Fatwapedia.com – Bagi umat islam ibadah puasa tidak hanya di bulan Ramadhan. Namun ada juga shaum sunnah yang dilakukan di hari-hari biasa seperti puasa 6 hari bulan Syawal. Dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam bersabda :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ، ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتاً مِنْ شَوَّالٍ، فَقَدَ صَامَ الدَّهرَ كُلَّهُ
“Barangsiapa yang shaum, kemudian mengiringkannya dengan shaum 6 hari di bulan Syawwal, maka seolah-olah ia shaum setahun penuh” (HR. Muslim No. 2758, Abu Dawud No. 2433)
Syaikh Al-Abadi mengatakan : “Hadits ini menjadi dalil disunnahkannya shaum di bulan Syawwal. Kalangan yang berpandangan seperti ini ialah Syafi’I, Ahmad, Ibnul Mubarak dan yang lainnya. Sedangkan sebagian ulama termasuk Imam Malik memakruhkannya karena kalangan jahiliyyah memasukkannya ke dalam Ramadhan” (‘Aunul Ma’bud, 7/63)
Madzhab Syafi’I memandang bahwa keutamaan Shaum Syawwal ini bagi siapa saja yang muslim, entah ia sempurna shaum Ramadhannya atau ia yang harus qadha. Tetap disunnahkan shaum syawwal. (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 28/93)
Namun, afdholnya mendahulukan qadha Ramadhan yang telah lalu ketimbang menunaikan shaum syawwal [jika punya utang shaum].
Bahkan madzab Hanbali dalam hal ini mengharamkan shaum syawwal, sebelum ditunaikannya qadha terlebih dahulu. Karena yang wajib di dahulukan daripada yang sunnah. (Al-Mawsu’ah, 28/100)
Soal: Assalammu’alaikum, ustadz mau nanya tentang shaum 6 hari di bulan syawwal. Apakah shaumnya itu dilakukan pada tanggal ke 2 atau tanggal 3 syawwal? Dan apakah shaum syawwalnya itu boleh dipertengahan atau boleh juga di selang hari seperti shaumnya nabi daud? Mohon jawabannya… Jazakallaah khoiron katsiir
Jawab: Waalaykumussalaam Warahmatullah Wabarakatuh.
Hukum shaum enam hari pada bulan syawwal ini adalah sunnah menurut mayoritas ulama.
Telah diriwayatkan dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda,
مَنْ صٙامَ رَمَضٙانَ ثُمَّ أٙتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كٙانَ كَصِيٙامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang shaum di bulan ramadhan kemudian mengiringkannya dengan shaum 6 hari di bulan syawwal, maka ia seperti menunaikan shaum setahun penuh.” (HR. Muslim No. 1164)
Keutamaan shaum syawwal:
Orang yang shaum ramadhan dan dilanjutkan dengan shaum enam hari di bulan syawwal seakan-akan shaum satu tahun, karena secara umum ramadhan ditunaikan selama 30 hari. Kemudian ditambah dengan 6 hari syawwal. Masing-masing dikalikan dengan 10 kebaikan [karena setiap satu kebaikan dilipat gandakan menjadi sepuluh kali lipat]. Hasilnya ialah 360, dimana ini merupakan jumlah hari dalam satu tahun hijriah.
Ini menunjukkan pada tiga hal:
1. Shaum syawwal dapat menutupi kekurangan dalam menjalani shaum ramadhan.
Para ulama memandang bahwa shaum sunnah syawal bagi shaum wajib ramadhan bagaikan shalat sunah ba’diyah [yang dilakukan setelah shalat wajib]. Begitu juga shaum sunnah bulan sya’ban sebelum shaum wajib ramadhan seperti halnya shalat sunnah qabliyah [yang dilakukan sebelum shalat wajib]. Ini semua berguna untuk menyempurnakan segala kekurangan dalam melaksanakan ibadah yang wajib.
2. Shaum syawwal diharapkan sebagai tanda diterimanya shaum ramadhan.
Hal ini karena ibadah yang diterima adalah ibadah yang melahirkan ibadah selanjutnya. Insya Allah shaum syawwal adalah ketaatan yang dilahirkan oleh ketaatan shaum ramadhan. Semoga ini menjadi pertanda diterimanya ibadah ramadhan kita.
3. Shaum syawwal adalah pertanda bahwa seseorang yang telah shaum ramadhan tidaklah pernah lelah atau berat untuk melaksanakan shaum, menundukkan syahwatnya.
