Fatwapedia.com – Sunnah-sunnah ihram adalah segala sesuatu yang berpahala jika dikerjakan dan tidak berdosa jika ditinggalkan. Sunnah Ihram ada 9, berikut penjelasan selengkapnya.
1. Mandi saat berihram: berdasarkan hadits Zaid bin Tsabit:
(أنه رأى النبي تَجَرَّدَ لِإِهْلَالِهِ وَاغْتَسَلَ)
Bahwa dia melihat Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melepas pakaiannya untuk berniat dan beliau mandi.[Hasan: Hadits riwayat: At-Tirmidziy (831)]
Wanita juga mandi walaupun sedang haid atau nifas. Dalam hadits Jabir:
(حَتَّى أَتَيْنَا ذَا الْحُلَيْفَةِ، فَوَلَدَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ مُحَمَّدَ بْنَ أَبِي بَكْرٍ، فَأَرْسَلَتْ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَيْفَ أَصْنَعُ؟ قَالَ: «اغْتَسِلِي، وَاسْتَثْفِرِي بِثَوْبٍ وَأَحْرِمِي»)
Hingga kami tiba di Dzul Hulaifah, maka ketika itu Asma’ bintu ‘Umais melahirkan Muhammad bin Abu Bakar, maka dia mengutus utusan kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- untuk mempertanyakan yang harus dia lakukan. Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Mandilah dan pakailah cawat dengan kain lalu berihramlah.” [Shahih: Hadits riwayat: Muslim (1218)]
2. Memakai minyak wangi di badan sebelum ihram: berdasarkan hadits `A’isyah dia berkata:
كُنَّا نَخْرُجُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى مَكَّةَ فَنُضَمِّدُ جِبَاهَنَا بِالسُّكِّ الْمُطَيَّبِ عِنْدَ الْإِحْرَامِ، فَإِذَا عَرِقَتْ إِحْدَانَا سَالَ عَلَى وَجْهِهَا فَيَرَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَا يَنْهَاهَا
Ketika itu kami keluar bersama Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menuju Makkah, kami mengolesi dahi-dahi kami dengan minyak wangi ketika ihram, maka ketika salah seorang dari kami berkeringat, minyak itu mengalir di wajahnya, Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melihatnya dan tidak melarangnya. [Shahih: Hadits riwayat: Abu Dawud (1830) dan al-Baihaqy (5/48)]
Penulis berkata: Adapun setelah ihram maka tidak boleh memakai wewangian berdasarkan ijma’ ulama sebagaimana yang dinukil oleh an-Nawawy dalam al-Majmu’ (7/270)
3. Lelaki berihram dengan sarung dan kain berwarna putih: Dari Ibnu Abbas dia berkata:
انْطَلَقَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ المَدِينَةِ بَعْدَ مَا تَرَجَّلَ، وَادَّهَنَ وَلَبِسَ إِزَارَهُ وَرِدَاءَهُ هُوَ وَأَصْحَابُهُ
Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berangkat dari Madinah setelah bersisir dan memakai minyak dengan memakai sarung dan kain, begitu juga Shahabat-shahabat beliau. [Shahih: Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1545)]
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمِ الْبَيَاضَ، فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ، وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ
Pakailah pakaian putih, karena pakaian putih adalah pakaian yang terbaik. Dan pakaikanlah kain kafan putih untuk orang meninggal kalian. [Shahih: Hadits riwayat: At-Tirmidziy (999) dan Abu Dawud (3860)]
Adapun perempuan: maka dia memakai pakaian apapun yang dia inginkan, namun dia tidak boleh memaki cadar, juga sarung tangan (sebagaimana yang akan dijelaskan dalam larangan-larangan ihram). Pakaiannya tidak harus berwarna tertentu seperti putih atau selainnya (sebagaimana yang diyakini banyak perempuan khususnya penduduk Mesir) karena “dahulu `A’isyah memakai pakaian yang berwarna kuning sedangkan dia dalam kondisi ihram.” [Sanadnya shahih: Ibnu Hajar menyandarkannya dalam al-Fath (3/405) ke Sa`id bin Manshur dan berkata: sanadnya shahih]
