Fatwapedia.com – Iman kepada takdir memiliki kedudukan yang sangat penting dalam agama Islam. Hal ini ditunjukan dengan banyaknya dalil dalam Al Qur’an maupun Sunnah yang membahas tentang hal ini. Selain ia juga merupakan salah satu rukun iman yang wajib diyakini oleh setiap muslim. Tanpa keimanan kepada takdir Allah, iman seseorang tidaklah akan diterima. Sehingga amal sebesar apapun tidak akan diterima tanpa keimanan kepada takdir.
Ibnu Ad Dailami berkata, aku mendatangi Ubai bin Ka’ab dan aku berkata, “dalam jiwaku ada sesuatu tentang takdir (yang membuatku ragu), maka katakanlah sesuatu kepadaku, semoga dengannya Allah menghilangkan sesuatu (yang meragukan) itu dari hatiku”, beliau berkata, “jikalau engkau berinfak dengan emas sebesar gunung uhud, tidaklah akan diterima sampai engkau beriman kepada takdir, dan engkau meyakini bahwa apa yang menimpamu tidak akan meleset darimu, dan apa yang meleset darimu tidak akan menimpamu, kalau engkau mati tidak dalam keadaan seperti ini, sungguh engkau termasuk penghuni neraka.” Ibnu Ad Dailami mengatakan, “akupun mendatangi Ibnu Mas’ud, Hudzaifah bin Yaman, Zaid bin Tsabit, seluruhnya menyatakan seperti itu dari nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam[1].
Selain iman kepada takdir merupakan rukun iman dan kewajiban bagi setiap muslim, iman kepada takdir pun merupakan hal sangat penting untuk kebahagiaan dan kesuksesan seseorang dalam kehidupannya di dunia, sebelum di akherat. Banyak sekali hal positif yang akan didapatkan oleh seseorang yang beriman kepada takdir, yang itu tidak akan didapatkan oleh orang yang tidak beriman kepada takdir Allah ta’ala. Sisi inilah yang akan penulis bahas dalam artikel ini.
Makna iman kepada takdir dalam kehidupan
Setiap orang selalu ingin merasakan kebahagiaan di dalam kehidupannya. Segala cara ditempuh untuk mendapatkannya. Namun kebanyakan orang salah memaknai kebahagian dengan hanya bersandar kepada kenikmatan duniawi yang bersifat indrawi. Padahal terkadang kenikmatan itu yang justru menjadi petaka bagi pemiliknya. Belum lagi ketika datang musibah, banyak orang yang salah menyikapinya, menjadikan musibah yang kecil menjadi terlihat besar, hingga banyak orang yang stres, depresi, hingga bunuh diri.
Padahal sudah menjadi sunnatullah kehidupan kenikmatan dan musibah datang silih berganti. Terkadang seseorang diberi kesehatan, namun di waktu lain ditimpa dengan penyakit. Adakalanya seseorang diberi kekayaan, namun di saat lain jatuh dalam kemiskinan. Di satu waktu seseorang dikaruniai seorang buah hati, namun di waktu lain ditinggal oleh kematan orang tersayang. Begitulah kehidupan, tinggal bagaimana seseorang menyikapinya.
Dalam hal ini, iman kepada takdir menjadi obat yang mujarrab sebagai penghibur ketika datang musibah. Ketika datang kenikmatan, seorang yang beriman kepada takdir akan bersyukur karena meyakini itu semua karunia dari Allah ta’ala. Ketika datang musibah pun, seorang yang beriman kepada takdir akan bersabar atau bahkan bersyukur, karena itu pun berasal dari Allah sebagai bentuk ujian yang pasti mengandung hikmah dibaliknya, entah sebagai penghapus dosa, pengangkat derajatnya disisi Allah, atau hikmah hikmah yang lainnya.
Sebelum membahas hal ini lebih jauh, alangkah baiknya kita membaca sebuah kisah yang ditulis dalam sebuah buku berjudul “Tinggalkan Kegelisahan, Mulailah Kehidupan”[2] yang ditulis oleh seseorang bernama R.N.S Budhli.
Dalam buku tersebut, ada sebuah kisah yang berliau tulis dengan judul (Aku Telah Hidup Di Syurga Allah). Selanjutnya biar Budhli sendiri yang menceritakan kisahnya :
Budhli berkata: “pada tahun 1918 M saya tinggal di pedalaman Afrika tengah, hidup bersama suku pedalaman di tengah gurun selama tujuh tahun lamanya. Saya pun menguasai dengan baik bahasa mereka, menggunakan pakaian mereka, memakan makanan mereka, tidur di perkemahan dengan mereka dan hidup seperti kehidupan mereka, sungguh hari-hari ketika saya bersama mereka merupakan sepenggal hidup saya yang membahagiakan, saya merasakan kedamaian, keselamatan, dan keridhoan dalam hidup.