Shaum enam hari bulan syawwal tidak harus enam hari secara beruntun, melainkan waktunya terbuka selama bulan syawwal. Maka kita boleh shaum syawwal sekaligus shaum sunnah lainnya, seperti shaum senin dan kamis atau shaum ayyamul bidh [pertengahan bulan], yaitu shaum tanggal 13, 14 dan 15. Namun yang lebih utama shaum secara langsung dan berurutan [dari tanggal 2 hingga 7 syawwal]. (Lihat, Ali Jum’ah, Al-Fatawa Al-Ramadhaniyah, hal. 78-79)
Memang, ada pendapat yang mengatakan bahwa shaum syawwal hukumnya makruh/kurang disukai. Pendapat itu ialah pendapat Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Imam Malik. (Fathul-Qadir, 2/349; Al-Muwaththa’, 1/330.)
Imam Abu Yusuf berkata:
كانوا يكرهون أن يتبعوا رمضان صوما خوفا أن يلحق ذلك بالفرضية
“Para ulama kalangan Hanafiyyah memandang makruh mengiringi shaum ramadhan dengan shaum lain [shaum enam hari bulan syawwal] karena dikhawatirkan akan disamakan dengan shaum wajib.” (Bada’I As-Shana’I, 2/78).
Imam Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah saat mengomentari pendapat Imam Malik berkata :
لم يبلغ مالكا حديث أبي أيوب على أنه حديث مدني والإحاطة بعلم الخاصة لا سبيل إليه والذي كرهه له مالك أمر قد بينه وأوضحه وذلك خشية أن يضاف إلى فرض رمضان وأن يستبين ذلك إلى العامة وكان – رحمه الله – متحفظا كثير الاحتياط للدين
وأما صيام الستة الأيام من شوال على طلب الفضل وعلى التأويل الذي جاء به ثوبان – رضي الله عنه – فإن مالكا لا يكره ذلك إن شاء الله لأن الصوم جنة وفضله معلوم لمن رد طعامه وشرابه وشهوته لله تعالى وهو عمل بر وخير وقد قال الله عز وجل وافعلوا الخير الحج 77 ومالك لا يجهل شيئا من هذا.
ولم يكره من ذلك إلا ما خافه على أهل الجهالة والجفاء إذا استمر ذلك وخشي أن يعدوه من فرائض الصيام مضافا إلى رمضان وما أظن مالكا جهل الحديث والله أعلم لأنه حديث مدني انفرد به عمر بن ثابت وقد قيل إنه روى عنه مالك ولو لا علمه به ما أنكره وأظن الشيخ عمر بن ثابت لم يكن عنده ممن يعتمد عليه وقد ترك مالك الاحتجاج ببعض ما رواه عن بعض شيوخه إذا لم يثق بحفظه ببعض ما رواه وقد يمكن أن يكون جهل الحديث ولو علمه لقال به والله أعلم
“Malik tidak mengetahui hadits Abu Ayyub sebagai salah satu hadits penduduk Madinah. Sebab mengetahui secara mendalam terhadap ilmu tertentu tidak mungkin dilakukan. Apa yang dimakruhkan Malik telah ia jelaskan, yaitu ditakutkan shaum itu akan disamakan dengan shaum wajib ramadhan oleh orang awam. Malik rahimahullah termasuk orang yang sangat berhati-hati dalam masalah agama.
Sedangkan shaum enam hari bulan syawwal untuk mendapatkan keutamaannya dan seperti apa yang dijelaskan dalam hadits Tsauban radliyallaahu ‘anhu, maka itu tidak dimakruhkan Malik insya Allah. Sebab shaum adalah perisai dan keutamaannya diketahui oleh orang yang menahan makan, minum, dan nafsunya karena Allaah. Ia juga sebuah amal kebajikan, sedang Allaah telah berfirman : “Dan kerjakanlah kebajikan” (QS. Al-Hajj : 77). Malik tentu mengetahui itu.
Malik tidak memakruhkan shaum syawwal melainkan karena kekhawatirannya bila itu dilakukan langsung [setelah ramadhan] orang awam akan menganggapnya termasuk shaum wajib ramadhan. Aku berpikiran Malik tidaklah jahil tentang hadits ini, wallaahu a’lam, karena itu adalah hadits penduduk Madinah yang diriwayatkan sendiri oleh ‘Umar bin Tsabit. Bahkan dikatakan Malik meriwayatkan darinya. Jadi, jika Malik tidak mengetahui hadits itu, tentu ia tidak mengingkarinya. Dan aku mengira juga bahwa Syaikh ‘Umar bin Tsabit termasuk orang yang tidak diterima Malik. Apalagi Malik tidak menerima hadits yang diriwayatkannya dari sebagian gurunya karena ia tidak percaya dengan hafalannya pada sebagian riwayatnya. Atau mungkin juga Malik memang tidak tahu hadits tersebut. Sebab jika ia tahu, tentu ia tidak mengatakan demikian [mengingkari shaum syawwal]. Wallaahu a’lam”. (Al-Istidzkar, 3/379).