4. Shalat di Wady al-‘Aqiq bagi yang melewatinya: yaitu suatu lembah di dekat Baqi’ yang berjarak 4 mil dari Madinah [Fathu al-bary (3/459) cetakan as-Terdahuluiyyah]. `Umar berkata: Aku mendengar Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika berada di Wady al-‘Aqiq beliau berkata:
أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتٍ مِنْ رَبِّي فَقَالَ: صَلِّ فِي هَذَا الْوَادِي الْمُبَارَكِ، وَقُلْ: عُمْرَةٌ فِي حَجَّةٍ
Seorang utusan dari Rabbku mendatangiku pada malam hari dan berkata: Shalatlah kamu di lembah yang diberkahi ini dan katakanlah: umrah di dalam haji. [Shahih: Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1534) dan selainnya sebagaimana yang telah disebutkan]
5. Shalat di Masjid Dzul Hulaifah bagi yang melewatinya:
Ini berdasarkan hadits Ibnu `Umar dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْكَعُ بِذِي الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ
Dahulu Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- shalat dua raka`at di Dzul Hulaifah. [Shahih: Hadits riwayat: Muslim (1184)]
Dalam hadits Jabir:
فَلَمَّا أَتَى ذَا الْحُلَيْفَةِ، صَلَّى وَهُوَ صَامِتٌ حَتَّى أَتَى الْبَيْدَاءَ
Maka ketika beliau telah sampai di Dzul Hulaifah, beliau shalat lalu beliau diam sampai tiba di baida`. [Hasan: Hadits riwayat: an-Nasaa`i (2756)]
Catatan Penting:
Mayoritas ulama menyimpulkan dari hadits Ibnu `Umar atas anjuran shalat dua raka`at karena ihram, an-Nawawy berkata dalam syarahnya: “Di dalamnya ada anjuran untuk shalat dua raka`at ketika hendak berihram dan itu dilakukan sebelum ihram sehingga dua raka`at tersebut menjadi suatu sunnah. Ini adalah madzhab kami dan madzhab ulama seluruhnya kecuali yang dikisahkan oleh al-Qadhi dan selainnya dari al-Hasan al-Bashry: dianjurkan shalat itu dilakukan setelah shalat fardhu, dia berkata: hal itu dikarenakan dua raka`at tersebut adalah shalat Shubuh. Dan yang benar adalah yang dikatakan oleh mayoritas ulama yang merupakan zhahir dari hadits.”
Penulis berkata: Zahir hadits adalah anjuran untuk shalat karena masjidnya bukan karena ihram, hal ini didukung oleh hadits Ibnu as-Samth:
أَنَّهُ خَرَجَ مَعَ عُمَرَ إِلَى ذِي الْحُلَيْفَةِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: إِنَّمَا أَصْنَعُ كَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Sesungguhnya dia (Ibnu as-Samth) pergi bersama `Umar ke Dzul Hulaifah, lalu `Umar shalat dua raka`at. Maka aku bertanya tentang hal itu kepadanya, maka dia berkata: Aku hanya melakukan sebagaimana melihat Rasulullah melakukannya. [Hasan: Hadits riwayat: Ahmad (207)]
Tidak ada di dalamnya penyebutan ihram dan yang bisa diambil dari hadits adalah yang setelah ini:
6. Meniatkan ihram setelah shalat fardhu atau sunnah:
Maka yang lebih utama adalah berihram setelah melaksanakan shalat fardhu atau sunnah yang memiliki sebab yang disyariatkan berdasarkan hadits-hadits yang telah lalu. Hal ini didukung juga dengan hadits Ibnu Abbas:
(أن رسول الله صلى الظهر بذي الحليفة ثم دعا ببدنة… فلما قعد عليها واستوت على البيداء أهل بالحج)
Sesungguhnya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- shalat Zhuhur di Dzul Hulaifah kemudian beliau meminta didatangkan hewan tunggangannya…… maka ketika beliau telah duduk di atasnya dan sampai di Baida` beliau berniat dengan haji. [Hasan: Hadits riwayat: ad-Darimy (1912), Abu Dawud (1752) dan Ahmad (2982)]
Penulis berkata: Yang tampak adalah bahwa shalat yang dilaksanakan oleh Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebelum ihram adalah shalat Zhuhur. Telah diketahui bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengqashar shalat di Dzul Hulaifah (sebagaimana yang telah dijelaskan tentang shalatnya orang yang bersafar) maka beliaupun hanya shalat dua raka`at.
