Oleh: Ibnu Abdillah Al-Katibiy
Fatwapedia.com – Banyak praktisi kami yang bertanya kepada alfaqir tentang ismu ruh (nama ruh), apakah di akhir zaman ini kita wajib mengenal nama ruh kita agar terkoneksi dengan ruh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam? Dan nanti pada akhirnya bisa mendengar pohon, batu dan dinding berbicara saat kejadian peperangan muslimin melawan orang-orang Yahudi.
Maka al-faqir jawab sebagai berikut:
Isu ismu ruh hanya baru belakangan ini saja munculnya, sebelumnya dari para ulama terdahulu sejak kurun salaf hingga guru-guru kita yang shalih, tidak pernah sama sekali menyinggung soal ismu ruh apalagi mewajibkan mengetahui atau mengenal nama ruh kita. Andai mengenal nama ruh itu penting dan genting, para guru-guru kita yang shalih sudah pasti akan memberitahukannya kepada kita.
Dalil-dalil pengusung isu ismu ruh di antaranya berikut ini:
من عرف نفسه فقد عرف ربَّه
“Siapa yang mengenal dirinya, maka sungguh telah mengenal tuhannya“. Dipahami olehnya bahwa mengenal diri juga mengenal Nama ruhnya. Sedangkan yang mengenal nama ruh manusia semuanya hanya satu yaitu wali quthbul ghoits. Lalu orang ini mengaku memilik akses atau koneksi ke wali quthbul ghoits, atau bisa juga menghubungi channel ini itu atau orang-orang Ribath ini itu untuk mengajukan nama ruh. Dalam artian mereka semua adalah para wali karena sudah terkoneksi dengan wali quthbul ghoits ini.
Maqolah di atas, tidak ada satupun ulama mu’tabar sejak masa salaf hingga saat ini yang memahaminya seperti itu.
Syaikh Ibrahim bin Al-Halabi Al-Hanafi berkata:
أن مَعْنَاها: أَن من عرف نَفسه بالحدوث عرف ربه بالقدم، وَمن عرفهَا بالفناء عرفه بِالْبَقَاءِ، وَمن عرفهَا بِالْعَجزِ عرفه بِالْقُدْرَة
“Bahwasanya maknanya adalah; siapa yang mengenali dirinya dengan sifatnya yang baru (makhluk), maka ia akan mengenal Tuhannya dengan sifat Qidam (Maha terdahulu), siapan yang mengenal dirinya dengan sifat fana, ia akan mengenal tuhannya dengan sifat baqa, siapa yang mengenal dirinya dengan sifat kelemahan, maka akan mengenal tuhannya dengan sifat kemampuan“. (Ni’mah Adz-Dzari’ah fi Nushrah Asy-Syari’ah dan kitab Al-Maqashid Al-Hasanah: 657)
Syaikh Abul Mudhzaffar Al-Isfaraini :
من عرف نَفسه بِالْعَجزِ والضعف وَالنَّقْص والقصور عرف أَن لَهُ رَبّا مَوْصُوفا بالكمال يَصح مِنْهُ جَمِيع الْأَفْعَال فلولاه لم يتم بِالْعَبدِ الْعَاجِز شَيْء من الواردات عَلَيْهِ
“Siapa yang mengenal dirinya dengan kelemahan, cacat dan kekurangan, makai a mengenal bahwa ia memiliki tuhan yang disifati dengan kesempurnaan yang sah dinisbatkan segala perbuatan kepada-Nya. Seandainya bukan karena Allah, maka seorang hamba yang lemah tidaklah sempurna anugerah batin yang dating kepadanya“. (At-Tabhsir fiddin wa tamyiz al-firqah an-najiah anil firaqil halikin: 162)
Habib Abdullah Al-Haddad pun Ketika ditanya tentang maqolah ini, jawaban beliau tidak jauh berbeba dengan para ulama di atas. Beliau mengatakan, “ bahwa maqolah itu memiliki dua makna, yang pertama, jika kamu merenungi bahwa dirimu penuh dengan kelemahan, keteledoran dan kekurangan. Tidak mampu menarik manfaat dan menolak bahaya, maka dengan itu kamu akan mengetahui bahwa kamu memiliki tuhan dan pencipta Esa dan tunggal di dalam mewujudkan dan menciptakan segala sesuatunya. Yang kedua, jika kamu merenungi bahwa dirimu condong terhadap keburukan dan kebatilan, berpaling dari kebenaran, semangat dalam urusan duniawi dan lupa terhadap urusan akherat, terbelenggu dengan segala syahwat nafsu, maka kamu akan sadar bahwa yang mampu mengentas dan menyelamatkanmu dari itu semua selain Allah Ta’ala, maka di situ kamu akan bersandar dan penuh harap kepada Allah Ta’ala.“ (An-Nafais Al-‘Ulwiyyah: 115-116)
Hujjah ismu ruh lainnya, mereka menggunakan hadits:
استفت قلبك وإن أفتاك الناس وأفتوك
“Mintalah fatwa kepada hatimu, meskipun manusia memberikan fatwa kepadamu, meskipun mereka memberikan fatwa kepadamu“.