Yang lebih kuat adalah pendapat yang mensunnahkan shaum syawwal. Wallaahu a’lam.
Apa boleh mendahulukan shaum syawwal dari pada shaum qadha?
Madzhab Syafi’I memandang bahwa keutamaan shaum syawwal ini bagi siapa saja yang muslim, entah ia sempurna shaum ramadhannya atau ia yang harus qadha. Tetap disunnahkan shaum syawwal. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 28/93)
Namun, afdholnya mendahulukan qadha ramadhan yang telah lalu ketimbang menunaikan shaum syawwal [jika punya utang shaum].
Bahkan madzhab Hanbali dalam hal ini mengharamkan shaum syawwal, sebelum ditunaikannya qadha terlebih dahulu. Karena yang wajib di dahulukan daripada yang sunnah. (Al-Mausu’ah, 28/100)
Kemudian, apakah boleh menggabungkan niat shaum qadha dengan shaum syawwal?
Di dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyyah (12/24), diterangkan pembahasan seputar tasyrik an-niyah [penggabungan niat]. Pemaparannya sebagai berikut :
إِنْ أَشْرَكَ عِبَادَتَيْنِ فِي النِّيَّةِ، فَإِِنْ كَانَ مَبْنَاهُمَا عَلَى التَّدَاخُل كَغُسْلَيِ الْجُمُعَةِ وَالْجَنَابَةِ، أَوِ الْجَنَابَةِ وَالْحَيْضِ، أَوْ غُسْل الْجُمُعَةِ وَالْعِيدِ، أَوْ كَانَتْ إِحْدَاهُمَا غَيْرَ مَقْصُودَةٍ كَتَحِيَّةِ الْمَسْجِدِ مَعَ فَرْضٍ أَوْ سُنَّةٍ أُخْرَى، فَلاَ يَقْدَحُ ذَلِكَ فِي الْعِبَادَةِ؛ لأَِنَّ مَبْنَى الطَّهَارَةِ عَلَى التَّدَاخُل، وَالتَّحِيَّةُ وَأَمْثَالُهَا غَيْرُ مَقْصُودَةٍ بِذَاتِهَا، بَل الْمَقْصُودُ شَغْل الْمَكَانِ بِالصَّلاَةِ، فَيَنْدَرِجُ فِي غَيْرِهِ.
أَمَّا التَّشْرِيكُ بَيْنَ عِبَادَتَيْنِ مَقْصُودَتَيْنِ بِذَاتِهَا كَالظُّهْرِ وَرَاتِبَتِهِ، فَلاَ يَصِحُّ تَشْرِيكُهُمَا فِي نِيَّةٍ وَاحِدَةٍ؛ لأَِنَّهُمَا عِبَادَتَانِ مُسْتَقِلَّتَانِ لاَ تَنْدَرِجُ إِحْدَاهُمَا فِي الأُْخْرَى
“Seandainya seseorang melakukan dua ibadah sekaligus dengan satu niat, maka apabila dua ibadah tersebut bisa saling menyatu seperti mandi jum’at dengan mandi junub, mandi junub dengan mandi haid, mandi jum’at dengan mandi Ied; atau salah satu ibadah tersebut bukan ibadah ‘maqshudah [dilakukan karena ada maksud khusus yang dituju]’ seperti shalat tahiyatul masjid dengan shalat fardhu atau shalat sunnah lainnya, maka semua itu tidak mencederai ibadah tersebut.
Akan tetapi apabila kedua ibadah itu adalah ibadah ‘maqshudah’ seperti shalat dzuhur dengan sunnah rawatibnya, maka tidak sah digabung di dalam satu niat karena masing-masing dari keduanya adalah ibadah independen/tersendiri yang tidak bisa saling menyatu.” (keterangan ini dapat juga dilihat di dalam kitab Al Iqna, 2/6; Nihayatul Muhtaaj, 4/106; dan Al Mughni 1/221)
Madzhab Syafi’i memandang boleh menggabungkan niat antara shaum qadha dengan shaum syawwal, dan ia mendapatkan pahala ganda, meski pada dasarnya lebih afdhol masing-masing niat dan shaum dipisahkan sendiri-sendiri.
