Fatwapedia.com – Istri mana yang tidak ingin hidupnya bahagia? Tentu tak ada satupun di dunia ini yang ingin menjalani hidupnya dengan penderitaan dan kesengsaraan. Namun tahukah anda bagaimana seorang istri bisa hidup bahagia berdampingan dengan sang suami? Bukan hanya saat di dunia namun hingga menginjakkan kakinya di surga kelak?
Tidak sedikit para istri yang ingin hidup bahagia namun justru mengabaikan kuncinya. Yakni petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Tak ada jalan dan pilihan lain agar hidup seorang istri bahagia kecuali tunduk dan taat pada apa yang telah Allah dan Rasulnya gariskan. Berupa kewajiban untuk menunaikan hak-hak suami dengan sempurna, penuh keikhlasan dan semata-mata karena Allah.
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, perempuan yang saleh adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada karena Allah telah memelihara (mereka). Perempuan-perempuan yang kalian khawatirkan nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka, dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.”[1]
Jadi, hak suami atas istri sangat agung sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
حَقُّ الزَّوْجِ عَلَى زَوْجَتِهِ: أَنْ لَوْ كَانَتْ بِهِ قُرْحَةٌ فَلَحِسَتْهَا مَا أَدَّتْ حَقَّهُ
“Hak seorang suami atas istrinya adalah andaikan di tubuh suami ada luka, kemudian istri menjilatinya, istri belum dianggap sempurna menunaikan hak suami.”[2]
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada seseorang, niscaya aku perintahkan perempuan agar bersujud kepada suaminya.”[3]
Ketaatan seorang perempuan kepada suaminya termasuk di antara kewajiban yang harus dia lakukan agar bisa masuk surga. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا صَلَّتْ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيلَ لَهَا: ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِهَا شِئْتِ
“Apabila seorang istri melaksanakan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, dan taat kepada suaminya, niscaya akan dikatakan kepadanya, ‘Masuklah kamu ke dalam surga dari pintu mana saja yang kamu inginkan.”[4]
Jika seperti itu keadaannya, maka sudah seharusnya setiap perempuan muslimah mengetahui hak-hak suami atas dirinya. Di antara hak-hak tersebut adalah sebagai berikut.
1. Mentaati Perintah Suami.
Dari Hushain bin Mihshan dari saudara perempuan ayahnya, dia berkata, “Aku pernah mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bertanya, ‘Apakah kamu bersuami?’ Aku menjawab, ‘Ya.’ Beliau bertanya kembali, ‘Bagaimana kamu memposisikan dirimu terhadapnya?’ Aku menjawab, ‘Aku tidak pernah mengabaikan perintahnya, kecuali yang aku tidak mampu melakukannya.’ Beliau kemudian bersabda,
فَكَيْفَ أَنْتِ لَهُ، فَإِنَّهُ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Perhatikanlah bagaimana kamu bersikap kepadanya karena dia adalah surga dan nerakamu (bergantung pada sikapmu kepadanya).”[1]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang perempuan terbaik. Beliau menjawab,
الَّتِي تُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ، وَتَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ، وَتَحْفَظُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ
“Yaitu perempuan yang taat ketika suami menyuruhnya, yang menyenangkan ketika suami memandangnya, dan yang selalu menjaga dirinya dan harta suaminya.”[2]
Catatan Penting: Ketaatan seorang istri kepada suami tidak bersifat mutlak, tetapi dibatasi dengan syarat bahwa ketaatan itu haruslah dalam hal-hal yang tidak mengandung unsur kemaksiatan kepada Allah Subhanahu wata’ala. Jika suami memerintahkan istri melakukan suatu kemaksiatan, seperti menyuruhnya melepas hijab, meninggalkan shalat, atau mengajaknya berhubungan suami istri saat haid atau pada lubang duburnya, maka istri tidak boleh menaatinya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan sama sekali. Ketaatan itu hanya dalam kebaikan.”[3]
2. Menetap di dalam rumah dan tidak keluar rumah kecuali dengan izin suami.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖۖ
“Dan hendaklah kalian (para istri) tetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.”[4]
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan seizin suaminya. … Jika dia tetap keluar dari rumah suaminya dengan tanpa izin darinya, maka dia telah berbuat nusyuz, berbuat maksiat kepada Allah Subhanahu wata’ala dan rasul-Nya, dan pantas mendapatkan hukuman.”[1]
3. Mematuhi Suami Ketika Suami Mengajaknya Ke Tempat Tidur.
Masalah ini bisa disimak pada artikel tentang Adab-Adab Bersetubuh.
