Fatwapedia.com – Membatalkan dan menarik diri dari lamaran yang telah diputuskan sebelumnya tidaklah terlarang. Hanya saja ada masalah lain yang penting diketahui hukumnya terkait dengan tradisi lamaran (khitbah) menurut pandangan Islam.
1. Hukum Membatalkan Lamaran
Lamaran bukanlah akad, tetapi janji untuk melakukan akad. Janji untuk melakukan akad apapun, menurut jumhur ulama, tidak mengikat pelakunya untuk melaksanakannya. Bukan hal yang makruh bila wali perempuan yang dilamar menarik kembali persetujuannya jika dia memandang adanya kemaslahatan bagi si perempuan dalam hal itu. Dan bukan pula hal yang makruh bila si perempuan sendiri mencabut kembali kesediaannya jika dia tidak menyukai sipelamar. Hal itu karena pernikahan merupakan akad seumur hidup yang resikonya selalu ada selama itu pula. Maka perempuan boleh bersikap hati-hati dalam menentukan nasib dirinya.
Jika keduanya membatalkan lamaran tersebut tanpa alasan sama sekali, maka makruh hukumnya karena merupakan perbuatan ingkar janji. Namun, belum sampai ke derajat haram karena perjanjian tersebut belum lagi mengikatnya. Ini seperti orang yang menawarkan suatu barang lalu berubah pikiran menjadi tidak menjualnya. Demikian pula, makruh bagi laki-laki pelamar meninggalkan lamarannya setelah perempuan yang dilamarnya mantap menerima dan setelah pelamar-pelamar lainnya mundur karena mengetahui kemantapan perempuan tersebut menerima lamarannya.
Penulis berkata: Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.” (Surat ash-Shaff:3)
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda-tanda munafiq ada tiga: jika berbicara, dia dusta, jika berjanji, dia mengingkari, dan jika diberi amanat, dia khianat.” [Shahih. Hadits Riwayat: al-Bukhari dan Muslim]
Nash-nash ini dan selainnya sangat jelas menunjukkan wajibnya menunaikan janji dan larangan tidak menepatinya tanpa uzur, maka bagaimana mereka bisa membawa hukumnya kepada makruh tanzih, padahal ancaman di dalamnya sangat keras?!
2. Hukum Memberi Hadiah Saat Membatalkan Lamaran
Jika pelamar pernah memberikan hadiah kepada perempuan yang dilamarnya atau memberikan uang belanja kepadanya –sebelum terjadinya akad–, kemudian ternyata pernikahan tidak jadi dilaksanakan, maka pemberiannya itu bisa jadi merupakan bagian dari mahar atau hanya sekadar hadiah yang dia persembahkan kepada perempuan tersebut untuk memperkuat ikatan cinta dan kasih sayang.
A. Pemberian Sebagai Bagian Dari Mahar (dua keadaan).
Pertama: Pemberian Yang Barangnya Masih Ada. Di antara contohnya adalah apa yang sekarang dikenal dengan istilah syabkah (hadiah pertunangan), yaitu perhiasan yang diberikan oleh pelamar kepada pihak perempuan setelah lamarannya disetujui. Pemberian ini diserahkan kepada pihak perempuan terkadang sebelum akad dan terkadang setelahnya sesuai adat kebiasaan yang berlaku. Pemberian yang seperti ini, menurut kesepakatan para ulama, boleh diminta kembali oleh pelamar –ketika terjadi pembatalan lamaran–. Sama saja apakah pembatalan dilakukan oleh pihak pelamar, pihak perempuan, ataukah karena faktor lain di luar kehendak kedua belah pihak. [Ibnu ‘Abidin (III/1)
Kedua: Pemberian Yang Telah Digunakan Untuk Membeli Perabot Rumah Tangga.Ada dua pendapat di kalangan ahli fiqih mengenai hukum mengembalikan harga mahar atau perabot rumah tangga yang dibeli.
Pendapat Pertama: Wajib mengembalikan mahar yang telah diserahkan karena mahar adalah imbalan atas kenikmatan yang didapatkan dari pernikahan, sementara imbalan tersebut belum sempurna terbayarkan. Wajib mengembalikan berupa barang jika masih ada, dan berupa uang yang setara harga barang jika sudah habis atau rusak. Ini adalah pendapat jumhur ulama.
