Fatwapedia.com – Setelah sebelumnya kami membahas perihal batasan Aswaja dengan non-Aswaja, untuk kali ini, kami akan fokus mengulas mengapa penganut Manunggaling Kawula Gusti bukanlah Aswaja. Kita rentet dan berkenalan terlebih dahulu dengan apa itu Manunggaling Kawula Gusti.
Secara literal manunggaling kawula gusti memiliki arti: Tuhan bersatu kepada hamba. Dalam kajian ilmu kalam, lebih sering diistilahkan dengan al-ittihâd wal-hulûl. Hadhratusy-Syekh KH. Hasyim Asy’ari, Pendiri Nahdlatul Ulama menyebutkan di dalam kitabnya Risâlatu-Ahlis-Sunnah bahwa paham ini merupakan sekte yang paling berbahaya ketimbang orang awam, daripada sekte lain. Karena itu pula, kami membahas tentang ini. Untuk melihat langsung pernyataan Hadhratusy-Syekh KH. Hasyim Asy’ari, simak ‘ibarat berikut ini:
وَلَا بُدَّ عِنْدَ كُلِّ مٌسْلِمٍ مِنْ حَظٍّ فِيْ هَذَا المَقَامِ وَإِنْ تَفَاوَتُوا. وَإِِنَّمَا أَطَلْتُ الكَلَامَ عَلَى هَذِهِ الطَّائِفَةِ لِأَنَّ ضَرَرَهُمْ عَلَى المُسْلِمِيْنَ أَكْثَرَ مِنْ ضَرَرِ جَمِيْعِ الْكَفَرَةِ وَالمُبْتَدِعِيْنَ، فَإِِنَّ كَثِيْرًا مِنَ النَّاسِ يَعِظُمُوْنَهُمْ وَيَسْمَعُوْنَ كَلَامَهُمْ مَعَ جَهْلِهِمْ بِأَسَالِيْبِ الكَلَامِ العَرَبِيِّ.
“Merupakan keharusan bagi setiap muslim untuk memperhatikan masalah ini (al-hulûl wal-ittihâd), meskipun sangat jauh. Saya mempeluas pembahasan tetang sekte ini tidak lain lantaran tingkat kebahayaannya jauh lebih tinggi dari pada kebahayaan segala sekte kafir dan bidah. Karena banyak manusia yang mengagungkan mereka dan mendengarkan perkataan mereka, padahal mereka tidak memahami alur bahasa Arab.”
Pemikiran Manunggaling Kawula Gusti bermula dari meyakini selain Allah tidak memiliki sifat wujud sama-sekali. Bagi mereka ungkapan, “Manusia itu ada” berhubungan dengan keberdaan Allah, yakni wujud Allah itu sendiri. Hadhratusy-Syekh KH. Hasyim Asy’ari menyebutkan:
وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ بِالحُلُوْلِ وَالإِتِّحَادِ، وَهُمْ جَهْلَةُ المُتَصَوَّفَةِ، يَقُوُلُوْنَ: إِنَّهُ تَعَالَى الوُجُوْدُ المُطْلَق، وَإِنَّ غَيْرَهُ لَا يَتَّصِفُ بِالوُجُوْدِ أَصْلًا، حَتَّى إِذَا قَالُوا: الْإِنْسَانُ مَوْجُوْدٌ، فَمَعْنَاهُ أَنَّ لَهُ تَعَلَّقًا بِالوُجُوْدِ المُطْلَقِ، وَهُوَ اللهُ تَعَالَى.
“Dari mereka ada yang berpendapat hulûl wal-ittihâd. Mereka adalah para pengaku sufi yang jelas bodoh. Mereka berpendapat bahwa hanya Allah yang memiliki wujud secara mutlak. Selain-Nya tidak memiliki sifat wujud sama-sekali. Mereka hingga mengartikan ungkapan, ‘Manusia itu ada’ dengan kata bahwa itu kaitannya dengan keberadaan mutlak, yaitu Allah sendiri.”
Dalam buku Centhini: Tambangraras Amongraga jilid I, terdapat ungkapan Syekh Siti Jennar yang sangat nyentrik. Beliau mengatakan:
“Menyembah Allah dengan bersujud beserta rukuknya, pada dasarnya sama dengan Allah, baik yang menyembah maupun yang disembah. Dengan demikian, hambalah yang berkuasa, dan yang menghukum pun hamba juga.”
