Fatwapedia.com – Salah satu amalan sunnah yang mendapatkan banyak perhatian kaum muslimin adalah shalat dhuha. Namun kapan sebaiknya shalat dhuha dikerjakan? Kapan boleh mulai mengerjakan shalat dhuha?
Dhuha menurut ahli Fikih adalah: waktu antara meningginya matahari hingga tergelincirnya. (Hasyiyah Ibnu Abidin (2/23) cet. Al-Fikr)
Keutamaan shalat dhuha: Ada banyak hadits yang menjelaskan keutamaan shalat dhuhaini. Di antaranya adalah:
Hadits riwayat Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallambersabda:
يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ ، فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ ، وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ ، وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى
“Setiap persendian salah seorang di antara kalian memiliki “kewajiban” sedekah. Setiap tasbih (Subhanallah) adalah sedekah, setiap tahmid (Alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahlil (La Ilaha Illallah) adalah sedekah, setiap takbir (Allahu Akbar) adalah sedekah, amar ma’ruf (menunjukkan kepada kebaikan) termasuk sedakah, nahi munkar (mencegah dari kemungkaran) juga termasuk sedekah, maka mencukupi semua itu dengan shalat dhuha dua rakaat.” (Hadits Riwayat: Muslim (720), Abu Daud (1285), dan Ahmad (5/167)
Kata (السُلاَمَى) pada dasarnya memiliki makna tulang jari-jemari dan seluruh telapak tangan, namun kemudian kata ini dipakai untuk menunjukkan tulang badan dan ruas persendiannya.
Hadits riwayat Buraidah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallambersabda:
فِي الإنْسَانِ سِتُّونَ وَثَلاثُمِائَةِ مُفْصِلٍ فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ مَفْصِلٍ مِنْهَا صَدَقَةً” قَالُوْا : فَمَنِ الَّذِى يُطِيْقُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ : “النُّخَاعَةُ فِي المَسْجِدِ تَدْفِنُهَا وَالشَّيْءُ تُنَحِّيهِ عَنِ الطَّرِيقِ فَإِنْ لَمْ تَقْدِرْ فَرَكْعَتَا الضُّحَى تُجْزِئ عَنْهُ”
“Dalam diri manusia terdapat 360 persendian. Dan setiap persendian itu diharuskan bersedekah” Para sahabat kemudian bertanya, “Lantas siapa yang sanggup melakukan itu wahai Rasulullah?” Rasulullah kemudian bersabda, “Ludah dalam masjid yang dipendamnya, membuang sesuatu gangguan di tengah jalan, maka itu sedekah. Namun jika tidak mampu melakukan itu semua, cukuplah engkau mengerjakan dua rakaat shalat Dhuha.” (Hadits Riwayat: Abu Daud (2/524), dan Ahmad (5/354). Shahih)
“Dua hadits di atas menunjukkan besarnya kemuliaan serta agungnya kedudukan shalat dhuha, serta anjuran pelaksanaannya. Dan bahkan, dua rakaat dhuha setara dengan 360 sedekah. Oleh karena itu, shalat dhuha sangat penting dijadikan rutinitas yang berkesinambungan” (Nailul-Authar (3/78) cet. Al-Hadits)
Hadits riwayat Zaid bin Arqam radhiallahu ‘anhuma ia berkata:
خَرَجَ النَّبِىُّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- عَلَى أَهْلِ قُبَاءَ ، وَهُمْ يُصَلُّونَ الضُّحَى ، فَقَالَ : “صَلاةُ الأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ”
“Suatu ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menemui orang-orang di masjid Quba’ mereka sedang melaksanakan shalat dhuha. Lalu Rasulullah pun bersabda, “Shalat –dhuha adalah shalatnya– orang-orang yang banyak bertaubat, –shalat dhuha– dilakukan saat anak-anak onta telah kepanasan” (Hadits Riwayat: Muslim (748) dan Ahmad (4/366)
Hadits riwayat Jubair bin Nufair dari Abu Darda’ dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhum, rasulullah bersabda :
أنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ : ابْنَ آدَمَ ارْكَعْ لِي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَكْفِكَ آخِرَهُ