Pendapat Kedua: Pelamar tidak boleh meminta kembali perabot yang dibeli pihak perempuan dari pemberiannya jika pembelian tersebut terjadi dengan seizin pelamar, atau dengan sepengetahuannya, atau karena adat kebiasaan yang berlaku. Jika tidak dengan semua itu, maka pelamar boleh meminta pihak perempuan mengembalikan mahar yang sudah dia serahkan. Ini pendapat ulama Malikiyah.
Pendapat Yang Rajih adalah bahwa jika pembatalan datang dari pihak pelamar dan terjadinya pembelian dengan sepengetahuannya atau karena adat kebiasaan yang berlaku, maka dia boleh meminta perabot tersebut, sedang pihak perempuan tidak dibebani dengan keharusan membeli baru atau mengganti kerugian dari pemberian pelamar.
Adapun jika pembatalan datang dari pihak perempuan, maka dia diharuskan mengembalikan mahar yang telah diserahkan pelamar sekalipun untuk itu dia harus menanggung kerugian karena menggunakannya untuk membeli perabot rumah tangga.
B. Pemberian Sebagai Hadiah.
Ada empat pendapat di kalangan ulama tentang hukum meminta kembali pemberian ini. [Ibnu ‘Abidin (II/364)]
Pendapat Pertama: Boleh meminta hadiah itu kembali jika masih ada di tangan pihak penerima hadiah dan si penerima belum melakukan tindakan apapun terhadap hadiah tersebut. Adapun jika hadiah telah habis atau berubah kondisinya, maka tidak mungkin memintanya kembali. Ini pendapat Hanafiyah.
Pendapat Kedua: Pelamar tidak boleh memintanya kembali meskipun pembatalan dilakukan oleh pihak perempuan, kecuali pengembalian itu sudah disyaratkan sebelumnya atau merupakan tradisi setempat. Ini pendapat sebagian ulama Malikiyah. Yang jelas pendapat ini didasarkan pada keyakinan bahwa hadiah semakna dengan hibah, sementara hibah tidak boleh diminta kembali oleh pemberi hibah berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:
لَيْسَ لَنَا مَثَلُ السُّوءِ الْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ
“Tidak pantas bagi kita (kaum mukminin melakukan perbuatan yang sudah dijadikan) permisalan yang jelek. Orang yang menarik kembali pemberiannya seperti anjing yang menjilati muntahannya.”[Shahih. Hadits Riwayat: al-Bukhari (2622) dan Muslim]
Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu pernah menghadiahkan seekor kuda kepada seorang laki-laki agar bisa pergi berjihad dengan mengendarainya, tetapi laki-laki itum enelantarkan kuda itu. Maka Umar berniat membelinya kembali, tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا تَشْتَرِهِ، وَإِنْ أَعْطَاكَهُ بِدِرْهَمٍ وَاحِدٍ، فَإِنَّ الْعَائِدَ فِي صَدَقَتِهِ كَالْكَلْبِ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ
“Jangan kamu membelinya sekalipun dia menjualnya dengan harga satu dirham, karena orang yang mengambil kembali sedekahnya seperti anjing yang menjilat kembali muntahannya.” [Shahih. Hadits Riwayat: al-Bukhari (2623)]
Pendapat Ketiga: Hadiah Harus Dikembalikan Apapun Jenisnya. Jika barangnya masih ada, maka dikembalikan dalam bentuk barang. Jika barangnya telah rusak atau habis, maka dikembalikan berupa harga barang. Ini pendapat jumhur ulama Syafi‘iyah dan Hanabilah. Menurut yang dominan di kalangan mereka, pendapat ini dibangun di atas keyakinan bahwa hadiah bukan hibah, karena menurut mereka di antara syarat hibah adalah harus dengan tanpa pengganti. Seorang pelamar yang memberi hibah saat melamar sesungguhnya bermaksud mensyaratkan berlangsungnya akad, sehingga jika akad batal, maka dia berhak menarik kembali hibahnya, seperti memberi hibah dengan syarat balasan. Jadi, seolah-olah apa yang telah diterima dengan sebab pernikahan hukumnya seperti hukum mahar.