Falsafah semacam itu bertentangan dengan falsafah Aswaja memandang keberadaan makhluk. Bagi Aswaja, memahami eksistensi dari Tuhan dan hamba-Nya merupakan gambaran dari kesempurnaan pengetahuan. Jika ada seseorang ‘ârif malah mengklaim bahwa makhluk tidak ada, jelas dia bukan ‘ârif. KH. Hasyim Asy’ari mengutip dalam kitab Lawâqihul-Anwâr yang menjelaskan:
مِنْ كَمَالِ العِرْفَانِ شُهُوْدُ عَبْدٍ وَرَبٍّ، وَكُلُّ عَارِفٍ نَفَى شُهُوْدَ العَبْدِ فِيْ وَقْتِِ مَا فَلَيْسَ هُوَ بِعَارِفٍ، وَإِنَّمَا هُوَ فِيْ ذَلِكَ الوَقْتِ صَاحِبُ حَالِ، وَصَاحِبُ الحَالِ سَكْرَانَ لَا تَحْقِيْقُ عِنْدَه
“Tergolong kesempurnaan makrifat ialah menyaksikan hamba dan tuhannya. Setiap ‘ârif yang malah menafikan makhluk, pada waktu itu berarti ia sedang tidak ‘ârif. Karena pada waktu itu ia memiliki keadaan tertentu; keadaan tidak sadar yang jelas tidak tahqîq.”
Memandang makhluk, Aswaja tetap meyakini bahwa makhluk itu ada, hanya saja keberadaannya masuk dalam kategori wujud nâqish. Dalam Kubral-Yaqiniyât al-Kauniyât halaman 109 Syekh Ramadan al-Buthi memaparkan:
أَنَّ الوُجُوْدَ يَنْقَسِمُ اِلَى القِسْمَيْنِ: وُجُوْدِ كَامِلٍ وَوُجُوْدِ نَاقِصٍ. وَبِتَعْبِيْرِ اَخَرَ نَقُوْلُ وُجُوْدُ ذَاتِيْ وَوُجُوْدُ تَبْعِيْ.
“Wujud terbagi menjadi dua bagian: wujud kâmil dan wujud nâqish. Istilah lainnya adalah: wujud dzâtî dan wujud tab’î.”
Perbedaan antara wujûd kâmil dan wujud nâqish sebagaimana berikut:
Wujud kamîl ialah sebuah istilah yang disematkan kepada zat wajib wujud, yang keberadaannya tanpa ‘illat. Ciri khas dari wujud kamîl adalah: tidak menerima ketiadaan sama-sekali, alias tidak pernah tiada dan tidak akan tiada.
Tentu keberadaan yang seperti ini, hanya layak disematkan kepada Allah yang Maha Pencipta. Syekh Muhammad Sa’id Ramadan al-Buthi dalam kitab yang sama menjelaskan:
فَأَمَّا وُجُوْدُ اللهِ تَعَالَى، فَهُوَ وُجُوْدُ كَامِلٌ ذَاتِي بِمَعْنَى أَنَّهُ مَوْجُوْدٌ لِذَاتِهِ لَا لِعِلَّةِ مُؤْثَرَةِ فِيْهِ. وَمِنْ خَصَائِصِ الوُجُوْدِ الذَاتِي أَنَّهُ لَا يُقْبَلُ العَدَمَ.
“Keberadaan Allah tergolong wujud dzâtî, artinya keberadaan zat Allah tanpa didasari sebuah ‘illat mu’atstsirah. Di antara kehususan wujud dzâtî adalah: tidak menerima ketiadaan.”
Wujud nâqish adalah sebuah istilah yang disematkan kepada keberadaan yang membutuhkan pencipta. Ciri khas dari wujud nâqish adalah: berada di tengah-tengah dua ketiadaan, alias pernah tiada dan akan tiada.
Keberadaan segala sesuatu selain Allah pasti tergolong wujud nâqish. Masih dalam kitab yang sama, Syekh Muhammad Sa’id Ramadan al-Buthi rmenjelaskan:
وَأَمَّا وُجُوْدُ مَا عَدَاهُ فَوُجُوْدُ نَاقِصٌ وَتَبْعِي. بِمَعْنَى أَنَّهُ مُسْتَمِدٌ مِنْ غَيْرِهِ وَاِنَّهُ مُتَوْقِفٌ عَلَى المَوْجُدِ لَهُ وَمِنْ خَصَائِصِ هَذَا النَّوْعِ الثَّانِي مِنْ الوُجُوْدِ انَّهُ لَابُدَّ أَنْ يَقُوْمَ بَيْنَ عَدَمَيْنِ: سَابِقٌ وَلَاحِقٌ.
“Keberadaan segala sesuatu selain Allah tergolong wujud nâqish dan tab’î. Dengan arti, keberadaanya tergantung kepada selainnya dan membutuhkan kepada pencipta. Termasuk kekhususan macam wujud yang kedua ini ialah: harus berada di tengah-tengah dua ketiadaan; sebelum (yang lampau) dan sesudah (yang akan).”
Karena sampai kepada makam fanâ’ fit-tauhîd, terkadang wali Allah tidak menyadari keberadaan makhluk. Analogi mudahnya, seperti saat kita fokus kepada sesuatu, sering kali melalaikan dan tidak menyadari keberadaan yang lain. Oleh karenanya, muncul pernyataan yang terkesan hulûl wal-ittihâd.