Mereka berhujjah hati juga meminta fatwa ke dalam ruh, jika tidak punya nama ruh, maka tidak bisa mendapatkan fatwa.
Maka jelas ini penafsiran yang keliru yang berdasarkan pemahaman nalurinya saja. Maka berbondong-bondong orang akan mengajukan nama ruh dengan tujuan bisa meminta fatwa kepada ruhnya masing-masing sesuai hadits di atas. Lalu melakukan dzikir, tawassul dan semisalnya untuk mengolah ruhnya sehingga nanti bisa mendengar fatwa ruhnya bahkan bisa mendengar suara pohon, batu, tembok dan lain sebagainya.
Agama Islam memiliki dasar-dasar hujjah dan fatwa yang tidak akan tergantikan dan berubah sepanjang perubahan masa yaitu al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Maka kewajiban orang muslim yang awam adalah bertanya kepada para ulama yang berkompeten di bidangnya. Ada hadits riwayat imam Ahmad dari Abi Tsa’labah Al-Khasyni :
يا رسول الله، أخبرني بما يحل ويحرم (فصعد النبي – صلى الله عليه وسلم – وصوب في النظر، ثم قال: “البر ما سكنت إليه النفس، واطمأن إليه القلب، والإثم ما لم تسكن إليه النفس، ولم يطمئن إليه القلب وإن أفتاك المفتون
“Duhai Rasulallah, kabarkan kepadaku apa yang halal dan apa yang haram! Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam naik mimbar dan pandangan beliau focus kepadanya kemudian bersabda,“ Kebaikan itu yang jiwa dan hati kita merasa tenang dengannya sedangkan dosa adalah yang jiwa dan hati tidak merasa tenang, meskipun para pemberi fatwa memnberikan fatwa kepadamu“. (Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam : 93)
Maknanya pada waktu itu berkaitan dengan hati yang suci yang belum tercemar oleh intelektual yang rusak. Dan hati yang lurus yang tidak berubah karena mengikuti hawa nafsu. Hati dan jiwa yang tertanam kebenaran dan tidak terkontaminasi oleh keraguan, syubhat dan ambisi. Waridat, ilham, faidh dan semisalnya turun melalui hati atau ruh, maka dengan ruh yang bersih inilah kita dianjurkan untuk melihatnya atau mengetahui fatwanya. Saat itu Nabi memandang kepada jiwa Abu Tsa’labah dan nabi mengetahui kebersihan jiwa Abu Tsa’labah, maka nabi menuruhnya untuk melihat jawabannya di jiwa Abu Tsa’labah.
Tetapi menyerahkan urusan itu kepada orang lain untuk mengatakan apa yang diinginkannya, dan meminta fatwa kepada hati yang dihiasi dengan syahwat dan pikiran yang dipenuhi dengan keraguan, maka ini adalah cacat dalam pemahaman, dan keputusannya pada saat itu adalah tidak dapat diterima atau labil. Karena itu sama juga mengikuti hawa nafsu dan dipengaruhi oleh kebiasaan yang rusak, keinginan yang menyimpang, dan pemikiran yang batil.