Saya sudah belajar dari mereka bagaimana mengalahkan kekhawatiran, mereka sangat percaya dengan takdir, kepercayaan inilah yang telah menolong mereka untuk hidup dengan aman, dan menjalani hidup dengan mudah.
Mereka percaya bahwa apa yang ditakdirkan bagi mereka pasti terjadi, dan tidaklah seseorang di antara mereka ditimpa sesuatu kecuali sudah ditetapkan oleh Allah atasnya. Akan tetapi, meskipun begitu, bukan berarti mereka bertawakal kemudian berpangku tangan, berdiam diri tanpa berusaha dan bekerja! Sekali kali tidak!”
Kemudian dia melanjutakan kisahnya, “saya berikan contoh yang saya saksikan sendiri, suatu ketika terjadi badai gurun yang sangat dahsyat, dengan angin besar yang menerbangkan debu gurun padang pasir. Angin badai sangat panas, seakan akan rambut saya tercabut dari kulit kepala, hamper-hampir saya menjadi gila karenanya. Akan tetapi, tidak sedikitpun saya melihat salah seorang dari mereka mengeluh, bahkan mereka terlihat tegar, sambil mengatakan kalimat yang sering mereka ucapkan; “takdir sudah ditulis!”.
Setelah badai berlalu, mereka bergegas bekerja kembali dengan semangat yang lebih besar, mereka pun menyembelih domba kecil sebelum mati (karena badai), dan membawa hewan ternak yang lain ke sumber air untuk diberi minum. Mereka melakukan hal ini dengan tenang, tanpa banyak bicara, tidak juga mengeluh salah seorang dari mereka.
Ketua suku berkata, “kita tidak kehilangan banyak hal, sungguh kita diciptakan untuk kehilangan segala sesuatu, akan tetapi segala puji bagi Allah, kita masih punya 40% dari hewan ternak kita, dan kita bisa bekerja kembali dari awal”
Kemudian Budhli berkata: “ada juga kisah yang lainnya, suatu hari saya bersama sebagian dari mereka melintasi padang pasir dengan mobil, tiba-tiba salah satu ban mobil meletus, sementara sopir mobil lupa tidak menyediakan ban pengganti. Hal ini tentu saja membuat saya marah, serta merasa cemas dan gelisah, saya pun bertanya kepada salah seorang kawan saya dari suku pedalaman, “sekarang apa yang akan kita lakukan?”, dia pun mengingatkan saya, bahwa marah tidak akan menyelesaikan urusan, akan tetapi justru akan menimbulkan stres.
Maka kamipun melanjutkan perjalanan menggunakan mobil dengan tiga ban. Akan tetapi belum lama mobil kami berjalan, tiba-tiba kami kehabisan bensin. Hal ini pun tidak membuat salah seorang dari mereka mengeluh, bahkan mereka tetap tenang, dan kami pun berjalan kaki menempuh perjalanan panjang di tengah gurun”.
Setelah Budhi menceritakan kisah kehidupannya dengan suku pedalaman Afrika tengah, dia memberikan catatan: “sungguh tujuh tahun hidup bersama mereka telah menyadarkan saya, bahwa orang orang yang tertimpa penyakit penyakit jiwa, stres, depresi, seperti yang dialami orang orang amerika, eropa, dan negri-negri kafirnya, tidak lain merupakan korban dari ketiadaan iman kepada ketetapan Allah.
Dan selama tujuh tahun saya hidup di padang pasir, tidak ada sedikitpun rasa khawatir dalam diri saya, bahkan disanalah saya mendapatkan ketenangan, keridoan, dan kecukupan”.
Dan terakhir, penulis mengatakan: “setelah 17 tahun saya meninggalkan kehidupan mereka, saya tetap mengikuti kehidupan suku pedalaman dalam menghadapi ketetapan Allah ta’ala, sehingga dengannya, saya menghadapi segala kejadian yang menimpa saya dengan tenang dan damai.
Saya telah berhasil mengatasi kegelisahan, dan menenangkan jiwa saya dengan tabiat suku pedalaman, melebihi ketenangan yang dihasilkan oleh ratusan bahkan ribuan obat penenang yang dibuat oleh kedokteran”.
