Oleh: Kholili Hasib
Hari ini Prof. Syed M Naquib al-Attas (Prof. Al-Attas) berusia 91 tahun. Di usia ini, beliau masih sangat aktif berfikir dan menulis.
Pada 15 Februari 2020 lalu, menjandi salah satu peristiwa bersejarah dalam dunia pemikiran Islam zaman ini. Tidak kurang 500 cendekiawan dari berbagai belahan dunia hadir dalam acara International Symposium on Syed Muhammad Naquib Al-Attas: Philosophical and Civilisational Dimensions,
Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas (Prof. Al-Attas) ternyata hadir memberi ceramah selama satu jam dalam acara yang diselenggarakan oleh RZS-CASIS-UTM (Raja Zarith Sofiah Centre for Advanced Studies on Islam, Science and Civilisation Universiti Teknologi Malaysia UTM). Simposium ini menjadi lebih terhormat lagi karena Raja Puan Besar Perak, Raja Nazhatul Shima Sultan Idris Shah turut hadir mendengarkan langsung kuliah Prof. Al-Attas.
Simposium ini menjadi daya tarik luar biasa para sarjana, dosen dan peminat pemikiran Islam dari berbagai Negara; Indonesia, Singapura, Thailand, Turki, Australia, Amerika Serikat, Afrika, dan lain-lain, termasuk duta dan pegawai kedutaan berbagai negara. Peserta yang daftar lebih 550, suatu jumlah yang sangat besar. Artinya, ceramah Prof. Al-Attas memang sedang sangat ditunggu para cendekiawan Muslim dunia. Setelah sekian lama beliau tidak keluar memberi ceramah dan kuliah.
Di samping itu, tidak mudah mendengar langsung kuliah Prof. Al-Attas pada akhir-akhir ini. Tidak hanya itu, simposium ini menjadi lebih terhormat lagi karena Raja Puan Besar Perak, Raja Nazhatul Shima Sultan Idris Shah turut hadir mendengarkan langsung kuliah Prof. Al-Attas. Semua hadirin berdiri menyambutnya. Suatu peristiwa yang ditunggu-tunggu terjadi. Prof. Al-Attas ceramah memberi kuliah di hadapan lebih 550 orang hadirin.
Artinya, Prof. Al-Attas makin diakui dan dihormati para cendekiawan dari berbagai belahan di dunia. Di Indonesia sendiri mulai bermunculan dan semangat baru para sarjana mengkaji pemikiran beliau. Buku beliau berjudul Risalah untuk Kaum Muslimin dibaca dan dikaji oleh bebera kelompok studi di beberapa kota di Indonesia yang dibimbing dan dibina oleh murid Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, dan peneliti INSISTS.
Di program Pascasarjana IAI Darullughah Wadda’wah (Dalwa) Bangil, sejak tahun 2015 pemikiran Prof. Al-Attas juga dijadikan salah satu acuan membina program perkuliahan dan kurikulum, bersama pemikiran Prof. Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki dan pemikiran Dr. Habib Abu Bakar Al-Masyhur. Para murid Prof. Al-Attas diundang sebagai guru besar tamu untuk memberi kuliah di sana.
Hal ini disebabkan karena para sarjana Muslim di Indonesia mulai banyak yang menyadari dan mengenali bahwa ide, gagasan dan karya-karya Prof. Al-Attas menjawab berbagai persoalan pelik pemikiran Islam di Indonesia. Prof. Al-Attas berbicara suatu masalah yang menjadi masalah bersama umat Islam yang sudah mengglobal. Beliau berbicara pada tingkat tinggi, dan universal. Tetapi sangat mendalam, rinci dan logis. Beliau berhasil mengidentifikasi apa masalah terbesar yang dihadapai umat Islam zaman modern ini.
Tentu saja tidak mudah memahami pemikiran dan ide Prof. Al-Attas. Beliau pemikira ulung, pemikir besar abad ini. Ide dan gagasannya, khususnya metafisika tidak mudah dipahami dalam waktu singat. Apalagi instan. Karena itu, tidak cukup mengenalinya melalui kertas saja. Hanya baca buku karya beliau. Tapi harus dibimbing oleh orang yang menjadi murid Prof. Al-Attas. Utamanya, penjelasan Prof. Wan Mohd Nor, teman terdekat sekaligus murid utamanya sangat bermanfaat untuk memahami pemikiran Prof. Al-Attas, serta para murid Prof. Al-Attas lainnya.
Selayaknya ulama hebat itu mendapat kehormatan yang pantas. Agar kita bisa mendapatkan keberkahan ilmu. Imam al-Habib Abdullah al-Haddad pernah memberi peringatan. Kata beliau manusia pada zaman ini sedikit mengambil manfaat dari orang sholih karena sedikit penghormatan mereka pada ulama, su’udzan pada mereka. Sehingga manusia zaman ini terhalang dari keberkahan ilmu serta tidak mampu melihat kehebatannya (dinulis oleh Habib Zain bin Smith dalam Al-Manhaj al-Sawi, hal.171).
Pada ceramah itu, Prof. Al-Attas ternyata masih terlihat sangat semangat. Suaranya cukup kuat. Penjelasannya sangat runut dan tegas. Tema yang dibahas sangat penting, lebih-lebih untuk pemikiran Islam di Indonesia, yaitu konsep Islam.