Dalam riwayat yang lain terjadi juga kepada sahabat Nabi yang lain:
فعن وابصة بن معبد رضي الله عنه قال: أتيت رسول الله -صلى الله عليه وسلم- فقال: جئت تسأل عن البر والإثم؟، قلت: نعم، قال: استفت قلبك، البر ما اطمأنت إليه النفس، واطمأن إليه القلب، والإثم ما حاك في النفس، وتردد في الصدر، وإن أفتاك الناس وأفتوك”، أخرجه الإمام أحمد في المسند، والدارمي، وأبو يعلى
“Dari Wabishah bin Ma’bad Ra. Aku mendatangi nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan nabi bertanya: “ Kamu datang untuk bertanya tentang kebaikan dan dosa? maka ku jawab, iya. Nabi bersabda, “Mintalah petunjuk kepada harimu. Kebaikan itu adalah sesuatu yg dapat menenangkan dan menentramkan jiwa. Sedangkan keburukan itu adalah sesuatu yang meresahkan hati dan menyesakkan dada, meskipun manusia memberimu fatwa dan membenarkanmu.“ (HR. Ahmad, Darimi dan Abu Ya’la)
Imam Ghazali menjelaskan hal ini Panjang lebar dalam kitab ihya-nya lalu beliau menngatakan :
لم يَرُدَّ عليه السلام كل أحد إلى فتوى القلب، وإنما قال ذلك لوابصة؛ لما كان قد عرف من حاله
Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam tidak bermaksud agar setiap orang bertanya kepada fatwa hatinya, sesungguhnya beliau mengatakan demikian hanyalah kepada Wabishah karena nabi telah mengetahui kondisi hatinya. (Ihya Ulumiddin: 2/186)
Kesimpulannya bahwa meminta fatwa kepada hati atau ruh ini dibenarkan, tetapi yang dimaksud adalah hati yang tidak terkontaminasi dengan syahwat dan cacat pemikiran namun dikhususkan kepada orang-orang yang hatinya seperti sahabat Abu Tsa’labah dan Wabishah. Dan tidak ada penjelasan ulama satupun yang mengarahkannya untuk wajib mengetahui nama ruh di akhir zaman ini dalam hadits-hadits tersebut.
Ustadz itu mengatakan bahwa nama KTP berhenti hanya sampai di batu nisan saja, setelah itu kita akan dipanggil dengan nama-nama ruh kita.
Sangat jelas sekali bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini :
إِنَّكُمْ تُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِأَسْمَائِكُمْ وَأَسْمَاءِ آبَائِكُمْ فَأَحْسِنُوا أَسْمَاءَكُمْ
“Sesungguhnya pada hari kiamat nanti kalian akan dipanggil dengan nama-nama kalian dan nama-nama bapak-bapak kalian. Oleh karena itu, buatlah nama-nama yang baik untuk kalian.” (HR. Abu Daud)
Hadits ini begitu jelas, bahwa manusia semuanya dipanggil di hari kiamat dengan nama kita di dunia dan nama orangtua kita bukan dengan nama ruh kita. Jika kita mengirimkan doa ataupun fatihah kepada keluarga, guru, sahabat yang sudah wafat dengan nama KTP mereka di dunia dan itu sampai kepada Allah Ta’ala, maka itu sudah cukup tanpa kita perlu tahu nama ruhnya masing-masing.