Menyikapi wali yang semacam ini, Hadhratusy-Syekh KH. Hasyim Asy’ari mengutip dari Hasyiyah ‘Abdis-Salâm memberikan penjelasan, bahwa, selagi bisa menakwilnya, harus kita takwil. Beliau mengungkapkan:
فَإِنْ وَقَعَ مِنْ أَكَابِرِ الأَوْلِيَاءِ مَا يُوْهَمُ ذَلِكَ أَوَّلَ بِمَا يُنَاسِبُهُ كَمَا يَقَعُ مِنْهُمْ فِي وَحْدَةِ الوُجُوْدِ، كَقَوْلِ بَعْضِهِمْ: “مَا فِي الجُبَّةِ إِلَّا اللهِ”، أَرَادَ أَنَّ مَا فِي الجُبَّةِ، بَلْ وَالْكَوْنُ كُلُّهُ لَا وُجُوْدَ لَهُ إِلَّا بِاللهِ.
“Apabila wali Allah mengucapkan sesuatu yang diduga mengandung wahdatul-wujûd, maka takwillah dengan sesauatu yang layak. Seperti perkataan, “Tidak ada sesuatu apa pun di jubah ini, kecuali Allah ,” maka yang dimaksudkan ialah: apa yang ada di jubah ini, bahkan alam secara keseuruhan, tidak mungkin ada, kecuali diciptakan oleh Allah.”
Pemikiran manunggaling kawula gusti tidak hanya ada di agama Islam saja. hampir setiap agama, memiliki aliran penyatuan dengan tuhan. Karena hakikatnya, aliran ini bermula dari filsafat mistisisme. Aliran ini berujung kepada neoplatonisme, sebuah pemikiran yang dilhami dari pemikiran Plato (428–427 SM).
Tokoh besar neoplatonisme ini ialah Plotinos (270 M). Rangkaian pemikirannya memang mirip dengan Plato perihal realitas ganda; realitas ide dan realitas indrawi. Namun, alih-alih meniscayakan keberadaan keduanya, filsafat neoplatonisme, lebih mengarah kepada penyatuan. Penggambarannya sebagaimana berikut.
Plotinus percaya bahwa dunia terentang antar dua kutub. Di ujung yang satu adalah cahaya ilahi yang dinamakan Yang Esa. Kadang-kadang Plotinus menyebutnya tuhan. Ujung yang satu lagi adalah kegelapan mutlak, yang tidak menerima cahaya dari Yang Esa. Tapi maksud Plotinus adalah bahwa kegelapan ini sesungguhnya tidak ada. Ia hanyalah ketiadaan cahaya. Dengan kata lain, ia tidak ada. Yang ada hanyalah Tuhan, atau Yang Esa, tapi sebagaimana suatu cahaya semakin lama semakin kecil akhirnya lenyap di suatu tempat ada suatu titik yang di dalamnya cahaya ilahi tidak dapat sampai.
Menurut Plotinus, jiwa disinari oleh cahaya Yang Esa, sementara materi adalah kegelapan yang tidak mempunyai keberadaan yang nyata. Tapi bentuk di alam ini mendapatkan sedikit cahaya dari Yang Esa.
Oleh karenanya, memang antara filsafat neoplatonisme dengan filsafat Plato ada kemiripan, tetapi perbedaan keduanya pun sangat mencolok. Sehingga dapat disimpulkan seperti berikut.
Kiasan Plotinus agak mirip dengan mitos Plato tentang gua: semakin dekat kita pada mulut gua, semakin dekat kita pada asal semua eksistensi. Tapi, berkebalikan dengan realitas ganda dari Plato, doktrin Plotinus dicirikan oleh pengalaman tentang kesatuan. Segala sesuatu itu satu, sebab segala sesuatu berasal dari tuhan. Bayang-bayang jauh di dalam gua Plato pun mengandung pijaran lemah dari Yang Esa.
Kemudian berlanjut kepada pemikiran filsafat mistisisme. Filsafat ini lebih memperjelas konsep yang diusung neoplatonisme. Gagasan yang diusung adalah sebagaimana berikut.
Apa yang biasanya kita sebut “aku” bukanlah “aku” yang sebenarnya. Secara sekilas kita mengalami identifikasi dengan “aku” yang lebih besar. Sebagian ahli mistik menyebutnya Tuhan, yang lain menyebutnya ruh kosmik. Ketika penyatuan itu terjadi, ahli mistik merasakan bahwa dia kehilangan dirinya; lenyap ke dalam diri tuhan atau hilang di dalam diri tuhan sebagaimana setitik air kehilangan dirinya ketika menyatu dengan samudera.
Pengusung mistisisme di India pernah mengungkapkan demikian, “Jika aku mengadu, tuhan tiada. Jika tuhan mengadu, aku pun tiada”.
Gagasan ini diserap oleh hampir semua agama. Sehingga tak jarang menemukan konsep manungaling kawula gusti di agama selain Islam. Tokoh Kristen yang mengusung paham mistisisme yang terkenal ialah Angelus Silesius (1634-1677), ia mengungkapkan, “Setiap tetas air menjadi lautan jika ia mengalir menuju samudra, sebagaimana akhirnya jiwa itu naik menjadi tuhan.”
Oleh: Muhammad ibnu Romli | AnnajahSidogiri.ID