“Allah Subhanahu wata’ala berfirman, ‘Wahai bani Adam, shalatlah untuk-Ku empat rakaat pada permulaan siang, niscaya Aku cukupkan bagimu akhir siangnya.” (Hadits Riwayat: At-Tirmidzi (475) dan memiliki Syahid dari hadits Nu’aim bin Hammar dalam Abu Daud (1289). Lih: Irwa’ al-Ghalil (465). Shahih dengan jalur-jalur periwayatannya)
Hadits riwayat Abdullah bin Amru radhiallahu ‘anhuma, ia berkata:
بَعَثَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم سَرِيَّةً فَغَنِمُوا وَأَسْرَعُوا الرَّجْعَةَ ، فَتَحَدَّثَ النَّاسُ بِقُرْبِ مَغْزَاهُمْ وَكَثْرَةِ غَنِيمَتِهِمْ وَسُرْعَةِ رَجْعَتِهِمْ ، فَقَالَ رَسُولُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ : “أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى أَقْرَبَ مِنْهُمْ مَغْزًى وَأَكْثَرَ غَنِيمَةً وَأَوْشَكَ رَجْعَةً؟ مَنْ تَوَضَّأَ ثُمَّ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ لِسُبْحَةِ الضُّحَى فَهُوَ أَقْرَبُ مِنْهُمْ مَغْزًى وَأَكْثَرُ غَنِيمَةً وَأَوْشَكُ رَجْعَةً
“Suatu saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus pasukan perang, lalumereka mendapat ghanimah (harta rampasan perang) dan mereka cepat kembali.Kemudian orang-orang membicarakan tentang dekatnya peperangan itu dan banyaknya ghanimah yang mereka dapatkan, serta kepulangan mereka yang cepat. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, “Maukah aku tunjukkan pada kalian apa yang lebih dekat dari peperangan mereka, dan lebih banyak ghanimah, serta kepulangan yang lebih cepat? siapa yang berwudhu’ kemudian pergi pada waktu pagi ke masjid untuk melakukan shalat dhuha, maka hal itu adalah peperangan yang paling dekat, serta ghanimah yang paling banyak, dan paling segera kembali” (Hadits Riwayat: Ahmad (2/175), Lih: Shahihut-Targhib (663-664). Dinyatakan Shahih oleh al-Albani)
Hukum Shalat Dhuha
Para Ahli ilmu berbeda pendapat mengenai hukum shalat dhuha dalam enam pendapat [Zaadul-Ma’ad (1/341-360), Badai’ al-Fawaidh, Fathul-Bari (3/66)]. Namun yang terkenal tiga pendapat:
Pertama: Sunnah mutlak dan disunnahkan mengerjakannya secara terus menerus (setiap hari). Ini pendapat mayoritas ulama [Umdatul-Qari’ (7/240), Mawahibul-Jalil (2/67), Raudhatut-Thalibin (1/337), dan Al-Mughni (2/132)], namun tidak termasuk Hanabilah. Jumhur ulamadalam hal ini berargumentasi dengan beberapa dalil, di antaranya:
Keumuman hadist-hadist yang telah disebutkan sebelumnya tentang keutamaan shalat dhuha, khususnya hadist :
يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ
“Setiap hari bagi setiap persendian dari salah seorang di antara kalian terdapat kewajiban untuk bersedekah” (Al-Furu’, Ibnu Muflih (1/567)
Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu :
أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ صِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْ الضُّحَى وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ
“Kekasihku Shallalahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat kepadaku dengan tiga hal: berpuasa tiga hari setiap bulan, dua rakaat shalat dhuha, dan witir sebelum tidur.” [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1178), dan Muslim (721)]
Begitu juga menurut Abu Darda dan Abu Dzar radhiallahu ‘anhuma
Hadist Mua’dzah al-Adawiyyah radhiallahu ‘anhu :
قُلْتُ لِعَائِشَة أكَانَ رَسُوْلُ اللهِ يُصَلِّي الضُّحَى قاَلَتْ نَعَمْ أرْبَعًا وَيَزِيْدُ مَا شَاءَ
“Aku bertanya kepada Aisyah radhiallahu ‘anha “Apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan shalat dhuha? Aisyah kemudian menjawab, “ya, empat rakaat dan Rasulullah menambahkan sesuai dengan kehendak beliau.” [Hadits Riwayat: Muslim (719), dan Ibnu Majah (1381)]
Imam Syaukani berkata dalam kitabnya “Nailul Authar” (3/76): “tidak tertutup lagi bagimu, bahwa hadits-hadits yang menetapkan –pensyariatan– shalat dhuha telah mencapai jumlah yang tidak terbatas sebagian darinya dari sebuah perintah anjuran”