Telah disebutkan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
(أتاني آت من ربي فقال: صل في هذا الوادي المبارك وقل: عمرة في حج)
Seorang utusan dari Rabbku mendatangiku dan berkata: Shalatlah kamu di lembah yang diberkahi ini dan katakanlah: umrah di dalam haji. [Shahih: Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1534), Abu Dawud (1783) dan Ibnu Majah (2976)]
Shalat di sini bisa merupakan shalat fardhu atau sunnah, oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: [Ensiklopedia Fatwa (26/108) dan yang serupa ada dalam al-Muhalla karya Ibnu Hazm (7/90)] ”Jika beliau shalat fardhu, beliau berihram setelahnya, jika tidak maka dalam berihram tidak ada shalat khusus baginya. Pendapat ini lebih rajih.”
7. Bertahmid, tasbih dan takbir (di atas kendaraan) sebelum berniat
Sebagaimana dalam hadits Anas dia berkata:
ثُمَّ رَكِبَ حَتَّى اسْتَوَتْ بِهِ عَلَى البَيْدَاءِ، حَمِدَ اللَّهَ وَسَبَّحَ وَكَبَّرَ، ثُمَّ أَهَلَّ بِحَجٍّ وَعُمْرَةٍ
Kemudian beliau menaiki tunggangannya sampai ketika tunggangannya tiba di Baida’ dan beliau bertahmid, tasbih dan takbir lalu berniat untuk haji dan umrah. [Shahih: Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1551) dan Abu Dawud (1779)]
8. Menghadap kiblat saat berniat
Dari Nafi’ dia berkata:
(كَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، «إِذَا صَلَّى بِالْغَدَاةِ بِذِي الحُلَيْفَةِ أَمَرَ بِرَاحِلَتِهِ فَرُحِلَتْ، ثُمَّ رَكِبَ، فَإِذَا اسْتَوَتْ بِهِ اسْتَقْبَلَ القِبْلَةَ قَائِمًا، يُلَبِّي …..وَزَعَمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَ ذَلِكَ)
Dahulu Ibnu `Umar radhiyallahu ‘anhuma jika usai shalat Zhuhur di Dzul Hulaifah, beliau meminta didatangkan tunggangannya kemudian beliau menaikinya. Ketika telah tenang tunggangannya, beliau menghadap kiblat sambil berdiri dan bertalbiyah…..dan beliau mengatakan bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melakukan hal tersebut. [Shahih: Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1553)]
9. Meninggikan suara saat bertalbiyah
Hal ini berdasarkan hadits Sa`ib bin Khallad dia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
أَتَانِي جِبْرِيلُ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ مُرْ أَصْحَابَكَ أَنْ يَرْفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ بِالتَّلْبِيَةِ
Jibril datang kepadaku dan berkata: Wahai Muhammad, perintahkanlah sahabat-sahabatmu untuk mengeraskan suara mereka dalam bertalbiyah. [Shahih: Hadits riwayat: At-Tirmidziy (830), Abu Dawud (1197), an-Nasaa`i (5/162) dan Ibnu Majah (2922)]
Perintah ini adalah sunnah menurut mayoritas ulama dan wajib menurut Madzhab zhahiri [Hasyiyatu as-Sindy ‘Ala an-Nasaa`i (5/162)]. Dari Jabir dan Abu Sa`id mereka berkata:
قَدِمْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَنَحْنُ نَصْرُخُ بِالْحَجِّ صُرَاخًا
Kami berangkat haji bersama Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan kami bertalbiyah dengan suara keras. [Shahih: Hadits riwayat: Muslim (1148)]
Apakah Perempuan Mengeraskan Suaranya Saat Bertalbiyah?