Dari kisah diatas kita bisa melihat, bagaimana keimanan kepada takdir memberikan dampak positif bagi seseorang dalam mengarungi berbagai macam ujian kehidupan. Dengan keimanan kepada takdir, seseorang akan senantiasa merasa tenang, ridha dengan setiap musibah yang menimpa dunianya, karena dia tau bahwa itu semua sudah ditakdirkan oleh Allah ta’ala.
Seseorang yang beriman kepada takdir tidak akan merasa khawatir akan luput sesuatu dari dunia ini darinya, tidak juga akan takut menimpa sesuatu yang buruk terhadap dunianya, karena dia tau semua adalah takdir Allah ta’ala, pemilik langit dan bumi, yang mana setiap yang ditakdirkan oleh Allah pastilah akan terjadi.
Seorang yang beriman kepada takdir, akan selalu mengingat makna dari firman Allah ta’ala:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh yang demikian itu mudah bagi Allah.Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri. (Al Hadid 22-23).
Oleh karena itu lah baginda Nabi Shallallalhu ‘Alaihi Wasallam menyebutkan bahwa urusan sorang mukmin itu selalu baik, tidak hanya dikala senang, bahkan juga dikala susah. Sebagaimana dalam sebuah hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999)
Hal tersebut terjadi karena seorang mumin percaya bahwa musibah yang datang sudah merupakan ketentuan dari Allah, maka dia pun bersabar, begitu juga kebaikan yang dating adalah ketentuan dari Allah, maka dia pun bersyukur.
Namun, agar supaya keimanan kepada takdir ini memberikan dampak positif seperti itu, haruslah dibangun diatas tiga hal pokok[3] :
Yang pertama adalah beriman bahwa setiap ketentuan Allah ta’ala pastilah mengandung hikmah. Bahwa Allah adalah Al Hakim, Zat yang Maha Bijaksana. Setiap kehendak dan penciptaan Nya pastilah berdasarkan kebijaksanaan Nya. Maka tidak ada sesuatu di dunia ini yang sia sia. Semuanya pasti mengandung hikmah. Termasuk setiap musibah yang menimpa seseorang, pasti ada hikmah kebaikan yang terkandung di balik setiap kejadian.
Yang kedua adalah beriman kepada keadilan Allah ta’ala. Bahwa Allah adalah Zat yang maha Adil, tidak pernah berbuat dhalim. Maka ketika Allah melebihkan sebagian orang diatas sebagian yang lain. Atau ketika Allah menguji sebagian orang dengan kekurangan harta, makanan dan lainnya, sementara orang lain mendapat kecukupan, maka seseorang yang beriman kepada takdir tidak akan berkecil hati dan mengeluh. Karena dia yakin, itu semua adalah keadilan Allah ta’ala. Dan Allah memberikan karunianya kepada siapa saja yang Dia kehendaki, tanpa ada seorang pun yang didhalimi oleh Nya.
Yang ketiga adalah mengakui bahwa akal dan pengetahuan manusia sangatlah terbatas. Sehingga karenanya belum tentu setiap yang dipandang oleh akal kita selalu benar. Bisa jadi akal kita memandang sesuatu adalah kebaikan, ternyata dibalik itu mengandung keburukan, atau sebaliknya.
Bukankah sering kali kita memutuskan sesuatu dengan akal kita, lalu kita menyesal ternyata pilihan kita salah, juga menurut akal kita?!.
Maka jika demikian adanya, seseorang akan menyerahkan pilihan terbaiknya kepada Zat yang maha tau, yaitu Allah ta’ala. Bahwa apa yang dipilihkan Allah untuk hambanya adalah yang terbaik. Karena Allah Maha Tau. Dia tau apa yang terbaik buat hamba hambanya. Dia juga yang mengetahui hikmah dari setiap kejadian.
Kesimpulan
Kesimpulan dari tulisan ini, bahwa iman kepada takdir memiliki makna positif bagi kehidupan seseorang, jika seorang muslim mengimani takdir dengan sebenar benarnya, dan mengimplikasikannya dalam kehidupan, serta selalu menghadirkan keimanan akan hikmah dan keadilan Allah ta’ala, dan mengakui keterbatasan akalnya. Dengan itulah kehidupan akan terasa mudah.
┈┉┅━━━━━━••━━━━━━┅┉┈
Muhammad Singgih Pamungkas
[1] Hadis Sahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (4699) dan Ibnu Majah (77).
[2] Dinukil dari buku Al Iman Bil Qodho Wal Qadar, Muhammad bin Ibrohim Al Hamd. (Darul Wathan, cet 2 : 1416 H), Hal. 42-44.
[3] Lihat : Uqud Dzahabiyah Syarah Wasathiyah, Sulthon Umari, (Dar Madarij, Saudi Arabia, Cet. 1: 2019 M) hal. 95