Fatwapedia.com – Adapun jika si istri berzakat pada suaminya yang fakir atau miskin. Imam Abu Hanifah dan sebagian fuqaha berpendapat, bahwa hal itu tidak boleh. karena hubungan suami terhadap istri sama dengan hubungan istri terhadap suami. Sedangkan kita telah melarang suami memberi Zakat pada istri demikian pula istri pada suami. Akan tetapi memberi terhadap suami diqiaskan dengan memberi terhadap istri, adalah qias yang tidak tepat, ditolak oleh akal dan pikiran, sebagaimana ditolaknya oleh dalil naqal dan atsar.
Menurut akal dan pikiran, sebagaimana yang dikemukakan oleh Abu Ubaid, bahwa seorang suami harus dipaksa untuk memberi nafkah kepada istri walaupun istrinya itu kaya, akan tetapi si istri tidak boleh dipaksa untuk memberi nafkah pada suami, walaupun suaminya itu miskin. Maka perbedaan apa yang lebih tajam daripada dua hal ini?
Dalam menerangkan kebolehannya si istri mengeluarkan zakat untuk suami yang miskin, Ibnu Qudamah berkata: “Karena suami tidak wayib nafkahnya bagi si istri, maka tidak terhalang menyerahkan zakat kepada suami itu, seperti halnya orang lain. Berbeda dengan istri, di mana nafkahnya itu wajib bagi suami. Dan karena hukum asalnya bolehnya menyerahkan zakat pada suami, karena ia termasuk pada keumuman golongan mustahik zakat. Dan terhadap larangan memberi zakat kepadanya tidak ada nash, dan tidak ada ijma‘, sedangkan mengqiaskannya pada orang yang secara tegas dilarang menerimanya, jelas tidak tepat, karena jelasnya perbedaan di antara mereka berdua. Atas dasar itu. maka yang tetap adalah kebolehan menyerahkan zakat kepadanya. (Al Mughni jilid 2/650)
Adapun menurut dalil naqli dan atsar, yaitu sebagaimana riwayat Imam Ahmad, Bukhari dan Muslim dari Zainab istri Abdullah bin Mas‘ud, ia berkata: “Rasulullah s.a.w. telah bersabda: “Bersedekahlah kamu sekalian wahai para wanita, walaupun dari perhiasanmu.” Zainab berkata: Aku kembali kepada Abdullah, lalu aku berkata kepadanya: “Engkau adalah seorang laki-laki ringan yang mempunyai tangan (kiasan dari keadaan fakir), dan sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah menyuruh kami, untuk bersedekah, datanglah kepadanya dan tanyakanlah, apabila hal itu diperbolehkan kepadaku, kalau tidak akan aku berikan sedekah itu pada orang selain kamu.
Dari Zainab, berkata Abdullah: “Pergilah kamu sendiri!” Zainab berkata: Kemudian aku berangkat, ternyata ada seorang wanita dari golongan Anshar di pintu rumah Rasulullah s.a.w. yang keperluannya sama dengan keperluanku. Wanita itu merasa berat berhadapan dengan Rasulullah s.a.w. kemudian keluarlah menyongsong kami Bilal, lalu kami berkata kepadanya: datanglah anda kepada Rasulullah s.a.w. lalu ceritakanlah bahwa ada dua orang wanita di pintu yang menanyakan kepadamu: apakah sedekah keduanya dianggap sah bila diberikan kepada suaminya, dan pada anak-anak yatim yang dipelihara keduanya? Dan jangan engkau ceritakan siapa kami ini. Kemudian Bilal masuk lalu menanyakan kepada Rasulullah s.a.w. Rasulullah s.a.w. berkata: “Siapa mereka berdua itu?” Bilal menjawab: “Wanita dari Anshar beserta Zainab.” Rasul berkata: “Zainab yang mana?” Bilal berkata: “Zainab istri Abdullah. Rasulullah s.a.w. bersabda: “Mereka mendapatkan dua pahala, pahala kerabat dan pahala sedekah. Hadis riwayat Imam Ahmad dan Bukhari-Muslim.
Dan Redaksi Imam Bukhari: Apakah diperbolehkan kepadaku untuk memberikan nafkah pada suamiku, dan pada anak-anak yatim yang berada di bawah pemeliharaanku?
Imam Syaukani berkata: “Bisa dijadikan alasan dengan hadis ini, bahwa diperbolehkan bagi seorang wanita untuk menyerahkan zakat, pada suaminya. Pendapat ini dinyatakan pula oleh Imam Tsauri, Syafi’i dan dua sahabat Imam Abu Hanifah serta salah satu riwayat dari Imam Malik dan Imam Ahmad. Dinyatakan pula oleh Imam Hadi, Nasir dan Muayyid Billahi: “Ini semua dianggap menyempurnakan dalil, setelah diketahui bahwa sedekah, itu adalah sedekah wajib.
Pendapat ini dipegang teguh oleh Imam Maaziri. la memperkuatnya dengan ucapan dua wanita tadi (apakah sah bagiku). Ulama lain memahami hadis ini dengan pemahaman bahwa sedekah itu adalah sedekah sunah, dengan alasan ucapan Nabi (walaupun dari perhiasanmu). Mereka mengartikan makna (apakah itu sah bagiku), yaitu dari pemeliharaannya terhadap siksa neraka; seolah-olah wanita tersebut takut, jika seandainya memberi sedekah pada suami, tidak mencapai sasaran, yaitu mendapatkan pahala dan terjauh dari siksa.
Terhadap hal itu Imam Syaukani berkata: “Yang jelas adalah bahwa diperbolehkan bagi si istri menyerahkan zakat pada suaminya. Alasan pertama, karena tidak ada yang melarangnya. Dan barangsiapa yang berpendapat bahwa hal itu tidak boleh, maka harus ada dalilnya. Alasan kedua, karena Rasulullah s.a.w. tidak memperincinya, maka kedudukannya bersifat umum, artinya tidak memperinci apakah sedekah tersebut, sedekah sunat atau wajib. Maka seolah-olah Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sah bagimu sedekah itu, apakah sedekah wajib atau sedekah sunat.