Fatwapedia.com – Tatkala Rasulullah mengambil sumpah sena dan orang orang Anshar pada Baiat ‘Aqabah kedua, di antara para utusan yang berjumlah 70 orang itu terdapat seorang anak muda dengan wajah berseri enak dipandang, dan giginya putih berkilat. Sikapnya yang tenang dan berwibawa menjadi daya tarik tersendiri. Jika ia berbicara, semua yang hadir akan terpesona. Dia-lah Mu’adz bin Jabal ra.
Muadz berasal dari kalangan kaum Anshar. Ikut dalam Bai’at Aqabah kedua. Karena itu, dia termasuk as-Sabiqunal Awwalun (golongan yang pertama masuk Islam) Orang yang mempunyai kemantapan iman seperti ini, mustahil absen dalam peristiwa penting atau peperangan yang diikuti Rasulullah. Begitulah Muadz. Keutamaannya yang paling istimewa adalah pemahamannya yang sangat dalam terhadap ajaran Islam hingga Rasulullah bersabda, “Umatku yang paling tahu tentang halal dan haram adalah Mu’adz bin Jabal.”
Kecerdasannya seperti Umar ra. Ketika hendak diutus Rasulullah ke Yaman, beliau bertanya kepadanya, “Muadz, apa yang menjadi pedomanmu dalam mengadili?”
Muadz, “Kitabullah” Rasulullah, “Jika kamu tidak mendapatinya dalam Kitabullah?” Muadz, “Dengan Sunah Rasul.”
Rasulullah, “Jika tidak kamu dapati dalam Sunah Rasulullah?”
Muadz, “Aku gunakan pikiran untuk berijtihad, dan aku tidak putus asa.”
Wajah Rasulullah berseri-seri lalu bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memudhkan utusan Rasulullah untuk menempuh jalan yang diridhai Rasulullah
Kesetiaan Mu’adz kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah tdakk membelenggu daya pikiranya, dan tidak menjadi penghalang bagi akalnya untuk memahami berbagai kebenaran yang masih tersembunyi, yang masih menunggu orang orang yang mau menyingkapnya.
Kecerdasan dan keberaniannya berpendapat, bisa yadt dua hal yang mengantarkannya mencapat kekayaan imu tentang ajaran Islam melebiht rekan rekannya, sehingga 1a mencapar derajat yang disabdakan Rasulullah, “Orang yang paling tahu tentang halal dan haram.”
Catatan sejarah menggambarkannya sebagai otak yang cemerlang yang mampu Memutuskan persoalan dengan baik.
Aidzullah bin Abdillah menceritakan,
“Suatu hari, di awal pemerintahan Khalifah Umar, aku masuk masjid bersama beberapa orang sahabat Rasulullah. Aku duduk di majelis yang dihadiri oleh tiga puluh orang lebih. Setiap orang menyebutkan sebuah hadits yang mereka terima dari Rasulullah saw. Di antara mereka, ada seorang anak muda yang berkulit sawo matang, baik tutur katanya, dan enak dipandang. Di antara mereka, ia yang paling muda. Jika ada permasalahan tentang suatu hadits, mereka menanyakannya kepada pemuda itu, lalu ia memberi jawaban. la tidak bicara kecuali jika ditanya. Ketika majelis berakhir, aku mendekatinya dan bertanya, “Siapakah engkau ini?” la menjawab, “Muadz bin Jabal.”
Abu Muslim Al-Khaulani menceritakan, “Aku masuk masjid Himis. Aku dapati sekumpulan orang tua duduk mengelilingi seorang anak muda yang giginya putih berkilat. Anak muda itu diam. Tetapi bila orang-orang itu merasa ragu tentang sesuatu masalah, mereka bertanya kepadanya. Aku bertanya kepada orang yang di sebelahku, ‘Siapakah anak muda ini’ Ia menjawab, ‘Muadz bin Jabal.’ Aku langsung simpati kepadanya.”
Shahar bin Hausyab menceritakan, “Jika para sahabat Rasulullah sedang berbincang-bincang, dan di antara mereka terdapat Mu’’adz bin Jabal, mereka meminta pendapatnya sebagai rasa hormat mereka kepadanya.”
Khalitah Umar juga banyak bertanya kepada Muadz. Bahkan ia pernah berkata, “Seandainya tidak dibantu Muadz, Umar pasti telah celaka.”
Mu’adz memiliki otak yang terlatih baik. Tutur katanya menarik dan memuaskan. Penjelasannya mengalir dengan tenang dan cermat.
Catatan sejarah di atas, kerap menceritakan bahwa Muadz selalu menjadi rujukan rekan-rekannya. Ia diam dikelilingi mereka, dan hanya berbicara ketika ditanya. Jika ada permasalahan yang diperselisihkan, Muadz menjadi tempat rujukan. Jika ia berbicara, seolah-olah dari mulutnya keluar cahaya dan mutiara. Begitulah yang digambarkan orangorang yang hidup semasa dengannya.