Ahli ilmu bersepakat bahwa perempuan tidak ditalbiyahkan oleh orang lain dan dia bertalbiyah sendiri [At-Tirmidziy menukilnya dalam al-Jami’ (849). Adapun hadits Jabir: “Kami bertalbiyah untuk para perempuan dan melempar jumrah untuk anak-anak.” Adalah lemah dan tidah shahih]. Adapun: apakah perempuan mengeraskan suaranya dalam bertalbiyah? Maka kebanyakan [Bahkan Ibnu Abdil Barr menuliskan ijma’ atas hal tersebut dan ini terbantahkan dengan dalil yang datang dari `A’isyah dan selainnya] berpendapat bahwa perempuan tidak mengeraskan suara mereka saat bertalbiyah. Mereka berdalil dengan:
1. Sesungguhnya perempuan diperintahkan untuk menutupi diri, maka dimakruhkan baginya untuk meninggikan suara karena ditakutkan muncul fitnah karenanya.
2. Sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
التَّسْبِيحُ لِلرِّجَالِ، وَالتَّصْفِيقُ لِلنِّسَاءِ
Mengucapkan tasbih itu untuk lelaki dan tepuk tangan itu untuk perempuan. [Shahih: takhrijnya telah disebutkan dalam pembahasan shalat]
Hadits tersebut menunjukan bahwa perempuan tidak meninggikan suaranya saat bertalbiyah sebagaimana ketika dia sedang shalat.
3. Yang diriwayatkan dari Ibnu `Umar bahwa dia berkata: “Perempuan tidak naik ke atas Shafa dan Marwa dan tidak meninggikan suara saat bertalbiyah.”[Sanadnya Dha’if: Hadits riwayat: al-Baihaqy dalam Sunannya (5/46)] Namun riwayat ini lemah.
Sementara itu yang lainnya (`A’isyah pemimpinnya) berpendapat bahwa perempuan mengeraskan suaranya berdasarkan dalil-dalil berikut:
a. Makna umum sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
أَتَانِي جِبْرِيلُ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ مُرْ أَصْحَابَكَ أَنْ يَرْفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ بِالتَّلْبِيَةِ
Jibril datang kepadaku dan berkata: Wahai Muhammad, perintahkanlah sahabat-sahabatmu untuk mengeraskan suara mereka dalam bertalbiyah. [Shahih: Hadits riwayat: At-Tirmidziy (830), Abu Dawud (1197), an-Nasaa`i (5/162) dan Ibnu Majah (2922)]
Hadits ini umum mencakup lelaki dan perempuan. Dan inilah yang dipahami oleh `A’isyah.
b. Dari Abdurrahman bin al-Qasim dari Ayahnya dia berkata:
خَرَجَ مُعَاوِيَةُ لَيْلَةَ النَّفْرِ، فَسَمِعَ صَوْتَ تَلْبِيَةٍ، فَقَالَ: مَنْ هَذَا؟ قَالُوا: عَائِشَةُ اعْتَمَرَتْ مِنَ التَّنْعِيمِ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِعَائِشَةَ فَقَالَتْ: «لَوْ سَأَلَنِي لَأَخْبَرْتُهُ
Mu’awiyah keluar di malam perang, lalu dia mendengar suara talbiyah. Diapun bertanya: “Siapa ini?” orang-orang berkata: `A’isyah, dia sedang berumrah dari Tan’im.” aku sampaikan hal itu kepada `A’isyah dan dia berkata: “Seandainya dia bertanya kepadaku (kenapa bertalbiyah dengan suara keras) maka akan aku beritahu dia.” [Sanadnya shahih: Hadits riwayat: Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (1/4/389)]
Ibnu Hazm berkata dalam al-Muhalla (7/93): “Ketika itu orang-orang mendengar perkataan Ummahatul Mukminin dan itu tidak mengapa. Orang-orang meriwayatkan dari mereka padahal mereka baru berusia dua puluhan atau lebih sedikit dan tidak ada yang berselisih mengenai kebolehannya dan anjuran melakukannya.” Kemudian Ibnu Hazm menyebutkan bukti riwayat dalam masalah ini.