Hujjah mereka berikutnya menggunakan kitab Al-Ghunyah : Bahwa syaikh Abdul Qadir Al-Jilani telah menyatakan dalam kitab Al-Ghunyahnya pada kitab Adab al-Muridin, yang secara globalnya: “… jika seorang murid telah sampai kepada Allah, dengan kondisi-kondisi hati yang sudah luar biasa semisal rasa takut kepada Allah yang melekat, menerima semua ketentuan Allah, menjauhi makshiat, lebih sering bersembunyi dari manusia, memperbanyak ibadah sunnah, ikhlas sepenuhnya untuk Allah, maka akan digolongkan dalam golongan para kekasih-Nya, ia akan berbicara dengan penuh hikmah dan rahasia Allah, ia akan diberikan laqob yang menjadi special di kalangan para kekasih Allah, dan masuk dalam golongan orang-orang khususnya Allah, dan dia akan diberi nama-nama yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah dan diberi tahu rahasia-rahasia khusus untuknya yang tidak boleh dibuka kepada selain Allah Ta’ala…dst (Al-Ghunyah : 2/187)
Sebenarnya sudah sangat jelas sekali, bahwa laqob dan nama yang diberikan Allah kepada seorang murid, tidak diketahuinya kecuali oleh Allah. Laqob dan nama yang hanya Allah saja yang tahu, bahkan si murid itu sendiri tidak mengetahui, ia hanya mengetahui rahasia-rahasianya saja. Terlebih laqob dan nama-nama itu didapat setelah si murid itu sampai kepada Allah Ta’ala dengan setelah melakukan mujahadah dan perjalanan spiritual yang sangat Panjang dan berat bukan dengan disetor kepada panitia atau admin lalu disetorkan kepada orang yang diklaimnya sebagai wali quthub ghoits. Dan orang-orang awampun begitu mudahnya tanpa melalui proses mujahadah yang begitu Panjang dan berat, mendapatkan nama ruhnya masing-masing.
Laqob dan nama yang Allah berikan hanyalah kepada mereka yang telah sampai kepada Allah Ta’ala. Dengan melalui proses mujahadah yang Panjang dan berat. Dan nama ini bukan untuk diketahui bahkan oleh si murid atau wali itu sendiri apalagi orang lain.
Maka jika di zaman saat ini ada komunitas yang begitu mudahnya mendapatkan laqob dan nama yang dimaksud dalam kitab Al-Ghunyah ini melalui setor nama kepada para panitianya dan admin untuk kemudian disetor kepada seseorang yang diklaim sebagai wali quthubl ghoits bahkan tanpa melalui proses mujahadah yang Panjang, sudah dipastikan jauh dari apa yang dimaksudkan oleh syaikh Abdul Qadir Al-Jailani yang sebenarnya dalam kitab beliau tersebut.
Jika mereka berdalih, betul memang prosesnya melalui mujahadah Panjang namun kami sudah Bersama wali quthub ghoits yang mengetahui nama-nama ruh seluruh manusia dan kami diberikan kemudahan berkoneksi dengannya tanpa susah-susah bermujahadah.
Maka kami jawab, innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Dengan demikian sangat jelas orang ini:
- Tidak memahami dengan baik apa yang dimaksud laqob dan nama dalam kitab al-Ghunyah tsb.
- Merusak tatanan metodologi dalam ilmu iradah / tasawwuf.
- Telah mengklaim dirinya sebagai wali karena sudah berjumpa dengan pimpinan para wali dunia dan membantu urusannya.
- Mengklaim seseorang sebagai wali apalagi pimpinan para wali, tidak semudah membuka kitab yang ia baca. Perlu adanya pengakuan para wali lainnya yang semasanya.
Ustadz ini juga berdalih bahwa ada hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengatakan :
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُقَاتِلَ الْمُسْلِمُونَ الْيَهُودَ ، فَيَقْتُلُهُمُ الْمُسْلِمُونَ حَتَّى يَخْتَبِئَ الْيَهُودِيُّ مِنْ وَرَاءِ الْحَجَرِ وَالشَّجَرِ، فَيَقُولُ الْحَجَرُ أَوِ الشَّجَرُ: يَا مُسْلِمُ يَا عَبْدَ اللهِ هَذَا يَهُودِيٌّ خَلْفِي ، فَتَعَالَ فَاقْتُلْهُ ، إِلَّا الْغَرْقَدَ، فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرِ الْيَهُودِ
“Kiamat tidak akan terjadi sehingga kaum Muslimin memerangi Yahudi, lalu kaum Muslimin akan membunuh mereka sampai-sampai setiap orang Yahudi bersembunyi di balik batu dan pohon, tetapi batu dan pohon itu berkata, ‘Wahai Muslim, wahai hamba Allah, ada orang Yahudi di belakangku, kemarilah dan bunuhlah dia’. Kecuali (pohon) gharqad karena ia adalah pohon Yahudi.”
