Fatwapedia.com – Pada dasarnya bertawassul (mencari perantara) itu diperintahkan oleh agama. Allah berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَابْتَغُوْٓا اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِيْ سَبِيْلِهٖ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah WASILAH (perantara/jalan) yang bisa mendekatkan diri kepada Allah”. (QS. Al-Mā’idah: 35)
Namun apa yang dimaksud dengan wasilah dalam ayat ini? Imam Qatadah seorang tabi’in berkata:
تقربوا إليه بطاعته والعمل بما يرضيه
“Yang dimaksud wasilah di sini adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan mentaatinya dan beramal yang diridhai Allah.”
Lantas apa saja tawassul yang dibolehkan menurut syariat? Inilah 9 tawasul yang bisa kita lakukan menurut syariat.
1. Tawassul dengan iman
Seperti: Ya Allah, aku beriman kepadamu, maka ampunilah dosaku, Ya Allah aku beriman kepadamu, maka berikanlah kebahagiaan kepadaku, dst.
Allah berfirman:
رَبَّنَآ اِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُّنَادِيْ لِلْاِيْمَانِ اَنْ اٰمِنُوْا بِرَبِّكُمْ فَاٰمَنَّا ۖرَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّاٰتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْاَبْرَارِۚ
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman: “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu”, maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti. (‘Āli `Imrān: 193) .
2. Tawassul dengan Tauhid
Hal ini, seperti yang dilakukan nabi Yunus ketika beliau berada di perut ikan paus, beliau bertawassul dengan tauhid dan Allah pun menyelamatkannya.
(وَذَا ٱلنُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَـٰضِبࣰا فَظَنَّ أَن لَّن نَّقۡدِرَ عَلَیۡهِ فَنَادَىٰ فِی ٱلظُّلُمَـٰتِ أَن لَّاۤ إِلَـٰهَ إِلَّاۤ أَنتَ سُبۡحَـٰنَكَ إِنِّی كُنتُ مِنَ ٱلظَّـٰلِمِینَ فَٱسۡتَجَبۡنَا لَهُۥ وَنَجَّیۡنَـٰهُ مِنَ ٱلۡغَمِّۚ وَكَذَ ٰلِكَ نُـۨجِی ٱلۡمُؤۡمِنِینَ)
Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap di perut ikan: “Bahwa tiada yang berhak disembah selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim, Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari pada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman. ( QS. Al-Anbiya’ 87 – 88]
3. Bertawassul dengan Nama-nama Allah yang terindah (Asmaul Husna)
(وَلِلَّهِ ٱلۡأَسۡمَاۤءُ ٱلۡحُسۡنَىٰ فَٱدۡعُوهُ بِهَاۖ )
“Kepunyaan Allah nama² terindah Asmaul Husna, maka berdoalah kepada Allah dengan nama-nama terindah tersebut.” [Surat Al-A’raf: 180]
Contoh: Ya Rahman berikan rahmatmu, ya Razzaaq berikan rizqimu, dst.
4. Bertawassul dengan sifat Allah.
Contoh: ya Allah dengan keperkasaanmu tolonglah aku, ya Allah dengan kemulianmu berkahilah aku!
يا حي يا قيوم برحمتك أستغيثك
“Yaa Allah dengan rahmatmu aku memohon pertolonganmu.” (HR. Tirmidzi)
5. Bertawassul dengan amal shalih, seperti sholat, berbakti kepada orang tua, sedekah dst.
Hal ini sebagaimana ucapan Qotadah:
تقربوا إليه بطاعته والعمل بما يرضيه
“Yang dimaksud wasilah di sini adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan mentaatinya dan beramal yang diridhai Allah.”
6. Bertawassul dengan doa orang Shalih yamg masih hidup bukan dengan dzatnya.
Seperti kisah Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu bertawassul dg minta supaya al-Abbas (paman nabi) berdoa agar Allah turunkan hujan. Dan akhirnya Allah kabulkan lalu turunkan hujan deras..” lihat: (HR. Bukhari no. 1010).
7. Bertawassul dengan mengakui dosa.
Seperti kisah nabi Yunus ketika ditelan ikan paus (QS. Al-Anbiya: 87-88) dan juga kisah nabi Adam tatkala termakan rayu Iblis (QS. Al-A’raf: 23)
Surah Al-Anbiya ayat 87:
وَذَا النُّوْنِ اِذْ ذَّهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ اَنْ لَّنْ نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادٰى فِى الظُّلُمٰتِ اَنْ لَّآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنْتَ سُبْحٰنَكَ اِنِّيْ كُنْتُ مِنَ الظّٰلِمِيْنَ ۚ
Artinya: “Dan (ingatlah kisah) Zun Nun (Yunus), ketika dia pergi dalam keadaan marah, lalu dia menyangka bahwa Kami tidak akan menyulitkannya, maka dia berdoa dalam keadaan yang sangat gelap, ”Tidak ada tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim.”
Surah Al-Anbiya ayat 88:
فَاسْتَجَبْنَا لَهٗۙ وَنَجَّيْنٰهُ مِنَ الْغَمِّۗ وَكَذٰلِكَ نُـْۨجِى الْمُؤْمِنِيْنَ
Artinya: “Maka Kami kabulkan (doa)nya dan Kami selamatkan dia dari kedukaan. Dan demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.”
8. Bertawassul dengan meninggalkan maksiat, seperti kisah salah satu dari 3 orang yang tertawan dalam gua, dia bertawassul dengan meninggalkan dosa zina yang hampir ia lakukan di masa lalu…
Dia berkata: Ya Allah, dahulu ada puteri pamanku yang aku sangat menyukainya. Aku pun sangat menginginkannya. Namun ia menolak cintaku. Hingga berlalu beberapa tahun, ia mendatangiku (karena sedang butuh uang). Aku pun memberinya 120 dinar. Namun pemberian itu dengan syarat ia mau tidur denganku (alias: berzina). Ia pun mau. Sampai ketika aku ingin menyetubuhinya, keluarlah dari lisannya, “Tidak halal bagimu membuka cincin kecuali dengan cara yang benar (maksudnya: barulah halal dengan nikah, bukan zina).” Aku pun langsung tercengang kaget dan pergi meninggalkannya padahal dialah yang paling kucintai. Aku pun meninggalkan emas (dinar) yang telah kuberikan untuknya. Ya Allah, jikalau aku mengerjakan sedemikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan wajah-Mu, maka lepaskanlah kesukaran yang sedang kami hadapi dari batu besar yang menutupi kami ini.” Batu besar itu tiba-tiba terbuka lagi,…. (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 2272 dan Muslim no. 2743)
9. Bertawassul dengan merendahkan diri dan menunjukkan kelemahan di hadapan Allah. Seperti yang dilakukan nabi zakariya:
(قَالَ رَبِّ إِنِّی وَهَنَ ٱلۡعَظۡمُ مِنِّی وَٱشۡتَعَلَ ٱلرَّأۡسُ شَیۡبࣰا وَلَمۡ أَكُنۢ بِدُعَاۤىِٕكَ رَبِّ شَقِیࣰّا).
“Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku. [Surat Maryam: 4]
Sumber: Disarikan dari Syaikh Muhammad Jamil Zainu, Majmu’ah al-Rasail cet. Ke-9 (Riyadh: Dar al-Shamai’i, 1997) vol.1 hal. 203-204), dll.
Penulis: Ustadz Fadlan Fahamsyah