Di dalam Nihayatul Muhtaj tertulis :
وٙلٙوْ صٙامٙ فِيْ شٙوّٙالٍ قٙضٙاءً أٙوْ نٙذْرًا أٙوْ غٙيْرٙهُمٙا أٙوْ فِيْ نٙحْوِ يٙوْمِ عٙاشُوْرٙاءٙ حٙصٙلٙ لٙهُ ثٙوٙابُ تٙطٙوُّعِهٙا
“Seandainya seseorang melaksanakan shaum di bulan syawwal berupa shaum qodho atau nadzar atau selain keduanya [shaum yang hukumnya wajib], begitu pula misalnya seseorang shaum di hari asyura [10 Muharram], maka ia akan mendapat pahala shaum sunnah pada hari itu…” (Syamsuddin Ar-Romli, Nihayatul Muhtaj, 3/208)
Alias ia akan mendapat pahala ganda, yakni pahala shaum qodho dan pahala shaum sunnah.
Akan tetapi, ia tidak akan mendapat pahala yang disebutkan hadits riwayat Muslim di atas [pahala shaum setahun penuh], sebabnya karena pahala setahun penuh itu hanya bisa diraih jika shaum ramadhan dan shaum sunnah syawwal dipenuhi secara sempurna. Kalau pun ada yang harus diqodho, maka qodho shaum itu dikerjakan dan diniatkan terpisah dengan shaum syawwal. (Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Asy-Syafi’I, 2/209)
Jika seseorang hendak melaksanakan qodho shaum ramadhan di bulan syawwal, maka ia mesti meniatkan shaum qodho pada malam hari karena shaum yang sifatnya wajib mesti diniatkan pada malam hari. (Asy-Syarqowi, Fathul Qodir Al-Khobir, hal. 142)
Keutamaan Puasa Enam Hari Bulan Syawal
Saudaraku, setelah melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan dan berhari raya, kita disyariatkan untuk melaksanakan ibadah puasa sunnah selama enam hari. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim dari sahabat Abu Ayyub Al Anshari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّال كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka dia seperti berpuasa sepanjang tahun.” (HR. Muslim).
Pahala puasa bulan Ramadhan yang dilanjutkan dengan enam hari di bulan Syawwal menyamai pahala puasa satu tahun penuh, karena setiap hasanah (kebaikan) diganjar sepuluh kali lipat. Maka puasa sebulan bernilai puasa sepuluh bulan, dan puasa enam hari bernilah puasa 60 hari (dua bulan). Ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad dalam Musnadnya dan juga An Nasa’I dalam Sunannya, dari sahabat Tsauban radhiyallahu ‘anhuh bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
صِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ بِعَشْرَةِ أَشْهُرٍ, وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بِشَهْرَيْنِ، فَذَلِكَ صِيَامُ سَنَةٍ
“Puasa Ramadhan ganjarannya sebanding dengan puasa sepuluh bulan, sedangkan puasa enam hari di bulan syawal, pahalanya sebanding dengan puasa dua bulan, dan karenanya bagaikan puasa selama setahun penuh.”
Puasa enam hari di bulan Syawwal memiliki banyak faidah, di antaranya:
1. Puasa enam hari di bulan Syawwal setelah Ramadhan adalah penyempurna pahala dari puasa bulan Ramadhan sehingga teranggap puasa setahun penuh sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits.
2. Puasa sunnah di bulan Syawwal berfaidah untuk menambal kekurangan yang ada di ibadah puasa kita di bulan Ramadhan. Posisinya seperti shalat sunnah rawatib yang menambal kekurangan pada shalat lima waktu kita.
3. Sebagai tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan kita. Para ulama menyebutkan bahwa Balasan dari suatu amal kebajikan adalah seseorang dimudahkan untuk melakukan kebajikan lain setelahnya. Jadi tanda amalan puasa kita diterima oleh Allah adalah kita dimudahkan untuk melakukan ibadah setelah ramadhan, di antaranya adalah puasa sunnah enam hari di bulan Syawwal.
4. Sebagai tanda syukur atas kemudahan di bulan Ramadhan. Satu hal yang perlu kita sadari bahwa ibadah yang kita lakukan di bulan Ramadhan bisa berlangsung lancar karena taufiq dan pertolongan dari Allah. Oleh karena itu hendaknya kita bersyukur atas kemudahan tersebut. Cara bersyukurnya adalah dengan berpuasa enam hari di bulan Syawwal.
Oleh karena itu mari kita laksanakan puasa sunnah ini. Bagi yang memiliki hutang puasa hendaknya dibayarkan terlebih dahulu agar sempurna terlebih dahulu puasa Ramadhannya, barulah setelah itu dilanjutkan dengan puasa enam hari agar sesuai dengan apa yang disebutkan di dalam hadits. Wallahu a’lam.
Pesantren Nashirus Sunnah Mesir