
“bahwasanya; Istri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi ﷺ dan berkata, “Wahai Rasulullah, tidaklah aku mencela Tsabit bin Qais atas agama atau pun akhlaknya, akan tetapi aku khawatir kekufuran dalam Islam.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Apakah kamu mau mengembalikan kebun miliknya itu?” Ia menjawab, “Ya.” Rasulullah ﷺ bersabda, “Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah ia dengan talak satu.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam “Fathul Bari” menerangkan maksud perkataan istri Tsabit bin Qais radhiyallahu anhaa, “وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ” (akan tetapi aku khawatir kekufuran dalam Islam), yakni :
ويحتمل أن تريد بالكفر كفران العشير إذ هو تقصير المرأة في حق الزوج
“Mungkin yang dimaksud dengan kufur adalah kufur nikmat, yakni sang istri kurang didalam memenuhi hak-hak suaminya.” -selesai-.
Kemudian ada dua pandangan di kalangan ulama kita apakah khulu’ ini harus di depan hakim alias melalui sidang peradilan atau bisa juga dengan keputusan suami, tanpa harus dibawa ke sidang pengadilan agama. Karena sebenarnya tetap yang menjatuhkan khulu’ adalah suami, selayaknya perceraian. Mayoritas ulama berpendapat bahwa khulu’ sah dilakukan suami tanpa perlu diajukan ke hakim, dalilnya adalah hal ini disamakan dengan perceraian dan juga dalam Shahih Bukhari, al-Imam Bukhari sempat menyinggung kebolehan Khalifah Umar dan Utsman bin Affan radhiyallahu anhumaa bahwa pelaksanaan khulu’ tanpa harus diangkat ke hakim. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Barinya menyambungkan sanad atsar Umar di atas dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah sampai kepada Abdullah bin Syihab al-Khaulani yang berkata :
قد أتى عمر في خلع فأجازه
“Telah dibawa kasus khulu’ (sepasang suami-istri) kepada Umar, lalu beliau radhiyallahu anhu memperbolehkannya.”
Namun apabila si suami tidak ridho untuk menjatuhkan khulu’, maka perkaranya bisa dibawa kepada pengadilan agar sang hakim memaksa suaminya menerima keputusan jatuhnya khulu’. Asy-Syaikh Sayyid Sabiq dalam kitabnya “Fiqih Sunnah” menyebutkan :
والخلع يكون بتراضي الزوج والزوجة، فإذا لم يتم التراضي بينهما، فللقاضى إلزام الزوج بالخلع، لأن ثابتاً وزوجته رفعا أمرهما للنبي صلى الله عليه وسلم، وألزمه الرسول بأن يقبل الحديقة….
“Khulu’ itu terjadi dengan keridhoan suami-istri, jika tidak terjadi kesepakatan keduanya, maka hakim dapat memaksa suami untuk mengkhulu’, karena Tsabit dan istrinya radhiyallahu anhumaa mengangkat urusan mereka kepada Nabi ﷺ, lalu Rasulullah mewajibkan suaminya untuk menerima kebun (sebagai tebusan mahar istrinya)…”.
Abu Sa’id Neno Triyono