Fatwapedia.com – Shalat tarawih hukumnya sunnah sesuai dengan ijma’ para ulama, tarawih boleh dilakukan sendiri-sendiri dan boleh juga secara berjama’ah. Namun manakah yang lebih utama?, Ada dua pendapat ulama yang masyhur dan yang shahih sesuai dengan kesepakatan para ulama kami bahwa berjama’ah shalat tarawih lebih utama, adapun pendapat kedua menyatakan shalat sendiri-sendiri lebih utama. Wallahu a’lam.
Pasal: Bolehkah shalat tarawih sebelum shalat isya?
Pertanyaan:
Jika orang yang hendak shalat Isya datang ke masjid saat jamaah sedang melaksanakan shalat. Ternyata kemudian jelas baginya bahwa mereka sedang melaksanakan shalat Taraweh, maka diapun ikut bersama mereka. Kemudian setelah itu dia shalat Isya. Apakah dibolehkan shalat Isya setelah Taraweh? Apakah boleh shalat Taraweh sebelum Isya?
Jawaban: Alhamdulillah. Kesimpulannya, sunnah Tarawih dilakukan setelah Isya. Qiyamullail di bulan Ramadan dilakukan setelah Isya. Akan tetapi ini adalah shalat sunah, maka shalat dia bersama mereka sebelum shalat Isya dianggap sebagai shalat sunah di antara Maghrib dan Isya. Sedangkan shalat Isya yang dia lakukan dianggap sah. Akan tetapi, yang lebih utama adalah dia memulai shalat fardhu dahulu, kemudian shalat Taraweh bersama mereka. Inilah yang seharusnya dilakukan agar dia dapat menunaikan sunah dalam pelaksanaan shalat fardhu.
Seandainya dia shalat bersama mereka dengan niat shalat fardhu, lalu ketika imam salam dari shalat Taraweh, dia bangun dan menyempurnakan shalat fardhunya, maka hal tersebut dianggap sah. Seandainya pada dua rakaat pertama tadi imam niat shalat Taraweh sedangkan dia shalat fardhu, kemudian ketika imam salam dia menyempurnakan shalatnya, maka hal itu dianggap sah.
Kesimpulannya adalah, tidak ada masalah dalam hal ini insya Allah. Shalat Isyanya sah, shalat tarawehnya (yang dilakukan sebelum shalat Isya) juga sah dan dianggap shalat sunnah biasa, bukan shalat Tarawih, bukan qiyam Ramadan yang dikenal. Karena qiyam Ramadan, seharusnya dilakukan setelah shalat Isya, sedangkan dia melakukannya sebelum shalat Isya. Maka dia termasuk shalat sunnah yang dilakukan antara Maghrib dan Isya.” (Fatwa Syekh Abdul Aziz bin Baz, rahimahullah)
Hukum Shalat Tarawih di Masjid
Pertanyaan: Apakah melaksanakan shalat di masjid lebih utama dari pada shalat di rumah?
Jawaban: Alhamdulillah. Shalat tarawih di masjib lebih utama dari pada shalat di rumah, yang mendasari hal ini adalah sunnah dan perbuatan para sahabat –radhiyallahu ‘anhum-.
Pertama:
Imam Bukhori (1129) dan Muslim (761) dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- suatu ketika shalat di masjid dan banyak orang ikut shalat bersama beliau, kemudian pada hari berikutnya beliau shalat dan masyarakat semakin banyak, kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat, namun Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak keluar menemui mereka, dan pada pagi harinya beliau bersabda:
قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ ، وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ
“Aku telah melihat apa yang telah kalian perbuat, tidak ada yang menghalangiku untuk keluar menuju kalian kecuali karena aku khawatir (shalat tarawih) akan diwajibkan kepada kalian”.
Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadhan.
Hal ini menunjukkan bahwa shalat terawih berjama’ah disyari’atkan berdasarkan sunnah Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, hanya saja beliau meninggalkannya karena khawatir akan diwajibkan kepada umat, pada saat Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- meninggal dunia maka kekhawatiran tersebut sudah tidak ada; karena syari’at sudah kokoh.
