Oleh : Muhammad Atim
Fatwapedia.com – Diantara jenis zakat yang perlu kita ketahui dengan baik adalah apa yang dinamakan zakat fitrah/fitri. Apa saja hal-hal yang perlu kita ketahui tentang ibadah yang disyariatkan pada tahun kedua hijriah ini? Simak penjelasan ringkas dari Ustadz Muhammad Atim hafidzaahullah berikut ini.
Pengertian zakat fitrah
Zakat fitrah atau fitri, kedua istilah ini tidak mengapa digunakan karena memiliki maksud yang sama yaitu “shadaqah wajib/zakat yang dikeluarkan ketika berbuka (berakhirnya shaum) pada bulan Ramadhan, dikeluarkannya sebelum orang-orang keluar menuju shalat ‘Iedul Fitri”. Meskipun istilah yang digunakan di dalam hadits adalah shadaqah/zakat fitri yang bermakna berbuka. Sedangkan istilah fitrah digunakan oleh para ulama yang berarti khilqah (kondisi penciptaan manusia) dengan tinjauan bahwa ia adalah zakat bagi setiap badan/jiwa manusia yang bertujuan untuk mensucikannya dan mengembangkan amalnya (Lihat Kifayatul Akhyar, Dar Ibnu Jauzi-Mesir, hal.184).
Hukum Zakat Fitrah
Yang tepat hukumnya adalah wajib. Sebagaimana secara tegas disebutkan dalam hadits :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu’anhuma, dia berkata, “Rasulullah ﷺ mewajibkan zakat fitri satu sha’ dari kurma atau sha’ dari gandum bagi setiap hamba sahaya (budak) maupun yang merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar dari kaum muslimin. Dan beliau memerintahkan agar menunaikannya sebelum orang-orang berangkat untuk shalat (‘Ied) “. (HR. Bukhari no.1503).
Siapakah yang wajib mengeluarkan zakat fitrah?
Berbeda dengan zakat lainnya yang merupakan zakat yang terkait dengan harta, zakat fitrah terkait dengan badan atau jiwa. Jadi, sebagaimana hadits di atas, setiap muslim baik hamba sahaya (budak) maupun yang merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar wajib membayar zakat fitrah. Semua orang yang nafkahnya ada dalam tanggungan, maka penanggungnya wajib membayarkan zakatnya, termasuk pembantu rumah tangga misalnya. Juga syarat wajibnya seseorang memiliki kelebihan dari makanan pokok untuk dirinya dan untuk orang yang ada dalam tanggungannya.
Adapun bagi janin dalam kandungan yang telah ditiupkan ruh (usia 120 hari), ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Mayoritas ulama tidak mewajibkannya, bahkan Ibnu Mundzir mengkategorikannya sebagai ijma, sedangkan Ibnu Hazm mewajibkannya. Yaitu dalilnya berdasarkan yang dilakukan oleh Utsman bin Affan ra dan para sahabat lainnya.
Ibnu Abu Syaibah meriwayatkan :
أَنَّ عُثْمَانَ كَانَ يُعْطِيْ صَدَقَةَ الْفِطْرِ عَنِ الْحَبْلِ
“Sesungguhnya Usman bin Afan memberikan zakat fitrah dari bayi yang dikandung.” (Mushannaf Ibnu Abu Syaibah, Hadits no.10.737)
Dalam riwayat Ahmad disebutkan dengan redaksi :
أَنَّ عُثْمَانَ كَانَ يُعْطِيْ صَدَقَةَ الْفِطْرِ عَنِ الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ وَالْحَمْلِ
“Sesungguhnya Usman bin Affan memberikan zakat fitrah dari anak kecil, orang dewasa, dan bayi yang dikandung.” (Masaa’il Ahmad bin Hanbal Riwayah Ibnuhu Abdullah, hlm. 168)
عَنْ أَبِيْ قِلاَبَةَ قَالَ كَانَ يُعْجِبُهُمْ أَنْ يُعْطُوْا زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنِ الصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ حَتَّى عَلَى الْحَبْلِ فِي بَطْنِ أُمِّهِ
Dari Abu Qilabah, ia berkata, “Adalah menjadi perhatian mereka (para sahabat) untuk mengeluarkan/memberikan zakat fitrah dari anak kecil, dewasa, bahkan yang masih dalam kandungan.” HR.Abdurrazaq. (al-Mushannaf, hadis no. 5788).
Para ulama lain yang tidak memandangnya wajib, berdasarkan riwayat ini, minimal menunjukkan mustahab (dianjurkan).
Jenis Barang Zakat Fitrah
Yang dikeluarkan di zaman Nabi saw adalah empat jenis makanan, yaitu : gandum, kurma, keju dan kismis.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ يَقُولُ :كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ
Dari Abu Sa’id Al-Khudri, ia berkata : “Kami mengeluarkan zakat fitri satu sha” makanan, atau satu sha’ gandum, atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ keju, atau satu sha’ anggur kering (kismis)”. (HR. Bukhari, no.1506, Muslim, no. 985).