Penulis berkata: Pendapat yang paling adil adalah yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (26/115: “Perempuan mengeraskan suaranya sebatas bisa didengar oleh orang di sampingnya.”
Perempuan Yang Sedang Haid Dan Nifas Juga Berniat Dan Bertalbiyah
Telah dijelaskan bahwa haid dan nifas tidak menghalangi berihram untuk haji. Dianjurkan bagi yang mendapatkannya untuk mandi dan perempuan yang sedang haid atau nifas berniat setelah mandi. Dari `A’isyah dia berkata:
نُفِسَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ بِمُحَمَّدِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ بِالشَّجَرَةِ، فَأَمَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبَا بَكْرٍ، «يَأْمُرُهَا أَنْ تَغْتَسِلَ وَتُهِلَّ
Asma’ bintu Umais mendapatkan nifas setelah melahirkan Muhammad bin Abu Bakar saat berada di ‘Aqabah. Maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan kepada Abu Bakar untuk menyuruhnya mandi dan berniat. [Shahih: Hadits riwayat: Muslim (1209), Abu Dawud (1744) dan Ibnu Majah (2911)]
Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata kepada `A’isyah (ketika mendapatkan haidh):
افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ
Lakukanlah sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang berhaji, hanya saja janganlah engkau berthawaf di Ka’bah. [Shahih: Hadits riwayat: Al-Bukhariy (294) dan Muslim (1211)]
Ucapan Talbiyah
Dari Nafi’ dari Ibnu `Umar bahwa talbiyah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
(لَبَّيْكَ اللهُمَّ، لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ، وَالْمُلْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ)
Ya Allah aku penuhi panggilan-Mu. Ya Allah aku penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya pujian dan kenikmatan itu hanya untuk-Mu. Begitu juga kekuasaan, tiada sekutu bagi-Mu.
Talbiyah adalah menjawab panggilan Allah -subhanahu wa ta`ala- kepada makhluk-Nya untuk berhaji ke rumah-Nya melalui lisan kekasih-Nya Ibrahim ‘alaihissalam. Dan orang yang bertalbiyah: yang menyerahkan dirinya untuk dituntun oleh orang lain, sebagaimana orang yang memiliki kerah baju lalu dicengkeram kerahnya. Maknanya adalah: “Aku memenuhi panggilan-Mu, berserah diri pada kebijaksanaan-Mu, menaati perintah-Mu terus menerus dan aku akan tetap seperti itu.” Ini disebutkan oleh Syaikhul Islam rahimahullah dalam Hajjatu an-Nabiy hal. 55.
Nafi’ berkata: “Abdullah bin `Umar menambahinya dengan: “Labbaika wa sa’daik, wal khaira bi yadaik warraghbatu ilaika wal ‘amal” (Aku penuhi panggilan-Mu dengan gembira dan kebaikan seluruhnya di tangan-Mu juga keinginan menuju kepada-Mu juga keinginan beramal). [Shahih: Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1549) dan Muslim (1184) dan tambahan tersebut darinya]
Dalam hadits Jabir yang panjang, lalu beliau bertalbiyah dengan talbiyah tauhid:
لَبَّيْكَ اللهُمَّ، لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ، وَالْمُلْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ» وَأَهَلَّ النَّاسُ بِهَذَا الَّذِي يُهِلُّونَ بِهِ، فَلَمْ يَرُدَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ شَيْئًا مِنْهُ، وَلَزِمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَلْبِيَتَهُ
Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Ya Allah, aku datang, aku penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya puji-pujian dan nikmat karunia itu adalah milik-Mu, begitu pula kerajaan, tiada sekutu bagi-Mu).” Orang-orang bertalbiyah seperti itu, sedangkan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak menolak sedikitpun ucapan mereka dan beliau meneruskan talbiyahnya…[1]
Dalam riwayat lain:
وَأَهَلَّ النَّاسُ بِهَذَا الَّذِي يُهِلُّونَ بِهِ لَبَّيْكَ ذَا الْمَعَارِجِ وَلَبَّيْكَ ذَا الْفَوَاضِلِ فلم يرد رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Orang-orang berniat dengan tahallul mereka: “Labbaika dzal ma’arij, labbaika dzal fawadhil” (Aku penuhi panggilan-Mu wahai Pemilik tempat-tempat naik, aku penuhi panggilan-Mu wahai Pemilik keutamaan) dan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak menolaknya…[Shahih: Hadits riwayat: Abu Dawud (1812) dan Ahmad (13918)]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa:
كَانَ مِنْ تَلْبِيَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَبَّيْكَ إِلَهَ الْحَقِّ
Salah satu talbiyah Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah: “Labbaika ilahal haq (Aku penuhi panggilan-Mu wahai Tuhan yang benar). [Shahih: Hadits riwayat: an-Nasaa`i (2752) dan Ibnu Majah (2920)]
Penulis berkata: Dari hadits-hadits tersebut dapat diambil dua faedah:
Diperbolehkan untuk menambahi dalam talbiyah Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berdasarkan pengakuan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bagi Shahabatnya dalam hal itu dan juga yang ada dari Ibnu `Umar dan selainnya.
Mencukupkan diri dengan talbiyah Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- itu lebih utama karena beliau selalu melakukannya. Asy-Syafi`iy berkata: “Jika dia menambahi dalam talbiyah sesuatu yang berarti pengagungan kepada Allah -subhanahu wa ta`ala-, maka hal itu tidak mengapa. Yang lebih disukai adalah mencukupkan dengan talbiyah Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” Madzhab mayoritas berpendapat sebagaimana yang ada dalam al-Fath (3/480)
Tempat-Tempat Bertalbiyah
Dianjurkan untuk memperbanyak talbiyah ketika berihram dan setelahnya secara terus-menerus baik saat menaiki kendaraan atau berjalan, naik atau turun dan di setiap kondisi, bahkan saat melempar jumrah ‘aqabah (menurut mayoritas, selain Malikiyyah). Dan di antara hal-hal yang menunjukannya adalah penamaan talbiyah di tempat-tempat berikut:
1. Saat naik dan turun di jalan
Dari Ibnu Abbas secara mauquf (dalam hadits Dajjal):
أَمَّا مُوسَى كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ إِذْ انْحَدَرَ فِي الوَادِي يُلَبِّي
Adapun Musa seakan-akan aku melihatnya saat dia turun lembah sambil bertalbiyah.[Shahih: Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1555) dan Muslim (166)]
Al-Hafizh berkata [Fathul Bary (3/485)]: “Dalam hadits ini bahwa talbiyah di perut-perut lembah adalah salah satu sunnah para rasul. Hal itu ditekankan saat turun sebagaimana ditekankan saat naik.”