Hafidz Ibnu Hajar dalam bukunya “Fathul Bari” (3/66) juga berkata, “Sesungguhnya Al-Hakim telah mengumpulkan hadist-hadist mengenai shalat dhuha ke dalam satu juz tersendiri , dan perawi hadist yang meriwayatkan tentang shalat dhuha ini mencapai duapuluh orang dari para sahabat.”
Sedangkan mengenai perintah melakukan shalat dhuha secara berkesinambungan, hal tersebut diambil dari hadist Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
أَحَبُّ العَمَلِ اِليَ اللهِ تعالي مَا دَامَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ وَ اِنْ قَلَّ
“Sesungguhnya amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah yang dilakukan secara rutin meskipun sedikit.” [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (43), dan Muslim (782)]
Kedua: Hukum shalat dhuha adalah sunnah namun tidak dilakukan setiap hari, kadang dikerjakan dan kadang ditinggalkan. Ini pendapat Mazhab Hanbali.
Dalil mereka, di antaranya:
Hadist Abi Said radhiallahu ‘anhu :
كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الضُّحَى حَتَّى نَقُوْلَ لَا يَدَعُهَا وَيَدَعُهَا حَتَّى نَقُوْلَ لَا يُصَلِّيْهَا
“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat dhuha sehingga kami katakan bahwa beliau tidak pernah meninggalkannya. Namun ternyata beliau pun pernah meninggalkannya sehingga kami katakan bahwa beliau tidak pernah mengerjakannya.” [Hadits Riwayat: At-Tirmidzi (477), Ahmad (3/21-36), Lih: Irwa’ al-Ghalil (460). Dhaif] Namun hadits ini riwayatnya lemah.
Hadist Anas radhiallahu ‘anhu saat menceritakan shalat dhuha Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di rumah ‘Itban bin Malik. Lalu fulan bin Jarud berkata kepada Anas:
أكَانَ النَّبِيُّ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم يُصَلِّي الضُّحَى؟ قَالَ: مَا رَأيْتُهُ صَلَّي غَيْرَ ذلِكَ اليَوْم
“Apakah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat dhuha? Anas punberkata, “Aku tidak melihat beliau shalat –dhuha– kecuali pada hari itu.” [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (670)]
Hadist riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha ia berkata:
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى سُبْحَةَ الضُّحَى قَطُّ ، وَإِنِّى لأُسَبِّحُهَا ، وَإِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَيَدَعُ الْعَمَلَ وَهُوَ يُحِبُّ أَنْ يَعْمَلَهُ خَشْيَةَ أَنْ يَعْمَلَ بِهِ النَّاسُ فَيُفْرَضَ عَلَيْهِمْ
“Aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalatdhuha sama sekali. Akan tetapi aku tetap melakukannya. Dan sesungguhnya jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan suatu amalan padahal beliau senang melakukannya, itu adalah karena khawatir amalan tersebut dilakukan oleh orang banyak lalu diwajibkan bagi mereka” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1177/1188), dan Muslim (718)
Ketiga: Shalat Dhuha tidak disunnahkan kecuali jika ada sebab tertentu. Seperti meninggalkan shalat malam. Ini pendapat Ibnul Qayyim setelah memaparkan pendapat para ulama dalam permasalahan ini. [Zaadul-Ma’ad (1/341-360), Badai’ al-Fawaid (1/ )]
Dalil yang digunakan oleh pendapat ini: Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam belum melakukannya kecuali jika ada sebab, dan semuanya sepakat bahwa pelaksanannya ketika datangnya waktu dhuha. Hal itu disebabkan beberapa hal berikut:
Hadist Ummu Hani radhiallahu ‘anha :
أنَّ النَّبِىِّ ، -صلى الله عليه وسلم- ، دَخَلَ بَيْتَهَا يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ ، فَاغْتَسَلَ ، وَصَلَّى ثَمَانِىَ رَكَعَاتٍ ( سبحة الضحي) ، فَلَمْ أَرَ صَلاةً قَطُّ أَخَفَّ مِنْهَا غَيْرَ أَنَّهُ يُتِمُّ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ.