Kedua:
Tirmidzi (806) telah meriwayatkan dari Abu Dzar –radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ –يعني في صلاة التراويح- حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
“Barang siapa yang berdiri bersama imam –pada shalat tarawih- sampai imam selesai, maka akan dicatat sama dengan qiyamullail sepenjang malam”. (Dishahihkan Albani dalam Shahih Tirmidzi)
Ketiga:
Imam Bukhori (2010) dari Abdurrahman bin Abdul Qari bahwa beliau berkata: “Saya pernah keluar bersama Umar bin Khattab –radhiyallahu ‘anhu- pada suatu malam menuju masjid pada bulan Ramadhan, didapati banyak orang yang bertebaran berbeda-beda, seseorang shalat sendirian, ada juga seseorang yang menjadi imam bagi sekelompok orang lainnya, maka Umar berkata:
إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ، ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ
“Sungguh saya berpendapat kalau mereka saya kumpulkan di belakang seorang qari’ maka akan lebih utama, kemudian beliau berazam untuk mengumpulkan mereka di belakang Ubay bin Ka’ab (sebagai imam)”.
Al Hafidz berkata:
“Ibnu at Tin dan yang lainnya berkata: “Umar menyimpulkan hal itu dari persetujuan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada orang-orang yang shalat bersama beliau pada beberapa malam, meskipun tidak menyukai mereka namun sebabnya karena khawatir akan diwajibkan kepada mereka, begitu Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- wafat maka sudah tidak ada kekhawatiran lagi, dan berjama’ah itulah yang menurut Umar yang rajih; karena berbeda-beda itu akan menyebabkan terpecahnya persatuan; dan karena berkumpul pada satu imam akan lebih giat bagi mereka para jama’ah shalat, dan jumhur ulama lebih cenderung kepada pendapat Umar”. (Fathul Baari)
An Nawawi berkata di dalam Al Majmu’ (3/526):
“Shalat tarawih hukumnya sunnah sesuai dengan konsensus para ulama, boleh dilaksanakan sendiri-sendiri dan berjama’ah, dan mana yang lebih utama?, ada dua pendapat yang terkenal, yang shahih sesuai dengan kesepakatan rekan-rekan kami bahwa berjama’ah lebih utama, dan yang kedua: sendiri-sendiri lebih utama.
Rekan-rekan kami berkata: “Perbedaan yang ada bagi orang yang menghafal Al Qur’an, ia tidak khawatir malas untuk (shalat tarawih) meskipun sendirian, dan jama’ah di masjid tidak akan rusak dengan ketidakhadirannya, namun jika salah satu dari urusan ini tidak ada maka semua sepakat bahwa berjama’ah lebih utama.
Penulis As Syamil berkata: “Abu Abbas, Abu Ishak berkata: “Shalat tarawih berjama’ah lebih utama dari pada shalat sendirian berdasarkan ijma’ dari para sahabat dan ijma’ penduduk kota akan hal itu”.
Tirmidzi berkata:
“Ibnu Mubarak, Ahmad dan Ishak telah memilih untuk shalat bersama imam pada bulan Ramadhan”.
Disebutkan di dalam Tuhfatul Ahwadzi:
“Pada bab: “Qiyamullail” dikatakan kepada Ahmad bin Hambal: “Anda takjub dengan orang-orang yang shalat bersama masyarakat pada bulan Ramadhan atau yang kepada yang sendirian ?, beliau menjawab: “Ta’jub kepada mereka yang shalat bersama masyarakat”. Beliau juga berkata: “Saya juga kagum kepada mereka yang shalat bersama imam dan meneruskan dengan witir bersamanya”. Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ بَقِيَّةُ لَيْلَتِهِ
“Sungguh seseorang yang berdiri shalat bersama imam sampai ia selesai, maka akan dicatat baginya shalat satu malam penuh”.