Prof. Al-Attas dengan tegas menyatakan bahwa Islam berbeda dengan agama-agama lain. Tidak mungkin melakukan penyamaan Islam dengan agama-agama di dunia. Prof. Al-Attas menjelaskan keunikan dan keistimewaan Islam dengan hujah-hujah bersandarkan analisa ayat-ayat Al-Quran, bahasa Arab, sejarah dan logika yg sangat tajam sambil menghormati pandangan ilmuan-ilmuwan besar dulu dan kontemporer.
“Al-Islam itu agama (din) yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ. Bukan sekedar istilah dalam kamus. Keliru bila hanya membatasi pemahaman bahwa Islam itu sekedar kata bahasa Arab”, ujarnya.
Kata “al-Islam” memang bahasa Arab. Tetapi kata ini juga belum digunakan oleh orang Arab sebelum Nabi Muhammad ﷺ. Bahkan tidak digunakan sebagai sesuatu yang menunjuk pada agama oleh Nabi-nabi terdahulu sebelum digunakan oleh Al-Quran.
Para Nabi-nabi terdahulu disebut Muslim. Penyebutan kata “Muslim” itu oleh al-Quran yang berbahasa Arab. Tidak ada catatan agamanya disebut al-Islam. Hanya al-Qur’an menyebut din hanif dan din qayyim. Istilah yang menunjukkan kepada suatu cara penyembahan yang benar kepada Allah Swt.
Penyebutkan dengan predikat “Muslim” pun itu oleh Al-Qur’an, yang kata Prof. Alattas kemungkinan aslinya bukan sebutan Muslim dalam bahasa-bahasa bukan Arab dan bahasa Arab sebelum Islam. Hanya diterjemahkan oleh al-Qur’an yang berbahasa Arab itu dengan istilah “Muslim” karena mereka melakukan penyembahan yang benar kepada Allah Swt. Para nabi terdahulu itu berbicara sesuai dengan bahasa kaumnya. Mereka tidak berbahasa Arab. Juga tidak bisa dipastikan Musa dan Isa berbahas Ibrani.
Prof. Al-Attas menegaskan bahwa kata “al-Islam” itu bukan sekedar penyarahan diri saja. Agama-agama lain melakukan penyerahan diri. Akan tetapi, pertanyaannya bagaimana cara penyerahan diri yang benar? Penyerahan diri menurut Islam adalah penyerahan diri yang tulus dan menyeluruh sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah Swt. Dilakukan dengan sepenuh hati dengan ketaatan secara mutlak terhadap hukum yang diwahyukan oleh Allah Swt.
Karena itu kata Prof. Al-Attas tidak mungkin menyamakan agama itu. Islam berbeda dengan yang lainnya. Karena Islam melakukan penyerahan yang benar kepada Allah, yang dicontohkan Nabinya, sesuai petunjuk hukum-Nya, maka Islam itu adalah al-din yang sesungguhnya. Sebetulnya hanya satu al-din yang merujuk kepada agama Islam.
Keistimewaan Islam adalah nama al-Islam langsung diberikan oleh Allah. Sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya agama yang diridhai oleh Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19). Di dalam kitab sucinya Yahudi dan Nasrani tidak disebut nama agama tersebut diberi oleh Tuhan mereka. Justru nama dua agama tersebut diberi oleh manusia.
Sekali lagi Prof. Al-Attas dalam forum ini yang juga dihadiri Prof. Hans Daiber yang datang bersama istrinya, ia ilmuan asal Jerman yang menekuni teologi Islam, filsafat Islam, dan sains ini tegas menyatakan bahwa barangsiapa yang menggunakan cara penyerahan diri selain Islam, maka tidak diterima. Beliau mengutip ayat Al-Quran Surat Ali Imran ayat: 85, “Barangsiapa yang mencari agama selain Islam maka tidaklah diterima darinya”.
Prof. Hans Daiber sendiri pernah mengajar di ISTAC, dan dalam symposium kemarin terlihat ia sangat hormat kepada Prof. Al-Attas. Prof al Attas juga menghormati Prof Daiber yang isterinya. Selain itu turut hadir pula Prof. Dr. Mahmut Erol Kilic Duta Besar Turki di Indonesia, Prof. Mehdi Mohaghegh Iran, Prof. Tatiana Denisova Rusia dan Prof. Dr. Zaini Uthman dari Malaysia. Tidak mudah menemui ilmuan Muslim yang disegani ilmuan kelas dunia, baik dari Barat maupun Timur seperti Prof. Al-Attas.
Penjelasan Prof. Al-Attas ini sangat penting sebagai kerangka mendasar memahami agama. Kerangka dasar yang salah, akan melahirkan kesalahan dalam memahami aspek-aspek cabang lainnya dalam agama. Bila salah dalam memahami konsep al-Islam maka, akan keliru pula mengenali aspek furu’ dan ushulnya.
Dalam buku Islam and Secularism, Prof. Alattas menolak paham transcendent unity of religions yang menyatakan bahwa semua agama pada hakikatnya adalah sama-sama bertemu dan bersatu pada level transenden. Oleh Prof. al-Attas klaim mereka itu dibalik. Justru bukti tauhid yang sebenarnya itu adalah termasuklah cara berserah diri kepada Tuhan yang murni dari wahyu bukan dari budaya yang dibuat-buat.
Maka, kuliah Prof. Alattas tentang konsep Islam ini sangat bermanfaat, khususnya di Indonesia yang saat ini kerap diserang pemikiran pluralism dan sekularisme yang mereduksi makna agama. Jawaban Prof. Al-Attas sangat taktis, logis dan sistematis. Inilah sekadar apa yang saya dapat saring dari kuliah yang memang hebat ini.