4. Tidak Mengizinkan Seorang Pun Masuk Ke Dalam Rumahnya Kecuali Dengan Izin Suami.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
… وَإِنَّ لَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَلَّا يُوَطِّئَنَّ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ
“Setelah itu, kalian punya hak atas mereka, yaitu supaya mereka tidak membolehkan orang lain yang tidak kamu sukai menduduki tikarmu.”[2]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
وَلَا تَأْذَنْ الْمَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَهُوَ شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ
“Dan jangan pula perempuan mengizinkan orang lain masuk ke dalam rumah suaminya saat dia ada di rumah melainkan dengan seizinnya.”[3]
Larangan ini berlaku untuk kondisi di mana istri tidak mengetahui dengan pasti izin suami untuk orang itu. Adapun jika dia tahu dengan pasti bahwa suami akan memberi izin, maka tidak ada masalah baginya untuk memasukkan orang yang boleh masuk menemuinya. Wallahu a‘lam.
5. Tidak Puasa Sunnah Saat Suami Ada Di Rumah Kecuali Dengan Seizinnya.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:
لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ – وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ – إِلَّا بِإِذْنِهِ
“Tidak halal seorang perempuan berpuasa sementara suaminya ada di rumah, kecuali dengan seizinnya.”[4]
6. Tidak Membelanjakan Sebagian Dari Harta Suaminya Kecuali Dengan Seizinnya.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:
لَا تُنْفِقُ امْرَأَةٌ شَيْئًا مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلَّا بِإِذْنِ زَوْجِهَا
“Tidak boleh seorang perempuan membelanjakan sesuatu dari rumah suaminya kecuali atas seizinnya.”[5]
7. Melayani Suami Dan Anak-Anaknya.
Fathimah radhiallahu ‘anha, putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, melayani suaminya, Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu, dengan sungguh-sungguh sampai-sampai dia pernah mengeluhkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam luka-luka di tangannya karena alat penggilingan.[1]
Asma’ binti Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhuma bercerita, “Aku membantu (suamiku) az-Zubair bin al-‘Awwam mengerjakan seluruh pekerjaan rumah. Dia juga memiliki seekor kuda. Akulah yang memeliharanya. Aku yang mencarikan rumput untuknya dan mengurusnya.” Dia yang memberi makan kuda itu, mencari air, menambal ember, mengadon tepung, dan memikul biji-bijian di atas kepalanya dari tanah Shallallahu ‘alaihi wasallamah milik az-Zubair yang berjarak 2/3 farsakh (7,38 km) dari rumahnya.[2]
Syaikh al-Islam berkata di dalam Majmu ‘al-Fatawa (XXXIV/90-91), “Para ulama berbeda pendapat dalam masalah wajib tidaknya istri melayani suami dalam urusan-urusan seperti membersihkan rumah, menyiapkan makan, minum, roti dan adonan, dan menyiapkan makan untuk budak-budak dan hewan-hewan ternak suami, seperti pakan ternak dan semisalnya. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa istri tidak wajib melayani. Akan tetapi pendapat ini lemah selemah pendapat yang mengatakan bahwa suami tidak wajib mempergauli dan menyetubuhi istri, sebab tidak melayani suami bukanlah bentuk pergaulan yang baik kepada suami. Orang yang menjadi pendamping seseorang dalam perjalanan sekaligus rekan dan pendampingnya di tempat tinggal, tetapi tidak mau membantunya dalam urusan-urusannya, berarti dia belum mempergaulinya dengan baik.
Ada pula yang berpendapat –dan ini pendapat yang benar– bahwa seorang istri wajib melayani suami karena suami dinyatakan sebagai majikan istri di dalam Kitabullah, dan istri ibarat tawanan di sisi suami menurut sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam[3]. Tawanan dan hamba berkewajiban melayani karena itu merupakan kebaikan. Kemudian, di antara mereka ada yang berpendapat bahwa istri wajib memberi pelayanan yang ringan.