Ahmad –rahimahullah- berkata:
“Ia berdiri shalat bersama masyarakat sampai shalat witir bersama mereka, ia tidak beranjak sampai imam beranjak”.
Adu Daud berkata:
“Saya telah melihat beliau (Ahmad) –rahimahullah- pada bulan Ramadhan, beliau shalat witir bersama imam kecuali satu malam yang saya tidak hadir”.
Ishak –rahimahullah- berkata saya berkata kepada Ahmad:
“Shalat berjama’ah lebih anda sukai atau shalat sendirian pada shalat qiyam Ramadhan ?”
Beliau menjawab:
“Yang lebih aku sukai adalah shalat berjama’ah, ini dalam rangka menghidupkan sunnah”, Ishak berkata seperti yang beliau katakan”. (Al Mughni: 1/457)
Syeikh Ibnu Utsaimin berkata di dalam Majalis Syahr Ramadhan: 22
“Bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang pertama kali mengawali berjama’ah pada shalat tarawih di masjid, kemudian beliau meninggalkannya karena khawatir akan diwajibkan kepada umatnya, kemudian beliau menyebutkan dua hadits di atas, lalu beliau berkata:
“Tidak selayaknya bagi seseorang sampai ketinggalan shalat tarawih agar mendapatkan pahalanya, dan tidak beranjak kecuali sampai imam selesai shalat witir, agar mendapatkan pahala qiyamullail semalam penuh”.
Albani berkata di dalam Qiyam Ramadhan:
“Disyari’atkan berjama’ah pada qiyam Ramadhan, bahkan hal itu lebih baik dari pada sendiri-sendiri; karena Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- juga melakukan shalat sendiri dan menjelaskan keutamaannya melalui sabdanya.
Yang menjadi penyebab beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak shalat bersama mereka pada beberapa hari dari bulan Ramadhan karena khawatir akan diwajibkan kepada mereka shalat malam pada bulan Ramadhan, sehingga mereka tidak mampu melaksanakannya sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits ‘Aisyah di dalam kitab Shahihain dan yang lainnya. Kekhawatiran tersebut sudah tidak ada setelah beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- wafat setelah Allah menyempurnakan syari’at-Nya, dengan itu maka hilanglah alasannya, yaitu; meninggalkan jama’ah pada qiyam Ramadhan, dan hukum sebelumnya tetap berlaku, yaitu disyari’atkannya shalat tarawih berjama’ah, oleh karenanya Umar –radhiyallahu ‘anhu- telah menghidupkannya kembali sebagaimana di dalam Shahih Bukhari dan yang lainnya”.
Disebutkan di dalam Al Mausu’ah al Fiqhiyah (27/138):
“Para khulafa’ ar Rasyidun (4 khalifah) dan umat Islam telah membiasakan untuk melaksanakannya, sejak zaman Umar –radhiyallahu ‘anhu- karena beliaulah yang mengumpulkan banyak orang di belakang satu imam.
Asad bin ‘Amr dari Abu telah meriwayatkan dari Abu Yusuf berkata:
“Saya pernah bertanya kepada Abu Hanifah tentang tarawih dan apa yang telah dilakukan oleh Umar, beliau menjawab: “Tarawih itu sunnah muakkadah, Umar tidak berasal dari dirinya sendiri, dan bukanlah beliau pelaku bid’ah dalam masalah ini, beliau tidaklah menyuruh kecuali ada dasarnya dari beliaunya dan riwayat dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Umar telah memulainya dan telah mengumpulkan banyak orang untuk menjadi makmum dari Ubay bin Ka’ab, maka shalat tarawih dilaksanakan berjama’ah dengan para sahabat dengan jumlah yang banyak dari kalangan Muhajirin dan Anshor, dan tidak satupun dari merek yang menolaknya, bahkan mereka membantu Umar, menyetujuinya dan menyuruh hal tersebut”. Wallahu A’lam.