“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki rumah Ummu Hani ketika Fathu Makkah, kemudian beliau mandi dan melakukan shalat dhuha delapan rakaat. Ummu Hani berkata, “Saya tidak pernah melihat sama sekali shalat yang lebih ringan darinya, hanya saja beliau dalam shalat tersebut menyempurnakan ruku’ dan sujud.” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1176), Muslim (719), dan tambahan dari Abu Daud (1290)
Beliau melakukan ini karena ada sebab tertentu yaitu Fathu Makkah. Mereka mengatakan bahwa ketika hari Fathu Makkah disunnahkan shalat delapan rakaat.Sebagaimana yang dinukil juga oleh Thabari bahwa Khalid bin Walid mengerjakan hal ini pada saat Fathu al-Hirah.
Shalat yang dikerjakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika di rumah ‘Ithban bin Malik sebagai wujud dikabulkannya permintaan ‘Ithban agar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat dalam rumahnya di tempat yang beliau jadikan sebagai mushala. Dan semua sepakat bahwa hal ini dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika waktu dhuha. Maka perawi hadist menyingkatnya:
صَلَّي فِي بَيْتِهِ الضُّحَي
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di dalam rumahnya (‘Ithban bin Malik) ketika waktu dhuha.”
Dari Abdullah bin Syaqiq ia berkata kepada Aisyah radhiallahu ‘anha :
أ كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُصَلِّي اَلضُّحَى? قَالَتْ: لَا, إِلَّا أَنْ يَجِيءَ مِنْ مَغِيبِهِ.
“Apakah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam selalu melaksanakan shalat dhuha?”, ‘Aisyah menjawab, “Tidak, kecuali saat Rasulullah datang dari perjalanan beliau”
Hadits diatas diriwayatkan oleh: Muslim (717), dan terdapat riwayat-riwayat dari Aisyah yang berbeda, dan dalam hadits ini dikhususkan (dikaitkan) shalat dhuha yang dikerjakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan kedatangan beliau dari perjalanan. Dan dalam riwayat Muslim, dinyatakan bahwa Aisyah sama sekali tidak melihat shalat Rasulullah. Lalu riwayat lainnya menetapkan hal tersebut secara mutlak. Dan segolongan ulama, di antaranya Ibnu Abdil-Barr lebih menguatkan apa ynag terdapat dalam riwayat Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim dengan pendapat Imam Muslim, ulama yang lain ada yang menggabungkan antara riwayat-riwayat ini. Fathul-Bari (3/67)
Hal ini karena beliau melarang melakukan perjalanan di malam hari, maka beliau memajukannya pada awal siang, lalu Rasulullah mengawalinya dari masjid dan menunaikan shalat pada waktu dhuha.
Mereka mengatakan: Adapun hadits-hadits yang menganjurkan shalat dhuha dan wasiat untuk melaksanakannya, hal ini tidaklah menunjukan bahwa shalat dhuha itu termasuk sunnah rawatib bagi setiap orang. Oleh karena itu Rasulullah hanya berwasiat mengenai hal ini kepada Abu Dzar dan Abu Hurairah. Sedangkan para pembesar sahabat yang lain tidak beliau wasiati.