Keistimewaan ini sudah dimiliki Muadz sejak Rasulullah masih hidup hingga setelah beliau wafat, padahal usianya masih muda. Ia meninggal pada masa pemerintahan Khalifah Umar di usianya yang ke-33 tahun.
Mu’adz adalah seorang yang murah tangan, lapang dada dan tinggi budi pekertinya. Tidak suatu pun yang diminta darinya, kecuali diberikan dengan cukup dan dengan hati yang ikhlas. Bahkan semua hartanya dihabiskan untuk sedekah.
Saat Rasulullah saw. wafat, Mu’adz masih berada di Yaman, yakni sejak ia dikirim Nabi ke sana untuk mengajarkan ajaran Islam kepada penduduk Yaman.
Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar, ia kembali ke Madinah. Umar ra. mengetahui bahwa Muadz kaya raya. Maka, Umar mengajukan usulan kepada Khalifah agar kekayaan Muadz di bagi dua. Namun, tanpa menunggu jawaban Abu Bakar, Umar segera pergi ke rumah Mu’adz dan mengemukakan masalah tersebut.
Mu’adz adalah seorang yang bersih tangan dan suci hati. Jika sekarang ia menjadi kaya raya, maka kekayaan itu diperolehnya secara halal, tidak pernah diperolehnya secara haram. Bahkan, ia tidak pernah menerima barang yang syubhat (kehalalannya diragukan). Karena itu, ia menolak usulan Umar ra.
Umar tidak bisa berbuat apa-apa, lalu ia pamit pergi. Keesokan harinya, Muadz bergegas ke rumah Umar. Sesampai di sana, ia langsung merangkul Umar dan menangis. Lalu ia berkata, “Semalam, aku bermimpi masuk kolam yang penuh air. Aku hampir tenggelam, lalu engkau datang menyelamatkanku.”
Setelah itu, keduanya menghadap Khalifah Abu Bakar ra. Muadz memohon kepada Khalifah untuk membawa dua kekayaannya. Khalifah menjawah, “Aku tidak akan mengambil sedikitpun dan kekayaanmu.”
Umar memandang Muadz dan berkata, “Sekarang, hartamu telah halal dan baik untuk dinikmati.”
Jika ada kekayaan Muadz yang diperoleh dengan cara yang haram tentu Khalifah Abu Bakar ra. yang shalih ini akan menyitanya. Umar juga tidak bermaksud menuduh Muadz yang bukan-bukan. Yang perlu diingat bahwa masa itu adalah masa gemilang, penuh dengan tokoh-tokoh utama yang berpacu mencapai puncak keutamaan. Di antara mereka ada yang berjalan secara santai, tak ubah burung yang terbang berputar-putar ada yang berjalan cepat, dan ada pula yang berjalan perlahan. Mereka semua berjalan dalam kafilah yang sama kafilah kebaikan.
Mu’adz pindah ke Syam. Ia tinggal bersama para penduduk pribumi dan para pendatang, mengajarkan kepada mereka ajaran agama Islam.
Ketika gubernur wilayah Syam, Abu Ubaidillah, yang juga teman dekat Muadz, meninggal dunia, Khalifah Umar mengangkatnya sebagai gubernur pengganti. Beberapa bulan ia memikul tanggung jawab itu, ia dipanggil menghadap ke haribaan ilahi.
Khalifah Umar ra. pernah berkata, “Seandainya aku mengangkat Mu’adz sebagai pengganti, lalu aku ditanya oleh Allah mengapa aku mengangkatnya, maka akan aku jawab, ‘Aku dengar Nabi-Mu bersabda, “Saat ulama menghadap Allah ‘Azza wa jalla, pastilah Mu’adz ada di antara mereka.
Mengangkat sebagai pengganti yang dimaksud Khalitah Umar di sini ialah penggantinya sebagai Khalifah bagi seluruh kaum muslimin, bukan kepala wilayah atau daerah.
Sesaat menjelang wafat, Khalifah Umar ditanya, “Jika engkau memulth Penggantimu, siapakah yang kau pilih?”
Khalifah menjawab, “Seandainya Mu’adz bin Jabal masih hidup, tentu aku mengangkatnya sebagai Khalifah. Kemudian aku menghadap Allah dan ditanya, ‘Siapa yang kamu angkat menjadi pemimpin umat Muhammad’ Aku akan menjawab, ‘Aku mengangkat Muauz bin Jabal,
Karena aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Mu’adz bin jabal pemimpin para ulama di hari Kiamat.
Suatu hari, Rasulullah saw bersabda, “Hai Mu’adz, demi Allah aku sungguh sayang kepadamu Setiap kali engkau selesai shalat jangan lupa mengucapkan, Ya Allah, bantulah aku untuk selalu ingat, bersyukur dan beribadah kepada-Mu dengan baik.”
