Fatwapedia.com – Sebagaimana telah dijelaskan oleh para fuqaha, bahwasanya berdiri termasuk rukun dalam shalat. Maka tidak sah orang yang shalat dengan duduk sementara dia mempu melakukan dengan berdiri. Namun rukun berdiri ini dapat gugur jika ada uzur syar’i. Apa saja udzur (alasan) yang membolehkan seseorang shalat sambil duduk? Simak penjelasannya dibawah ini.
Pertanyaan:
Kapan dibolehkan orang sakit shalat sambil duduk? Karena mungkin dia dapat melakukan dengan berdiri akan tetapi dengan keletihan yang sangat?
Jawaban:
Alhamdulillah. Sebagaimana telah dijelaskan oleh para fuqaha, bahwasanya berdiri termasuk rukun dalam shalat. Maka tidak sah orang yang shalat dengan duduk sementara dia mempu melakukan dengan berdiri. Namun rukun shalat ini dapat gugur jika ada uzur seperti rukun lainnya.
Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmu, 4/201, mengatakan, “Umat telah sepakat (Ijmak) bahwa siapa yang tidak mampu berdiri dalam shalat wajib, maka dia boleh melakukan sambil duduk dan tidak perlu mengulanginya lagi. Rekan-rekan kami mengatakan, ‘Tidak mengurangi pahalanya seperti pahala ketika dalam kondisi berdiri. Karena dia ada uzur. Terdapat ketetapan dalam hadits Bukhari sesungguhnya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مَا كَانَ يَعْمَلُ صَحِيحًا مُقِيمًا
“Kalau seorang hamba sakit atau bepergian, maka dia akan dicatat (pahala) sebagaimana dia melakukan dalam kondisi sehat dan mukim.”
Ketentuan uzur yang dapat menggugurkan berdiri dan dibolehkan shalat wajib sambil duduk adalah:
Tidak mampu berdiri
Dapat menambah sakit
Dapat mengakhirkan kesembuhannya.
Mendapatkan kesulitan yang sangat hingga hilang khusyu. Kalau kesulitannya tidak sampai demikian, tidak dibolehkan shalat sambil duduk.
Diriwatkan oleh Bukhari, no. 1117 dari Imron bin Husain radhiallahu anhu, dia berkata, dahulu saya mempunyai penyakit wasir, maka saya bertanya kepada Nabi sallallahu alaihi wa sallam tentang (bagaimana caranya) shalat, maka beliau bersabda:
صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
“Shalatlah dengan berdiri, kalau tidak mampu, maka shalatlah dalam keadaan duduk. Kalau tidak mampu, maka dengan cara berbaring.”
Al-Hafidz mengatakan, ”Ungkapan ‘ketika tidak mampu’ menjadi dalil bagi orang yang mengatakan bahwa orang sakit tidak boleh pindah kondisi shalat dengan duduk kecuali setelah tidak mampu berdiri. Sedangkan Iyad meriwayatkan dari Syafi’i, dari Malik, Ahmad dan Ishak, “Tidak disyaratkan tidak mampu berdiri, tapi cukup jika ada kesulitan (berdiri) saja.” Sementara yang dikenal dalam kalangan syafi’iyyah bahwa maksud tidak mampu adalah adanya kesulitan yang sangat kalau berdiri. Atau takut bertambah sakit atau sebabkan kematian. Tidak cukup (alasan) dengan kesulitan yang bersifat minimal. Di antara kepayahan yang sangat adalah sakit kepala hingga terasa berputar-putar bagi penumpang perahu kapal dan takut tenggelam jika dia shalat dalam kondisi berdiri di atas kapal laut.
Jumhur (mayoritas) ulama berdalil juga dengan hadits Ibnu Abbas di Thabrani dengan redaski, “Tunaikan shalat dengan berdiri, kalau dia mengalami kesulitan, maka duduklah, jika kesulitan, maka shalat dengan berbaring.” (Fathul Bari)
Dan hadits Ibnu Abbas yang disebutkan oleh Al-Hafidz, itu disebutkan oleh Al-Haitsam dalam Majma Az-Zawaid, no. 2897, seraya mengatakan, “Hadits riwayat Thabrani dalam kitab Al-Aushat dan dia mengatakan, “Tidak ada yang meriwatakan dari Ibnu Juraij kecuali Halas bin Muhammad Al-Dhibghi.” Saya mengatakan (Al-Haitsami), ”Saya belum menemukan biografinya sementara sisa perawinya semuanya terpercaya.”
Ibnu Qudamah dalam Al-Mugni, 1/443, mengatakan, “Jika memungkinkan hendaknya shalat dalam keadaan berdiri. Kecuali jika khawatir bertambah sakit, atau terlambat kesembuhannya atau merasakan kesulitan yang sangat, maka dia dibolehkan shalat dengan duduk.”
Senada dengan pendapat ini adalah pendapat Malik dan ishaq. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan tidak dijadikan agama ini untuk menyulitkan kalian semua.”
Menuntut untuk berdiri dalam kondisi seperti ini termasuk kesulitan. Dan karena Nabi sallallahu alaihi wa sallam sambil duduk ketika beliau luka di sisi kanannya. Yang nampak adalah bukannya beliau tidak mampu berdiri sama sekali, akan tetapi ketika sangat sulit berdiri, maka gugur kewajibannya (untuk berdiri).”
An-Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmu, 4/201 mengatakan, “Rekan-rekan kami mengatakan, tidak disyaratkan tidak mampu berdiri, namun tidak cukup tingkat kesulitannya masih minimal. Tapi yang dijadikan acuan adalah kesulitan yang tampak. Kalau takut kesulitannya bertambah sakit atau semisal itu atau penumpang perahu khawatir tenggelam atau pusing kepalanya, maka dibolehkan shalat dengan duduk dan tidak perlu mengulangi lagi.”
Imam Haramain mengatakan, “Hemat saya, pandangan tentang lemah (untuk berdiri) adalah ketika dengan berdiri dia akan mengalami kepayahan yang dapat menghilangkan khusyu. Karena khusyu adalah maksud dari shalat itu sendiri.”
Dan pilihan imam haromain ini yang dikuatkan oleh Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah seraya mengatakan, “Patokan kepayahan adalah apa yang dapat menghilangkan kekhusyuan. Dan khusyu adalah menghadirkan hati dan tumakninah. Jika dia berdiri merasa gelisah sekali tidak tenang lalu dia berharap segera sampai di akhir surat Al-Fatihah agar dapat ruku karena kepayahan yang dideritanya. Maka ini yang dinamakan lemah berdiri, sehingga dia dibolehkan shalat dalam keadaan duduk.” (As-Syarhul-Mumti’, 4/326).