Ibnu Qayyim berkata, “siapa yang mencermati hadits-hadits marfu’ serta atsar para sahabat saja, dia tidak akan menemukan pengertian kecuali yang seperti ini.”
Sedangkan Ibnu Taimiyah mengatakan, “siapa yang sudah terbiasa menunaikan shalat malam maka tidak disunnahkan baginya shalat dhuha, sebaliknya siapa yang tidak terbiasa menunaikan shalat malam maka sunnah baginya menunaikan shalat dhuha setiap hari. (Al-Ikhtiyarat (hal. 64), dan Al-Furu’ (1/567)
Penulis berkata:
Tidak diragukan bahwa pendapat yang paling shahih adalah pendapat pertama (yang mengatakan bahwa shalat dhuha adalah sunnah mutlak dan dianjurkan untuk dilakukan setiap hari). Dengan dalil: Umumnya hadist yang menganjurkan shalat dhuha, juga pahala shalat dhuha yang setara dengan 360 sedekah bagi setiap yang mengerjakannya. Adapun mengenai adanya sahabat yang mengingkarinya seperti Ibnu Masu’d, Ibnu Umar dan yang lainnya, hal ini tidak menjadikan bahwa shalat dhuha menjadi tidak disyariatkan. Karena sahabat lainnya selain kedua sahabat tersebut telah menetapkan dalilnya. Hal ini disebabkan karena setiap orang meriwayatkan sesuai dengan pendapatnya masing-masing, serta setiap orang mungkin mengetahui suatu dalil yang tidak diketahui oleh yang lain.
Begitu juga halnya dengan yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan sebagian sahabatnya telah meninggalkan shalat dhuha pada waktu-waktu tertentu, hal ini pun tidak bisa dijadikan dalil bahwa shalat dhuha menjadi tidak disyaria’tkan. Karena pensyariatan suatu perbuatan tidak bergantung kepada pekerjaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam apakah beliau mengerjakannya secara rutin atau tidak? Akan tetapi shalat dhuha merupakan suatu amalan yang disyaria’tkan dan dianjurkan, karena ia memiliki keutamaan-keutaman sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Maka dari itu Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى سُبْحَةَ الضُّحَى قَطُّ ، وَإِنِّى لأُسَبِّحُهَا ، وَإِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَيَدَعُ الْعَمَلَ وَهُوَ يُحِبُّ أَنْ يَعْمَلَهُ خَشْيَةَ أَنْ يَعْمَلَ بِهِ النَّاسُ فَيُفْرَضَ عَلَيْهِمْ.
“Aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat dhuha sama sekali. Akan tetapi aku tetap melakukannya. Dan sesungguhnya jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan suatu amalan padahal beliau senang melakukannya, itu adalah karena khawatir amalan tersebut dilakukan oleh orang banyak lalu diwajibkan bagi mereka.”
Wallahu A’lam.
Waktu Shalat Dhuha
Waktu shalat dhuha dimulai ketika matahari mulai meninggi (yaitu saat habisnya waktu yang dimakruhkan untuk shalat di dalamnya) sampai sebelum tergelincir matahari selama belum masuk waktu yang dilarang. Ini pendapat mayoritas ulama.[Mawahibul-Jalil (2/68), Kasyaf Al-Qanna’ (1/442), Raudhatut-Thalibin (1/332), dan Asna al-Mathalib (1/204)]
Penulis Berkata: bagi yang akan mengerjakannya dimulai kira-kira seperempat jam setelah terbitnya matahari.
