Fatwapedia.com – Generasi Daud bin Jirjis sudah mulai bergentayangan menyesalkan apa yang terjadi pada salah satu aktivis yang kerap menghina syariat islam yang usianya jauh lebih tua dari kita itu.
Lalu bagaimana sebenarnya sikap generasi salaf jika ada musibah yang menimpa orang jahat baik kejahatan yang sudah sampai pada tahap kekafiran atau hanya zalim biasa?
Jika kita kaji sejarah, akan kita dapati beberapa potret generasi salaf dalam menyikapi kejadian seperti ini. Sebagai contoh adalah sikap Ibrahim An-Nakhaiiy yang merupakan ulama salaf tulen, ketika menerima kabar kematian Hajjaj bin Yusuf yang mana beliau merupakan waliyyul amri (ulil amri) syar’i yang menjabat sebagai gubernur.
Lantas apa sikap yang ditampakan oleh Ibrahim An-Nakhaiy? Saat mendengar kabar meninggalnya Hajjaj, Ibrahim An-Nakhaiy justru malah sujud syukur.
Kisah ini bisa kita temukan dalam kitab Thabaqat Ibnu Sa‘d jilid 6 hal 287 menurut terbitan Dar Al-Kutub al IImiyyah, atau jilid 8 hal. 397 terbitan Maktabah Khanji ketika menjelaskan biografi Ibrahim An-Nakha’iy sebagai tabi’in thabaqah kedua di kalangan ahli Kufah.
روى ابنُ سعدٍ في ” طبقاته ” (6/280) قال : أخبرنا عبدُ الحميدِ بنُ عبدِ الرحمنِ الحِماني ، عن أبي حَنِيْفَةَ : عَنْ حَمَّادٍ ، قَالَ : بَشَّرْتُ إِبْرَاهِيْمَ بِمَوْتِ الحَجَّاجِ ، فَسَجَدَ ، وَرَأَيْتُهُ يَبْكِي مِنَ الفَرَحِ .
وذكر الأثرَ الإمامُ الذهبيُّ في ” السير ” (4/524) .
Artinya: Ibnu Sa’d meriwayatkan, “Abdul Hamid bin Abdurrahman Al-Himmani mengabarkan kepada kami, dari Abu Hanifah, dari Hammad, dia berkata, “Aku memberi kabar gembira kepada Ibrahim tentang kematian Hajjaj, maka Ibrahim pun sujud sukur.”
Hammad juga berkata, “Aku belum pernah melihat seorang yang saking gembiranya sampai menangis karena gembira kecuali ketika Ibrahim menangis saking gembiranya.”
Sanad dalam riwayat ini shahih, karena Abdurrahman Al-Himmani shaduq meski kadang salah sebagaimana penilaian Ibnu Hajar dalam At-Taqrib, tapi di sini dia tidak meriwayatkan hadits, melainkan kisah. Dia perawi yang dipakai oleh Al-Bukhari dan Muslim dan memang biasa meriwayatkan dari Abu Hanifah. Lihat selengkapnya di Tahdzib Al-Kamal.
Dilanjutkan di era setelahnya kisah yang paling terkenal sehingga tidak perlu menuliskan referensi lagi, yaitu kisah bahagianya Imam Ahmad atas kematian Ibnu Abi Ad-Du’ad gembong Mu’tazilah yang telah memasukkan ke penjara.
Ada sebuah pernyataan menarik dari Izzuddin bin Abdus Salam sebagaimana yang dinukil oleh Az-Zarkasyi dalam kitab Al-Mantsur fil Qawa’id Al-Fiqhiyyah.
قال رحمه الله: “لو قتل عدو الإنسان ظلماً وتعدياً فسره قتله وفرح به، هل يكون ذلك سروراً بمعصية الله أم لا؟ قلت: إن فرح بكونه عصي الله فيه فبئس الفرح فرحه، وإن فرح بكونه تخلص من شره، وخلص الناس من ظلمه وغشمه، ولم يفرح بمعصية الله بقتله، فلا بأس بذلك؛ لاختلاف سببي الفرح، فإن قال: لا أدري بأي الأمرين كان فرحي؟ قلنا: لا إثم عليك، لأن الظاهر من حال الإنسان أنه يفرح بمصاب عدوه لأجل الاستراحة منه،
“Syekh Izzuddin mengatakan, Kalau ada seseorang punya musuh lalu musuhnya ini terbunuh secara zalim dan dia gembira dgn kematian musuhnya itu apakah dia berdosa?
Jawab Syeikh, Jika dia gembira karena terjadi dosa kepada Allah (yaitu pembunuhan musuhnya itu secara zalim -penerj) maka dia berdosa, tapi kalau gembiranya itu karena dia selamat dari kejahatan musuhnya itu maka tidak berdosa.
Kalau ditanya bila kita tidak tahu dia gembiranya karena apa? Maka jawabannya dia tidak berdosa, karena secara Zahir orang akan gembira dengan kematian musuhnya lantaran itu membuatnya selamat dari kejahatan musuhnya itu.” (al-Mantsur oleh Az-Zarkasyi terbitan Departemen Waqaf Kuwait tahun 1985 jilid 1 hal. 411).
Catatan: Fatwa Izzuddin ini berlaku untuk musuh pribadi, bukan musuh Islam. Maka bagaimana kalau yang dapat musibah itu adalah musuh Islam? Sungguh tak akan ada dosa bagi yang bahagia dengan musibahnya
Sumber: Ustadz Anshari Taslim Lc. dengan beberapa editan.