Di antara mereka ada juga yang berpendapat bahwa istri wajib memberi pelayanan dengan baik, dan ini pendapat yang benar. Dia wajib melayani suaminya dengan pelayanan yang baik yang setimpal dengan kebaikan yang diberikan suami, dan tentu itu berbeda-beda menurut perbedaan kondisi istri. Pelayanan yang diberikan seorang istri dari pedesaan tentu tidak sama dengan pelayanan istri dari perkotaan. Pelayanan istri yang kuat[4] fisiknya tidak sama dengan pelayanan istri yang lemah.”
Penulis berkata: Pendapat ini yang dipegang oleh Abu Tsaur, Abu Bakar bin Abu Syaibah, dan Abu Ishaq al-Juzjani dari kalangan Hanabilah.
Di lain pihak, jumhur ulama berpendapat bahwa istri tidak wajib melayani suaminya, bahkan suamilah yang sepatutnya menyediakan untuk istri pelayan yang melayani semua kebutuhan-kebutuhan istri! Mereka beralasan bahwa hal itu karena yang disepakati oleh pihak istri dalam akad adalah memenuhi kebutuhan seksual suami, maka istri tidak berkewajiban memenuhi kebutuhannya yang lain.[1]
Penulis berkata: Pendapat yang menyatakan bahwa istri wajib melayani suami adalah pendapat yang paling utama. Ibnu al-Qayyim di dalam Zad al-Ma‘ad (V/187-188) berkata, “Ulama yang mewajibkan istri melayani suami berargumen bahwa itulah yang ma’ruf di kalangan orang-orang yang Allah Subhanahu wata’ala seru dengan firman-Nya. Selain itu, mahar adalah bentuk imbal balik dari bolehnya melakukan hubungan suami istri, di mana baik suami maupun istri memuaskan hajatnya satu sama lain. Allah Subhanahu wata’ala mewajibkan kepada suami untuk memberi istri nafkah, pakaian, dan tempat tinggal sebagai timbal balik dari bolehnya dia mendapatkan kenikmatan dari istri dan pelayanannya, serta apa saja yang biasa berlaku di kalangan suami.
Di samping itu, akad-akad yang bersifat mutlak hanya boleh diterapkan sesuai ‘urf(adat kebiasaan), dan ‘urf dalam pernikahan adalah istri melayani suami dan melaksanakan semua urusan-urusan rumah tangga. Adapun pendapat sebagian ulama yang menyatakan bahwa pelayanan yang diberikan oleh Fathimah dan Asma’ adalah kebaikan hati dan ihsan mereka, maka tertolak oleh fakta bahwa ketika Fathimah mengadukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam perihal kepayahan yang dia dapatkan akibat melayani suaminya, ternyata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sama sekali tidak berkata kepada Ali, “Tidak ada kewajiban Fathimah untuk melayanimu. Kamulah yang wajib melayaninya.” Dan satu hal yang patut dicamkan, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berpihak dalam memutuskan suatu hukum. Ketika beliau melihat Asma’ sedang memikul pakan ternak di atas kepalanya, sementara suaminya, az-Zubair, ada di sampingnya, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berkata kepada az-Zubair, “Tidak ada kewajiban Asma’ untuk melayanimu. Ini suatu kezaliman terhadapnya.” Bahkan sebaliknya, beliau menyetujui tindakan az-Zubair memperbantukan Asma’. Demikian pula beliau menyetujui tindakan seluruh sahabat yang memperbantukan istri-istri mereka padahal beliau tahu bahwa di antara istri-istri itu ada yang rela melakukannya dan ada pula yang merasa terpaksa, dan itu hal yang tidak bisa dipungkiri.”
Yang jelas, semua itu tidak diragukan lagi adalah bentuk “tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan” yang diperintahkan dalam syariat. Akan tetapi, bukan berarti bahwa suami tidak perlu membantu istri mengerjakan sebagian tugasnya karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri tidak merasa risih untuk melakukannya.
