Oleh: Syekh Prof. Dr. Syarif Hatim bin Arif Al-‘Auni
Tarjih (menguatkan suatu pendapat) yang dilakukan oleh setiap orang yang tidak sampai level mujtahid, hakikatnya hanyalah tarjih muqallid (tarjih yang dilakukan oleh seorang yang hanya mengikuti ulama lain). Aktivitas tarjihnya ini tidak mengeluarkan dia dari status sebagai seorang muqallid.
Sebagaimana orang awam yang melakukan pembatasan terhadap ulama yang pantas dia ikuti. Juga, sebagaimana dia berijtihad dalam memilih di antara berbagai pendapat dari para mufti (juru fatwa) apabila dia mendengar perselisihan mereka, dengan salah satu sarana pemilihan yang jauh dari hawa nafsu dan kesukaan pribadi. Terkadang, dia berijtihad dalam merajihkan dalil dari pendapat seorang ulama atas dalil pendapat ulama yang lain. Dan hal ini, merupakan sarana pertama yang mengurai isykal perbedaan pendapat para juru fatwa yang telah aku jelaskan di bukuku yang berjudul “Ikhtilaful Muftin”.
Seorang yang bukan mujtahid, jika dia merajihkan suatu pendapat dengan didasari oleh dalil dari seorang ulama, maka dia harus sadar dengan sesadar-sadarnya, bahwa dia tetap berstatus sebagai muqallid meski dalam merajihkan dia berdasarkan dalil. Sebab, dia tidak memiliki keahlian untuk mandiri dalam mengetahui dalil. Dia hanyalah seorang yang muqallid (sekedar membebek) kepada istidlal (cara berdalil) dari seorang imam yang telah mendahuluinya. Dia tidak memiliki kedalaman ilmu yang mencukupi untuk mandiri dalam berdalil agar dia mampu untuk memastikan akan validitas pendalilan seorang yang dia rajihkan pendapatnya, dan kesalahan pendalilan seorang yang dia selisihi pendapatnya.
Dengan demikian, seorang muqallid yang merajihkan suatu pendapat, wajib baginya untuk beradab dengan adab seorang muqallid. Jangan mendebat (ulama), karena muqallid bukan seorang yang memiliki kapasitas untuk berdebat dalam perkara yang dia tidak mengerti akan hakikatnya. Lebih-lebih untuk menyalahkan dan membenarkan. Orang seperti dia, cukup memperuntukkan hasil tarjihnya untuk dirinya sendiri. Demikan juga, ketika dia menukil suatu fatwa untuk orang lain, hendaknya dia sekedar menukil saja, tanpa diiringi dengan perilaku mengaku-mengaku memiliki kemampuan berijtihad dan tanpa diiringi sifat merasa sok tahu (seolah) mampu menyalahkan, membenarkan, mengingkari, dan mencaci-maki orang yang menyelisihinya.
Ini merupakan perbedaan antara tarjihnya seorang muqallid dengan pendaku salafi. Tarjih mereka (pendaku salafi) dilakukan di atas klaim bahwa mereka mampu mandiri dalam memahami dalil dan dalam membedakan antara taqlid dan apa yang mereka istilahkan dengan ittiba’. Perilaku ini merupakan bentuk dari sifat mengaku-ngaku sebagai mujtahid dari seorang yang tidak mengetahui syarat-syarat ijtihad, apalagi merealisasikannya!
Ini merupakan perbedaan penting antara dua tarjih, yaitu ; tarjih yang dikenal dengan taqlid meski mereka melakukan tarjih, dan tarjih para pendaku salafi kontemporer yang mereka ini sampai pada suatu kondisi yang mengingkari dan memandang buruk (merendahkan) berbagai pendapat para imam mazhab (yang empat). Mereka mengharuskan manusia untuk mengikuti berbagai pendapat pilihan mereka dengan mendaku mengikuti Quran dan Sunah.
Mereka tidak sadar, bahwa meskipun mereka melakukan tarjih, mereka tetap berstatus sebagai muqallid. Karena, mereka telah didahuli oleh imam yang mu’tabar (diperhitungkan keilmuannya) dalam masalah tersebut. Adapun jika mereka tidak didahuli oleh imam yang mu’tabar (dalam masalah tersebut), maka mereka telah berbicara tentang agama Allah tanpa ilmu. Mereka telah mengadakan pendapat-pendapat yang baru yang mereka sangka hal itu bersumber dari dalil!
(Dialihbahasakan oleh Abdullah Al-Jirani dari status beliau dengan sedikit penyesuaian agar enak dibaca dan mudah dipahami)
Link status klik disini.