Fatwapedia.com – Para aktivis da’wah senatiasa berhadapan dengan berbagai rintangan dan ujian. Ini sunnatullah yang tak bisa ditawar lagi. Untuk menghadapi segenap kesulitan itu, para aktivis da’wah selayaknya memiliki satu kepribadian.
Dr. Abdullah Nasih ‘Ulwan menyebutkan ada lima kepribadian yang harus dimiliki oleh setiap aktivis da’wah.
Keimanan
Keimanan kepada Allah SWT, merupakan kebutuhan pokok seorang mu’min, sebagai bekal untuk menghadapi perjuangan hidup dan menangkal propaganda nafsu duniawi. Kebutuhan akan keimanan ini akan lebih terasa bagi seorang aktivis da’wah. Tanpa keimanan, senjata apapun tak akan bermanfaat.
Keimanan kepada Allah mengantarkan seorang mu’min untuk mengimani hari akhir. Seorang aktivis da’wah meyakini sepenuhnya bahwa ajal mutlak di tangan Allah SWT, sedikit pun tak ada campur tangan pihak lain. Maut pasti akan menjemput bila saatnya tiba. Sekalipun kita berusaha lari menghindarinya dan bersembunyi dalam benteng yang kokoh. Firman-Nya,
“katakanlah: sekali-sekali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang ditetapkan oleh allah bagi kami, dan kepada allah orang-orang beriman harus bertawakal.” (QS. At-taubah: 51).
Dengan keyakinan ini, seorang aktivis da’wah akan kesabaran, keberanian dan semangat yang tinggi serta terbebas dari rasa cemas, khawatir dan takut mati. Masalah riski, pun terkait dengan keimanan. Riski sepenuhnya berada di tangan allah SWT. Bila allah telah menetapkan riski atas hamba-nya, maka tiada yang sanggup menghalanginnya. Begitupun sebaliknya. Dengan demikian, wajar jika seorang aktivis da,wah memiliki sifat kedewasaan, kasih sayang, dan itsar yang tinggi. Ia pun terbebas dari perbudakan nafsu dunia, dan dari kerinduan untuk memburunya. Juga terbebas dari sifat egoistis, kerakusan,dan kebakhilan. Bahkan ia akan berasumsi bahwa kebahagiaan itu berada dalam kehidupan yang qanaah(merasa cukup).
Allah SWT Maha Mendengar dan Maha Melihat. Dia pasti melihat gerak gerik kita, baik ketika sendiri maupun ditengah keramaian. Bahkan dia mengetahui setiap apa yang terbesit di dalam hati kita.Dengan bekal keyakinan dan kesadaran tersebut, kita akan senantiasa bermuroqabatullah (mendapat pengawasan dari Allah SWT), setiap tawadu’ dan istiqamah.
Keikhlasan
Seorang aktivis senantiasa mengendalikan diri dan sanggup menundukkan berbagai tipu daya.keikhlasan menjadi akhlak dirinya. Ia mengikuti setiap perjuangan hanya karena Allah semata. Firman Allah,
“Dan tidaklah mereka diperintah melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama karena-Nya, serta jauh dari kesesatan….. (QS.al-Bayyinah:5)
Ikhlas merupakan suatu kekuatan iman, sebagai pengendali jiwa. Ikhlas mendorong seseorang untuk menyingkirkan kepentingan pribadi dan menjauhkan keinginan-keinginan materi (sesudah berkerja keras). Sebesar apapun amalan yang dikerjakan, akan sia-sia manakala tidak disertai niat yang ikhlas.
Fudhail bin ‘Iyadh menjelaskan, “sesungguhnya amal itu bila dikerjakan dengan ikhlas tapi dengan cara yang tidak sesuai dengan syari’at, maka amalan itu tidak diterima. Begitu juga bila dikerjakan sesuai dengan syari’at tetapi tanpa didasari keikhlasan, maka amal itupun tertolak.
Karena itu, seorang aktivis hendaknya senantiasa melakukan muhasabah terhadap amalan yang telah dilaksanakan. Sudahkah amalan yang dikerjakan itu sesuai dengan syari’at Allah dan semata-mata hanyalah untuk Allah. Ataukah hanya karena ingin mendapat pujian dan ucapan trima kasih.
Seorang aktivis selalu memohon kepada Allah agar ditetapkan dalam hatinya untuk beramal ikhlas dan sesuai dengan syari’at-Nya.
Keberanian
Keberanian yang bersumber dari ruh keimanan kepada Allah Azza wa jalla, merupakan satu kekuatan jiwa yang harus di miliki oleh seorang aktivis. Keberanian menyatakan kebenaran dihadapan penguasa yang zhalim adalah jihad yang paling utama. Demikian sabda Rasulullah SAW diriwayatkan oleh imam Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah.
Sementara Rasulallah membai’at para sahabat untuk menyatakan kebenaran dimana saja mereka berada. Sebagai mana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Musli dalam shahihnya dari ubadah bin shaamit, bahwa beliau pernah bersabda: “Rasulullah SAW pernah mengambil bai’at pada kami untuk mendengar (siap) dan patuh baik dalam keadaan tertekan maupun lapang, duka maupun suka, untuk bersikap senasib sepenanggungan. Untuk tidak merampas dari ahlinya, kecuali jika melihat kekufuran terang-terangan yang memang ada landasan dari Allah SWT, dan untuk menyatakan kebenaran dimana saja kami berada, selama kami berada dijalan Allah, kami tidak akan pernah takut terhadap ejekan dari manapun datangnya.”
