Fatwapedia.com – Tidak ada yang mengingkari bahwa manusia tanpa terkecuali pasti akan mengalami kematian. Sebelum kematian tersebut terjadi, manusia akan mengalami saat terakhir yang sangat menentukan baik tidaknya kehidupan setelahnya. Inilah sakaratul maut yang setiap jiwa takut menghadapinya. Di saat inilah manusia di antara dua kemungkinan, keselamatan atau kebinasaan. Saat itu pula syaithan akan bekerja keras demi mengajak manusia untuk menjadi teman mereka di neraka kelak, naudzu billah min dzalika. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengokohkan iman kita dalam menghadapi ujian ini. Aamiin.
Bagi kita yang menyaksikan seseorang dalam sakaratul maut, maka syariat ini mengajarkan kepada kita untuk men-talqin orang tersebut. Talqin adalah menuntun seseorang untuk mengucapkan kalimat tertentu. Perintah talkin ini adalah salah satu bentuk bantuan yang Allah syariatkan untuk menolong seseorang di saat ia sangat butuh tuntunan orang lain. Kita diperintahkan untuk menuntun seorang yang hdndak meninggal untuk membaca kalimat tauhid laa ilaha illallah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam:
“Tuntunlah orang yang hendak meninggal di antara kalian dengan Laa ilaaha illallah.” (HR. Muslim, dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Karena kalimat ini adalah pembuka pintu surga. Kalimat ini adalah kunci bagi seorang untuk memasukinya. Maka, bila akhir ucapan seseorang adalah kalimat ini, diharapkan mati dalam keadaan husnul khatimah, dan termasuk orang yang kelak dapat masuk surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Barangsiapa yang akhir ucapannya adalah laa ilaaha illallah, ia akan masuk surga.” (HR. Al Hakim dari shahabat Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, dihasankan oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Ahkamul Janaiz)
Adab-adab Talqin
1. Hendaknya dilakukan secukupnya tanpa perlu mengulang-ulang
Para ulama memakruhkan talqin yang dilakukan berulang-ulang dan terus menerus. Karena hal ini justru akan mengakibatkan seorang yang sedang sakaratul maut merasa tertekan dengan tuntunan itu. Padahal ia sedang merasakan penderitaan yang sangat. Sehingga ditakutkan akan munculnya ketidaksukaannya terhadap kalimat ini di dalam qalbunya. Bahkan bisa jadi akan ia ungkapkan dengan ucapannya, sehingga bukan ucapan tauhid yang ia ucapkan, justru celaan dan kebencian terhadap kalimat ini yang keluar dari mulutnya.
2. Cukup sekali, kecuali bila mengucap ucapan lainnya
Apabila orang yang sedang sakaratul maut telah mengucapkan kalimat ini, maka telah mencukupi dan tidak perlu di-talkin lagi. Namun, bila setelah ia mengucapkan kalimat ini ia mengucapkan kalimat lain, maka perlu kembali di-talkin, sehingga kalimat ini adalah kalimat akhirnya.
3. Talqin adalah mengingatkan bukan memerintahkan
Kadang kita dapati seorang men-taqkin saudaranya dengan kalimat tauhid ini namun dengan cara memerintah. Padahal, talqin yang dilakukan saat seperti ini sifatnya sekadar mengingatkan. Sebab, selain dituntut untuk mengatakan kalimat tauhid, juga dituntut untuk meyakini kandungan kalimat ini. Nah, kalau talkin ini bersifat perintah, boleh jadi ia akan mengucapkannya karena tekanan perintah saja, sedangkan jiwanya mengingkarinya. Lalu apakah artinya ucapan ini bila tidak diyakini. Demikian yang dijelaskan oleh Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Riyadush Shalihin.
4. Talqin diperuntukkan kepada seluruh orang
Yakni tidak khusus diperuntukkan untuk seorang muslim saja. Namun juga dianjurkan bagi orang kafir unuk mengucapkan kalimat ini. Diharapkan, di akhir hidupnya termasuk orang yang bertauhid. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam men-talkin paman beliau Abu Thalib tatkala menghadapi kematian.
5. Talqin dengan lafadz Allah saja?
Sebagian orang berpendapat bahwa men-talkin boleh dengan lafadz Allah saja. Alasannya khawatir dengan kalimat yang panjang, laa ilaaha illallah, bisa jadi baru membaca laa ilaaha keburu mati. Sehingga maknanya justru sangat fatal, yaitu tidak ada sesembahan. Sehingga menurut mereka, orang semacam ini mati dalam keadaan tidak bertuhan.
Pendapat ini tidak benar karena beberapa alasan. Di antaranya:
1. Dalam hadits secara tegas men-talqin dengan laa ilaaha illallah.
2. Lafadz Allah saja tidak menunjukkan tauhid orang yang mengucapkannya.
3. Allah mengangkat hukum (tidak memberikan beban) kepada siapa saja di luar kemampuannya. Seperti orang yang lupa atau terpaksa. Maka kondisi saat sekarat tentu lebih utama untuk dimaafkan. Apalagi orang tersebut tentunya meniatkan untuk melafadzkan secara utuh. Sedangkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, Rasulullah menjelaskan bahwa amalan itu sesuai dengan niatnya. Allahu a’lam.
Penulis: Hammam
Referensi:
- Syarh Shahih Muslim, An Nawawi rahimahullah.
- Aunul Ma’bud, Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haqq rahimahullah. – Faidhul Qadir, Muhammad Abdur Rauf Al-Munawi rahimahullah.
Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 20 vol. 02 1433 H – 2012, hal. 38-