Oleh : Muhammad Atim*
Fatwapedia.com – Syariat Islam itu memiliki karakteristik wasathiyyah (pertengahan/moderat). Dan ia menunjukkan keseimbangan. Jika tidak ada keseimbangan ini, maka terjadilah ketimpangan, kekacauan dan kerusakan.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Begitulah Kami menjadikan kalian umat yang wasath” (QS. Al-Baqarah : 143).
Umat yang wasath selain bermakna sebagai umat pilihan dan umat yang menegakkan hukum dengan adil di tengah-tengah manusia, ia juga bermakna pertengahan/moderat dalam berbagai hal. Pertengahan antara berlebih-lebihan (ghuluw) dan tidak memenuhi yang seharusnya (taqshir).
“Aku memandang bahwa Allah menyebutkan hal itu, Allah mensifati mereka dengan wasath (pertengahan), karena sifat pertengahan mereka dalam agama. Mereka bukanlah pelaku ghuluw (berlebihan) seperti ghuluwnya orang-orang nashrani yang ghuluw dalam kerahiban dan perkataan mereka terhadap Isa seperti yang mereka katakan. Juga bukan pelaku taqshir (tidak memenuhi yang seharusnya) seperti taqshirnya orang-orang yahudi yang merubah kitab Allah, membunuh para nabi, mengingkari tuhan mereka dan kufur kepada-Nya. Tetapi mereka adalah orang-orang yang bersikap pertengahan dan adil di dalamnya. Allah mensifati mereka dengan itu karena perkara yang paling dicintai Allah adalah perkara yang paling pertengahan”.
Karakter moderat dalam syariat Islam ini mencakup berbagai dimensinya. Baik mencakup dimensi akidah, akhlaq, fiqih maupun pemahaman secara umum.
Hanya di sini perlu diperjelas, pertengahan di antara apakah yang dimaksud di sini? Secara ringkasnya dapat saya simpulkan, maksudnya pertengahan diantara dua sisi yang menyimpang. Jalan kebenaran Islam ini ada di posisi tengah di antara dua sisi yang menyimpang. Kedua, pertengahan dengan cara menggabungkan dua perkara kehidupan yang terlihat bertentangan padahal saling melengkapi, yang kalau condong kepada salah satunya tidak akan terjadi keseimbangan. Kedua hal ini akan tergambar jelas dengan contoh yang akan saya sebutkan kemudian. Namun pada keseluruhannya, ia selalu bersifat pertengahan antara kondisi berlebih-lebihan (ghuluw) dengan kondisi tidak memenuhi yang seharusnya (taqshir).
Juga perlu dipertegas, bahwa pertengahan di sini bukanlah pertengahan antara haq dan batil, antara iman dan kufur. Karena dalam hal-hal seperti itu tidak ada pertengahannya, tetapi hanya bersifat pilihan saja.
Dalam hal aqidah misalnya seperti yang disebutkan oleh Ath-Thabari di atas bahwa agama Islam itu pertengahan antara ghuluwnya Nashrani dengan taqshirnya Yahudi. Nashrani berlebihan dalam memuliakan Nabi hingga menuhankan Nabi Isa as. Sedangkan Yahudi sama sekali tidak memuliakan Nabi, bahkan mereka membunuhnya.
Dalam hal memahami sifat Allah, pertengahan antara yang menyerupakan dengan makhluk (musyabbihah/mujassimah) dengan yang menafikan sifat-sifat-Nya. Maka akidah Islam yang benar (ahlus sunnah) adalah tidak menyerupakan Allah dengan makhluk tetapi menetapkan sifat-sifat yang Allah tetapkan.
Dalam hal takdir, pertengahan antara jabariyyah yang menihilkan usaha manusia dan bahwa semuanya bersifat paksaan dari Allah, dengan qodariyyah yang menihilkan campur tangan Allah dan bahwa usaha manusialah yang menentukan. Maka akidah ahlus sunnah adalah meyakini bahwa Allah menentukan takdir segalanya, tetapi pada saat yang sama memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih dan berusaha. Hasil dari usaha manusia itu tidak akan keluar dari takdir yang telah Allah tetapkan. Hanya masalahnya, takdir itu hanya Allah yang tahu, sedangkan kewajiban manusia hanya berusaha.