Para ulama berbeda pendapat. Zhahiriyyah hanya membolehkan empat jenis tersebut saja. Begitu pula Hanbali, hanya saja mereka membolehkan yang semakna dengan sya’ir (gandum), yaitu bur (satu jenis gandum), daqiq (tepung dari gandum) dan sawiq (makanan yang terbuat dari gandum). Dan jika tidak menemukan hal tersebut, maka beralih kepada makanan pokok. Sedangkan Maliki dan Syaf’i memahami illat (alasan hukum) dari makanan yang dikeluarkan tersebut, yaitu illatnya karena sebagai makanan pokok, maka ditetapkanlah zakat fitrah itu makanan pokok yang dominan di negeri si pembayar zakatnya (muzakki).
Sedangkan yang membolehkan membayar selain makanan pokok, juga dengan nilainya/uang adalah Hanafi dan imam Bukhari. Dalilnya cukup kuat yaitu hadits yang menyebutkan Rasulullah saw membolehkan mengeluarkan zakat dengan nilainya kepada Khalid, persetujuan kepada Mu’adz bin Jabal ketika ia mengambil zakat dari penduduk Yaman dengan nilainya, karena hal itu lebih mudah dan lebih maslahat untuk para sahabat di Madinah, ketentuan zakat yang ditulis oleh Abu Bakar Shiddiq ra, termasuk pengamalan di zaman sahabat dan tabi’in yang terkait langsung dengan zakat fitrah. Selain itu, zakat fitrah bisa dipahami tujuannya yaitu mencukupkan kebutuhan si penerima zakat pada hari raya, karena bisa jadi uang lebih dibutuhkan olehnya.
Ukurannya sebagaimana dalam hadits adalah satu sha’ yaitu sama dengan 4 mud. Ini mengacu kepada ukuran isi atau volume bukan berat. Sehingga bisa jadi beratnya berbeda-beda tergantung jenis makanannya. Dan ini disesuaikan dengan kualitas makanan pokok yang biasa dimakan oleh muzakki dan keluarganya. Tapi untuk memudahkan, di Indonesia misalnya dikonversi ke liter atau kilogram menjadi sekitar 3 liter atau 2,5 kg.
Kapan Dikeluarkan Zakat Fitrah?
Waktu diberikannya zakat fitrah kepada mustahiqnya ada perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan sejak maghrib sampai sebelum berangkat shalat Idul Fitri, yaitu Syafi’i, Hanbali dan salah satu pendapat dari madzhab Maliki. Alasannya karena makna fitri terkait dengan waktu berbuka yaitu pada saat maghrib, juga karena maghrib adalah waktu berakhirnya Ramadhan dan bermulanya syawal. Baca juga: doa mengeluarkan zakat fitrah dan artinya
Ada juga yang berpendapat waktunya adalah dari ba’da shubuh sampai sebelum berangkat shalat Id, yaitu Hanafi, Zhahiri, satu pendapat dalam madzhab Maliki, pendapat lama madzbab Syafi’i, Laits bin Sa’ad dan Ibnu Mundzir. Dalilnya adalah justru makna fitri terkait buka shaum pada waktu shubuh, karena biasanya di bulan Ramadhan shaum, juga terkait dengan hari raya itu sendiri. Selain itu jelas dalam hadits disebutkan sebelum orang-orang berangkat shalat id, artinya waktunya dekat sebelum shalat ‘id. Ibnu Tin mengatakan : “Perkataan: ‘sebelum orang keluar (pergi) ke salat Ied’ maksudnya sebelum orang keluar untuk salat Idul Fitri dan setelah salat subuh.“ (Fathul Bari, 3/439).
Pendapat kedua ini insya Allah lebih kuat.
Adapun dikumpulkan di panitia zakatnya boleh sebelumnya, seperti dalam riwayat berikut :
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَى الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ
“Dari Nafi, sesungguhnya Ibnu Umar mengirimkan zakat fitrahnya kepada orang yang mengumpulkan zakat (jami’ zakat) dua hari atau tiga hari sebelum iedul fitri.” HR. Malik, Asy-Syafi’i, Al-Baihaqi. (HR. Malik, Al-Muwatha, No. 629; Asy-Syafi’i, Musnad Asy-Syafi’I, 1/230; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, No. 7161).
Dan tidak boleh diberikan setelah shalat ‘id, artinya zakat fitrahnya tidak sah. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.” (HR. Abu Daud, no. 1609 dan Ibnu Majah, no. 1827. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Siapakah Mustahik Zakat Fitrah?
Para ulama berbeda pendapat. Pertama, boleh diberikan kepada 8 kelompok sebagaimana zakat lainnya, ini pendapat jumhur ulama; Hanafi, Syafi’i dan Hanbali. Seperti dalam ayat :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah : 60).
Kedua, hanya boleh diberikan kepada fakir miskin sebagaimana hadits menyebutkan bahwa zakat fitrah itu “sebagai makanan bagi orang-orang miskin”. Ini pendapat Maliki, satu pendapat dari Hanbali, pilihan Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim dan Asy-Syaukani.
Namun yang lebih kuat, kata “sebagai makanan bagi orang-orang miskin” bukanlah pembatasan, ia bisa dipahami sebagai prioritas utama. Tapi tidak menghalangi untuk diberikan kepada kelompok lainnya. Tentang pembagian dan prosentasinya dikembalikan kepada panitia yang paling mengetahui kondisi mustahiqnya, dengan memperhatikan dan mempertimbangkan kemaslahatan. Wallahu A’lam.
t.me/maisy_institute
t.me/butirpencerahan