Begitulah semestinya. “Ya Allah, bantulah aku…” Rasulullah saw. selalu mengulang ulang kandungan makna pesan ini agar manusia sadar bahwa mereka tidak mempunyai daya dan kekuatan kecuali dengan pertalongan Allah yang Mahatinggi dan Maha Agung.
Muadz sendiri sudah memahami tujuan pesan ini bahkan sudah mempraktekkannya. Di suatu pagi, Rasulullah menemuinya dan bertanya, Bagaimana keadaanmu di pagi ini?” ia menjawab, “Di pagi ini aku benar-benar beriman, ya Rasulullah.”
Rasulullah bertanya, “Apa buktinya?”
Muadz menjawab, “Di setiap pagi, aku merasa tidak akan hidup sampai sore hari. Dan di setiap sore aku merasa tidak akan hidup sampai pagi hari. Setiap aku melangkahkan satu kaki, aku merasa tidak bisa melangkahkan kaki yang satunya. Aku seperti melihat umat demi umat dipanggil melihat catatan amalnya. Aku seperti melihat penduduk surga sedang menikmati yang tersedia di surga, dan penduduk neraka sedang merasakan siksa neraka.”
Rasulullah bersabda, “Kamu sudah mengetahuinya, maka pegang teguhlah, jangan dilepaskan.
Mu’adz telah menyerahkan jiwa raga dan nasibnya kepada Allah, hingga yang tampak olehnya hanyalah Allah.
Sungguh tepat gambaran yang diberikan Ibnu Mas’ud tentang kepribadiannya, “Mu’adz itu senilai dengan satu umat yang tunduk dan patuh kepada Allah. Kami menganggap Mu’adz serupa dengan Nabi Ibrahim as.”
Mu’adz senantiasa mengayak manusia untuk terus belajar dan mengingat Allah. la selalu mengayak manusia untuk menuncut ilmu yang bermantaat. Ia berpesan, “Waspadalah terhadap tergelincirnya orang pandai. Kenalilah kebenaran dengan kebenaran, karena kebenaran mempunyai cahaya.”
Menurut Mu’adz, ibadah hendaklah dilakukan dengan tepat dan tidak berlebihan. Suatu hari, seorang laki-laki berkata kepadanya, “Ajarilah aku.” Muadz menjawab, “Apakah kamu akan mematuhi pelajaran yang kuberikan kepadamu?” Laki-laki itu menjawab, “Ya. Aku sangat berharap bisa mematuhimu?”
Muadz berkata, “Berpuasalah, tapi jangan setiap hari. Lakukanlah shalat malam, tapi jangan sepanjang malam. Berikan waktu untuk tidur. Bekerjalah mencari nafkah, tapi jangan yang haram. Dan jangan mati kecuali dalam keadaan muslim.”
Menurutnya, ilmu yang sudah dipelajari harus diamalkan. Ia pernah berpesan, “Belajarlah sesukamu, tapi ketahuilah bahwa ilmu yang kamu pelajari itu tidak akan bermanfaat kecuali jika kamu amalkan.”
Menurutnya, beriman dan mengingat Allah artinya selalu menghadirkan keagungan-Nya, dan pengawasan yang kontinu terhadap perilaku diri.
Aswad bin Hilal bercerita, “Kami pernah berjalan bersama Mu’adz. Lalu ia berkata kepada kami, ‘Marilah kita duduk untuk mempertebal keimanan sejenak.’
Sikapnya yang lebih banyak diam, bisa jadi disebabkan ia selalu merenung dan berfikir, sebagaimana yang pernah ia katakan kepada Rasulullah, bahwa setiap kali ia melangkahkan satu kakinya, ia merasa tidak akan bisa menggerakkan kaki yang satunya. Sebabnya ialah ia larut dalam zikir dan instrospeksi diri.
Akhirnya, ajal Muadz mendekat, dan ia dipanggil menghadap Allah.
Di saat-saat terakhir menjelang kematiannya, tanpa sadar, ia mengucapkan kata-kata yang merupakan intisari dari seluruh hidupnya. la memandang ke atas dan memohon kepada Tuhannya yang Maha pengasih,
“Ya Allah, sesungguhnya, selama ini aku takut kepada-Mu, tetapi hari ini aku mengharapkan-Mu. Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa kecintaanku terhadap dunia bukan untuk membuat taman pribadi yang dialiri sungai-sungai, atau untuk memperbanyak perkebunanku. Tetapy, untuk minum orang yang kehausan, menghadapi musim paceklik, dan untuk bekal mencari ilmu, menambah keimanan dan ketaatan.”
Ia bentangkan tangannya seakan ingin berjabat tangan dengan kematian. Ia berkata, “Selamat datang, wahai kematian. Engkau adalah kekasih yang datang saat diperlukan.”