Pertengahan antara kelompok yang bersikap keras, bermudah-mudahan menyesatkan muslim lainnya dan ambisius menganggap banyak orang lain itu masuk neraka. Ini adalah sikap ghuluw dalam beragama. Dengan kelompok liberal yang bermudah-mudahan membenarkan orang lain dan ambisius menganggap banyak orang masuk surga, meskipun jelas-jelas non-muslim. Membiaskan batasan antara iman dan kufur.
Sebenarnya akar penyimpangan dua kelompok di atas adalah salah menempatkan ajaran Islam antara yang bersifat qath’i dan yang bersifat zhanni. Kelompok garis keras menempatkan yang zhanni sebagai hal yang qath’i. Sehingga mereka tidak mau menerima perbedaan pendapat. Padahal dalam wilayah khilafiyyah ijtihadiyyah yang para ulama berbeda pendapat padanya. Sebaliknya, kelompok liberal menempatkan yang qath’i sebagai sesuatu yang zhanni. Mereka tidak peduli bahwa dalam Islam ini ada yang tsawabit (tetap) yang disepakati, ada perkara qath’i yang tidak boleh dirubah dan berbeda pendapat, semuanya mereka labrak.
Dalam hal ibadah, pertengahan antara yang berlebih-lebihan sampai melupakan hak-hak duniawi yang mesti ditunaikan dengan yang kurang dalam melaksanakan ibadah.
Dalam hal akhlaq, misalnya dalam berinfak. Pertengahan antara pelit dan boros.
Dalam hal fiqih, misalnya pertengahan antara kelompok yang anti madzhab dengan kelompok yang fanatik terhadap madzhab, yaitu memposisikan madzhab seperti ajaran agama yang qath’i, harus taqlid mengikuti semua pendapat ulama tertentu, padahal mereka tidak ma’shum. Kita tidak bisa mengesampingkan khazanah besar fiqih para ulama madzhab, tapi pada saat yang sama kita tidak boleh fanatik dan taqlid buta pada madzhab tertentu. Karena fiqih itu sifatnya ijtihadiyyah, dan ijtihad itu bisa saja berubah dipengaruhi dengan kondisi tertentu.
Dalam menyikapi penguasa misalnya, pertengahan antara kelompok keras yang menganggap semua penguasa dan pajabat itu thagut dengan kelompok yang lembek yang mesti tunduk sepenuhnya pada penguasa, memprotes dan meluruskannya dianggap khowarij/pemberontak yang halal darahnya. Pemahaman yang benar adalah bahwa mengangkat pemimpin termasuk masalah ijtihadiyyah dengan memperhatikan kemaslahatan, tidak terkait dengan iman dan kufur. Namun kesalahan bahkan kezhaliman penguasa harus dikoreksi dengan berbagai cara yang disepakati, dan tentu tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Juga pertengahan antara dua hal yang terlihat saling berlawanan padahal saling melengkapi. Sikap pertengahan di sini dengan menggabungkan kedua sisi tersebut. Misalnya menggabungkan antara kemaslahan ruh dan jasad, rasa takut dan pengharapan, idealisme dan realistis, kemaslahatan akhirat dan dunia, kemaslahatan perorangan dan kelompok, dan sebagainya. Hal seperti ini mesti diberi porsi secara seimbang, karena kalau tidak akan terjadi ketimpangan, kekacauan dan kerusakan.
Dan masih banyak lagi. Jika kita mengamati satu demi satu syariat Islam, pasti akan menemukan secara keselurahannya tegak di atas prinsip wasathiyyah.
Sifat wasathiyyah ini pada akhirnya akan menghasilkan keseimbangan dalam kehidupan, dan inilah yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
“Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan, agar kalian jangan melampaui/merusak keseimbangan itu, dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kalian mengurangi keseimbangan itu.” (QS. Ar-Rahman : 7-9)
Wallahu A’lam.