2. Dalam perjalanan ke Arafah
Dari Anas bin Malik bahwa dia ditanya (saat itu dia sedang berangkat dari Mina ke Arafah) tentang talbiyah
كَيْفَ كُنْتُمْ تَصْنَعُونَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالَ: كَانَ يُلَبِّي المُلَبِّي، لاَ يُنْكَرُ عَلَيْهِ، وَيُكَبِّرُ المُكَبِّرُ، فَلاَ يُنْكَرُ عَلَيْهِ
“Bagaimana dahulu kalian berbuat bersama Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-?” Anas berkata: “Dahulu ada yang bertalbiyah dan beliau tidak mengingkarinya dan ada yang bertakbir dan beliau tidak mengingkarinya.” [Shahih: Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1659) dan Muslim (1284)]
3. Ketika berangkat dari Arafah sampai melempar jumrah
Dari Ibnu Abbas:
(أَنَّ أُسَامَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ رِدْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ عَرَفَةَ إِلَى المُزْدَلِفَةِ، ثُمَّ أَرْدَفَ الفَضْلَ مِنَ المزْدَلِفَةِ إِلَى مِنًى، قَالَ: فَكِلاَهُمَا قَالَ: «لَمْ يَزَلِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُلَبِّي حَتَّى رَمَى جَمْرَةَ العَقَبَةِ»)
Sesungguhnya Usamah ketika itu membonceng di belakang Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dari `Arafah ke Muzdalifah. Kemudian beliau memboncengkan al-Fadhl dari Muzdalifah ke Mina. Ibnu Abbas berkata: keduanya (Usamah dan al-Fadhl) berkata: Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- terus bertalbiyah sampai melempar Jumrah ‘Aqabah. [Shahih: Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1544) dan Muslim (1284)]
An-Nawawy berkata: “Hadits tersebut adalah dalil bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- terus menerus bertalbiyah sampai mulai melempar Jumrah ‘Aqabah [Maksudnya adalah dalam riwayat Muslim: “Beliau terus bertalbiyah sampai tiba di jumrah.”] pada siang hari di hari Qurban. Ini adalah madzhab Asy-Syafi`iy, Sufyan, ats-Tsaury, Abu Hanifah, Abu Tsaur dan mayoritas ulama dari kalangan Shahabat, pengikut shahabat dan fuqaha` di penjuru tempat setelah mereka…. dan berkata Ahmad, Ishaq dan sebagian ulama: Terus bertalbiyah sampai selesai melempar Jumrah ‘Aqabah. Ini dijawab oleh mayoritas ulama bahwa maksudnya adalah: sampai memulai melempar sebagai bentuk penggabungan antara dua riwayat.”
Dari Ibnu Mas’ud dia berkata:
وَنَحْنُ بِجَمْعٍ: سَمِعْتُ الَّذِيَ أُنْزِلَتْ عَلَيْهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ يَقُولُ فِي هَذَا الْمَقَامِ: «لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ
Kami berada di tempat berkumpul[1]: Aku mendengar orang yang diturunkan kepadanya surat al-Baqarah di tempat ini mengucapkan: Labbaikallahumma labbaik.[2]
Catatan: Malikiyyah berpendapat bahwa orang yang berhaji menghentikan talbiyahnya ketika masuk Makkah lalu berthawaf dan sa`i, kemudian kembali bertalbiyah sampai hari Arafah. Dalil mereka adalah hadits Nafi’ dia berkata:
(كَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا «إِذَا دَخَلَ أَدْنَى الحَرَمِ أَمْسَكَ عَنِ التَّلْبِيَةِ، ثُمَّ يَبِيتُ بِذِي طِوًى، ثُمَّ يُصَلِّي بِهِ الصُّبْحَ، وَيَغْتَسِلُ»، وَيُحَدِّثُ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ)
Dahulu Ibnu `Umar ketika sampai di dekat al-Haram beliau menghentikan talbiyah kemudian bermalam di Dzi Thuwa lalu shalat Shubuh dan mandi. Dan beliau mengatakan bahwa dahulu Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melakukan yang demikian.[3]
Al-Hafizh berkata[4]: “Perkataannya (dahulu Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melakukannya) bisa bermaksud ke perbuatan yang terakhir yaitu mandi, bisa juga berarti semuanya, dan ini lebih kuat.”
Namun al-Hafizh berkata[5]: “Yang tampak adalah bahwa maksudnya adalah menghentikan talbiyah. Sepertinya yang dimaksud dengan al-Haram adalah Masjidil Haram. Dan maksud dari mengehentikan talbiyah adalah menyibukan diri dengan selainnya berupa thawaf atau yang lainnya, bukan meninggalkan keseluruhan. Yang tampak pula bahwa yang dimaksud dengan menghentikan: tidak mengulang-ulangi talbiyah dan terus melakukannya dan meninggikan suara saat bertalbiyah sebagaimana yang dilakukan di awal ihram dan bukan meninggalkannya secara total. Allah Maha Tahu.
Catatan kaki:
[1] Yaitu Muzdalifah
[2]Shahih: Hadits riwayat: Muslim (1383) dan an-Nasaa`i (5/265)
[3]Shahih: Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1573) dan selainnya
[4] Fathul Bary (3/509)
[5] Fathul Bary (3/483)