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam biasa membantu pekerjaan istri-istrinya. Kemudian, jika waktu shalat tiba, beliau keluar untuk melaksanakannya (di masjid).”[2]
Oleh karena itu, seorang suami sepatutnya memperhatikan keadaan istrinya. Jangan sampai dia membebaninya dengan pekerjaan yang tidak mampu dia pikul.
8. Selalu Berusaha Menjaga Kehormatan Dirinya, Dan Memelihara Dengan Baik Anak-Anak Dan Harta Suaminya.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚۚ
“Sebab itu, maka perempuan-perempuan yang saleh adalah perempuan-perempuan yang taat kepada Allah lagi menjaga kehormatan diri ketika suami-suami mereka tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).”[1]
Ath-Thabari berkata di dalam kitab tafsirnya, “Yaitu perempuan-perempuan yang menjaga diri mereka saat suami-suami mereka tidak bersama mereka, dengan menjaga kehormatan mereka dan harta suami-suami mereka, dan yang menjaga kewajiban-kewajiban mereka dari hak Allah Subhanahu wata’ala baik dalam hal kehormatan mereka maupun yang lainnya.”
Dan telah kita sebutkan sebelum ini, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:
… وَتَحْفَظُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ
“… dan perempuan yang menjaga dirinya dan harta suaminya.”[2]
9. Bersyukur Kepadanya, Tidak Mengingkari Keutamaannya, Dan Mempergaulinya Dengan Cara Yang Ma’ruf.
Dari Abdullah bin ‘Amru, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى امْرَأَةٍ لاَ تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِيَ لاَ تَسْتَغْنِيْ عَنْهُ
“Allah tidak akan sudi memandang seorang istri yang tidak mau berterima kasih atas kebaikan suaminya padahal dia selalu butuh kepada suaminya.”[3]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
… وَرَأَيْتُ النَّارَ، لَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ مَنْظَرًا قَطُّ، وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ
“… Kemudian aku melihat neraka. Aku tidak pernah melihat pemandangan seperti yang terjadi pada hari ini. Aku melihat kebanyakan penghuninya adalah kaum perempuan.”
Para sahabat bertanya, “Mengapa bisa begitu, wahai Rasulullah?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,
بِكُفْرِهِنَّ
“Itu akibat kekufuran mereka.”
Ada sahabat yang bertanya, “Apakah karena mereka kafir kepada Allah Subhanahu wata’ala?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,
يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ، وَيَكْفُرْنَ الْإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا، قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
“Mereka mengkufuri perlakuan dan kebaikan suami-suami mereka. Sekiranya kamu berbuat baik kepada salah seorang dari mereka selama setahun penuh, lalu dia melihat sesuatu yang tidak baik darimu, dia pun akan berkata, ‘Aku tidak melihat kebaikan sedikit pun darimu.”[1]
Bukan yang kita maksud dengan bersyukur di sini hanya sebatas bersyukur di lisan saja, akan tetapi maksudnya adalah menampakkan rasa bahagia dan gembira dengan hidup bersama suami, memperhatikan urusan-urusannya dan anak-anaknya, melayaninya sepenuh hati dan tidak mengabaikannya,[2] serta tidak berkeluh-kesah dan sebagainya.
10. Berhias Dan Bersolek Untuknya.
“Karena sebaik-baik perempuan adalah yang menyenangkan hatimu saat kamu memandangnya” sebagaimana telah kita sebutkan berkali-kali.