Waktu Paling Utama untuk mengerjakannya: Diakhirkan sedikit sampai matahari mulai terasa agak panas. Dengan dalil hadist Zaid bin Arqam bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صَلَاةُ اَلْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ اَلْفِصَالُ
“Shalat –dhuha adalah shalatnya– orang-orang yang banyak bertaubat, –shalat dhuha– dilakukan saat anak-anak onta telah kepanasan.” (Hadits Riwayat: Muslim (748), dan Ahmad (4/366)
Maksudya: Ketika terik mentari mulai panas dan pasir pun panas, maka kaki anak-anak onta pada waktu itu merasakan panas tersebut. Waktu ini adalah sesaat sebelum matahari tergelincir.
Jumlah Rakaat Shalat Dhuha
Semua ulama yang mengatakan bahwa shalat dhuha itu sunnah telah sepakat bahwa rakaat minimal shalat dhuha adalah dua rakaat. [Al-Fatawa Al-Hindiyyah (1/112), Ad-Dasuqi (1/313), Raudhatut-Thalibin (1/332), Al-Inshaf (2/190)] Dengan dalil:
ويُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى
“Dua rakaat shalat dluha sudah cukup untuk menggantikan semua itu.” (Ad-Dasuqi (1/313), Al-Majmu’ (4/36), Ar-Raudhah (1/332), Al-Inshaf (2/190), dan Al-Mughni (2/131)
Begitu juga dari hadits riwayat Abu Hurairah ia berkata:
أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ … وَرَكْعَتَيْ الضُّحَى …
“Kekasihku Shalallahu ‘alaihi wa salam mewasiatkan kepadaku dengan tiga hal: dua rakaat shalat dhuha.”
Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah rakaat yang paling banyak untuk shalat dhuha dalam tiga pendapat:
Pertama: Delapan Rakaat.
Ini pendapat Madzhab Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah[3] dengan dalil hadist Ummu Hani radhiallahu ‘anha :
أنَّ النَّبِىِّ ، صلى الله عليه وسلم ، دَخَلَ بَيْتَهَا يَوْمَ الفَتْحِ وَصَلَّى ثَمَانِىَ رَكَعَاتٍ
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki rumah Ummu Hani ketika Fathu Makkah dan shalat delapan rakaat”
Kedua: Dua Belas Rakaat.
Ini pendapat Hanafiyyah, pendapat marjuh dalam madzhab Syafi’i dan riwayat dari Ahmad. Dengan landasan dalil Hadist marfu’ dari Anas:,
مَنْ صَلَّى اَلضُّحَى ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً بَنَى اَللَّهُ لَهُ قَصْرًا فِي اَلْجَنَّةِ
“siapa yang shalat dhuha dua belas rakaat maka Allah akan membangunkan untuknya istana di surga” (Namun hadits ini dhaif)
Ketiga: Tidak Ada Batasan Tertentu.
Pendapat ini diriwayatkan dari ulama salaf, dan pendapat ini lebih kuat dengan dua alasan:
Hadist Mua’dz ia berkata kepada Aisyah radhiallahu ‘anha :
قُلْتُ لِعَائِشَة أكَانَ رَسُوْلُ اللهِ يُصَلِّي الضُّحَى قاَلَتْ نَعَمْ أرْبَعًا وَيَزِيْدُ مَا شَاءَ اللهُ
“Apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan shalat dhuha?” Aisyahkemudian menjawab, “Iya, empat rakaat dan Rasulullah menambahkan sesuai dengan kehendak beliau” (Hadits Riwayat: Muslim (719)
Yang membatasi bahwa rakaat maksimal shalat dhuha adalah delapan rakaat sebagaimana dalam hadistnya Ummu Hani, maka pendapat tersebut dapat dibantah dengan dua hal:
Pertama: sebagian ulama mengatakan bahwa itu shalat Fathu Makkah dan bukan shalat dhuha.
Kedua: dengan membatasinya menjadi delapan rakaat, maka hal itu tidak menafikan bolehnya melebihi dari bilangan tersebut. Karena permasalahan ini merupakan hal tersendiri (qadhiyah ‘ain). (As-Syarhu al-Mumti’ (4/120]
Itulah penjelasan tentang waktu yang terbaik untuk mengerjakan shalat dhuha berdasarkan dalil-dalil yang shahih.