Mereka beragumentasi bahwa dalam hadits ini kaum muslimin digambarkan bisa mendengar suara pohon dan batu saat itu. Yang bisa mendengarkan suara pohon, batu, tembok dan semisalnya dari benda-benda mati adalah mereka yang sudah memiliki nama ruh yang terkoneksi dengan ruh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam alias sudah jadi wali Allah. Lalu muncullah istilah Muhadatsah Khdhiriyyah atau Muhadatsah ‘Umariyyah dan lahirlah metode yang mereka buat sendiri Muhadatsah mu’allimi yaitu upaya berdialog batin dengan ruh yang nantinya juga bisa mendengar suara pohon, batu dan semisalnya.
Kami jawab: Justru hadits ini menjadi boomerang buat hujjah mereka sendiri.
Pertama: Dalam hadits ini sangat jelas sekali, pohon dan batu memanggil kaum muslimin yang merupakan pasukan imam Mahdi dan nabi Isa ‘alaihimas salam dengan sebutan Ya Abdallah (wahai hamba Allah) dan ya Muslim (wahai orang Islam). Bukan dengan nama ruh-ruh mereka. Jika mengikuti pemikiran mereka bahwa ruh yang terkoneksi dengan ruh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai bisa mendengar benda-benda mati, tentunya benda-benda mati ini sudah mengenal nama-nama ruh mereka sebelumnya dan memanggil dengan nama ruh masing-masing. Karena menurut pemikiran mereka orang yang tidak mengetahui nama ruhnya sendiri, tidak akan bisa mendengar suara-suara pohon dan batu tersebut. Tetapi fakta haditsnya justru menyebut dengan ya Abdallah dan ya Muslim.
Kedua: Kenapa pohon dan batu bisa berbicara dengan kaum muslimin pada umumnya saat itu, bukan didengar oleh para wali saja? karena saat itu peperangan dipimpin oleh dua kekasih Allah yang agung yaitu nabi Isa alihis salam dan imam Mahdi alahis salam. Terkumpullah mu’jizat seorang nabi dan karomah seorang wali Allah yang agung. Dan peperangan itu setelah terbunuhnya dajjal, yang tersisa para yahudi yang masih dikejar kaum muslimin saat itu. Dikuatkan dengan hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini
أنّ عيسى عليه السلام يقتل المسيح الدجال عند باب لد الشرقي، فيهزم الله اليهود ويقتلون أشد القتل. فلا تبقى دابة ولا شجرة ولا حجر يتوارى به يهودي إلا أنطق الله ذلك الشيء فيقول: يا عبد الله المسلم هنا يهودي فتعال فاقتله إلا الغرقد فإنه لا ينطق
“Sesungguhnya Nabi Isa alaihi wa sallam membunuh dajjal di pintu lud Timur (nama desa di Palestina dekat dengan Baitul Maqdis). Maka Allah hancurkan Yahudi, dan kaum muslimin memeranginya dengan peperangan yang besar. Tidaklah seorang Yahudi bersembenyi di belakang binatang, pohon dan batu kecuali Allah akan jadikan semuanya berbicara dan memberitahukan kepada muslimin dan berkata, “ Wahai Hamba Allah yang muslim di sini ada orang yahudi, kemarilah dan bunuhlah dia “, kecuali pohon Ghorghod karena tidak akan berbicara.“ (HR. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah)
Dikuatkan juga dengan hadits yang cukup panjang dari Abu Umamah Al-Bahili, dan saya ambil sebagiannya berikut :