Pendapat Keempat: Jika Pembatalan Lamaran Dari Pihak Pelamar, Maka Dia Tidak Berhak Meminta Kembali Hadiahnya. Sebaliknya, Jika Dari Pihak Perempuan, Maka Pelamar Berhak Memintanya Kembali. Hal ini karena alasan yang menyebabkan pelamar memberi hadiah itu tidak jadi terlaksana. Ini pendapat ar-Rafi‘i dari kalangan Syafi‘iyah dan Ibnu ar-Rusydi dari kalangan Malikiyah, dan pendapat yang dipilih oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah. Dalam pandangan penulis, inilah pendapat yang paling adil. Alasannya adalah karena mewajibkan pihak perempuan mengembalikan hadiah ketika pelamar membatalkan lamaran akan menyebabkannya merasakan dua kepedihan sekaligus, yaitu kepedihan karena lamaran dibatalkan dan kepedihan karena dituntut mengembalikan hadiah. Begitu pula, melarang pelamar meminta kembali hadiahnya ketika pihak perempuan membatalkan lamaran akan menyebabkan dirinya merasakan dua kepedihan sekaligus, yaitu kepedihan karena lamaran dibatalkan dan kepedihan karena mengalami kerugian harta.
Penulis berkata: Seandainya pemberian yang harus dikembalikan dibatasi pada yang masih ada, tidak habis/rusak, pasti akan lebih bagus lagi karena tidak sepatutnya masing-masing pihak meminta ganti harga dari makanan atau semisalnya yang telah mereka keluarkan sebagaimana yang sering ditemui pada orang-orang yang pelit.
Hukum Mengganti Kerugian Pihak Yang Dirugikan Karena Pembatalan Lamaran
Sebagian ulama kontemporer berpendapat bahwa pembatalan lamaran mengharuskan adanya pembayaran ganti rugi materi –sebagaimana yang berlaku di beberapa sekte Nashrani–. Di pihak lain, para ahli fiqih zaman dahulu dengan keragaman madzhab mereka tidak pernah menyatakan adanya kewajiban ganti rugi apapun atas pihak yang membatalkan lamaran. Pendapat yang terakhir inilah yang benar karena alasan-alasan berikut.
1. Pendapat yang menyatakan adanya ganti rugi justru memperumit masalah dan tidak menyelesaikannya. Selain itu, mudharat yang ditimbulkan oleh pembatalan lamaran merupakan akibat perlakuan masyarakat terhadap lamaran yang melebihi dari yangs eharusnya. Lamaran adalah janji, dan siapa pun tidak boleh melakukan, atas dasar janji tersebut, tindakan-tindakan yang bisa berbalik merugikan dirinya. Tindakan sebagian masyarakat yang berani menanggung biaya, membelikan barang dan sebagainya merupakan sikap tergesa-gesa dalam menyikapi perkara yang sebenarnya longgar dan luwes untuk mereka.
2. Pendapat ini akan memberi peluang kepada masing-masing pihak untuk merugikan pihak lain dengan segala kemampuan dan kecerdasan yang dimiliki sebagai akibat rasa kecewa dan sakit hati yang dirasakan. Kasus yang seperti ini nyaris tidak terhitung lagi jumlahnya di tengah masyarakat sehingga akan menyulitkan lembaga-lembaga pengadilan.
3. Keharusan membayar ganti rugi ini bertentangan dengan tabiat dan hakikat lamaran yang merupakan janji dan persetujuan pendahuluan sebagai persiapan pernikahan.
4. Pendapat ini bertentangan dengan ijma’ umat Islam.
5. Pendapat ini tidak mengandung unsur keadilan.
6. Mengharuskan membayar ganti rugi terkadang membuat pihak yang diwajibkan akan menjalani pernikahan dengan rasa benci, dan itu berbahaya.
Demikian pandangan fikih islam mengenai masalah membatalkan lamaran sebelum akad nikah. Semoga bermanfaat. Terimakasih.