Fatwapedia.com – Nama itu kerap menerbangkan ingatan setiap ummat islam menuju satu tempat:al-Quds. Shalahuddin al-ayyubi adalah sebuah figur kepahlawanan yang tampaknya masih dinanti-nantikan ummat untuk sekali lagi menyumbangkan perannya mengembalikan kehormatan dan kejayaan ummat islam.
Pada zamanya, shalahuddin al-ayyubi merupakan sosok yang menonjol karena akhlaknya yang mulia keberaniannya yang langka,kepahlawanannya yang harum,dan komitmennya yang tinggi untuk menjaga dan melindungi kehormatan ummat.
Keperibadiannya Yang demikian itu yang dinyatakan pula oleh musuh-musuhnya. Seorang sejarawan jerman, Broklemen, pernah berkata”,,, Sesungguhnya keharuman nama Shalahuddin senantiasa abadi di samping nama Harun ar-Rasyid, sebagai salah satu tonggak bagi sejarah perjuangan dan kepahlawanan.
Ia menjadi teladan dalam aspek kepemimpinannya yang adil,dengan menunjukkan perilaku mulia terhadap musuhnya sebagaimana ia tunjukkan kepada rakyatnya. Ia tidak memperlakukan musuh-musuhnya itu dengan keras dan kaku,tetapi justru dengan sikap lemah lembut.Dan yang demikian itu sama sekali tidak menurunkan martabatnya sebagai seorang pahlawan,,.”
Malik dari Khalifah
Shalahudin di lahirkan pada tahun 532 H. di wilayah takrit. Ayahnya adalah Yu-suf Awwal bin Amir Najmuddin Ayyub. Shalahudin tumbuh dan berkembang di ba’labak, wilayah damsyik, tempat ayahnya bekerja. Pada masa kanak-kanak, beberapa waktu Shalahudin tinggal di lembaga pendidikan, semacam pesantren. Di sini ia menghafalkan al-Qur’an hingga hafal di luar kepala.
Kemudian ia meneruskan penididikan dengan belajar fiqih, ulumul hadits, dan syair. Saat itu, ia terkenal jago diskusi masalah fiqih. Ia datang ke mesir pada tahun 559 H. Ia menunjukan keberaniannya dan kemampuannya dalam bekerja sehingga akhirnya di angkat menjadi mentri untuk yang pertama kali pada tahun 564 H dengan mendapat julukan malik dari khalifah.
Mulailah ia berjuang melakukan konsolidasi dan penyatuan wilayah-wilayah Mesir, Syam, Maroko, dan nubah. Dengan kegigihannya itulah akhirnya ia dapat membangunkan ummat dari tidurnya dan menyatukan mereka setelah sekian lama tercerai berai Ummat islam mulai bangkit dengan semangatnya menghadapi, shalibiyah laksana sebuah karang yang kokoh dan tegar.
Ummat islam mulai menimpakan pada mereka pahitnya kekalahan di berbagai medan pertempuran sambil membuktikan bahwa ilhad (pengingkaran dan kekufuran) hanya bisa dihancurkan dengan iman kapada Allah dan sesungguhnya aqidah islamiyah pasti menang meskipun gelombang kebatilan begitu tegak dan mewarnai segenap kehidupan. Kaum Muslimin ketika itu begitu kuat bersandar kepada Allah SWT,sementara shalahudin selalu menghiasi hari-hari pertempurannya dengan do’a dan mohon perlindungannya.
Hari-hari jihad adalah hari-hari puasa. Para junud (pasukan) mengisi malam dengan tilawatil Qur’an dan sebagian lainnya qiyamullail. Demikian suasana rabbani yang suci.mengiringi derap langkah jihad mereka melawan kuffar. Maka tatkala kedua pasukan bertemu, langit hitthin telah menyaksikan kemenangan kaum muslimin atas nafsu mereka sebelum mereka memasuki medan pertempuran. Dan itulah sebenarnya rahasia kemenangan atas kemenangan materi.
Dalam pertempuran ini, secara berurutan kaum muslimin,merebut pilar-pilar pertahanan musuh satu persatu: benteng thibriyah, nashirah, samirah, shaida, bairut, thiran, aka dan ramlah. Pada bulan rajab tahun 583 H, Shalahuddin bersama pasukannya tiba di baitul maqdis. Ia sadar sepenuhnya bahwa pasukan salib telah menguasai baitul maqdis. Mereka telah siap menghadapi junudul islam dengan menyiapkan pertahanan yang sangat ketat. Mereka menyadari bahwa perangan ini adalah peperangan agama melawan islam.
Kematian bagi mereka tidak berarti bila dibanding dengan penguasan kaum muslimin atas baitul maqdis. Mulailah Shalauddin bermusyawarah dengan para panglima perang yang lain untuk menentukan titik awal serangan kemudian mengepung musuh. Melalui perhitungan matang, mulailah para mujahiddin merangsek maju dengan semangat tempur yang sedemikian hebat.
Pasukan salib menciut nyalinya begitu melihat semangat tempur kaum muslimin. Mereka mengutus salah seorang untuk negoisasi gencatan senjata. Namun permintaan mereka ditolak mentah-mentah oleh shalahuddin sembari berkata kepada utusan itu, “Saya tidak bisa memenuhi permintaan saudara.Kami ingin berbuat sebagaimana yang pernah kalian lakukan terhadap warga Baitul Maqdis ketika kalian berambisi memilikinya dengan pembunuhan dan peperangan.Kejahatan kalian harus di balas setimpal”.