وإمامُهم رجلٌ صالحٌ ، فبَيْنَما إمامُهم قد تَقَدَّم يُصَلِّي بهِمُ الصُّبْحَ ، إذ نزل عليهم عيسى ابنُ مريمَ الصُّبْحَ ، فرجع ذلك الإمامُ يَنْكُصُ يَمْشِي القَهْقَرَى ليتقدمَ عيسى ، فيضعُ عيسى يدَه بين كَتِفَيْهِ ، ثم يقولُ له : تَقَدَّمْ فَصَلِّ ؛ فإنها لك أُقِيمَتْ ، فيُصَلِّى بهم إمامُهم ، فإذا انصرف قال عيسى : افتَحوا البابَ ، فيَفْتَحُون ووراءَه الدَّجَّالُ ، معه سبعونَ ألفَ يهوديٍّ ، كلُّهم ذو سيفٍ مُحَلًّى وسَاجٍ ، فإذا نظر إليه الدَّجَّالُ ذاب كما يذوبُ المِلْحُ في الماءِ . وينطلقُ هاربًا ، … فيُدْرِكُه عند بابِ لُدٍّ الشرقيِّ ، فيقتلُه ، فيَهْزِمُ اللهُ اليهودَ ، فلا يَبْقَى شيءٌ مِمَّا خلق اللهُ عَزَّ وجَلَّ يَتَواقَى به يهوديٌّ ، إلا أَنْطَقَ اللهُ ذلك الشيءَ ، لا حَجَرٌ ولا شجرٌ ولا حائطٌ ولا دابةٌ ، إلا الغَرْقَدَةُ ، فإنها من شَجَرِهِم لا تَنْطِقُ ، إلا قال : يا عبدَ اللهِ المسلمَ هذا يهوديٌّ فتَعَالَ اقتُلْه
“….dan imam mereka saat itu adalah seorang yang shalih. Ketika imam mereka maju hendak mengimami sholat subuh, tiba-tiba nabi Isa bin Maryam alaihi salam turun, maka sang imam mundur perlahan agar nabi Isa maju menimaminya. Lalu nabi Isa meletakkan tangannya di kedua Pundak sang imam dan berkata, “ Majulah dan imami kami sholat. Untukmu sudah diiqomahkan “. Maka sang imam mengimami mereka. Ketika sudah selesai sholat, nabi Isa berkata, “Bukalah gerbang! kaum muslimin pun membuka gerbang dan ternyata dajjal sudah berada di situ Bersama 70 ribu orang yahudi yang masing-masing memegang pedang yang sudah dihias dan terhunus. Saat dajjal memandang ada nabi Isa, maka dajjal meleleh seperti melelehnya garam di air, ia pun lari darinya..Nabi Isa mengejarnya hingga menjumpainya di gerbang Lud Timur lalu membunuhnya. Maka tidak ada satupun ciptaan Allah yang dijadikan tempat persembunyian Yahudi, melainkan Allah jadikan ia berbicara, baik batu, pohon, tembok maupun hewan, kecuali pohin ghorghod, karena itu pohon yahudi dan dia tidak akan berbicara. Selain itu akan berbicara, “wahai hamba Allah yang Muslim, ini ada orang yahudi kesinilah dan bunuhlah dia!
Dalam hadits-hadits ini sangatlah jelas, bahwa saat peperangan besar melawan kaum Yahudi, adalah di saat nabi Isa sudah membunuh dajjal. Dan melanjutkan peperangan sisa-sisa pengikut dajjal dari kalangan Yahudi. Sudh bisa digambarkan, saat itu kaum Yahudi kalang kabut, lari sana sini karena pimpinan mereka Sudah dikalahkan, hingga mereka bersembunyi di manapun, di pohon, batu, dinding, binatang dan lainnya, maka saat itu dengan kemulian nabi Isa dan imam Mahdi, Allah jadikan semua benda-benda itu dapat berbicara kecuali pohon ghorghod yang ditanam oleh kaum Yahudi sendiri sebelumnya.
Pohon, batu, dinding, binatang yang berbicara tidak memanggil nama ruh juga tidak memanggil julukan ataupun nama organisasi. Tidak berseru wahai orang Mesir, wahai orang Palestin, wahai KBRA, wahai NU, wahai Muhammadi. Juga tidak berseru wahai hamba dinar, wahai hamba dunia, wahai hamba nafsu. Melainkan wahai hamba Allah, wahai orang Muslim secara general karena di saat itu kaum muslim telah Bersatu di bawah pimpinan imam Mahdi dan nabi Isa ‘alaihima salam.
Bersambung…