Dalam menyeru manusia, para aktivis da’wah memahami keberadaan dan kondisi orang yang diseru. Terkadang, dalam kondisi tertentu, seorang da’I dituntut untuk bersikap keras dan tegas. Sikap ini, bisa jadi , menyadarkan orang yang diseru. Namun demikian, etika lemah lembut dan arif dalam menyeru harus tetap diperhatikan. Karena keberanian merupakan perangai yang terpuji jika dilandasi dengan kearifan dan kelemah-lembutan.
Kesabaran
Sabar merupakan kekuatan jiwa yang mendorong seseorang untuk melakukan perlawan terhadap kemalasan, kelemahan, dan kelesuan. Sabar mengantarkan seseorang pada ketegaran dan ketabahan dalam menghadapi cobaan yang menimpa hingga Allah mendatangkan pertolongan-Nya.
Seorang aktivis da’wah selalu siap menghadapi berbagai kenyataan, kendala dan hambatan yang mungkin terjadi. Misalnya, tuduhan bohong, penjara, siksaan, tantangan di lingkungannya, tipu daya serta pengorbanan jiwa. Tentang kesabaran dan penderitaan dalam da’wah, cukuplah Rasulullah SAW sebagai teladan, sang qudwah. Beliau adalah cermin yang teramat indah bagi seorang aktivis dalam menghadapi tribulasi da’wah.
Generasi pertama (generasi sahabat) memahami benar pesan-pesan al-Qur’an dan as-sunnah. Mereka memahami betul bahwa dirinya adalah seorang muslim yang mengemban misi. Juga sebagai seorang aktivis yang memiliki tanggung jawab dan sekaligus berperan sebagai seorang mujahid dalam kehidupannya. Mereka selalu siap terjun ke dalam medan da’wah untuk menyeru manusia pada jalan Allah, tanpa dibayangi rasa takut sedikitpun terhadap tantangan yang menghadang nya, sebagai resiko dari seruannya. Hanya ridho Allah sematalah yang mereka cari. Mereka yakin akan pertolongan-Nya.
Al-Qur’an menggambarkan, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman sedang mereka tidak diuji lagi?” Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang benar dan sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS.al-Ankabut:2-3).
Optimisme
Optimisme merupakan suatu kekuatan jiwa seseorang untuk menyongsong hari esok dengan penuh semangat, Ia juga mendorong seseorang untuk punya cita-cita dengan penuh keyakinan. Senantiasa memacu diri untuk bersikap berani hingga meraih keberhasilan dan kemenangan yang didambakan.
Seorang aktivis da’wah hendaknya memiliki semangat yang tinggi untuk memenangkan da’wah. Hanya mereka-lah yang berhak atas jiwa optimis dalam memenangkan dien yang hak. Janganlah berputus asa karena Allah melarang dengan tegas seorang muslim bersikap tersebut. Sebagai mana firman Allah : “…dan janganlah kamu putus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa melainkan orang-orang kafir.” (QS. Yusuf: 87).
Sikap putus asa hanya akan menjadi kendala bagi seorang pemimpin, menjadi petaka bagi para pejuang dan menjadi penghalang besar bagi terwujudnya sebuah cita-cita untuk meraih keagungan dan kemuliaan. Sesungguhnya orang-orang yang senantiasa menghembuskan bisikan-bisikan keputusasaan adalah orang – orang yang telah kalah sebelum berjuang, tanpa melihat realitas kaum muslimin.
Demikian pula, tidak diperkenankan bagi kaum muslimin untuk melakukan ‘uzlah (mengisolasi diri) dari masyarakat selama ummat masih memiliki potensi. Atas dasar itu, maka kaum muslimin berkewajiban menegakkan hukum Allah di muka bumi ini. Termasuk membebaskan palestina dari cengkraman yahudi. Untuk selanjutnya ditegakkan daullah islamiah.
Kepemimpinan yang diharapkan ummat adalah kepemimpinan yang sentral pada tujuan li I’la kalimatillah dengan berpegang teguh pada sunnah Rasulallah SAW. Semua keinginan itu hanya akan tercapai manakala setiap muslim mempunyai ruh jihad yang tinggi hinga Allah memberikan pertolongan-Nya. Sikap optimis ini merupakan pintu pembuka bagi keberhasilan dan kemenangan dien islam, sebagaimana firman Allah: “Dan sesungguhnya telah tetap janji kami kepada hamba-hamba kami yang menjadi Rasul, (yaitu) sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat pertolongan. Dan sesungguhnya tentara kami itulah yang pasti menang.” (QS. Ash-Shaffat:171-173).
Rasulallah SAW juga telah memberikan kabar kejayaan ummat Islam, seperti digambarkan hadits berikut: “Akan senantiasa ada suatu kelompok di kalangan ummat-Ku, yang membela (dan menegakkan) kebenaran hingga saat kiamat datang.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Khatimah
Demikianlah akhlak yang harus dimiliki seorang aktivis da’wah dalam mengarungi medan da’wahnya. Akhlak yang disandarkan pada Allah, yang menimbulkan semangat keberanian, ketulusan, dan mengingatkan seorang aktivis da’wah untuk senantiasa muraqabatullah.
Akhlak yang senantiasa merindukan kesyahidan, yang menimbulkan keikhlasan dengan mengharap rahmat Allah SWT semata. Akhlak yang memacu seorang aktivis untuk berani menyatakan yang haq adalah haq dan yang bahtil adalah bathil. Yang mendorong seorang aktivis untuk tetap istiqamah, walau cobaan datang dalam kancah da’wah yang menumbuhkan sikap optimis untuk berjihad untuk meraih kemenangan.
Itulah aktivis da’wah yang merupakan pilar-pilar kebangkitan Islam. Merekalah rahasia kebangkitan ummat Islam, sumber kemuliaan dan kewibawaan ummat. Pembawa dan pengibar panji-panji rahmatan lil’alamin. “mereka itulah yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka….” (QS. al-An’am:90).[]