11. Tidak Mengungkit-Ungkit Pemberian Yang Dia Berikan Kepada Suami Dan Anak-Anak Suaminya Dari Harta Miliknya.[3]
Hal itu karena mengungkit-ungkit pemberian akan merusak pahala dari pemberian itu sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah Subhanahu wata’ala dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menghilangkan (pahala) sedekah kalian dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).”[4]
12. Rela Dan Bersikap Qana‘ah Dengan Nafkah Yang Diberikan Suami Meski Sedikit, Serta Tidak Membebani Suami Di Luar Kemampuannya.[5]
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Hendaklah orang yang memiliki kelapangan harta memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezekinya memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”[1]
13. Tidak Melakukan Hal-Hal Yang Bisa Menyakiti Dan Membuat Marah Suami.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنْ الْحُورِ الْعِينِ: لَا تُؤْذِيهِ قَاتَلَكِ اللَّهُ، فَإِنَّمَا هُوَ دَخِيلٌ عِنْدَكَ يُوشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا
“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia melainkan istrinya dari bidadari surga akan berkata, ‘Janganlah kamu menyakitinya. Semoga Allah membalasmu. Dia sesungguhnya hanyalah tamumu yang sebentar lagi akan meninggalkanmu dan mendatangi kami.”[2]
14. Memperlakukan Dengan Baik Orang Tua Dan Kerabat Suami.[3]
15. Bersemangat Untuk Hidup Bersama Suami Dan Tidak Meminta Cerai Tanpa Alasan Yang Sesuai Syariat.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
“Perempuan mana pun yang meminta cerai kepada suaminya bukan karena alasan yang dibenarkan, maka dia tidak akan mendapatkan bau surga.”[4]
16. Berkabung Atas Kematian Suami Selama Empat Bulan Sepuluh Hari.
Masalah ini telah dibahas di Bab tentang Jenazah.
Catatan kaki:
[1] Surat an-Nisa’:34.
[2] Shahih. Telah berlalu takhrij-nya.
[3] At-Tirmidzi (1159), Ibnu Hibban (1291), dan al-Baihaqi (VII/291). Hadits ini shahih li ghairihi.
[4] Shahih. Ibnu Hibban (4163).
[1] An-Nasa’i di dalam al-‘Isyrah (halaman 106), al-Hakim (II/189), al-Baihaqi (VII/291), dan Ahmad (IV/341). Hadits ini hasan.
[2] An-Nasa’i (VI/68). Hadits ini shahih sebagaimana telah dijelaskan.
[3] Al-Bukhari (7252) dan Muslim (1840).
[4] Surat al-Ahzab:33.
[1] Majmu ‘al-Fatawa (XXXII/281).
[2] Shahih Muslim (1218).
[3] Shahih Muslim (1026).
[4] Al-Bukhari (5195), at-Tirmidzi (782), dan Ibnu Majah (1761).
[5] Abu Daud (3565), at-Tirmidzi (670), dan Ibnu Majah (2295). Sanadnya hasan.
[1] Shahih. Al-Bukhari (5361) dan Muslim (2182).
[2] Al-Bukhari (5224) dan Muslim (2182).
[3] Beliau maksud hadits:
اتَّقُوا اللهَ فِي النِّسَاءِ، فَإِنَّهُنَّ عَوَانٌ عَنْدَكُمْ
“Bertakwalah kalian dalam masalah perempuan, sebab mereka itu ibarat tawanan di sisi kalian.”
Hadits Riwayat: Muslim (1218).
[4] [Di kitab aslinya tertulis al-qarawiyyah (perkotaan), tetapi di kitab Majmu‘ al-Fatawa yang dirujuk penerjemah tertulis al-qawiyyah (yang kuat). -Pent.]
[1] Fath al-Qadir (IV/199), al-Mabsuth (V/181), al-Umm (V/87), al-Majmu‘ (XVIII/256), al-Mughni(VII/21), dan al-Iqna‘ (IV/139).
[2] Shahih. Hadits Riwayat: al-Bukhari (676).
[1] Surat an-Nisa’:34.
[2] Shahih. Telah berlalu takhrij-nya.
[3] An-Nasa’i di dalam al-‘Isyrah (249). Sanadnya shahih.
[1] Al-Bukhari (29) dan Muslim (884).
[2] Al-Adab asy-Syar‘iyyah fi al-Mu‘asyarah az-Zaujiyyah karya ‘Amr Abdulmun ‘im (halaman 24) dengan sedikit penyesuaian.
[3] Al-Wajiz (halaman 308) dengan sedikit penyesuaian.
[4] Surat al-Baqarah:264.
[5] Al-Wajiz (halaman 308) dengan sedikit penyesuaian.
[1] Surat ath-Thalaq:7.
[2] At-Tirmidzi (1184) dan Ibnu Majah (2014) dengan sanad yang hasan.
[3] Lihat kitab saya, 250 Khatha’ min Akhtha’ an-Nisa’ (halaman 102).
[4] At-Tirmidzi (1199), Abu Daud (2209), dan Ibnu Majah (2055). Hadits ini shahih.